Intermezzo - Part 4
Matahari sudah tergelincir dari singgasananya. Digantikan bulan purnama yang memancarkan cahaya lembut di langit yang gelap tanpa bintang. Mobil patroli polisi berjejer rapi di pinggir jalan. Seluruh warga diminta untuk waspada di rumahnya masing-masing. Garis polisi dibentangkan di sekitar rumah korban, ada beberapa polisi yang menjaga di luar. Tim penyidik sedang mengumpulkan barang bukti di dalam. Mayat korban pun sudah di bawa ke rumah sakit Bhayangkara untuk di autopsi.
Satu rumah di sebelahnya—kediaman keluarga Amar, Aris dan kawan-kawan masih setia menunggu di sana demi kepastian dari para penyidik. Beberapa penyidik masuk ke dalam kamar Amar, mereka berusaha meminta kesaksian dari Theo. Terdengar suara erangan Theo yang risih dengan orang asing.
Setelah satu jam lamanya, para penyidik keluar. Aris dan lainnya bisa menarik kesimpulan dari ekspresi wajah mereka—tidak ada informasi yang berhasil dikorek. Penyakit autis Theo menjadi dinding besar yang menghalau penyidik untuk melacak pelaku perampokan sekaligus pembantaian itu.
Salah satu penyidik yang memakai baju putih, tanda pengenalnya bergelantungan di dadanya yang bidang, mulai mengeluarkan sebungkus rokok dan menyulut salah satu batangnya. Terlihat dari kerutan halus yang ada di dahi maupun matanya, dia masih berumur sekitar awal 30 tahun, namun penampilannya malah membuatnya terlihat lebih tua. Itulah salah satu alasan Aris tidak ingin masuk kepolisian, dia tidak mau harus berkerja 24 jam memikirkan ribuan kasus hingga mengganggu jam tidur dan kesehatannya.
"Kalau tau begini, lebih baik tadi kubawa juga psikiater ke sini," kata penyidik yang menghisap kasar putung rokoknya dan menghembuskan asap putih dari mulutnya.
"Pak, bisa jangan merokok sembarangan di rumah orang. Di sini masih ada yang sayang dengan paru-parunya," ucap Aris memperingati si polisi.
Dia tertawa karena pertama kalinya mendapati warga sipil yang berani mengemukakan pendapatnya tentang kebiasaan merokoknya, "Hahaha ... ternyata benar yang kudengar dari para atasan. Kamu memang menarik."
"Terima kasih atas sanjungannya. Bisa dimatikan sekarang? Sebelum saya yang menyiram putung rokok itu dengan air teh." Aris menyerumput teh yang disajikan pemilik rumah untuk tamu-tamunya.
Pria itu langsung mematikannya dengan sol sepatu dan membuangnya ke tempat sampah yang ada di sudut ruang tamu. Dia memberikan kode pada anak buahnya untuk pergi terlebih dulu. Dia pun duduk di salah satu single sofa yang tersisa, "Biasanya saksi kunci seperti dia langsung kami interogasi di kantor. Tapi berhubung 'orangnya' tidak bisa diajak kerjasama, terpaksa kami menunggu hingga dia mau berbicara."
"Bagaimana dengan penyelidikan tentang perampokan ini? Bukannya sudah lama kalian usut?"
"Ya ... kami sudah beberapa kali mendapat laporan dari sini—dan berhubung masih ada ratusan kasus yang serupa, kami kesulitan melacak pelaku."
"Oh ... artinya kalian beruntung karena aku akan membantu kalian menyelidiki kasus ini."
"Sepertinya begitu. Begini, sebenarnya saya merasa Anda meremehkan kami. Apalagi kata-kata Anda tadi. Tapi ... apa boleh buat, kami kekurangan tenaga ahli. Jadi, mohon kerja samanya, Aris." Pria itu mengulurkan tangannya dan Aris berjabat tangan dengannya.
Tiba-tiba dari pintu masuk, datang salah satu anak buahnya. Dia membisikan sesuatu kepada bossnya dan pergi keluar setelah menjalankan tugasnya. "Aris, lain kali jangan meremehkan kami. Salah satu anak buahku berhasil melacak mobil curian itu menuju Utara, keluar dari kota Makassar."
"Saya permisi dulu. Selamat malam semuanya," pamit si polisi yang melayangkan hormat kepada Aris.
--0--
Rumah Amar perlahan mulai sepi. Tifa yang selesai membantu ibu Amar mencuci piring bekas makan kapurung bersama yang lainnya, melihat Aris duduk di kursi teras sambil menompang dagunya. Pandangannya memang lurus ke rumah tetangga yang ada di seberang, tetapi terasa yang dia pandang lebih jauh daripada itu. Tifa yang penasaran, duduk di kursi yang kosong.
"Aneh ...."
"Hah? Aku?" Tifa kaget dengan kata pertama yang dilontarkan Aris.
"Bukan, kasus ini."
Lega bahwa bukan dirinya yang dibilang aneh, sejenak Tifa memandang sosok Aris. Pemuda yang sudah dia temui lebih dari lima bulan yang lalu, semakin hari terlihat lebih misterius. Tifa tidak tahu tentang pekerjaan sebelumnya yang dia tangani, masa lalunya maupun keluarganya. Aris hanya tinggal sendirian (dengan kucingnya, Kopiko) di rumah kontrakan yang bisa dibilang lumayan besar hanya untuk satu orang.
Gadis berkuncir kuda itu pun mendongkak ke arah Aris, "Bagian mananya yang aneh?"
"Mengapa korban mau membukakan pintu untuk pelaku."
"Dibukakan? Sejak kapan kamu tahu?"
"Tidak ada kerusakan di pagarnya, pintu tidak dibuka secara paksa. Para tetangga tidak terganggu, artinya pelaku yang kita hadapi professional."
"Mungkin mereka di hipnotis?"
Aris yang merasa baru saja mendengar lelucon yang garing, mengerutkan alisnya. "Sejak kapan ada orang yang bisa menghipnotis lebih dari satu? Master hipnotis, Romy Rafael?"
"Mungkin aja, kan? Sekarang pencurian dengan hipnotis sudah berjamur di Indonesia."
Aris yang sudah malas berdebat dengan gadis keras kepala di sebelahnya, menghebuskan napas panjang, "Lebih baik kita pulang dulu, tidak ada lagi yang bisa kita dapatkan sekarang. Selain itu, polisi sedang mengejar pelaku jadi kita bisa sedikit beristirahat."
"Aris suka tidur cepat, ya? Padahal baru jam 9."
"Kamu, tuh, masih gadis ingusan belum tidur juga."
Tifa yang sudah bosan dikatai Aris, hanya menjulurkan lidahnya dan pergi mencari Cony untuk diantar pulang ke kosnya.
--0--
"Setiap sore, Theo akan bermain di taman kompleks dengan anak-anak di sini dan pulang sekitar jam lima. Itu sudah menjadi rutinitasnya sampai semua para warga merasa aneh bila dalam satu hari dia tidak keluar dari rumahnya," jelas salah satu tetangga yang memakai baju tidur dengan motif beruang.
"Saya tinggal tepat di depan rumah Bu Ningrum! Sekitar 1 jam lebih Theo keluar, ada tiga orang pria datang ke rumahnya. Padahal Bu Ningrum itu jarang banget kedatangan tamu," kata teman ibu yang tadi, dia masih memakai roll rambut warna-warni di kepalanya.
"Kenapa Anda tidak keluar melihat-lihat tetangga Anda?" tanya Aris kepada ibu-ibu yang terakhir bersaksi.
"Awalnya saya mau keluar karena tidak biasa. Tapi Bu Ningrum mempersilahkan mereka masuk dan menutup pintu rumah. Yah ... saya rasa mereka keluarganya. Jadi saya udah tidak peduli lagi. Ah, kalau mau lebih rinci, coba tanya sama Pak Adi. Dia satpam di sini."
"Oh iya, Pak Adi! Cuman ... dia itu satpam di sini tapi enggak becus jaga kompleks kita. Padahal sudah lima kali tempat kita kebobolan," lanjut ibu yang memakai baju tidur tadi.
Aris pamit dari kedua ibu-ibu itu. Dia pun berjalan menuju keluar perumahan dan sampai di depan pos satpam yang berdiri tepat di tengah-tengah pintu masuk dan keluar kompleks. Aris mengetuk pintu itu beberapa kali dan segera dibuka oleh bapak-bapak yang memakai baju dinas satpam lengkap. Bapak itulah Adi, yang sudah bertugas selama empat tahun menjaga kompleks ini.
Aris dipersilahkan duduk di kursi kayu yang paling layak, sedangkan dia duduk di kursi yang mulai berderit saat diduduki. "Saya sudah dengar dari Pak polisi tadi malam. Katanya ada detektif yang akan datang meminta keterangan saya. Saya tidak menyangka ternyata orangnya masih muda," kata Pak Adi tertawa malu-malu.
"Pak Adi, langsung saja keintinya. Kapan bapak melihat ada tiga orang pria masuk ke dalam kompleks?"
"Hmm ... kalau di tanya kapan mereka masuk, saya juga tidak tahu. Saya pasti mengawasi orang-orang yang lalu-lalang di sini. Tapi sepanjang pengamatan saya, tidak ada yang mencurigakan. Hanya orang-orang yang tinggal di dalam saja yang keluar masuk di sini."
"Tadi Anda bilang kalau masuk, artinya Anda berhasil melihat mereka saat keluar?"
"Ya! Saya melihatnya. Sore-sore saya lagi menonton acara reality show yang sering tayang pada jam segitu. Mobil Pak Musa keluar, cuman ada yang aneh. Bukannya Pak Musa yang membawa, tapi ada tiga laki-laki, duanya duduk di bagian depan dan yang satunya duduk di kursi penumpang. Sialnya karena mereka membawa mobil dengan kecepatan tinggi, saya tidak sempat melihat lebih jelas wajahnya."
"Pak Adi, kapan tepatnya mereka keluar?"
"Saya lupa, Dek. Saya lebih fokus dengan televisi."
"Begitu, ya ... baik terima kasih atas informasinya, Pak Adi."
Aris pamit dari pos satpam. Sebelum keluar, Aris melempar pandangannya di sekitar ruangan dengan ukuran 1,5 meter lebih itu. Di jendela yang menghadap ke pintu keluar, ada televisi berukuran 21 inci dengan model tabung. Ada jam kecil bertengger di atasnya.
[18/2/2019]
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro