Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Ignis - Part 3

Jarum pendek telah mendekati angka 10. Kombinasi antara Cony yang lincah dengan Aris yang jenius, menghasilkan tugas yang sudah selesai dengan sempurna. Berhasil mematahkan perkiraan awal bahwa mandat tersebut akan membuat mereka harus begadang semalaman. Begadang anak farmasi bukanlah tiada artinya seperti lagu Rhoma Irama.

Cony yang merasa lega, langsung menjatuhkan badannya yang pegal di atas karpet halus nan lembut berbahan sutra. Sedangkan Aris sibuk menjilid makalah dengan jumlah halaman 30 lembar.

Setelah lepas dari tugas yang melelahkan, Cony baru sadar bahwa perutnya sudah menabuh genderang dengan ritme tinggi dan cepat—dia kelaparan.

"Ternyata benar, kalau belajar itu bisa menguras tenaga dan membuatmu lapar," kata Cony sambil menatap plafon kamarnya yang di ukir indah, "Kamu lapar, Aris?"

"Lumayan, kenapa?"

"Ayo, kita makan dulu. Setelah berpikir keras, otak butuh asupan energi."

"Bukannya tidak baik makan tengah malam?"

"Bagiku ini belum tengah malam, masih sore," ujar Cony sambil menunjukkan jam tangannya ke Aris.

Aris yang mengerti maksud dari pemuda beralis tebal itu, akhirnya menerima tawaran untuk makan malam. Bagi mereka, selama belum melewati jam 12, maka belum dinyatakan malam hari.

"Mau masak?" tanya Aris sembari memungut sampah kertas yang berserakan di bawah meja.

"Tidak. Makan di luar aja," jawab Cony singkat.

"Tidak ada pembantu?"

"Ibuku tidak suka kalau dalam satu hari, dia tidak mengerjakan sesuatu; seperti memasak, mencuci, dan pekerjaan rumah yang sejenis. Apalagi, ayahku memiliki sifat tidak mudah percaya ke orang lain. Kalau pun ada, hanya satpam merangkap tukang kebun—itupun omnya ibuku, namanya Pak Jatro."

Aris yang masih asyik merapikan area belajar, tidak sengaja melihat dua pigura di atas meja kecil samping tempat tidur. Di sana ada foto Cony yang masih balita dan foto Cony yang memakai baju seragam SMA. Namun ada sesuatu yang aneh, pria yang ada di samping ibu Cony berbeda dengan foto di sebelahnya.

"Oh ... itu, ayahku yang sekarang adalah ayah tiri. Ayah kandungku sudah lama meninggal," Cony tersenyum lirih melihat dua pigura tersebut.

Merasa bersalah telah mengorek luka lama Cony. Aris pun mencoba untuk mengalihkan topik, "Jadi kan makan?"

Senyuman Cony yang awalnya kecil, spontan berubah lebar dan menunjukkan gigi putihnya yang rapi.

--0--

Cony membonceng Aris dengan motor ninja merahnya menuju wilayah dekat kampus yang terkenal sebagai tempat wisata kuliner yang ramah dengan kantong mahasiswa. Sebelumnya, dia memberi tahu Pak Jatro bahwa mereka berdua pergi keluar untuk makan malam.

Kedua pemuda itu sampai di warung kaki lima yang sangat sederhana. Terdapat baliho besar yang beralih fungsi menjadi pintu masuk ke tempat makan tersebut. Tertulis di kain besar itu—Wargor, 'Warung Goreng'. Nama yang unik.

Suara desisan dari wajan penggorengan panas yang di tumpahkan nasi putih. Aroma bumbu yang menendang perut para pengunjung, tercium ke penjuru arah. Nasi goreng dengan porsi melebihi kapasitas perut sangat sesuai untuk Cony dan Aris yang tingkat kelaparannya jika diukur dari skala 1-10, mungkin sudah mencapai tingkat 11. Rasa masakannya juga enak, saus dan kuning telur meleleh di lidah, memberi cita rasa yang tinggi.

Kedua piring pemuda itu sudah bersih tanpa sisa. Mereka tidak lupa bersyukur, sekali lagi, telah diberikan kenikmatan dunia. Otak yang sudah diisi dengan glukosa* dari nasi, menyadarkan Aris yang sedari tadi ingin bertanya kepada Cony.

"Cony, kenapa kita makan di sini? Bukannya kamu orang yang berlebih? Biasanya tipe orang begitu, kalau makan di luar pasti level tempat makannya paling rendah restoran siap saji," kata Aris setelah membasahi tenggorokannya dengan air putih.

Cony yang mendengar pertanyaan teman di sebelahnya, otomatis tertawa keras. Hingga membuat pengunjung yang satu meja dengan mereka hampir keselek butiran nasi. Dengan cepat Aris menaikkan kerah jaketnya, berusaha menutupi wajahnya karena tingkah laku temannya yang malu-maluin.

Setelah puas tertawa, Cony akhirnya menjelaskan semuanya, "Aku dulu juga sama sepertimu, hidup sederhana, malah pernah lebih miskin lagi. Saat ayah kandunganku meninggal. Aku dan Ibu langsung jatuh miskin, tidak ada uang walau hanya untuk makan satu kali sehari. Lalu, datanglah ayah tiriku dan menikahi Ibu. Tidak ada hujan maupun badai, kami langsung menjadi orang kaya. Ibu dan diriku yang sudah terbiasa hidup sederhana merasa canggung dengan lingkungan baru. Malah saat kami pindah ke rumah ayah tiriku, kami berdua melepas alas kaki saat masuk ke rumah dan ditertawakan oleh beliau." Cony yang teringat akan kejadian itu kembali tertawa renyah.

Jam sudah menunjukkan 10:35 dan mereka berdua memutuskan untuk segera pulang. Tak lupa Cony memesan satu nasi goreng dibungkus untuk Pak Jatro, sehingga mereka harus menunggu lagi sekitar 10 menit.

--0--

Mereka akhirnya tiba di depan gerbang. Cony segera mengetuk kaca pos satpam di sisi kanan gerbang. Muncul sesosok pria paruh baya yang berkulit hitam khas terbakar matahari. Dengan senyum ramah, Cony memberikan sebungkus makan malam untuk Pak Jatro dan beliau langsung tersenyum girang atas kebaikan majikannya. Pak Jatro sigap keluar dari pos dan mendorong pagar hingga Cony dan Aris bisa masuk ke dalam.

Sesampainya di teras, baru saja Aris dan Cony turun dari kendaraan—tiba-tiba terasa dentuman keras di dalam rumah. Mereka bisa merasakan tanah yang dipijak bergetar. Aris dan Cony serentak berlari ke arah kebun untuk melihat asal suara yang ternyata berasal dari dapur.

"Apa itu? Aku harus ke sana—" Cony yang sudah kalang kabut, spontan berlari ke pintu utama dan berusaha membukanya.

Aris langsung menghentikan Cony, "Jangan lewat dalam. Berbahaya! Lebih baik kita lewat tempat yang lebih terbuka," saran Aris yang direspon dengan anggukan Cony.

Kedua pemuda itu berlari sekencang mungkin ke bagian belakang rumah melalui halaman. Terlihat sudah ada lidah api menyembur, menjilat-jilat teras belakang. Mereka berdua tertegun—api besar yang membara, kepulan asap yang besar, serta bunga-bunga api yang mulai merambat ke segala arah. Dari kejauhan, Pak Jatro berlari menuju majikannya.

"Pak! Telpon pemadam kebakaran dan kalau bisa minta bantuan tetangga yang lain," perintah Cony kepada Pak Jatro yang mengangguk cepat dan kembali lari terbirit-birit meninggalkan kedua pemuda itu.

"Cony! Cari kain besar yang basah atau fire exthaus di pos satpam."

"Kenapa tidak pakai selang air saja?"

"Itu malah akan membuat api menyebar dan membesar. Apalagi kalau airnya cuman dari satu sumber."

Cony yang paham dengan maksud Aris langsung berlari menuju pos satpam. Aris memprediksi bagian mana yang aman agar dia bisa mendekati api tanpa terkena jatuhan puing-puing atap. Dalam waktu bersamaan, disituasi yang kacau balau—Aris bisa merasakan ada sesuatu yang mengawasinya sedari tadi. Pria berambut kelabu itu spontan membalikan badannya ke belakang. Tidak ada apa pun di sana, hanya halaman rumah yang dipenuhi semak-semak dan pohon-pohon yang menjulang tinggi. Mungkin kah itu hanya perasaannya saja?

Cony menghampiri Aris dan memberikan hasil temuannya. Aris melemparkan selimut besar itu ke api, seperti orang yang melepar jala, dan berusaha memadamkan api. Sedangkan Cony menyemprotkan busa dari tabung pemadam. Sedikit demi sedikit, mereka berhasil mengurangi wilayah kekuasaan si jago merah. Terdengar dari jauh suara kegaduhan dari banyak orang. Bala bantuan telah datang.

--0--

Untung saja api tersebut tidak meluas ke bagian lainnya, hanya dapur dan ruang makan saja yang terbakar habis. Memberikan nuansa mengerikan dengan jelaga hitam dan bau gosong.

Mereka bertiga kebingungan apa yang sebenarnya terjadi. Pemadam kebakaran sudah sampai di depan rumah dan mulai mempersiapkan diri untuk mengamankan wilayah kebakaran. Para tetangga yang sudah datang menolong mulai kembali ke rumahnya masing-masing.

Bagian belakang rumah hanya menyisakan puing-puing juga seluruh perabotan di dalam sudah tidak dapat diselamatkan. Cony yang dari tadi tidak melepaskan pandangannya ke sisa-sisa rumahnya yang terbakar, mendadak melihat sesuatu yang familiar di dalam ruangan itu.

Ketika dia mendekat, dengan teriakan mengerikan, Cony jatuh pingsan. Pak Jatro yang kebingungan, menghampiri majikannya itu. Namun dia ikut berteriak melihat apa yang ada di dalam sana. Untung saja Aris sudah paham bahwa ada sesuatu yang mengejutkan di sana. Bau gosong yang kuat dan aneh menusuk hidung Aris. Sesaat dia masuk ke ruangan yang dulunya adalah ruang makan. Ada segumpal daging gosong yang meringkuk di lantai.

"I, itu Tuan Bambus!" teriak Pak Jatro.

<><><><><>

Glukosa: zat yang ada di dalam darah yang asalnya dari karbohidrat di dalam makanan maupun minuman yang setiap hari kita konsumsi.

[9/2/2019]

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro