Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 21

Selama satu Minggu penuh Mika menemani Alika sekolah. Tidak tega meninggalkannya karena Alika sendiri juga terlihat takut. Tidak masalah kalau dirinya duduk sepanjang hari di teras sekolah, yang penting saat Alika membutuhkannya ia ada. Haven menyarankan agar dirinya membawa laptop untuk mengerjakan tugas dan juga buku-buku.

"Sudah siap semua, Pak. Ini laptop dan buku!"

Mika menunjuk tumpukan di atas meja dan melihat Haven mengernyit.

"Busyet, kamu pakai laptop dari jaman Majapahit?"

"Nggak, kok. Beli lima tahun lalu."

"Ckckck, jadul sekali laptopmu. Aku rasa kalau Gajah Mada masih hidup, laptopmua akan mendapatkan cemooh juga darinya. Saking sepuhnya tuh usia laptop."

Mika hanya menyeringai mendengar ledekan Haven untuk laptopnya. Diperlukan banyak uang untuk membeli laptop baru sedangkan sekarang ia sedang mengobati sang mama. Uang yang ada digunakan untuk berobat dari pada membeli laptop.

"Nggak apa-apa jadul, Pak.Yang terpenting bisa bikin saya jadi sarjana. Saya sih berharap saat KKN nanti Alik sudah mandiri. Nggak tega kalau harus ninggalin dia sendiri."

"Aku juga berharap hal yang sama, Mika. Semoga Alika betah sekolah dan membaur dengan teman-temannya."

Mika pun mengharapkan hal yang sama seperti Haven, melihat Alika bisa bisa bebas bermain. Demi hal itu juga tidak masalah kalau harus mengerjakan tugas kuliah di teras yang cukup panas meskipun ada atap yang melindungi dari sinar matahari.

Hari pertama sekolah, Alika menangis. Hari selanjutnya hanya sedih sedih dan tersenyum saat melihat Mika melambai. Mika tidak dapat menahan haru saat melihat Alika mulai berteman, perkembangan itu diabadikan dengan foto dan mengirimkannya pada Haven.

"Teman pertama, Alika. Namanya Salsa. Hari ini mereka makan dan bobo siang bareng."

"Good job, Mika."

Balasan Haven membuat Mika tergelak. Harusnya yang mendapat pujian adalah Alika dan bukan dirinya. Kalau dipikir lagi memang Haven sedikit aneh. Meski begitu Mika tidak keberatan bertukar pesan ringan dengan laki-laki itu karena membuatnya senang.

Minggu kedua, Mika mulai berani meninggalkan Alika untuk ke kampus. Tidak lama, hanya mengikuti satu mata kuliah saja, yang terpenting tidak bolos.

"Gimana kabar anak lo? Aman sekolahnya?" tanya Cila saat keduanya bertemu di lorong. Cila dan Mika mengambil jurusan yang berbeda.

"Aman, udah punya teman namanya Salsa."

"Aduh, anak kicik mulai pintar bergaul."

"Hooh, gue juga ikut bahagia."

"Eh, setelah ini lo ama Alika mau kemana?"

"Nggak kemana-mana, mau langsung pulang. Kenapa?"

"Makan bareng, yuk. Baskara ngajakin."

"Ayo, Alika pasti senang."

Mika menyipit ke arah gerombolan mahasiswa yang berdiri di depan mading. Sebuah poster besar ditemptel di sana dan menarik perhatian banyak orang. Mika menoleh pada Cila.

"Emang mau ada lomba?"

Cila mengangguk. "Fashion design, fashion show, dan beragam soal modelin. Lo tahu'kan Nico jadi salah satu jurinya."

"Oh ya, lupa gue. Lo ikutan?"

"Yuup, temannya batik nusantara. Gue dah jahit, ntar lo lihat, ya?"

"Siaap, kabari aja kalau udah selesai."

Sedari dulu Cila memang selalu suka hal berbau fashion. Sering mendesign sendiri gaun atau pakaian baik untuk digunakan secara pribadi maupun untuk lomba. Dari tempatnya berdiri Mika melihat Nola bersama teman-temannya. Melangkah anggun menyusuri lorong seakan di kampus ini hanya dia saja yang paling cantik. Mika mengakui kalau kepopuleran Nola makin meroket setelah kuliah.

"Nola udah ketemu Nico belum, ya?" tanya Cila perlahan.

"Entahlah, gue juga nggak mau tahu."

"Iye, jangan tanya-tanya juga. Ntar dikira lo cemburu. Padahal lo udah punya Pak Haven, ngapaian juga ngarepin Nico lagi."

Mika mencubit pinggang sahabatnya dan membuat Cila berteriak kesakitan. Tidak habis pikir dengan Cila yang menganggapnya milik Haven. Memang harus diakui kalau dalam hati terdala, nama Haven bercokol dengan kokoh dan tidak tergoyahkan. Namun tidak pernah terpikir hingga jauh untuk menjalin hubungan. Teringat akan status sosial yang membentang di antara mereka. Jurang menganga yang sulit untuk dilewati meskipun Mika mengumpulkan segenap keberanian untuk itu.

Peristiwa di pesta sering kali muncul dalam benaknya. Membuatnya secara tidak sadar menjadi lebih tahu diri. Kalau laki-laki sehebat Haven saja dianggap tidak cukup baik untuk menjadi menantu, bagaimana dengan dirinya yang bermimpi untuk berada di lingkungan yang sama dengan mereka? Rasanya bahkan hanya menjadi sekedar mimpi pun mustahil. Belum lagi ia harus bersaing dengan Fabiola yang cantik dan sexy. Mika lebih baik menyimpan rasa cintanya rapat-rapat dari pada terluka.

"Kenapa melamun? Mikirin Pak Haven?"

"Kok lo tahu?" jawab Mika heran. "Hebat banget lo kayak dukun bisa tahu isi hati gue."

Cila mendengkus lalu memutar bola mata. "Bukan gue yang hebat tapi muka lo emang kelihatan banget kalau lagi mikir Pak Haven. Suka senyum-senyum nggak jelas!"

Mika terkekeh, merangkul Cila menuju tempat parkir. "Lo bisa aja becandanya."

"Gue nggak bencanda."

"Iya, iya, gue tahu. Lebih baik kita pergi sekarang sebelum Nola sadar ada gue. Nggak tahu kenapa Nola selalu ingin cari perkara tiap kali lihat gue. Padahal gue nggak ngapa-ngapain juga. Kayaknya jengkel dan marah terus. Harusnya gue yang ngerasa gitu, ini malah kebalik!"

"Dunia emang nggak adil, Nyisanak! Kata siapa pelakore harus dapat karma, buktinya Nola sama nyokapnya hidup enak. Sedangkan lo sama nyokap lo gimana?"

Mika mengangguk muram mendengar pernyataan Cila. Pada kenyataannya memang begitu, tidak ada karma apa pun untuk orang yang sudah merusak kebahagiaan orang lain. Mika sering berharap kalau roda kehidupannya berputar dengan cepat, karman datang pada orang-orang yang menjahati mamanya. Sayangnya, di dunia nyata tidak begitu cara kerja kehidupan. Nola dan Iyana hidup bahagia, bergelimang harta dan kasih sayang sang papa. Sedangkan dirinya dan sang mama berjuang pontang panting demi hidup. Untung sekarang ada Haven yang banyak membantunya. Kalau tidak, kehidupannya dan sang mama tidak akan sebaik sekarang.

"Lagi-lagi melamun, Mika?" tegur Cila.

Mika menghela napas panjang. "Gue sadar kalau nggak ada karma di dunia nyata."

"Hahaha, masih mikirin soal pelakor itu?"

"Di sinetron orang jahat dapat balasan, padahal aslinya mah hidup enak selalu."

Cila merangkul sahabatnya menuju mobil. Saling ledek tentang karma, pelakor, dan juga sinetron. Cila hari ini tidak membawa mobil, secara kebetulan Baskara berniat menjemput ke sekolah Alika secara langsung.

"Anak lo dah gede aja, Mika. Tahu-tahu sekolah."

Baskara yang baru datang disambut Alika dengan heboh. Sebungkus cokelat berpindah tempat dari dalam tas Baskara ke tas mungil Alika tanpa diketahui Mika. Seperti para pengasuh lainnya, Mika memberi batasan pada Alika untuk mengkonsumsi makanan manis agar tidak berlebihan.

"Alika emang udah gede, kok. Cantik lagi."

Baskara meriah tubuh Alika dan mengayunkannya di udara, membuat gadis kecil itu terkekeh senang. Alika selalu suka dan gembira bila berada di dekat Mika dan teman-temannya.

"Kita mai makan apa?" tanya Cila.

"Terserah kalian, gue yang traktir," jawab Baskara.

"Asyik!" Mika dan Cila berteriak nyaring. "Kita makan daging!"

"Ya udah, ayo makan daging. Mumpung gue lagi ada duit!" ucap Baskara dengan penuh percaya diri. Mengusap rambut Alika untuk bertanya. "Kamu mau makna daging, Alika?"

Alika mengangguk. "Mau."

"Ntar makan yang banyak, ya?"

"Iya, Kakak."

Mereka berjalan beriringan menuju mobil Baskara. Mika sibuk bertanya pada Alika tentang kegiatan hari ini. Baskaran baru saja menyalakan mesin saat pesan masuk dari Haven.

"Mika, ada di mana?"

"Di jalan, Pak. Mau makan daging sama Alika, Cila, dan Baskara."

"Oh, ide bagus. Aku juga belum makan. Kita ketemu di restoran basbeque. Alamat nanti aku kirim."

"Pak Haven mau makan bareng kita?"

"Emang, kenapa kamu pakai tanya segala?"

Mika mengakhiri panggilan dan mengatakan pada Baskara kalau Haven sudah menunggu untuk makan bersama. Sekali lagi Cila berteriak, mengatakan kalau makan bersama Haven pasti bukan makanan murah.

"Akhirnya, gue dapat vitamin bagus Minggu ini!"

Baskara menggeleng dari balik kemudi, melirik Cila yang berteriak senang. "Padahal kamu bukan anak orang miskin. Sering makan daging pastinya, kenapa masih aja suka dan pingin ditraktir."

Cila menepuk-nepuk bahu Baskara. "Makan pakai duit sendiri sama ditraktir beda rasanya, Boss."

"Lebih enak, ye, kalau ditraktir," celetuk Mika dari jok belakang.

"Yoi, rasa-rasa nikmat daging gratiskan soalnya."

Mereka tiba di restoran yang dipesan oleh Haven. Tidak jauh dari kantor, sangat bersih, dan harganya terbilang cukup lumayan mahal. Mika masuk lebih dulu bersama Alika dan dua temannya. Mereka menunggu Haven datang sebelum mulai memesan.

"Sudah lapar, Sayang?" tanya Mika saat waktu menunggu sudah berlalu sepuluh menit dan Haven belum menampakkan batang hidungnya

Alika mengangguk. "Sedikit lapar."

"Pesan dulu gimana?" usul Cila. "Paling nggak khusus untuk Alika. Kasihan kalau nahan lapar."

Mika mengangguk dan memanggil pramusaji. Ia sedang memesan untuk Alika saat Haven dan Adiar muncul. Laki-laki itu berjongkok untuk meraih Alika dalam pelukan. Cila dan Baskara menyapa Haven dengan ramah dan sopan.

"Maaf bikin kalian nunggu. Udah pesan?" tanya Haven.

"Belum, Pak. Mika aja yang pesan untuk Alika." Baskara menerangkan.

"Kalau gitu pesan sekarang, Mika."

"Iya, Pak."

Haven menunjuk Adiar yang duduk di samping Cila. "Baskara, Cila, kenalkan ini Adiar, asisten sekaligus sekretaris."

Baskara melambai pada Adiar. "Haloo!"

Adiar tertawa sopan. "Halo, juga!"

Cila hanya mengangguk tanpa menguckan sepatah katapun. Mika mulai memesan dan saat makanan datang, mereka jarang mengobrol lebih banyak mengunyah. Haven yang duduk di samping Mika, tidak hentinya memannggang dan meletkan daging di atas piring Mika. Pemandangan yang terlihat seperti suami yang sedang membantu istri, membuat Mika kesulitan untuk menekan harapannya pada Haven.

"Mika, pesona papa muda emang luar biasa, ya? Lihat Pak Haven manggang daging buat lo, gue jadi terpesona."

Satu kalimat yang dikirim Cila ke ponsel Mika, nyaris membuatnya tersedak. Mika melirik Haven, dan menyadari apa yang dikatakan Cila memang benar kalau pesona Haven memang luar biasa. 
.
.
Cerita ini sedang PO

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro