Bab 5
Tanpa terasa Mika sudah bekerja selama dua minggu di rumah ini. Keadaan sang mama sudah membaik tapi ia belum mengijinkan untuk bekerja. Lebih baik kalau dirinya dulu yang bersusah payah sampai sang mama benar-benar sehat. Selama ini juga Mika sama sekali belum pernah bertemu nyonya rumah. Ia dibuat penasaran karenannya. Kalau Haven, beberapa kali ketemu saat laki-laki itu hendak berangkat kerja. Ia menyapa sopan dam Haven menanyakan keadaan kaki serta wajahnya. Tidak ada percakapan lain, hanya basa-basi biasa. Seperti biasa, hati Mika berdebar keras setiap kali melihat Haven. Laki-laki tampan itu seolah menganggu kesadarannya, padahal ia sudah diingatkan oleh Cila dan Baskara untuk tidak jatuh cinta pada suami orang.
Gadis kecil di rumah ini pun ia hanya bertemu sebentar saat turun untuk makan siang. Menurut Mika, gadis itu terlalu pendiam dan terlalu penurut. Lebih mirip robot dari pada anak kecil. Diam-diam ia mengamati bagaimana si suster lebih sering berkaca dan menjaga penampilan dari pada menyuapi makan Alika. Tidak tega melihat bocah sekecil itu duduk ketakutan di depan susternya sendiri tapi ia tidak punya keberanian untuk menegur. Selain bukan urusannya juga karena sikap si suster yang berbeda kalau ada orang lain. Terutama di hadapan Widi.
"Alika, Cantik. Maem yang banyak, biar cepat gede!"
Mira akan melayani Alika makan dengan sungguh-sungguh kalau ada Widi atau pelayan lain. Selebihnya hanya terdiam tidak peduli, sibuk dengan kaca atau ponselnya.
Saat Alika tidur siang, Mira akan ke atas untuk menyerahkan pakaian kotor pada Mika.
"Cuci yang bersih!"
Mira melemparkan dua pasang kaos kaki dan rok milik Alika ke atas bak cuci di depan Mika yang sedang mengucek kemeja.
"Lo kalau kerja yang rajin dikit napa? Kemarin gue lihat ada noda di baju Alika."
Mika meraih kaos kaki, mengambil ember terpisah dan merendamnya. "Baju yang mana?"
"Mana lagi? Baju putihlah!"
"Kemarin Alika nggak pakai baju putih."
"Dua hari lalu!"
"Kemarin Alika pakai baju merah, biru, sama setelan denim. Dua hari lalu perasaan kaos sama blus cantik kembang-kembang. Kagak ada warna putih."
Bantahan Mika membuat Mira melotot kesal. "Bantah terus lo, ya? Merasa hebat karena selaluy disapa Pak Haven? Asal lo tahu Pak Haven itu ramah sama semua pelayan di sini. Nggak cuma sama lo. Jangan geer, deh!"
Mika tetap mencuci dengan tenang dan tidak mengindahkan omelan Mira. Gadis ini sedang kalah saing, merasa paling hebat, dan ingin merendahkannya. Persis seperti saudara tirinya Nola. Bedanya Nola itu gadis kaya dan manja, sedangkan Mira hanya pelayan biasa tapi merasa kaya. Lebih baik kalau tidak berurusan dengan keduanya. Membuang waktunya yang berharga hanya untuk berdebat.
Melihat Mika hanya terdiam, Mira merasa sangat kesal. "Heh, budeg lo ye!"
Mika dengan sengaja mencipratkan air dan berteriak. "Aduh, mata gue perih kena busa."
"Dasar!"
Mira berderap menjauh, menuruni tangga sambil mengomel. Mika mendesah, menenangkan diri dengan bersenandung. Ia tidak akan membairkan kecemburuan Mira mempengaruhi posisi kerjanya di rumah ini. Tanpa gaji dari Haven, mamanya tidak akan bisa makan dan beli obat. Ia tidak sanggup lagi menahan makian dan hinaan dari papanya dan Iyana hanya karena uang. Lebih baik banting tulang, demi keberlangsungan hidup dari pada menjadi bahan ejekan.
Sering kali ia berpikir, seandainya waktu bisa diputar ulang akan lebih menyenangkan kalau Iyana tidak muncul dalam kehidupannya dan merenggut semua kebahagiaan. Pasti ia menjalani hari dengan tenang, sekolah di tempat yang bagus, punya banyak barang branded serta kemana-mana membawa mobil seperti Nola. Sayangnya, waktu tidak pernah bisa diputar ulang.
Jeda istirahat sebelum membersihkan kamar, Mika mengambil wafer dan makan di kursi kecil dekat tangga pendek menuju lantai tiga. Ada teriakan di bawah, sepertinya Mira sedang mencari Alika. Entah kemana perginya bocah itu sampai satu rumah mencarinya.
Mika merobek bungkus wafer dan memakannya, aroma cokelat menguar di udara. Ia menoleh saat terdengar suara isakan lirih. Penasaran, ia mencari arah suara dan menemukan Alika berada di bawah tangga. Meringkuk dengan wajah menunduk.
"Alika, kamu ngapaian di sini? Mira cari kamu."
Alika menggeleng cepat tanpa kata, wajahnya menunjukkan ketakutan dan rasa panik. Bangkit untuk lari tapi kepalanya terantuk tangga dan kembali duduk sambil menangis.
"Aduh, Sayang. Pasti sakit. Udah-udah, nggak apa-apa kamu di sini. Aku nggak akan kasih tahu Mira."
Dengan lembut Mika mengusap-usap kepala Alika yang terantuk. Menunggu gadis kecil itu tenang sebelum duduk di sampingnya dan memberikan wafer cokelat.
"Mau nggak?"
Alika menatap penuh harap tapi tidak ada kata-kata keluar.
"Nggak apa-apa sesekali makan wafer. Enak lagi. Mau?"
Alika mengambil malu-malu dan menggigitnya. Di bawah suara Mira terdengar nyaring memanggil nama Alika. Sedangkan gadis kecil yang dicari sedang mengunyah wafer.
"Kamu nggak mau ketemu Mira?" tanya Mika.
Alika terbelalak lalu mengangguk.
"Oke, aku akan menyembunyikanmu di sini. Masih banyak wafer yang harus kita habiskan."
Terdengar langkah kaki menaiki tangga. Mika bergegas bangkit, menutupi tubuh Alika dengan ember air dan berdiri merapikan jemuran. Mira muncul dengan wajah panik dan keringat menetes ke wajah dan tubuh.
"Heh, lo lihat Alika nggak?"
Mika menatap sekilas lalu menggeleng.
"Jawab! Lo lihat Alika kagak?"
"Emangnya lo pernah bawa Alika kemari? Nggak mungkin dia baik ke sini kalau nggak pernah datang."
Mira melotot kesal. "Dasar! Bilang dari tadi kek. Alikaaa, Sayang! Kamu di mana Alikaa? Udahkan dong main petak umpetnya!"
Setelah Mira turun, Mika menghampiri Alika dan menyodorkan air putih di botol. "Minum dulu biar nggak seret."
Alika meneguk air dalam jumlah besar dan kembali makan wafer dengan lahap. Mika hanya menyentuh satu batang saja, sisanya dihabiskan oleh Alika. Ia tidak masalah, karena menyenangkan melihat gadis kecil makan dengan lahap. Kenapa Alika bisa terlihat sangat kelaparan? Ada banyak makanan di atas meja dan juga cemilan, kenapa Alika seolah belum pernah makan wafer.
"Terima kasih."
Ucapan terima kasih yang lirih dari Alika membuat Mika terkejut. "Waah, ternyata kamu bisa ngomong. Keren, Alika."
Alika mengusap kaos dan rok yang basah oleh air dan keringat. Mika mengambil sepasang baju tidur yang baru saja kering dan diterika milik Alika.
"Sini, Kakak bantu ganti bajunya. Yang ini basah."
Alika menggeleng, tapi Mika memaksa.
"Baju basah nggak boleh dipakai, Sayang. Nanti masuk angin."
Mika dengan lembut membuka kaos dan rok Alika. Terbelalak dengan apa yang dilihatnya. Ada bilur merah kebiruan di bahu, punggung, dan paling banyak area pinggang. Ia meraba dan memeriksi seluruh tubuh Alika dengan jari gemetar.
"Sayang, apa ini? Mira memukulmu?"
Alika terdiam, tetap menunduk dengan wajah takut.
"Bukan memukul, ini mencubit." Mika meraih dagu Alika dan menatap matanya lekat-lekat. "Jawab Kakak, apa benar Mira mencubitmu?"
Awalnya Alika tidak menjawab, matanya berkaca-kaca dan terlihat sangat sedih. Akhirnya, sebuah anggukan lemah membuat Mika memeluknya erat.
"Ya Tuhan, perempuan kejam itu ternyata menyiksamu. Alikaa."
Selesai mengganti pakaian Alika, Mira bangkit. Menggendong gadis kecil itu di pinggang dan membawanya turun. Alika memberontak tapi Mika berusaha menenangkannya.
"Tenang, Sayang. Ada kakak di sini. Perempuan jahat itu harus dihukum!"
Mika mengusap rambut Alika dengan lembut, berusaha untuk tidak menyentuh tubuhnya yang penuh luka karena takut menyakiti. Tiba di ruang tengah, semua pelayan berkumpul di sana, termasuk Widi yang sedang marah.
"Kalian ini nggak becus kerja. Cari anak kecil aja nggak ketemu!"
Saat melihat Mika muncul dengan Alika di gendongan, Mira menjerit.
"Alikaa, syukurlah kamu ketemu, Nak. Bikin aku kuatir saja."
Widi mendekati Mika. "Kenapa kamu diam saja padahal Alika ada di atas."
Mira mengulurkan tangan ingin meraih Alika tapi Mika menepisnya. "Jangan pegang!"
"Hei, apa-apan lo. Sini, kasih Alika ke aku."
"Gue bilang jangan pegang-pegang!"
Alika mengalungkan tangannya yang mungil di leher Mika. Menyembunyikan wajah di lekukan bahu. Widi mendekat, bertanya heran.
"Mika, kamu kenapa? Berikan Alika pada Mira."
"Nggak, Bu Widi nggak tahu apa yang dilakukan perempuan busuk ini pada Alika. Dia menyiksa Alika, Bu!"
"Apa katamu?"
"Bohong! Fitnah. Aku nggak gitu. Mika, lo jangan macam-macam. Bilang aja lo iri dan pingin gantiin posisi gue di rumah ini. Bener'kan?" teriak Mira histeris. Mengulurkan tangan untuk merebut Alika. "Sini, balikin Alika!"
"Perempuan iblis! Jangan coba-coba sentuh Alika. Bisa-bisanya lo cubit Alika sampai seluruh badannya biru-biru. Lo cubit di bagian badan yang nggak kelihatan dari luar. Hati lo terbuat dari apa? Tega sama anak kecil!"
Widi terdiam sesaat, menatap Mira yang menggeleng panik lalu pada Alika yang memeluk Mika dengan erat. Maju ke arah Mika dan menarik kaos Alika ke atas.
"Ya Tuhan ...."
Widi seketika shock, melihat apa yang terjadi.
"Lebih banyak lagi di pinggang, Bu. Perempuan jahanam ini harus dipenjara!" teriak Mika dengan emosi.
"Nggak, itu bukan aku, itu ka-rena Alika nakal. Su-ka lari-lari dan jatuh," ucap Mira gugup.
"Siapa yang ingin kamu bohongi, Mira." Haven muncul, bertanya penuh dengan kemarahan dan ancaman. "Kalau terbukti kamu menyiksa anakku, jangan harap kamu bisa lolos begitu saja dari rumah ini!"
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro