Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Cek Poin: Cantik, cukupkah?

Cowok itu selalu melihat kecantikan, lebih dulu!

Menurut kalian, cukup kah perempuan di nilai sebatas visual?

"Mbak Nay, single Mas."

Perkataan Mety itu menyabotase jalan pikir Firaz yang harus fokus pada berkas laporan keuangan. Empat kata dalam kalimat itu menggiang pada lelaki tiga puluh tahun itu. Ibarat kucing disodorin ikan. Perumpamaan buat bujang ingin nikah disodorin perempuan. Cantik pula, seperti Kanaya. Perempuan yang mempunyai lesung pipit sama sepertinya. Firaz membuka kacamatanya dan mengurut pangkal hidung. Sudut bibir menarik bentuk lengkungan yang menetertawakan diri sendiri seperti lelaki puber.

"Bagaimana mungkin aku memikirkan perempuan berwajah menggemaskan itu? Fokus Firaz!" kata Firaz pada dirinya sendiri.

Firaz kembali menekuri rancangan anggaran belanja pembangunan apartemen. Setelah makan siang dirinya akan berangkat ke lokasi untuk meninjau proyek. Melakukan audit apakah yang dilaporkan masih dalam rasio.

Setelah mengeyahkan pikiran tentang wanita baru dikenalnya tidak sulit buat lelaki orientasi karir. Dibantu segelas kopi untuk bisa fokus, Firaz kembali menekuni tumpukan kertas dalam sebuag map.

"Mas Firaz berangkat sekarang ke lokasi?" Andi salah satu stafnya menyembulkan kepala di pintu ruangannya.

Dilirik jam yang ada di dinding tepat di depan mejanya, memang waktu untuk ke lokasi agar tidak datang terlambat. "Di, kamu yang nyetir, ya?"

"Siap, Mas."

Setelah kepergian Andi aku membereskan bahan yang akan aku bawa. Nanti akan dilanjut koreksi saat di mobil.

Sampai di lokasi aku terkejut kalau kepala keuangan pihak klien adalah Yenita. "Halo Firaz, apa kabar?" sapa salah satu mantanku. Kemudian kami saling mencium kedua pipi.

Kata teman-teman aku beruntung bisa berpacaran dengannya. Primadona kampus dengan prestasi luar biasa. Yenita sering mengikuti lomba speech maupun debat di bahasa Inggris, Perancis, serta Mandarin. Selain perihal akuntan, Yenita punya kompeten dalam bahasa. Maklum keturunan mix married sepertinya membuat harus berpindah negara dan adaptasi bahasa.
A
"Gue baik, Yen. Lo? Keren ya, lo bisa capai posisi yang lo usahakan."

Wajah Yenita langsung terukir senyum yang membanggakan dirinya. Dari dulu perempuan tersebut memang sosok yang dominan. "Seperti lo tahu, gue bakal gigih kejar apa yang gue mau."

Dalam hati Firaz membenarkan apa yang perwakilan dari perusahaan kliennya. Kegigihan yang tiada tanding. Hingga seluruh waktu yang dimiliki Yenita benar-benar di dedikasikan untuk meraih apa yang perempuan itu inginkan. Hingga, waktu sekadar berduaan seperti orang pacaran pada umumnya berada di nomor sekian. Jika dulu mereka jadikan kecocokan adalah mencapai karir haruslah totalitas dan alasan itu pula yang membuat keduanya sepakat untuk berpisah. Perpisahan baik-baik sehingga ketika bertemu seperti sekarang seperti kawan yang sudah lama tidak berjumpa.

Kemudian keduanya dan juga tim sama-sama fokus membicarakan proyek pembangunan apartemen di bawah perusahaan Yenita bekerja. Fakta mengejutkan lagi bahwa salah satu pemegang saham tertinggi perusahaan tersebut adalah suami Yenita.

"Wow ... Lo udah married, Yen?" tanya Firaz. Keduanya memilih untuk ngobrol santai berdua di kafe terdekat setelah pembicaraan pekerjaan selesai.

"Bukan hal yang begitu mengejutkan Firaz. Seusia kita sudah banyak yang menikah. Lo aja yang belum move on dari gue."

"Percaya diri lo, Yen. Kalau lo lupa gue sempat pacaran sama anak kuliahan setelah putus sama lo."

Yenita tertawa. "Iya, yang bocah banget tingkatnya. Dan lo nggak bertahan lama."

Wajah Firaz berubah masam. Kemudian lelaki itu mengalihkan topik pada hal yang sebelumnya keduanya bicarakan juga. "Seumuran kita bukan hanya udah menikah kali, Yen. Tapi juga sudah punya anak. Ada yang dua-tiga, lo udah punya berapa?"

"Kami sama-sama sibuk, Firaz. Kasihan kalau punya anak nanti tidak terurus. Sehingga aku dan suami sepakat untuk childfree. Hidup bahagia tanpa anak."

Firaz tercekat dengan pemikiran mantan pacarnya. Dan lelaki itu bersyukur mereka memilih berpisah. Pikir Firaz apa enaknya menikah jika tidak punya anak?

***

Dalam perjalanan pulang Firaz memikirkan obrolannya dengan sang mantan tercantik. Memang jika di list perempuan yang pernah menjadi pacarnya, wanita blasteran itu pemenangnya. Hanya saja dengan konsekuensi nasib pernikahan yang tanpa keturunan? Firaz perlu keras mempertimbangkan. 

Dengan alasan kesibukan bekerja memang logis jika memilih tidak punya anak. Kalau mengingat maminya juga berkorban melepas jabatan sebagai direktur bank swasta waktu itu. Tidak langsung berhenti sih, saat dirinya kecil sampai mau masuk SD, mami Firaz masih menitipkannya di penitipan anak. Kemudian memutuskan berhenti karena kesadaran bahwa anak perlu perhatian orang tua untuk tumbuh kembang. Tepat saat Firaz di sekolah dasar, sering berbuat onar karena merasa tidak takut terhadap apapun. Baik teman dan guru di sekolah. Sering bertengkar agar orang tuanya di panggil pihak sekolah. Firaz mentertawakan kejadian itu. Dan sepertinya keputusan tepat yang diambil Yenita dan suami.

Firaz memarkirkan Honda Brio yang dikendarainya di garis parkir kos untuknya.

Di undakan terakhir lantainya,  Firaz disuguhi Kanaya yang membersihkan hunian. Baru saja perempuan itu selesai menyapu dan dilanjutkan mengepel. Lelaki itu menyuguhkan senyum pada Kanaya ketika membuka kamar kosnya.

"Baru pulang, Mas Firaz?"

"Iya, Mbak."

"Panggil Kanaya atau Naya aja, Mas. Masak iya saya panggil sampean Mas terus Mas Firaz balik panggil saya Mbak. Ribet."

"Sampean? Orang Jawa, Mbak?"

"Nay, Mas." Firaz menampilkan deret giginya dengan koreksi Kanaya. "Orang Jatim, Mas," lanjut Kanaya.

Sekali lagi Firaz tersenyum sebelum masuk ke dalam huniannya. Pintu kamarnya dia tutup karena hendak membersihkan diri. Setelah selesai dengan urusan pribadi, Firaz mematikan pendingin kamarnya. Lelaki itu merasa penat karena jarak pandang langsung beradu tembok. Dirinya membutuhkan suasana baru. Yang membuatnya klik dengan kos ini karena di lantai atas sehingga punya view malam. Firaz membuka pintu kamarnya.

"Iya ... iya, bentar. Gue turun." Firaz mendengar suara Kanaya. Saat kepalanya diangkat, lelaki itu melihat tetangganya melewati depan kamar dengan memegang ponsel dan buru-buru menuju tangga.

Hal kecil yang menarik perhatian Firaz yang sibuk di atas ranjangnya dengan gawai. Lelaki itu terus melihat ke arah pintu, karena tahu Kanaya pasti akan lewat lagi. Pinta kamar wanita itu tidak di tutup dengan benar.

Perkiraannya tepat sasaran saat Kanaya kembali lewat membawa anak kecil dan tas perlengkapan bayi. Dan bayi yang berpakaian baju model kodok itu bukan Dania.

Firaz tidak mendengar pintu kamar sebelahnya yang tertutup. Sehingga dia mengasumsikan bahwa Kanaya sama sepertinya yang membuka pintu.

Lelaki itu keluar di balkon kamar bersama. Kemudian melihat langit, membelakangi kamarnya dan Kanaya. Padahal telinga Firaz sambil mencuri dengar suara Kanaya yang berbicara diselingi ucapan anak kecil yang tidak jelas. Ingin sekali menoleh, namun dirinya takut dipandang asing.

Firaz yang melirik jamnya sedari tadi, mendesah. Ternyata sudah berjalan lima menit dari membunuh rasa melihat aktivitas Kanaya di kamar kos yang tidak tertutup itu. Tidak bisa menunggu lebih lama lagi, Firaz membalikkan badan.
Konsultan keuangan itu melihat tetangganya yang duduk di bawah dengan mainan tangan serta susu tergelak begitu saja. Selain itu ada guguran biskuit yang balita itu makan.

Kanaya yang tidak sengaja melihat Firaz memberikan senyum sapa.

"Bukan anaknya Mbak Mety ..., Nay?" tanya Firaz dari posisinya berdiri. Lelaki itu masih ragu untuk memanggil nama tanpa imbuhan pada tetangganya.

"Bukan. Di titipin teman kerja suruh jagain anaknya."

Firaz mengagguk dengan mengamati anak laki-laki di rumah Kanaya.

"Oomm ... oom," kata anak kecil yang tertatih menuju keluar.

"Iya, Om." Kanaya menanggapi si bayi lelaki dengan posisinya yang duduk di tempat. Membiarkan anak temannya untuk berlatih berjalan.

Baru beberapa langkah sudah terjatuh lagi. Namun tidak patah arang. Balita laki-laki itu bangun dan berusaha berjalan lagi.

Firaz menangkap bayi kecil itu ketika di ambang pintu. Yang membuat Firaz bingung, balita itu tidak menangis, justru tertawa dengan meraba wajahnya. Bahkan berusaha menggapai kacamata yang dipakai. Firaz sampai menjauhkan kepalanya, agar tidak terjangkau.

"Terbiasa dengan orang asing, jadi mudah banget buat sosialisasi," ucap Kanaya yang juga keluar dari kosnya. Editor itu berdiri berhadapan dengan Firaz  dengan bersandar pada dinding luar kamarnya.

"Wah, bahaya. Bisa mudah di culik, nih." Firaz spontan berbicara.

Kanaya tertawa mendengar ungkapan sang konsultan keuangan. Karyawan penerbitan itu ingat acara gethering kantor dengan keluarga. Pipi gembul dan sama siapapun mau, membuat Namira kebingungan mencari anaknya. Padahal rekan kerja memang sengaja mengerjai Namira dan suami yang kebetulan anniversary mereka lewat dua hari dari acara perusahaan.

"Oommm," kata Romeo lagi yang memukulkan tangan ke dada Firaz. Tangan yang memegang biskuit meninggalkan remahan  di kaos Firaz. Hanya dikibas dengan tangan sudah bersih kembali.

"Siapa namanya, Nay?"

"Aku Romeo, Om Firaz." Kanaya menirukan suara anak kecil.

"Kok kamu yang jagain Romeo? Orang tuanya kemana?" Firaz penasaran kenapa bocah dalam gendongannya titipin pada Kanaya.

"Orang tuanya jenguk orang sakit. Anak kecil kan emang sebaiknya nggak dibawa ke rumah sakit. Jadi dititipin ke Nay. Sesama perantauan jadi kayak saudara, Mas."

"Kalau siang Romeo sama siapa?" Firas menyerahkan telunjuknya untuk digenggal tangan Romeo. Bayi berusia setahun setengah mengayun-ayunkan jari Firaz.

"Dititipin di daycare, Mas. Soalnya kedua orang tuanya kerja. Nggak ada saudara yang bisa minta tolongin jaga."

"Jadi itu yang bikin Romeo nggak takut orang asing?" Firaz bertanya lagi.

"Bisa jadi, Mas. Kan kalau di Daycare ketemu sama pengasuhnya, terus di dampingi psikolog anak, ketemu banyak anak yang sama-sama seusianya. Mungkin itu yang bikin Romeo mudah sosialisasi."

Firaz masih mencerna penjelasan Kanaya. Karena kalau pengaruh tinggal di penitipan anak menjadi mudah sosialisasi, nyatanya Firaz dulu tidak merasa terbuka dengan orang baru. Dia lebih suka menyendiri. Jika di ingat, saat sebelum sekolah formal Firaz tidak merasa punya teman akrab.

Usahawan bidang keuangan itu mengurungkan niat mendebat Kanaya atas pemikiran yang barusan. Menurut Firaz tidak ada pentingnya sekarang beradu pendapat bersebrangan. Lebih baik digunakan untuk obrolan ringan.

"Nggak repot ngurus anak kecil, Nay?"

Kanaya menggeleng. "Nay suka anak kecil, Mas. Tingkahnya gemesin."

Aksi Romeo yang merentangkan tangan sedangkan tubuh dicondongkan ke Kanaya membuat Firaz menyerahkan pada tentangganya.

"Ngantuk, ya. Mau tidur?" ucap Kanaya pada Romeo. Balita itu memperlihatkan mata sayu.

Kanaya membawa Romeo masuk ke dalam rumah. Tirai yang sebagian disibak menunjukkan sebagian area tempat tidur Kanaya. Perempuan itu menidurkan Romeo pada kasur milik perempuan tersebut. Firaz memperhatikan setiap detail perlakukan Kanaya yang penuh kasih. Bahkan tidak menyangka bahwa perempuan itu juga memiliki bantal dan guling serta kipas angin kecil yang sepertinya disediakan secara khusus.

Firaz merasa Kanaya adalah jenis perempuan berbeda dari karakter yang selama ini dia kenal. Perempuan itu jelas cantik dengan pipi sedikit temban. Lesung pipit miliknya, memberikan kombinasi manis. Bukan sekadar paras yang Firaz nilai, namun sikap keibuan, penuh kasih tidak pernah Firaz jumpa dari yang pernah jadi pacar.

"Mbak Nay single, Mas," kalimat itu kembali mengaung di telinganya. Gaungan yang  mendorong Firaz memunculkan peluang dan halal lakukan pendekatan.


TBC.

Sabtu, 27 Juli 2024

Kalian keren masih mau lanjut baca di bab 3. Gimana? sudah suka karakter Kanaya apa Firaz nih?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro