Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Interaction - Part 4

Di lorong lantai dua, Amel menyudut pada pojokkan yang gelap dan sempit. Dia merunduk sangat dalam, sambil memeluk kedua kakinya yang mulus. Dinginnya lantai tidak dia hiraukan.

Dari arah ruang rapat, Foe keluar. Sejenak dia ingin melepas ketegangan yang menjalar di seluruh tubuhnya. Dia melempar pandangannya ke penjuru koridor, dan melihat Amel berada di sudut koridor, dekat dengan tangga utama. Pria itu pun menghampiri wanita yang terduduk lesu itu.

Amel mendengar suara langkah lembut yang direndam oleh karpet merah maron yang menutupi sebagian besar lantai, dia tahu ada seseorang yang mendekatinya. Masih tidak mengubah posisinya, manik hitam Amel mengintip dari sela-sela poninya. Setelah mengetahui siapa yang datang, Amel malah mendecakkan lidahnya, merasa kesal. Orang yang menghampirinya adalah orang yang paling dia hindari.

"Camellia ... ayo, masuk ke dalam," bujuk Foe.

Bukannya menjawab, Amel kembali merendukan kepalanya. Dia berpura-pura tidak mendengar ucapan Foe.

"Aku—minta maaf. Aku tahu itu terjadi sangat mendadak dan membuatmu syok. Tapi percayalah, ini terbaik untuk kita berdua."

Selang beberapa detik, mereka berdua tidak berbicara satu sama lain. Foe ingin kembali mendekati Amel, namun Amel langsung mendongak dan membuang wajahnya ke tembok.

"Jadi, menurutmu hubungan kita selama dua tahun hanyalah main-main saja?" kata Amel tanpa menatap lawan bicaranya.

"Tidak, itu tidak benar. Aku rasa kamu adalah wanita yang hebat. Malah kurasa, aku tidak pantas untukmu." balas Foe dengan ragu-ragu.

Mendengar jawaban itu, Amel berdiri dan memperlihatkan wajah merahnya yang telah tersulut emosi. "Dasar pembohong! Egois! Aku benci padamu!"

Amel berlari menuju ruang rapat tanpa menoleh sedikit pun. Dipenuhi rasa bersalah, Foe hanya melihat punggung Amel—wanita yang pernah dia cintai—semakin menjauh. Tanpa mereka sadari, di balik salah satu pintu ruang rapat. Kana menguping seluruh pembicaraan mereka berdua.

--0--

Toilet wanita, hukumnya wajib ada di tiap tempat umum. Bagi kaum Hawa, ruangan itu adalah checkpoint, persinggahan dari waktu ke waktu. Selain buang air kecil maupun besar, hanya untuk sekadar bercermin dan memperbaiki penampilan juga mereka lakukan di sana. Maka kaca besar yang muat sampai lima kepala untuk bercermin merupakan salah satu benda yang harus ada.

Terutama, bila mereka datang dalam bentuk kelompok. Bukannya serius buang hajat, malah sibuk gosip tentang hal-hal yang tidak ada kaitannya dengan mereka. Memang tepat disebut sebagai tempat pembuangan karena gosip pun di buang juga di sana. Namun, untuk malam ini, tempat tersebut menjadi TKP. Ditemukan seorang sekretaris bernama Vini, meninggal dalam keadaan yang tidak wajar.

Toilet itu tidak terlalu besar; terdiri dari tiga bilik dengan kloset duduk, tiga wastafel yang dilengkapi dua tempat sabun cair, satu tempat tisu toilet, tempat sampah dan kaca besar dengan ukuran sekitar 3 x 1 meter. Di sana juga di percantik beberapa bunga imitasi di antara tiap wastafel. Sekilas, di ruangan tersebut tidak ada barang yang rusak atau memperlihatkan adanya keganjilan.

Aris dan Tifa setuju untuk berbagi tugas, Aris menelusuri seluruh ruangan, sedangkan Tifa menyelidiki tubuh korban. Aris memperingatkan Tifa agar tidak mengubah posisi mayat, dan melarangnya untuk menyentuh korban kecuali menggunakan kain atau sarung tangan.

Alasannya? Aris hanya berkata, "Aku tidak mau berurusan dengan polisi karena merusak barang bukti atau mengganggu prosedur penyelidikan mereka."

"Lalu, kenapa kamu mau masuk ke dalam TKP yang seharusnya steril dari orang yang tidak berkempentingan?" tanya Tifa bingung.

"Karena aku adalah orang penting." Dan Tifa tidak mau membalasnya lagi.

Sementara Aris asik berkelana di tiap sudut, Tifa malah diberi tugas yang tidak pernah dia lakukan—memeriksa mayat.

Berkali-kali Tifa berusaha mengontrol napas dan tremor di tangannya yang sayangnya selalu gagal. Dengan tarikkan napas paling dalam dan embusan yang juga tidak kalah panjangnya, dia berjongkok, mengambil posisi di samping kanan korban.

Sebenarnya Tifa bisa menyentuh tubuh korban dengan sapu tangan yang selalu dia bawa ke mana saja. Namun, dia takut. Takut ada hal yang mengerikan akan terjadi bila menyentuh sang almarhumah. Maka dia urungkan niatnya. Tifa amati tiap bagian tubuh korban; bagian kepala, kedua tangan, badan, dan kaki tanpa mendaratkan seujung jarinya.

Kalau saja ada orang yang melihat tingkah lakunya, Tifa seakan-akan sedang menjadi pengamat karya seni yang eksentrik. Berusaha melihat dari berbagai sudut pandang—walau harus dalam posisi merangkak, tiarap atau model nugging sekalipun. Setelah beberapa putaran mengelilingi tubuh korban, akhirnya Tifa bisa bernapas lega menyelesaikan tugasnya. Hasilnya, tidak ada tanda-tanda adanya penganiyaan atau luka-luka yang berarti. Terlihat seperti wanita biasa yang sedang terbaring di atas lantai.

Sesungguhnya, dari hati kecilnya yang terdalam, Tifa berteriak keras untuk tidak tergoda melihat wajah korban. Dia berusaha menolaknya sebab takut jika wajah korban bisa terbawa ke alam mimpinya. Walaupun begitu, masih ada rasa penasaran yang sangat besar untuk melihat. Setelah memikirkan segala resiko yang akan terjadi, rasa keponyalah yang menang.

Karena tubuh korban dalam posisi tengkurap, maka Tifa mengubah posisi badannya yang semula berjongkok menjadi posisi merangkak. Bibir Tifa tidak henti-hentinya memanjatkan doa. Sekarang wajahnya sedang berhadapan langsung dengan wajah pucat sang korban.

Vini, wanita cantik dengan rambut hitam legam, memberi nilai plus untuk parasnya yang khas orang Melayu. Namun, dengan mulut menganga, bibir membiru, dan matanya yang hampa: berhasil membuat Tifa kembali menutup matanya erat-erat. Berusaha menghapus apa yang baru saja ia lihat dari ingatannya.

"Kau menemukan sesuatu?" tanya Aris yang menghampiri Tifa.

Merasa lega bahwa Aris telah membangunkan dirinya dari mimpi buruk, Tifa langsung bangkit dari posisi merangkaknya.

"Nihil. Tidak ada yang aneh di tubuhnya, secara fisik."

"Kemarikan sapu tanganmu."

Tifa memberikan sapu tangannya ke Aris. Saputangan pink dengan motif polkadot. Aris membungkuskannya di telapak tangan kirinya, mengambil posisi di sisi kanan korban, dan berjongkok. Tanpa ragu, memasukan tangannya tadi ke dalam mulut korban. Seluruh telapak tangannya berhasil masuk ke dalam.

Kaget dengan apa yang dia lihat, Tifa hanya berusaha menahan rasa mualnya terhadap tingkah laku pria berambut kelabu itu. Dia tarik kembali kata-katanya tentang Aris yang menghormati kaum wanita.

Aris menarik kembali tangannya. Saputangan itu basah oleh cairan bening dengan tingkat kekentalan yang tinggi. Aris menghirup bau yang berhasil tertempel di kain.

"Nih, makasih." Aris mengembalikan saputangan lengket itu ke Tifa.

Tifa hanya menggelengkan kepalanya, sambil menahan asam lambung yang ingin keluar dari mulutnya. Tanpa berpikir panjang, Aris meletakkan sapu tangan itu di depan wajah korban.

Aris kembali memandang tubuh korban. Tanpa membutuhkan waktu yang lama, ia berhasil menemukan petunjuk baru—sebuah tas kecil tertindih di bawah perut korban. Aris merogoh saku celananya, mengeluarkan sepasang handscone. Tifa yang melihat benda putih itu langsung kesal.

Jadi selama ini, dia sudah punya persiapan. Lalu, untuk apa saputangannya harus dikorbankan?

Setelah mengenakan sarung tangannya, dia tarik tas itu secara perlahan. Bagi Tifa yang masih menyandang gelar seorang cewek tulen, dia sangat mengenal tas tersebut. Itu adalah sebuah pouch make up.

Beberapa kali Aris memutar-mutarkan tas tersebut, melihat setiap sisi dengan serius. Dibukalah satu-satunya retsleting pada tas plastik itu. Telihat di dalamnya ada parfum, alat make up, ponsel, dan obat sakit kepala.

"Jadi? Bagaimana denganmu? Apa yang kamu dapat setelah mengecek seluruh ruangan?" tanya Tifa penasaran.

"Tidak ada yang aneh. Aku juga sudah membongkar tempat sampah dan tidak ada yang berhasil menarik perhatianku," balas Aris tenang tanpa memalingkan tatapannya dari tas.

"Oh ya, apalagi kalian sebut ini?" Aris berbalik bertanya kepada Tifa.

"Itu pouch make up atau tas kosmetik. Barang wajib untuk perempuan. Kenapa?"

"Tidak, aku cuman lupa namanya."

Pria berambut kelabu itu kembali merogoh sakunya, mengambil sebuah kacamata dengan bingkai D frame hitam. Dia kenakan di atas hidungnya yang manjung dan kembali menganalisa barang-barang almarhumah dengan teliti. Selama beberapa menit, mereka berdua membisu.

Tifa merasa bosan melihat Aris yang tidak bergerak sesenti pun. Sehingga ia akhirnya berjalan menuju cermin dan melihat pantulan dirinya.

"Kamu sebenarnya siapa? Kenapa bisa setenang ini melihat ada orang mati?" tanya Tifa sembari melihat Aris dari pantulan cermin.

"Sudah biasa," jawab Aris singkat.

Gadis dengan rambut ikat kudanya tertawa kecil mendengar jawaban Aris. "Jangan bilang kamu seorang detektif yang biasa menyelidiki kasus pembunuhan," kata Tifa sambil tersenyum miring.

"Kok kamu tahu?"

Tifa sebenarnya hanya bergurau dengan pernyataannya tadi. Dia tidak menyangka bahwa tebakannya benar. "Tunggu—jadi kamu beneran detektif?"

"Iya, detektif swasta, bagian homicide atau pembunuhan."

Tifa kembali kehabisan kata-kata setelah mengetahui siapa sebenarnya Aris.

"Biasanya orang-orang menebakku sebagai polisi, dokter atau malah penyidik forensik. Kamu orang pertama yang berhasil menebak," ujar Aris dengan nada sedikit kagum.

"Kalau kamu detektif, artinya kamu tahu siapa pelakunya?"

"Tentu saja, aku bisa tahu siapa yang membunuh. Tapi dengan proses pengumpulan bukti, menyelidiki, dan menganalisa tiap kemungkinan yang ada. Aku ini detektif, bukan orang yang bisa baca pikiran."

"Lalu, kenapa kamu menyuruhku untuk membantu? Aku kan hanya orang luar. Ada kemungkin aku pembunuhnya."

"Kalau kamu berkata begitu, sudah jelas bukan kamu yang membunuh korban."

"Hah? Apa alasanmu?"

Aris yang merasa terganggu dengan lemparan pertanyaan yang bertubi-tubi dari Tifa—dengan cepat mendongkakkan kepalanya, menatap tajam gadis berkacamata tebal itu.

"Kamu cerewet, ya. Bisa diam enggak?" kata Aris dengan suara sedingin es.

Tifa hanya bisa menelan ludahnya mendengar ucapan Aris dan memperlihatkan ekspresi menyesal bercampur malu.

Setelah puas dengan yang dia dapatkan, Aris bangkit dan memperbaiki posisi kacamatanya, "Baiklah, kita sudah mendapatkan bukti kuat di sini. Selanjutnya adalah mendengarkan kesaksian tiap orang di gedung ini."

--0--

Aris melangkahkan kakinya dengan penuh rasa optimis menuju ruang rapat. Sedangkan Tifa hanya mengekor dari belakang. Setelah Aris mengatakan tentang 'bukti kuat', semenjak itu pula dia diam seribu bahasa. Tifa sudah tahu dia tidak bisa bertanya terkait bukti tersebut karena gadis itu yakin, hanya tatapan dingin yang akan didapatkan dari pemuda berambut kelabu itu.

Bagaimana caranya wanita yang bernama Vini mati? Apakah pembunuhan? Kalau iya, apa alasannya sehingga harus merenggut nyawa wanita itu? Hanya Aris yang tahu semuanya dan Tifa hanya bisa berharap kepadanya.

Mereka berdua naik ke lantai dua. Ruang rapat berada di lorong sebelah kanan dari arah tangga. Terlihat dua daun pintu yang terbuat dari kayu jati dengan ukiran yang detail nan indah, sedikit terbuka. Aris mendorongnya dengan sedikit tekanan dan pintu itu pun terbuka lebar dengan mudahnya.

Sudah ada tiga orang menunggu di dalam. Amel duduk di kursi pada sisi kanan meja rapat dengan muka yang sembab. Seorang pria tampan dengan setelan jas berwarna navy yang di kombinasikan dengan dasi bermotif zebra sedang bersandar di dinding. Kalau tidak salah, Aris memanggilnya dengan nama Foe. Serta seorang wanita dengan setelan baju, rok dan sepatu dengan warna merah marun, sangat serasi dengan rambut ikal coklatnya. Namanya Kana, dia duduk di sisi sebelah kiri meja rapat. Dia sejak tadi berusaha menyeka air mata yang tidak henti-hentinya mengalir di pipinya.

"Semua sudah lengkap? Baiklah, saya ingin kerjasamanya dari semua belah pihak. Sebelum saya menjelaskan apa yang telah terjadi kepada saudari Vini. Saya ingin semuanya memaparkan apa yang kalian lakukan. Beserta waktu, bersama dengan siapa dan di mana tempatnya, sebelum dan sesudah kalian bertemu dengan sang korban," jelas Aris yang langsung melempar pandangan ke arah Foe.

"Foe, sudah kamu hubungi polisi dan ambulans?"

"Ya, mereka akan segera datang. Tapi aku tidak tau kapan tepatnya."

"Ok. Kita harus segera menyelesaikannya sebelum mereka sampai. Foe, mulai darimu—"

Wanita yang bernama Kana langsung bangkit dari kursinya,
"Tunggu! Menyelesaikan apa? Sebenarnya Anda siapa? Apa urusanmu dengan kematian Vini?" Tergambar keseriusan dari mimik wajahnya.

"Saya hanya orang luar, tidak mengenal saudari Vini, dan baru pertama kali datang ke kantor ini. Saya secara terbuka menyatakan bahwa saya tidak ada sangkut pautnya dengan kejadian malam ini," jelas Aris dengan nada serius.

"Kenapa kau bisa berkata seyakin itu? Jangan-jangan kamu yang membunuh Vini!"

"Terserah Anda mau berpendapat seperti itu. Tapi saya hanya ingin mencegah terjadinya salah tangkap dari kasus ini. Sebelum polisi datang."

"Apa maksudmu, Aris?" Foe bingung dengan pernyataan Aris.

"Foe, percayalah kepadaku. Kau tau kan ... aku profesional," balas Aris dengan nada optimis.

Foe menarik napas dalam-dalam dan mengembuskan dengan pelan, "Baik, tolong yang lain juga melakukan hal yang sama setelah giliranku."

<><><><><>

[4/2/2019]

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro