Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 4

Fabiola memandang Haven dengan penuh pemujaan. Dari semenjak kakaknya meninggal, ia sudah jatuh cinta pada Haven. Laki-laki yang pernah menghiburnya di kala sedih, menjadi pelindungnya sekaligus seorang kakak. Fabiola pernah menjalin hubungan dengan banyak laki-laki tapi tidak satu pun yang mendekati Haven. Baik sikap, sifat, maupun ketampanan. Terlebih kekayaan yang seolah tidak terbatas. Laki-laki yang menjalin hubungan dengannya memang rata-rata tampan, tapi hanya sekedarnya saja. Tidak ada yang mampu membuatnya berdebar bahagia.

"Kaak, kenapa sinis begitu? Padahal niatku baik loh." Fabiola melangkah gemulai, mendekati Haven sambil menyandarkan pinggul ke meja. Duduk menghadap langsung pada Haven dengan harapan dadanya yang menyembul keluar bisa terlihat jelas. "Bagaimana kalau malam ini kita makan bersama? Kamu pasti butuh teman mengobrol."

Haven menaikkan sebelah lais lalu mengalihkan pandangan dari Fabiola ke jendela. "Bukannya kamu bilang kangen, Alika? Kenapa malah ingin mengajakku keluar makan?"

"Ah, Kak Haven nggak peka. Tentu saja kita makan malam bersama dulu, setelah itu aku ikut ke rumahmu untuk bertemu keponakanku yang lucu itu."

"Nggak bisa!" tolak Haven tegas. "Ada masalah di kantor dan aku harus kerja lembur."

"Masalah apa? Barangkali aku bisa bantu." Fabiola bangkit, mendekati Haven untuk berdiri di sampingnya. Dengan sengaja menyenggol lengan Haven. Ingin melihat bagaimana reaksi laki-laki itu. Ia yakin kalau mantan kakak iparnya pasti menahan gairah. Bagaimana tidak, selama empat tahun hidup tanpa belaian istri. Ia yakin kalau diberi kesempatan, akan membuat Haven takluk. "Bayangkan, Kak. Kita makan malam di tempat romantis, minum anggur dengan musik lembut. Saat itu Kakak bisa cerita apa saja ke aku. Mungkin aku nggak akan bisa ngasih solusi tapi seenggaknya, aku bisa jadi pendengar yang baik. Gimana?"

Dengan berani Fabiola melingkarkan lengannya di lengan Haven. Tersenyum menggoda sambil mengedipkan sebelah mata. Haven menghela napas panjang, memaki Adiar karena belum muncul juga untuk mengusir Fabiola. Ia melepaskan cengkeraman Fabiola di lengannya dan bergerak untuk mengambil rokok dan menyalannya. Sengaja membuka sedikit kaca jendela dengan begitu Fabiola tidak akan mengikutinya. Rata-rata perempuan tidak suka dengan asap rokok.

"Sudah aku bilang nggak bisa. Rapat berakhir sampai jam berapa saja aku nggak tahu."

Fabiola mencebik, berpura-pura marah. "Gimana kalau besok? Masa nggak bisa juga?"

Haven menggeleng. "Nggak tahu, aku sibuk sekali."

"Kaaak! Masa nolak terus, sih?"

Pintu diketuk dari luar, Adiar menerjang masuk dan bicara dengan gugup. "Pak, baru saja staf Bank Indonesia menelepon. Beliau minta Anda menelepon balik sekarang."

Haven mengernyit. "Terjadi sesuatu?"

"Iya, Pak, Darurat dan penting."

"Oke, aku akan meneleponnya sekarang. Adiar, kamu antar Fabiola pergi."

Adiar mengangguk, hendak menghampiri Fabiola tapi perempuan itu membentak keras. "Nggak usah pakai diantar-antar, aku tahu jalan keluar. Selalu saja kamu mengangguku kalau lagi bicara penting ke Kak Haven. Sekretaris nggak guna!"

Adiar tercengang, menjadi sasaran kemarahan untuk hal yang tidak pernah dilakukannya. Ia melirik Haven untuk meminta bantuan dan bossnya itu bersikap seakan tidak mengerti apa pun. Dengan pasrah Adiar mengangguk.

"Maaf."

"Nggak usah minta maaf atau sok merasa bersalah. Emang kamu nggak pernah suka sama aku!"

Fabiola melotot ke arah Adiar, bersikap garang seakan ingin menelan hidup-hidup. Adiar mencuri pandang pada Haven yang memberi tanda padanya untuk tetap diam.

"Kak, aku pergi dulu. Aku tunggu undangan makan malam, kalau nggak mamaku pasti meneleponmu."

Adair bergegas membuka pintu, Fabiola melewatinya sambil memaki pelan.

"Mennyebalkan!"

Setelah sosok Fabiola menghilang dan pintu ditutup rapat, Adiar menghela napas panjang sambil mengusap keningnya yang berkeringat dengan sapu tangan.

"Pak, kenapa perempuan itu mengerikan?"

Haven mematikan rokok dan terhenyak di kursi sambil tertawa. "Kamu baru tahu kalau perempuan itu mengerikan? Aku bertemu dengan beberapa yang seperti Fabiola. Mereka melihatku dengan pandangan lapar, seolah aku ini duda yang sangean. Kalau aku mau, mereka pasti dengan suka hati menemaniku ke ranjang. Luar biasa perempuan jaman sekarang."

Adiar hanya terdiam mendengar cerita bossnya yang mengatakan banyak menemukan perempuan. Bagaimana bisa itu terjadi sedangkan dirinya yang setua sekarang bahkan belum pernah berpacaran. Hidup memang tidak adil.

**

Sepulang kerja, Mika memutuskan untuk nongkrong bersama dua temannya. Mereka tinggal berdekatan, di perkampungan yang sama. Mika sudah berteman dengan mereka dari semenjak SMU. Sudah saling mengenal kepribadian masing-masing. Sahabat perempuannya bernama Cila, yang merupakan mahasiswi fashion design. Bertubuh tinggi, cantik, dengan kulit kecoklatan. Orang tua Cila cukup berada dibandingkan dua temannya. Satu lagi laki-laki yang lebih suka bekerja dari pada kuliah. Bernama Baskara, yang merupakan anak juragan elektronik. Orang tua Baskara mempunya banyak toko yang menjual ponsel, laptop, dan barang lainnya. Saat ini Baskara memegang satu toko yang jaraknya tidak jauh dari rumah. Tempat nongkrong mereka adalah warung bubur dan mie instan di pinggir jalan komplek yang cukup sepi tapi pembeli selalu datang silih berganti.

"Gimana rasanya kerja jadi pelayan? Lo pakai baju seragam?" tanya Brahmana. Mengeluarkan sebungkus kuaci biji labu dari dalam tas dan meletakkan di atas meja. "Makan, nih. Rasa green tea kesukaan kalian."

Cila membuka bungkus kuaci dan mengambil segenggam. "Mika bilang ada yang aneh di rumah majikan barunya."

"Apa yang aneh?" tanya Brahma.

Mika meneguk es teh manis lalu mendesah. "Gimana, ya. Kerjaan gue tuh cuma nyuci sama beberes lantai dua yang juga kamar pembantu. Tapi, seharian gue kerja kagak lihat nyonya rumah. Di tempat cucian juga nggak ada pakaiannya."

Cila mengernyit. "Cuma itu? Yang lo bilang aneh ternyata begitu doang?"

Mika mengangguk. "Iya, aneh aja menurutku. Biasanya di rumah besar pasti ada nyonya yang mengawasi. Biasanya pula sangat cerewet. Kenapa ini nggak ada?"

"Bisa jadi dia pisah rumah sama istrinya, atau bisa juga istinya yang bekerja dari pagi ketemu malam. Semua pakaian di laundry, ada banyak kemungkinan, sih."

Mika menatap Baskara lalu mengangguk. "Masuk akal juga omongan lo. Bisa jadi gitu Padahal Pah Haven cakep banget, mana wangi lagi."

"Heh, dilarang naksir laki orang!" Cila mengetuk permukaab meja. "Nggak peduli mau secakep apa pun dia, tetapa aja laki orang!"

"Iya, emang gue bilang naksir apa?"

"Mata lo kelihatan!" sela Baskara. "nggak usah mungkin. Kalau Pak Haven masih sendiri, lo pasti naksir."

Mika menggebrak meja dan berujar tegas. "Itu sudah pasti, mana dia wangi banget lagi. Aduuh, sakit!"

Cila mencubit lengan Mika dengan gemas. "Dibilangin jangan naksir malah muji wangi."

"Muji doang, sumpah. Udah gitu dia juga baik. Ngecek wajah gue luka nggak. Pegang-pegang pipi loh. Bayangim kalian jadi gue, apa nggak deg-degan."

"Dia megang-megang lo di mana?" tanya Baskara.

"Di wajah."

"Maksud gue tempatnya."

"Di teras."

"Teras rumahnya?"

"Iyalah, masa teras kecamatan."

"Berani banget dia, emang nggak takut istrinya lihat?" komentar Cila membuat Mika berpikir keras.

"Eh, ada kepala rumah tangga namanya Bu Widi yang lihat dan kayaknya biasa aja tuh."

Cila bertukar pandang dengan Baskara. Merasa kini sepakat kalau ada yang aneh dengan majikan Mika. Bagaimana bisa laki-laki beristri sembarangan menyentuh perempuan lain di teras rumah. Mereka berada di pemahaman yang sama kalau Haven adalah orang yang tidak bermoral.

"Lo butuh duit napa nggak minjam gue atau Baskara. Malah ke rumah bokap lo. Udah tahu nggak bakal dikasih sama istri bokap lo itu." Cila berkata pelan, mengubah topik pembicaraan. "Udah gue bilang berkali-kali, nggak ada hal bagus kalau menyangkut mereka."

Mika menunduk, memainkan gelas di tangannya lalu menenpelkan ke pipinya. Kesejukan dari gelas yang dingin, mengurangi rasa sakit di pipi.

"Gue punya utang banyak sama kalian," ucapnya sendu.

Baskara berdecak. "Utang lo nggak ada apa-apanya dibandingin kerabat gue sendiri. Lo minjem tapi bayar biarpun nyicil. Lo nggak bayar juga gue iklas. Dari pada lihat lo bonyok gini karena dipukuli. Heran, di dunia ini ada ya, bokap tega sama anak sendiri."

"Adaa, itu bokapnya Mika. Semua gara-gara bini kedua. Hebat makanya para pelakor itu. Berupaya sekuat tenaga merebut kebahagiaan orang lain." Cila bersedekap, wajahnya yang cantik mengeras karena marah. "Gue hari ini ketemu Nola. Seperti biasanya, petantang petenteng soal dirinya paling cantik di kampus. Padahal, kalau dibandingin sama lo, jauhlah!"

"Gue malas ketemu dia, bawaannya pingin ngajak berantem."

"Emang, Nola itu tipe cewek sok cantik."

"Songong pula. Mulutnya ampuuun. Kalau lihat gue nggak bisa tuh nggak menghina. Padahal rumah yang sekarang dia tempat, itu dulu rumah guee!"

"Denger-denger dia pacaran sama siapa itu Tami? Anak fakultas teknik yang katanya terkenal paling tampan di kampus. Makin sombong dia."

"Gue kenal Tami, dan menurut gue nggak secakep Pak Haven."

"Mulaiii, ingaat. Dia laki orang. Masih aja lo mau ngembat. Dibilangin susah amat!"

Baskara mendengarkan percakapan dua temannya dalam diam. Sibuk makan mi goreng yang baru saja diantar ke meja. Ia memang tidak mengenal Tami, tapi tahu siapa Nola dan sepakat kalau gadis itu memang sombong. Banyak laki-laki yang menatap penuh minat pada Mika dan Cila yang sedang mengobrol. Semua tertunduk saat Baskara melotot untuk memberi teguran secara halus. Selama ia ada, tidak akan membarkan para laki-laki menggoda dua sahabatnya.
.
.
Bab baru update di Karyakarsa malam ini.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro