Iris - Part 3
Tifa langsung dilarikan ke UGD Rumah Sakit Bhayangkara dan segera diberi pertolongan pertama. Lalu dia dibawa ke tempat rontgen untuk mengkonfirmasi apakah ada luka dalam atau patah tulang. Untungnya Tifa tidak mengalami luka yang parah. Hanya luka lecet dan memar di pinggul, juga pada siku sebelah kiri dan kedua lututnya.
Tifa sangat beruntung yang membawanya ke rumah sakit adalah seorang Ustad yang tidak pernah melepas senyuman syahdu dari wajahnya. Kerutan halus memenuhi wajahnya, tanda bahwa dia sudah mulai termakan usia. Beliau ditemani dengan seorang pria yang tampaknya sudah berkepala empat, dia baik hati dan pengertian. Mereka sampai menyatakan bahwa mereka berdualah yang akan menanggung biaya perawatan Tifa.
Motor Tifa sudah diamankan beberapa pemuda ke mushola. Mereka juga berbaik hati akan membantu Tifa memperbaikinya yang kerusakannya lumayan parah. Sedangkan pelaku yang berhasil ditangkap atas keberanian Tifa, sudah diamankan kepolisisan dan segera dilarikan ke ruang operasi.
Tifa sekarang sudah bisa bernapas lega di atas ranjang pasien. Sang Ustad duduk di sampingnya sembari bertasbih. Lantunan doa dari Ustad berhasil menenangkan jiwa Tifa yang terguncang. Gadis itu tidak henti-hentinya bersyukur, bahwa dia masih diberi kesempatan untuk hidup dengan anggota tubuhnya yang masih sempurna. Kata beruntung selalu mengiang di kepala Tifa, setelah melihat pasien yang satu ruangan dengannya. Mereka juga korban-korban dari pembegalan, namun lebih tidak beruntung dibanding gadis berkacamata itu.
Bau khas antiseptik di rumah sakit, bau yang Tifa sukai. Dia selalu bingung, mengapa banyak sekali orang yang tidak suka aroma tersebut. Padahal itu mengartikan bahwa rumah sakit adalah tempat yang lebih steril dibandingkan rumah mereka sendiri. Ada juga orang yang mengkaitkannya dengan bau kematian. Padahal berdasarkan survei dan penelitian, kematian lebih banyak terjadi di jalan raya. Namun Tifa tahu, semua orang memiliki pandangannya masing-masing. Maka dia pun harus mengerti dan memahami pendapat selain dirinya sendiri.
Bapak yang menolong Tifa baru saja sampai di ruang UGD. Dia membawakan roti cokelat serta teh botol yang dia beli di supermarket terdekat. Dia pun menyodorkan belanjaan tersebut ke Tifa dan berkata, "Orang yang habis jatuh, harus makan yang manis-manis. Supaya rasa sakitnya hilang." Bapak itu tersenyum lebar atas teorinya tersebut.
Tifa membalas senyum dan menerima pemberian beliau. Tetapi di dalam batinnya, dia pun berbicara, Bagaimana kalau yang jatuh orang diabetes? Bisa berabekan kalau lukanya malah enggak cepat sembuh gara-gara banyak makan gula. Tapi biarlah, toh rezeki enggak boleh ditolak.
Tifa segera membuka bungkus roti dan melahapnya. Cokelat yang di dalam roti tersebut meleleh di mulutnya. Tak lupa dia minum teh botol dingin yang membasahi tenggorokannya. Memberikan sensasi menyegarkan pada tubuhnya yang perih, dipenuhi memar-memar.
Gadis berkuncir kuda itu kembali teringat kejadian yang menimpanya satu jam yang lalu. Tangannya kembali tremor hebat. Rasa sakit, takut, marah, kesal, sedih berkecamuk di batinnya. Tifa juga merasa bersalah telah membuat seseorang cacat untuk selamanya.
Apa yang kulakukan sudah benar? Itu termasuk membela diri, kan? Atau ... aku sudah melakukan suatu kejahatan? Walaupun itu baik bagiku, tapi tidak baik bagi orang lain?
Sang Ustad yang sudah selesai mengaji—seperti bisa membaca pikiran Tifa—tersenyum hangat dan ingin menenangkan gadis yang berada di hadapannya. "Apa yang dilakukan Dek Tifa, tidaklah salah. Itu namanya pertahanan diri dan itu bukanlah perbuatan dosa," ucap sang Ustad yang langsung direspon dengan tatapan Tifa yang berkaca-kaca.
"Mungkin yang dilakukan Dek Tifa memang sudah kehendak Allah swt. untuk membuat si pelaku tobat atas perbuatannya."
Tifa menangis tersedu-sedu, merasa lega dengan ucapan Ustad.
Dari luar terdengar gema suara langkah di ubin lantai, mengarah ke tempat Tifa berada. Pintu kaca yang buram terbuka lebar yang didorong Aris, diikuti Cony dan Eni. Tifa yang duduk di atas ranjang, kaget melihat wajah pucat ketiga kawannya itu. Dia kebingungan, bagaimana mereka tahu Tifa berada di rumah sakit, sedangkan Tifa selama ini tidak menyentuh ponselnya. Tasnya pun sudah dia lupakan di tempat kejadian.
Pak ustad kembali mengerti apa yang dipikirkan gadis berkacamata itu. "Awalnya saya ingin menelpon orang tua Dek Tifa. Tapi saya pikir lagi, Dek Tifa pasti anak kos karena mengarah ke jalan tikus itu, yang terkenal dengan menjadi wilayah kos-kosan. Saya rasa, pilihan terbaik adalah mengecek panggilan yang sering dihubungi dan menelpon salah satunya. Alhamdulillah, tindakan saya benar. Mereka adalah teman-teman Dek Tifa," jelas Pak ustad dengan nada bicara yang lemah lembut dan sangat mudah diterima oleh Tifa yang gelisah.
Memang benar, selama ini Tifa sering menelpon Aris, Cony, maupun Eni. Berhubung mereka kadang disibukan dengan kasus atau banyaknya tugas yang diberikan Aris. Mengerti bahwa Tifa butuh waktu bersama dengan sahabat-sahabatnya, Pak Ustad dan Bapak yang bersamanya undur diri. Tifa tak lupa berterima kasih kepada keduanya, tanpa kebaikannya mungkin Tifa hanya bisa meratapi nasibnya di gang sempit dan gelap sendirian.
Akhirnya, mereka berempat bisa kembali berkumpul, walau dalam suasana yang canggung. Tifa hanya tersenyum lirih ke arah Aris, Cony dan Eni. "Aku baik-baik saja, kok. Aku kan kuat," kata Tifa sambil tertawa kecil, berusaha sedikit mencairkan suasana.
Aris yang sedari tadi menatap Tifa dengan tatapan kesal, angkat bicara, "Kenapa kamu tidak colok ke dua matanya? Kenapa tidak kau pukul dia sampai mati?" bentak Aris dengan suara menggelegar, spontan membuat pasien serta penjenguknya menoleh ke arah mereka.
Tifa hanya bengong setelah mendengar pertanyaan Aris. Eni hanya menggit bibirnya, sedangkan Cony menatap iba kepada pemuda berambut kelabu itu. Tifa tidak pernah melihat Aris yang sangat marah. Biasanya dia adalah pria dingin yang selalu memasang poker face—tidak ada yang bisa membaca ekspresinya.
Warna kulitnya yang biasa putih pucat berubah menjadi merah padam. Iris hitamnya begitu kelam, tatapannya tajam dan menusuk. Aris berdecak kesal dan pergi meninggalkan mereka bertiga. Tanpa berpikir panjang, Cony mengejar sohibnya itu. Tifa merunduk sedih, dia menyesal telah membuat teman-temannya khawatir.
Eni yang mengerti dengan kegundahan hati Tifa, mengambil kursi yang tadinya diduduki oleh Pak Ustad. "Bagaimana keadaanmu sekarang, Tifa?" tanya Eni sembari tersenyum.
"B, baik-baik saja."
"Kami sangat mengkhawatirkan dirimu. Saat aku mendengar kabar bahwa kamu terkena begal, spontan aku berlari ke rumah Aris. Hahaha, suamiku kaget dan mengejarku sampai dikira aku kesambet setan." Eni terkekeh-kekeh mengingat kejadian tersebut. "Tapi ... dari kami bertiga, Aris lah yang paling mencemaskanmu, loh."
"Eh? Masa?"
"Sesampainya aku di rumahnya, dia sudah bersiap untuk pergi ke sini. Dia sampai salah tingkah, beberapa kali dia menggerutu sendiri. Jujur, dia tidak pernah begitu sebelumnya." Eni menoleh ke arah pintu masuk dengan tatapan sendu. "Sepertinya ... dia takut, kembali kehilangan orang yang berharga baginya."
<><><><><>
Ok, berikutnya kita bakalan ke masa lalu Aris. Penasaran kan, arti ucapan Eni dan asal muasal Aris? Sampai jumpa besok. Jangan lupa tinggalkan jejak, ya. Bye-bye 🙌
[25/2/2019]
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro