Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 2

Suara batuk terdengar dari dalam kamar yang terbuka, diselingi dengan napas yang tersengal. Seorang perempuan berumur lima puluh lima tahun, setengah berbaring di ranjang tampak kepayahan menjaga tubuhnya. Perempuan itu menatap kuatir pada kaca jendela yang buram karena hujan. Sedari tadi Mika belum pulang, entah kemana perginya. Biasanya selesai berjaga toko akan cepat kembali. Ini tanpa kabar apa pun, padahal waktu pulang kerja sudah lewat.

"Jadi perempuan nggak guna. Menikah bertahun-tahun baru punya anak saat umur nggak muda lagi. Sundari, kamu memang nggak layak disebut istri!"

Sundari menghela napas panjang, teringat makian yang diberikan sang suami untuknya. Meski sudah berlalu bertahun-tahun tapi rasa sakitnya masih dirasakan. Sampai akhirnya ia kalah dengan Iyana yang jauh lebih muda dan lebih cantik. Dalam sekejap kedudukannya tergantikan dan kini ia dan Mika dipaksa keluar dari rumah besar itu.

Merawat dan membesarkan Mika seorang diri bukan hal yang mudah. Meskipun mendapat tunjangan setiap bulan hanya cukup untuk biaya sekolah Mika. Sundari bekerja keras dengan menjadi pelayan, tukang cuci di laundry dan banyak pekerjaan lain kasar lainnya demi untuk Mika. Sampai akhirnya tubuhnya kepayahan dan tidak sanggup lagi.

"Mamaa, aku pulang!"

Sundari mengangkat kepala saat melihat anaknya masuk. "Mikaa, kamu dari mana saja? Hujan deras begini?"

"Ntar dulu, Ma. Mika ganti baju dulu."

Mika bergegas ke kamarnya sendiri, mengambil pakaian kering lalu ke mengelap luka di wajah dan kakinya. Sang mama tidak boleh melihatnya dalam keadaan luka-luka. Tidak boleh kelihatan menangis juga. Harus tegas, tersenyum, dan terlihat gembira agar mamanya bisa tenang. Memakai daster terusan sederhana dengan kain di tangan, Mika mengernyit di depan kaca. Bekas tamparan membekas di pipi, bukan hanya terlihat memerah tapi juga sakit sampai ke rahang. Kalau bukan karena ingin mendapatkan uang, tidak akan sudi datang ke rumah itu lagi. Selesai membasuh wajah dan kaki, ia melihat lipatan uang yang diberikan laki-laki di jalan dan menghitungnya.

"Ya ampun, banyaknya. Kenapa dia ngasih uang banyak sekali?" ucap Mika keheranan. Memasukkan uang ke dalam dompet dan menghampiri kamar sang mama. "Maa, aku tadi telat karena lembur."

Sundari menatap anak satu-satunya dengan senyum terkembang. Terbatuk beberapa kali, menerima air dari Mika dan meneguknya.

"Kenapa hujan-hujan lembur."

"Sekalian nunggu hujan reda, Ma. Bentar lagi kita ke klinik, Ma."

"Nggak usah, mama nggak mau ngerepotin kamu."

"Kalau Mama terus-terusan sakit malah bikin aku kuatir."

Sundari menghela napas panjang. "Mama selalu ngerepotin kamu, Mika."

"Jangan bilang gitu, Ma. Mika sama sekali nggak repot."

"Memangnya kamu ada uang buat ke klinik?"

"Ada, tadi Mika kan lembur." Ia menunjuk dompet di tangan. "Selain itu ada beberapa pekerjaan tambahan juga."

"Kuliahmu gimana?"

"Lagi cuti, Mama nggak usah pikirin itu."

Sundari mencengkeram lengan anaknya dan mengamati wajah Mika yang lebam. "Kenapa wajahmu? Siapa yang mukul kamu?"

Mika tersenyum, menutupi wajahnya dengan cepat. "Nggak ada yang mukul, Ma. Tadi hujan kepleset."

"Beneran?"

"Iya, Ma. Lihat lututku juga memar."

Dengan terpaksa Mika menunjukkan lututnya sobek. Sebenarnya ia tidak ingin sang mama tahu penderitaannya tapi terpaksa harus diungkapkan agar tidak ada salah paham. Sedari dulu Mika tahu kalau mamanya akan melarangnya pergi ke rumah besar itu. Dengan alasan tidak ingin direndahkan dan ditolak. Mika mengerti sepenuhnya, tai terpaksa ke sana di luar kemauannya.

"Kamu ini, hatai-hati kalau jalan."

Mika tersenyum, meraih tangan tangan sang mama dan meletakkan di pipinya. "Santai, Ma. Aku baik-baik aja. Ayo, aku panggilkan gocar. Kita ke klinik."

Setelah melewati pemerikasaan, Sundari mendapatkan obat dan infus. Dokter menyarankan untuknya istriharat selama seminggu ke depan.

"Gimana Mika, mama udah terima gaji untuk bulan depan tapi nggak kerja-kerja. Takut majikan mama marah nanti."

"Ma, kenapa mikirin itu?"

"Harus dipikirin, kasihan orang baik kalau kita curangi. Mama ingin tetap bekerja di sana karena gajinya lumayan."

Mika berpikir sesaat tentang cara membantu sang mama. "Gini aja, Ma. Gimana kalau Mika yang gantiin kerjaan Mama di sana?"

"Heh, memangnya kamu bisa kerja jadi pelayan?"

"Apanya yang nggak bisa? Asalkan dapat uang dan bisa bantuin Mama, aku bisa semuanya Ma. Angkat galon air, nyapu dari ujung jalan sampai ke rumah, ngepelin jalanan. Pokoknya semuanya aku bisa."

Cara Mika yang merayu dengan tawa membuat Sundari luluh. Untuk sementara Mika berhenti kerja di tempatnya semula, outlet martabak dan es teh di ruko dan menggantikan sang mama. Ia mengirim pesan pada pemilik usaha martabak dan mendapatkan makian keras.

"Gadis reseh! Biaa-bisanya lo berhenti tiba-tiba. Kalau gini gimana gue cari pekerja?"

Pemilik outlet seorang perempuan paruh baya bersuara keras, untungnya Mika mendapat gaji mingguan jadi tidak perlu repot kalau ingin keluar. Bagaimana nanti, ia bisa memikirkan pelan-pelan, yang terpenting sekarang menyelamatkan pekerjaan sang mama. Sisa uang dari pengendara mobil diserahkan pada sang mama.

"Beli makan atau minuman apa pun selama aku kerja, Ma. Takutnya di rumah besar itu terlalu sibuk sampai pulang larut."

Sundari mengangguk. "Iya, mama ngerti. Hati-hati kerja di sana, meskipun majikannya baik tapi persaingan antar pelayan sangat sengit. Terutama yang muda-muda."

"Ya, Mama. Tenang aja, aku nggak akan jadi bagian dari pelayan muda itu."

Mika merenung setelah bicara dengan sang mama, memikirkan nasibnya yang seolah jungkir balik tak karuan. Ia berumur sepuluh tahun saat ditendang keluar dari rumahnya sendiri. Dari seorang anak kecil yang segala kebutuhan tercukupi, kini menjadi Mika yang harus pontang panting cari pekerjaan untuk biaya hidup dan kuliah. Mika hanya meyakini satu hal, kalau apa pun yang dilakukannya akan membuahkan hasil yang baik selama tidak mengeluh.

**

Haven memperhatikan anaknya yang sedang sarapan. Suasana hening, sama sekali tidak ada celoteh dan tawa layaknya rumah yang dihuni anak kecil. Haven tidak tahuapa yang membuat anaknya menjadi begitu pendiam. Seolah-olah takut melakukan kesalahan atau berisik. Padahal ia sangat ingin mendengar anaknya menjerit atau berteriak. Bila perlu mengamuk, dengan begitu ia tahu kalau anaknya baik-baik saja. Sayangnya, Alika justru tidak ingin menunjukkan sikap begitu.

"Alika, Sayang. Mau nambah susunya?"

Alika mendongak, matanya yang bulat terbelalak lalu menggeleng.

"Mau nambah meses untuk rotinya?"

Lagi-lagi Alika menggeleng. Haven menghela napas panjang, mengambil tisu untuk membersihkan mulut dan bibir Alika.

"Anak papi makanya belepotan. Nggak apa-apa, biar papi yang bersihin."

Haven meraih tubuh kecil sang anak dan memangkunya. Mengusap pipi dengan lembut dan mengecupnya. Ia sangat suka memeluk dan menggendong anaknya. Sayangnya, Alika justru tidak tahan dipangku berlama-lama.

"Mau kemana?" tanya Haven saat anaknya menggeliat ingin turun. "Papi pangku sebentar sebelum ke kantor."

"Mau pipis," jawab Alika dengan suara kecil.

"Oh, mau pipis. Ya sudah, kita panggilin Sus Mira dulu. Miraaa!"

Seorang gadis dengan seragam merah muda dengan rambut kecoklatan tergerai di pundak, bergegas menghampiri.

"Iya, Pak."

"Alika mau pipis."

Mira mengulum senyum, mengulurkan tangan pada Alika. "Ayo, Sayang. Kita pipis dulu."

Alika ragu-ragu sesaat memandang suster penjaganya.

"Kenapa? Nggak jadi pipis?" tanya Haven.

Mira tetap tersenyum dengan mata diarahkan langsung pada Alika. Satu kancing seragam bagian atas terbuka, tapi sepertinya ia tidak memperhatikan itu.

"Sayang? Kenapa kamu?" tanya Haven saat melihat anaknya mematung.

Alika perlahan turun dari pangkuan Haven dan menghampiri Mira.

"Anak Manis, kita ke kamar mandi sekarang."

Suara Mira terdengar sangat lembut dan menenangkan, Haven merasa lega anaknya mendapatkan suster yang baik. Ia melambaikan tangan pada Alika yang menoleh sebelum bangkit dari kursi dan bersiap ke kantor. Kepala rumah tangga, seorang perempuan cakap berumur tiga puluh lima tahun memdatanginya.

"Pak, di depan ada anaknya Bu Sundari. Katanya Bu Sundari sakit cukup parah jadi dia yang gantikan kerjaan mamanya di sini."

"Bu Sundari sakit? Pantas nggak pernah kelihatan."

"Iya, Pak. Dari seminggu lalu sudah nggak masuk. Saya meminta pelayan lain untuk menggantikan kerjaan Bu Sundari mencuci dan menyetrika tapi hasilnya kurang bagus. Saya pikir Bu Sundari bohong, setelah menerima gaji penuh di bulan ini nggak akan datang lagi. Ternyata dia sakit."

Bu Widi atur aja, terima anaknya kerja mumpung kalian butuh."

Widi mengangguk. "Baik, Pak."

Haven mengambil tas di atas meja dan menjinjingnya. Merapikan dasi sambil melintasi ruang makan menuju garasi. Tiba di teras langkahnya terhenti saat melihat seorang gadis dengan rambut dikuncir kuda, menunduk menekuri lantai. Mencoba mengingat di mana pernah melihat gadis itu sampai akhirnya teringat sesuatu.

"Kamu, yang kemarin tertabrak mobilku'kan?"

Mika mengangkat wajah, terbelalak sesaat lalu membungkuk. "Se-lamat pagi, Pak."

Haven mendekat, tanpa disangka mengulurkan tangan untuk mengangkat dagu Mika dan memeriksa wajahnya.

"Pipimu masih memar, kamu nggak ke dokter?"

Mika terdiam, jari yang kuat mencengkeram dagunya dengan lembut. Tubuh Havem berdiri sangat dekat dengannya. Dadanya mendadak berdebar dan jantungnya berdetak lebih kencang. Pandangan mereka terkunci satu sama lain dengan Mika kehilangan kata-kata. Jemarin Haven melepaskan cengkeraman di dagu lalu mengusap pipinya dengan lembut.

"Sakit?"

Tentu saja sakit, apalagi sang papa memukul berulang kali dengan tenaga penuh. Mika ingin menjawab jujur tapi yang terlontar dari mulutnya justru hal lain.

"Lebih menyakitkan kalau hati yang sakit, Pak."

"Hah?"

"Eh?"
.
.
.
Bab baru akan update di Karyakarsa malam ini.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro