
Bab 7 Pied Piper : Hamelin
Karya ini adalah hasil kolaborasi dari WWG Fantasi.
Sebelum membaca jangan lupa tekan tombol bintang ya teman-teman.
IG: kanonaiko
Bocah perempuan itu sibuk menghitung permen beraneka warna. Kemudian, dia menghitung jumlah penganan yang akan dibagikan kepada adik-adiknya nanti dan membungkus buntelan dengan rapi.
Pemilik wajah imut itu tampak puas dengan hasil kerjanya. Oke. Kali ini buntelan berisi permen harus dibawa. Anak berumur 9 tahun berjalan dengan santai. Bocah bernetra hijau menangkap sosok entah pria atau wanita berpakaian sangat mencolok. Yang jelas topi dan jubah berwarna hijau.
Mau kemana dia?
Madoka mengikuti orang asing masuk ke dalam kota. Sampai di depan pintu gerbang mulutnya menganga lebar. Kota ini indah sekali.
"Hallo, bocah."
Madoka dikejutkan oleh seseorang yang memanggilnya dari belakang. Eh? Sejak kapan? Rasanya orang ini tadi berada di depanku, batin Madoka. Dia menoleh ke belakang.
"Aku?" Madoka menunjuk dirinya dengan wajah tanpa dosa. Pura-pura polos sih.
"Iya, kamu," sahut orang itu sambil cengengesan. Kemudian dia berkata, "Aku tahu kau mengikutiku dari belakang."
Cengiran orang itu membuat Madoka kesal. Apa-apaan sih? Enggak lucu.
"Oh, ayolah, jangan cemberut begitu. Kenalkan. Aku Pied Piper Hamelin." Orang bernama Pied Piper itu mengulurkan tangannya.
Madoka sedikit ragu. Manik hijau seperti zamrud itu menilik sang pria dengan tatapan menyelidik. Tetapi, melihat Pied tersenyum ramah akhirnya mau menjabat tangannya.
"Madoka," sahutnya pendek.
"Hoo nama yang bagus. Aku suka kamu, hahahaha."
Madoka menatap sedatar-datarnya. Orang ini waras enggak sih? Kok jadi ngeri ya.
Melihat wajah tegang Madoka, Pied Piper tertawa terbahak-bahak. "Aku bercanda kok. Jangan khawatir."
Madoka bernapas lega dan memperlihatkan senyum manisnya.
"Aku jadi suka kau tersenyum." laki-laki itu mulai menggombal.
Senyum di wajah Madoka hilang seketika. Dia menghentakkan kakinya meninggalkan pria itu di sana. Lama-lama aku bisa gila jika berada di dekat lelaki tersebut.
"Hei, tunggu aku ...."
Madoka berjalan berkeliling kota. Alisnya bertemu di tengah. Rasanya ada yang aneh dengan kota ini. Di sudut rumah warga ada seekor binatang hitam kecil tengah bersembunyi. Madoka memicingkan kedua matanya.
"Itu tikus," timpal Pied Piper.
Oh, tikus.
Hening.
"Apa? Tikus?!" jerit Madoka.
Baru saja Madoka mau mengeluarkan senjata andalannya si Pied Piper menahannya.
"Para penduduk di sini diserang oleh sekawanan tikus. Entah darimana mereka datang," ujar Pied Piper.
"Wah, akhirnya kau datang juga."
"Siapa dia?" tanya Madoka.
"Pak Walikota, saya siap membasmi tikus di kota anda," kata Si Hamelin.
"Syukurlah. Kami sangat senang kau berada di sini. Soal upah jangan khawatir, kami akan membayarmu," kata Pak Walikota.
"Baiklah kalau begitu." Pria berjubah hijau itu mengeluarkan seruling dan mulai meniup. Ajaib. Sekelompok tikus mengikuti si pria Hamelin. Sang pria bertopi hijau runcing menari mengikuti alunan suara seruling.
Madoka dibuat takjub. Dia bisa membawa sekelompok tikus mengikuti lelaki aneh. Pria itu hebat juga. "Bapak Walikota, kenapa dengan tikus itu sebelumnya?" tanyanya ingin tahu.
"Begini." Pak Walikota itu berdehem. "Kota kami dulu aman dan sejahtera. Tapi, entah dari mana datangnya tikus-tikus itu datang. Mereka juga merusak perabotan penduduk dan memberi penyakit pada kami."
Madoka hanya menyimak sesekali manggut-manggut.
"Oleh karena itu aku dan warga memanggil si Hamelin membasmi tikus."
Mulut Madoka membulat. Ternyata begitu. "Oh ya, apakah bapak melihat wanita tua bernama Nenek Peach bersanggul dan memakai kacamata lewat sini?" Madoka menjelaskan ciri-ciri si Nenek Peach.
Pria berpakaian rapi dan klimis itu sedang memikirkan sesuatu. "Rasanya tidak ada dengan ciri-ciri yang kau sebutkan itu, bocah."
Madoka menghembuskan napas kuat-kuat. Duh, nenek Peach, kau ada di mana? Sepertinya kau benar. Aku harus diet. Kota ini terserang wabah penyakit. Makanan pun jadi langka. Pasti penduduk tidak mau membagikan makanan untuknya.
Madoka memutuskan beristirahat di kota ini. Dia tidak mau dekat-dekat salah satu penduduk. Takut kena penyakit. Hiyy. Madoka bergidik ngeri.
Karena salah satu warga berbaik hati menawarkan sebuah pondok kecil di luar untuk Madoka menginap maka Madoka menerima dengan senang hati. Sesampai di rumah kecil, dia beristirahat.
*****
Keesokan harinya Madoka datang lagi ke sana. Dia mendengar suara orang sedang bertengkar. Ah, itu si Hamelin!
"Anda sudah berjanji untuk memberi upah yang besar terhadap saya," wajah Peid terlihat gusar.
Bapak Walikota kebingungan. Sebenarnya dia tidak punya uang sebanyak itu. Jadi dengan berbagai alasan pria itu berkilah.
Madoka tidak tahan akhirnya muncul. Sekali lompat dia bersalto dan mendarat dengan sempurna.
"Nyam nyam nyam! Hei, kau harus memberi upah yang layak kepadanya!" teriak Madoka marah.
"Hei, bocah gendut, sana jangan ikut campur urusanku."
"Apa kau bilang?" Madoka hendak mengeluarkan belati tulang ikan. Namun, dicegah oleh Pied Piper.
"Biarkan saja, Madoka. Ayo kita pergi dari sini."
Ketika warga dan walikota sedang berada di gereja, Pied Piper berkata kepada Madoka. "Madoka, kumohon kau harus segera pergi dari sini."
Madoka terkejut mendengarnya. "ke-kenapa?"
"Karena aku akan membuat perhitungan dengan Pak Walikota. Dia berbohong padaku. Janji adalah janji dan pria itu malah tidak mau memberi imbalan padaku."
"Lalu? Kenapa aku harus pergi dari sini?" desak Madoka.
Peid Piper menepuk pelan kepala Madoka. "Karena aku harus membuat perhitungan."
"Sebenarnya, siapa kau?"
Sang Hamelin tersenyum manis. "Aku adalah seorang penyihir."
Mata Madoka membulat. Ah, sudah kuduga.
"Kau juga bocah penyihir kan? Kumohon pergilah sejauh mungkin agar kau tidak terkena mantraku," jawab sang Hamelin. Lalu, dia berjongkok memeluk si bocah.
"Senang bertemu denganmu. Sampai jumpa semoga kita bertemu lagi," kata Pied Piper sedih.
"Sampai jumpa, Pied Piper," jawab Madoka sambil memandang senyum manisnya.
Sang Hamelin melambaikan tangannya menuju kota. Madoka duduk di atas pohon. Dalam hatinya dia penasaran apa yang akan dilakukan oleh pria itu.
Sayup-sayup terdengar alunan musik yang sangat enak di dengar. Madoka kemudian memasang pelindung tidak beraturan dan tembus pandang seperti kristal agar mantra itu tidak mengenai dirinya.
Di belakang Pied, beberapa anak-anak melompat riang mengikuti langkah pria Penyihir. Mereka keluar gerbang kota dan tidak menoleh lagi ke belakang. Para bocah digiring ke pengunungan.
Setelah mereka menghilang, Madoka kemudian melanjutkan perjalanan untuk mencari sang Nenek Peach tercinta.
Bersambung ....
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro