Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 19

Seperti hari sebelumnya, kali ini Mika tetap mengajak Alika ke kampus. Target masih sama, akan mencari TK yang bagus dan nyaman di sekitar kampus. Pagi-pagi setelah sarapan, Mika minta diantar ke kosan lebih dulu, membawa makanan yang diberikan Widi untuk sang mama.

"Jadi nggak enak sama Bu Widi, tiap hari ngerepotin terus," ucap Sundari dengan nada haru, menerima banyak makanan.

"Bu Widi justru senang, Ma. Karena ada yang suka dengan masakannya. Gimana keadaan Mama hari ini? Ada yang sakit?"

Sundari menggeleng, meletakan makanan di atas meja kecil untuk memeluk Alika. "Mama baik-baik aja. Tinggal di sini lebih senang karena tetangga baik semua. Tadi malam Baskara datang bawa martabak. Baik sekali dia itu."

"Baskara memang baik, dari dulu makanya tetap temenan sampai sekarang. Hari Minggu nanti mau ke kebun binatang ajak Alika. Mama mau ikut?"

"Nggak ah, pasti panas banget. Mama udah nggak tahan panas-panasan."

"Ya sudah, Mama jaga diri pokoknya. Ada apa-apa harus telepon. Aku nggak bisa sering-sering datang, udah mulai kuliah sama lagi cari sekolahan buat Alika."

"Nggak usah kuatir sama mama, kamu kerja saja yang benar. Baskara bilang, lain kali mau antar mama ke rumah Pak Haven kalau datang lebih sore."

"Waah, ide bagus, tuh, Ma. Kalau nggak pas kita ke kebun binatang, Mama main aja ke sana. Ketemu dan ngobrol sama Bu Widi. Kalau capek, bisa bobo di atas."

"Gampanglah itu." Sundari mengusap-usap rambut Alika yang berada dalam pangkuannya. "Mama lebih senang di sini, meskipun lebih dekat dengan rumah papamu tapi mereka nggak tahu kita di mana. Tante Iyana nggak bisa lagi datang seenaknya."

"Apa Papa mengirim pesan atau menelepon?" tanya Mika penuh selidik.

Sundari tersenyum misterius, mengangkat Alika dan memberikan pada Mika. "Sudah siang, nanti kalian telat. Cepat pergi!"

Mika merasa kalau sang mama menyembunyikan rahasia tapi tidak menuntut untuk diberitahu. Sepertinya sang papa masih sering menghubungi mamanya, bisa jadi Iyana juga. Mika hanya berharap mereka tidak lagi membuat sang mama bersedih.

Tiba di kampus, Cila sudah menunggu. Keduanya bergegas ke kelas, kali ini Alika dititip ke teman yang sudah akrab sebelumnya. Selesai kelas, mengambil Alika yang sedang berada di perpustakaan dan berniat keliling mencari TK.

"Ada apa rame-rame?" tanya Mika pada Cila, melihat kerumunan di depan mereka. Banyak mahasiswa sedang mengerumuni sesuatu di tempat parkir.

Cila mengangkat bahu. "Nggak tahu, ada artis datang kali."

"Jangan lewat sana, takut Alika keinjak."

"Lah, mereka ngerumun di samping mobil gue. Gimana, dong?"

Mika memutuskan untuk menunggu, sampai kerumunan sedikit mereda. Setelah itu menggendong Alika menuju mobil Cila. Sesampainya di tempat parkir, Mika baru saja membuka pintu mobil saat terdengar teguran.

"Mika? Ini benar Mika Nadira?"

Mika menoleh, begitu pula Cila dan semua orang yang di sana. Teguran berasal dari laki-laki muda, tinggi, dan tampan yang menyeruak dari kerumunan untuk menghampiri Mika.

"Masih ingat aku, Mika?"

Mika menutup pintu mobil setelah memastikan mesin sudah dinyalakan dan pendingin sudah disetel. Menatap laki-laki tampan di hadapannya. Tentu saja ia ingat siapa dia. Bagaimana bisa lupa dengan cinta pertamanya yang kandas. Mika tersenyum kecil, membalas sapaan laki-laki itu.

"Hai, Niko."

"Ya ampun, kamu nggak lupa sama aku ternyata. Mika, berapa lama nggak ketemu?"

"Dari semenjak lulus ya."

"Hooh, tiga tahun kurang lebih. Kamu mau kemana sekarang? Ayo, cari tempat buat ngobrol."

Cila keluar dari mobil dan berdehem mendekati Niko. "Eh, sang foto model terkenal. Jangan bilang lo lupa sama gue."

Niko menatap Cila, memiringkan kepala berusaha mengingat-ingat sesuatu.

"Napa, nggak ingat?"

"Bukan, gue ingat sama muka tapi lupa sama nama. Siapa nama lo? Dari dulu lo akrab sama Mika terus satu lagi cowok kulit putih dan matanya sipit itu."

"Baskara namanya, kalau nama gue Cila. Lo sih, yang diingat cuma Mika doang."

Niko tersenyum malu, kulit putihnya sedikit memerah karena terbakar matahari. Cila yang sudah selesai basa-basi kembali ke mobil, memberikan waktu pada Mika dan Niko untuk bereuni.

"Mika, kapan-kapan kita harus ngobrol kalau nggak bisa sekarang."

Mika mengangguk. "Iya, pasti. Kamu akan jadi juri modeling?"

"Bener sekali, datang untuk ketemu panitia. Nggak nyangka kamu kuliah di sini. Acaranya Minggu depan, kamu harus datang Mika."

"Aku usahakan kalau memang ada waktu. Soalnya aku siang kerja, ini sambil nyolong waktu kuliah."

"Oh, oke. Aku paham, pokoknya aku tunggu ajakanmu ngopi bareng."

"Daah, aku pergi dulu, Niko."

Mika masuk ke mobil dan duduk di samping Cila, meninggalkan Niko yang tertegun sendiri. Saat asistennya menghampiri, Noci tersadar dari lamunan.

"Siapa cewek tadi, Boss?" tanya si asisten, laki-laki berwajah bulat dengan kaos biru cerah. "Cakep dan imut-imut."

Niko tersenyum. "Mantan gebetan."

"Hah, serius?"

"Saat di SMU dulu, sayangnya gue ditolak."

"Loh, kok bisa? Seorang Niko ditolaak? Nggak, ini pasti ada yang salah."

"Nggak ada yang salah, gue emang ditolak sama Mika."

Niko mendesah, mengingat masa remajanya. Ia kasmaran dengan Mika, gadis imut yang pintar. Sebelum akhirnya beragam rumor menerjang dan membuat hubungan mereka akhirnya kandas begitu saja.

"Mika, semoga kali ini kita ada kesempatan untuk jadi lebih dekat."

Menggumam pada udara kosong, Niko meraba dadanya. Tidak dapat dipungkiri, ia naksir sekali lagi pada gadis yang pernah membuatnya tergila-gila.

Di dalam mobil yang meluncur ke arah sekolah taman kanak-kanak, Cila tak henti-hentinya meleparkan tatapan penuh arti pada Mika yang menunduk. Seulas senyum muncul dari bibirnya.

"Jadi gimana rasanya ketemu mantan cowok?"

Mika mendengkus keras. "Mana ada mantan cowok? Kita dulu hanya saling naksir dan kandas gitu aja."

"Karena Nola. Sekarang masa lo mau ngalah lagi? Gue lihat Niko kayak masih suka sama lo."

"Ngarang aja!" sergah Mika keras. "Baru ketemu lima menit udah bisa nebak isi hati orang."

"Laah, insting gue tajem, cui! Kelihatan banget matanya itu berbinar saat mandang lo!"

Mika menghela napas panjang dan menggeleng. "Gue nggak mau berharap apa-apa lagi, fokus gue sekarang ke nyokap sama Alika. Lagian kuliah aja lagi keteter, malah mau mikirin cowok."

Cila memutar bola mata lalu berdecak tidak percaya. "Alasan lo aneh amat, nyokap, Alika, kuliah, dibawa-bawa. Napa nggak langsung bilang kalau lo suka sama Pak Haven. Beres!"

"Ssst, ngomong apaan lo?" Mika menoleh ke arah Alika yang duduk tenang sambil mengunyah popcon di belakang. "Alika, Sayang. Popcornnya enak?"

Alika mengangguk. "Enak."

"Jangan lupa minum, ya?"

"Iya."

Mika mencubit lengan Cila hingga meringis kesakitan. "Hati-hati kalau ngomong ada anak kecil di belakang."

"Emangnya Alika paham?"

"Sedikit-sedikit mulai ngerti. Lagian, lo lupa ada Nola juga di kampus. Hari apa itu dia ngelabrak gue, ngancam jangan sampai gue deketin Niko. Lo malah jodoh-jodohin kita lagi. Kagak mau, kapok gue urusan sama Nola!"

Cila mendesah perlahan. "Gue paham maksus lo apa, tapi nggak bisa selamanya lo ngalah sama Nola. Kalau lo emang suka sama Niko, ya, udah. Rebut aja."

"Idih, emang Niko punya siapa main rebut aja. Bisa jadi Niko udah punya cewek sesama seleb. Lo nggak lihat apa di akun-akun gosip lagi senter nama dia sama selebgram terkenal."

"Oh ya, gue baru ingat. Ya sudah, jangan berharap banyak. Anggap saja Niko udah punya pacar."

Mika pun tidak lagi berharap pada Niko. Kalau dulu ia sudah patah hati di tengah jalan, memilih untuk mundur apalagi sekarang. Meskipun tidak mau mengakui, tapi jantungnya yang berdetak lebih kencang saat di dekat Haven adalah bukti kalau dirinya suka berpaling dari Niko. Tidak ada yang harus diingat, apalagi diulang. Masa lalu biarkan saja menjadi kenangan.

"Lo sendiri gimana sama cowok online lo itu?" tanya Mika pada Cila saat mereka memasuki gerbang sekolahan TK yang baru saja ditemukan.

"Nggak ada perkembangan apa pun, sempat lihat dia online sebentar habis itu ngilang lagi. Padahal, ya, harusnya dia ceraian gue dulu baru ngilang. Kalau gini gue mau kawin lagi jadi susah."

"Gila!"

"Emang gue gila, naksir cowok yang nggak nyata."

"Jangan-jangan dia cewek, makanya kabur karena takut ketahuan."

"Eh, gue juga mikir hal yang sama tahu. Udahlah, bodo amat!"

Meskipun berkata sebodo amat, Mika yakin kalau Cila belum bisa melupakan cowok virtualnya. Mungkin sama seperti dirinya, Cila juga memerlukan waktu untuk adaptasi dengan hati dan perasaannya sendiri. Jatuh cinta memang tidak bisa ditebak, bisa kapan saja terjadi tanpa sadar sudah terperangkap begitu dalam.

Mika turun lebih dulu, membuka jok belakang dan membantu Alika. "Sayang, kita lihat sekolahan barumu, ya?"

Tangan Alika masuk dalam genggaman Mika. "Sekolahnya gede, Kak."

"Iya, sekolahnya gede. Semoga orang-orang di sini baik, Alika punya teman yang baik juga."

"Iya, Kakak."

Mika mengedarkan pandangan ke sekeliling sekolah, cukup teduh meskipun luas dengan fasilitas modern. Tidak terlalu jauh dari kampus dan semoga pihak sekolah tidak mempersulitnya untuk mendaftarkan Alika.

.
.
Cerita lengkap di Karyakarsa dan Playbook.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro