Bab 9
Mika meminta ijin pada Widi untuk pulang sebentar, selain berpamitan pada ibunya juga untuk mengambil barang-barang kebutuhannya. Ada laptop, buku-buku, dan baju ganti. Widi menginjinkan, akan menjaga Alika secara langsung sampai Mika kembali. Alika yang tidak ingin ditinggal, menangis ingin ikut dan membuat Mika tidak tega meninggalkannya.
"Bagaimana kalau aku bawa saja, Bu. Rumahku nggak jauh dari sini, bisa naik motor."
Widi terperanjang ngeri. "Kamu mau bawa Alika naik motor?"
Mika mengangguk. "Iya, Bu. Boleh nggak?"
"Tapi—"
"Kakak, mau ikuut. Alika mau ikuutt!"
Pertama kalinya Alika menangis, membuat Widi menjadi tidak tega. Dengan berat hati membiarkan Mika membawa Alika pulang.
"Jangan naik motor, biar diantar sopir."
"Nggak ada tempat parkir, Bu."
"Sopir biar pulang saja setelah antar. Datang lagi kalau kamu sudah selesai."
"Siap, Bu!" ucap Mika antusias. Menggandeng Alika dan membawanya ke mobil. "Kita jalan-jalan, yuk!"
Alika mengangguk gembira, menggenggam tangan Mika seakan takut ditinggal. Jarak antara rumah Haven dan Mika tidak jauh, masih satu wilayah hanya saja beda komplek. Diperhatikan dengan seksama, rupanya rumah Haven berada di blok yang sama dengan rumah tinggalnya dulu.
"Apakah Mama pernah bertemu Papa saat bekerja?" tanya Mika dalam hati. Ia tidak yakin kalau papanya akan memperhatikan detil seperti itu. Seandainya bertemu dengan sang mama di jalan pun tidak ada mengenali. "Sungguh ironi, mantan nyonya kaya raya kini hidup dalam kemiskinan dan menjadi pembantu di rumah orang lain."
Tiba di rumahnya, Mika mengajak Alika masuk. Saat melihat gadis kecil itu Sundari terbelalak gembira,
"Anak cantik, sini sama nenek. Beberapa bulan nggak lihat kamu, sepertinya makin cantik dan tambah tinggi."
"Maa, gimana semalam? Aku nggak bisa pulang karena Alika nggak mau ditinggal."
Sundari menggeleng dengan jemari mengusap rambut Alika. "Orang yang semalam menemani mama bercerita tentang apa yang terjadi pada Alika. Kalau memang begitu, sudah semestinya kamu bekerja di sana, Mika. Menetap di rumah Pak Haven untuk merawat Alika yang cantik ini."
Mika mendesah. "Aku, sih, mau saja. Tapi Mama sendirian di sini. Aku nggak tega."
"Kata siapa mama sendirian? Gadis yang semalam menemani mama, katanya dapat bonus dari Pak Haven untuk tidur di sini selama satu bulan. Selain itu, dia bebas menonton teve dan tidur lebih awal. Mama nggak masalah kamu di sana, pulang saja setiap tiga hari sekali."
Mika membuka satu bungkus roti, membagi dua untuk Alika dan sang mama. Memikirkan jalan keluar yang baik untuk masalah ini. Meskipun mendapat uang, ia tidak akan tega meninggalkan sang mama sendirian terus menerus.
"Maa, kalau nanti aku naik gaji. Kita pindah ke rumah yang lebih dekat dari rumah Pak Haven. Kayaknya kos-kosan milik keluarga Baskara cukup dekat. Nggak akan segedebdan seluas ini tapi kita akan berdekatan, Ma."
Sundari mengangguk tanpa banyak berpikir. "Mama setuju kalau gitu. Jangan bulan ini, tanggung udah bayar sewa. Untuk bulan depan aja."
"Iya, Ma! Nitip Alika dulu, aku mau rapiin barang-barang sekalian ke warung untuk beli beras, Ma."
"Sana pergi, biar mama jaga Alika."
Sundari duduk di kursi plastik, mengajak Alika mengobrol. Selama bekerja di rumah Haven, jarang bersama Alika karena anak kecil ini sangat tertutup dan tidak diijinkan ke atas untuk bermain. Siapa sangka malah dekat dengan Mika.
"Mau minum, Alika?"
Alika menggeleng. "Di tas ada minum."
"Kakak Mika bawain kamu minum?"
"Iya."
Sundari mengambil botol berisi air minum dan memberikan pada Alika yang menyedotnya dengan segera. Ia terperanjat saat terdengar teriakan dari halaman. Siapa yang siang-siang begini datang untuk mengacau? Seingatnya Sundari tidak punya hutang pada orang. Ia berjalan perlahan ke teras yang kecil dengan Alika mengikutinya. Terkejut saat melihat sosok Iyana dan Nola. Ada apakah keduanya datang ke kontrakannya yang kecil ini? Tidak biasanya terjadi.
"Dik Iyana, kenapa datang kemari? Ada urusan apa?" tanya Sundari dengan suara lirih.
Iyana menyahut keras serta lantang sambil berkacak pinggang. "Jangan sok akrab. Aku bukan adikmu!"
Nola mengangkat dagu, menatap Sundari dengan sinis. "Perempuan tua sepertimu, masih tanya kami datang untuk apa? Tentu saja untuk memperingatkanmu agar nggak ganggu keluarga kami lagi!"
Sikap Nola yang tanpa sopan santun membuat Sundari terbelalak. Ia terbatuk kecil, mencengkeram tangan Alika agar tidak pergi. Semua hal bisa ditanggungnya, termasuk kemarahan Nola dan Iyana tapi tidak dengan kehilangan Alika. Anak kecil yang ketakutan bisa lari sembarangan.
"Aku nggak tahu kalian bicara apa, tapi tolong pakai suara yang sopan. Ada anak kecil di sini." Sundari bicara dengan sedikit tersengal. "Jangan sampai suara kalian membuatnya ketakutan."
Iyana mendengkus, menatap Alika dengan tidak peduli. "Apa urusan kami dengan anak itu? Bodo amat dia amu takut atau lari. Aku hanya ingin memperingatkanmu, Sundari. Jangan lagi merecoki keluarku, terutama suamiku. Kalian bukan lagi suami istri, Naturahman bukan lagi pasanganmu tapi kenapa kamu nggak sadar juga. Masih berharap dicintai dan dikasihani? Masih ingin kembali ke rumah besar kami? Sundari, mimpi kamuu!"
Sundari menggeleng, ingin menyahut tapi lagi-lagi batuk menyerangnya. Ia marah pada diri sendiri karena sangat lemah. Di saat seperti ini rasa sakit menyerangnya membabi buta.
"Orang tua dan penyakitan sepertimu harusnya sadar diri. Lebih banyak beribadah dan mendekat pada Tuhan. Siapa tahu bisa dipanggil ke akirat setiap saat. Bukannya malah memikirkan suami orang lain!" ucap Nola sambil berkacak pinggang.
"Bisa-bisanya kamu mengharap belas kasihan suamiku? Meminta uang pengobatan? Gara-gara kamu suamiku mengirim orang untuk membantumu membeli obat. Perempuan sialan!" maki Iyana.
Beberapa tetangga muncul dari balik pintu dan jendela, ingin tahu kekisruhan apa yang sedang terjadi. Teriakan Iyana dan Nola bersahut-sahutan dengan kencang, menarik minat orang-orang. Mika yang baru saja kembali dari warung terbelalak saat melihat mamanya dan Alika dimaki-maki Iyana. Ia berlari mendekati mamanya, bertanya kuatir.
"Maa, nggak apa-apa? Kenapa keluar?"
Sundari terbatuk hebat. "Nggak apa-apa. Kamu bawa Alika masuk. Takut dia ketularan mama."
Mika menggeleng. "Mama yang masuk. Minum air hangat dan baringan di ranjang biar aku yang hadapi mereka."
"Mika, jangan begitu."
"Tenang, Ma. Aku nggak akan bikin ribut, hanya ingin mengusir mereka."
Sundari yang tidak tahan lagi berdiri terlalu lama memutuskan untuk masuk. Iyana berteriak memanggilnya.
"Mau kemana kamu? Aku belum selesai bicara!"
Mika mengambil headset di dalam kantongnya, menyalakan musik lewat ponsel dan memakaikan alat itu di telinga Alika.
"Sayang, dengerin musik, ya, biar nggak berisik."
Alika mengangguk, tidak menolak saat Mika menggendongnya di punggung. Mika terpaksa melakukannya, karena tidak ingin Alika kabur ke jalanan tanpa sepengetahuannya. Siapa sangka kepulangannya ke rumah ini membuatnya bertemu Iyana dan Nola. Ia berdiri menegakkan tubuh menghadap keduanya dengan Alika berada di punggungnya.
"Kalian mamarah-marah kayak orang nggak berpendidikan," tegur Mika, menatap bergantian pada ibu dan anak di hadapannya. "Tante marah karena Papa mengirim obat untuk mamaku? Kenapa emangnya? Itu hanya bentuk kepedulian mantan suami pada mantan istrinya."
"Omong kosong!" sergah Iyana cepat. "kamu pikir aku nggak tahu apa yang kalian rencanakan? Dengan berpura-pura sakit, mamamu ingin mendapatkan perhatian suamiku!"
Mika memutar bola mata, menahan jengkel karena menganggap tuduhan Iyana sungguh tidak masuk akal.
"Mana ada orang berpura-pura sakit hanya demi perhatian laki-laki? Mamaku nggak akan melakukan trik murahan seperti itu. Jangan samakan mamaku dengan kamu, ya, Tante!"
"Gadis brengsek!" maki Nola geram. Wajah cantik yang dipoles make-up tebal, memerah selain karena panas juga karena amarah. "Tentu saja mama lo yang tua, penyakitan dan buruk rupa itu nggak sepadan sama mama gue yang masih muda dan cantik. Ditambah punya anak kayak lo yang juga sama buruk rupanya. Ngaaca, Mika! Tolong, ya, lebih tahu diri kalau orang miskin macam kalian, jangan banyak tingkah!"
Mika menyipit, menolak untuk mengalah pada Nola dan Iyana. "Seingat gue, orang yang lo anggap buruk rupa ini berhasil mendapatkan perhatian dari cowok idola kampus tanpa susah payah. Sedangkan lo ngejar Krisna sampai jungkir balik dan nggak dapat. Kasihan sekali lo!"
"Apaa?"
"Satu lagi, orang kaya itu seharusnya gue dan mama. Bukan kalian! Apalagi Tante yang dulunya penyanyi di bar miskin! Kalau bukan karena Tante ngerayu dan ngerebut papa, kami nggak akan jadi miskin!" teriak Mika jengkel.
"Anak sialan! Udah merasa hebat? Emang harus dikasih pelajaran. Biar bisa jaga mulutnya. Hidup aja masih morat-marit, masih mengharapkan bantuan kita tapi sombong bukan kepalang. Nola, pegangi dia. Biar mama hajar mulutnya!"
Nola bersiap untuk mencengkeram lengan Mika, Alika kebingungan menatapnya. Terdengar teriakan, disusul suara derap langkah berlari. Baskara dan Cila muncul sambil tersengal.
"Ka-lau kalian main hakim sendiri, aku akan lapor polisi!" ancam Cila dengan ponsel menyala di tangan. "Siap merekam apa pun yang terjadi. Coba aja kalau mau viral?"
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro