Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 18

Setibanya di rumah, Haven meminta Mika untuk mandi. Memerintahkan Widi untuk memasakan makan malam bagi mereka bertiga. Sebelum mandi, Mika mengganti baju Alika lebih dulu lalu membuat susu. Saat Alika duduk tenang menonton televisi, ia bergegas ke kamar mandi. Mencopot seluruh pakaiannya yang berbau mangga lalu mengguyur tubuh dan kepalanya. Pikirannya tertuju pada Haven. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi nanti, tapi efek dari masalah ini akan sangat panjang.

Mika mendesah, merasa bersalah pada Haven karena menyeretnya masuk ke lubang masalah. Harusnya pesta malam ini berjalan baik dan menyenangkan, nyatanya rusak gara-gara dirinya. Mika mengusap matanya yang mendadak basah dengan hati diliputi penyesalan. Ia tidak tahu bagaimana nasib Haven kelak kalau tidak lagi dianggap sebagai menantu.

Selesai mandi dan berganti pakaian, Mika mengajak makan Alika yang sudah setengah mengantuk. Hanya makan beberapa suap sup ayam dan tidak dapat lagi menahan kantuk.

"Tidurkan saja dia, selesai itu kamu kemari dan temani aku makan," perintah Haven.

"Iya, Pak."

Mika merebahkan Alika ke ranjang, membersihkan wajahnya dengan handuk basah dan merapikan rambut lalu menutup dengan selimut hingga ke dagu.

"Sayang, kamu cantik sekali dan menggemaskan. Entah kenapa mereka nggak mau nerima keberadaan kamu. Nggak apa-apa, aku akan selalu sayang sama kamu."

Mika mengecup lembut dahi Alika dan meninggalkannya di kamar untuk makan bersama Haven. Perutnya sudah berkriuk lapar. Ternyata Haven tidak mengajaknya makan di ruang makan seperti biasanya melainkan di teras samping. Menghadap langsung ke taman dan kolam, meja kayu dipenuhi makanan berupa sup ayam, tumisan, dan juga ikan goreng.

"Pak, kenapa pingin makan di sini?" tanya Mika heran.

"Cari suasana baru aja, Mika. Ayo, duduk dan makan yang banyak. Kamu pasti lapar sekali."

"Memang, di pesta baru makan dua suap saja. Sayang sekali nggak dihabisin, padahal baksonya enak."

Haven tersenyum samar, memandang Mika yang membantunya mengambil nasi dan lauk. Mereka makan dalam diam, menikmati udara malam, gemericik air dan mencecap rasa makanan. Mika menyadari kalau Haven sedang banyak pikiran, memilih untuk tidak banyak bicara. Makan dengan senyap, mencecap rasa masakan yang cukup enak.

Dari semenjak keluar rumah sang mantan mertua, hingga sepanjang perjalanan pulang, Haven sama sekali tidak bicara. Di mobil cuma Alika yang sesekali merengek karena protes gaun basah Mika. Selebihnya tidak ada percakapan apa pun. Diam yang seperti ini baru pertama kali terjadi.

Selesai makan, Haven meletakkan piring. Mengambil sebatang rokok dan menyulutnya. Mika yang baru selesai makan berniat untuk pamit ke kamar tapi kata-kata Haven menahannya.

"Kamu pasti kaget lihat apa yang terjadi malam ini bukan?"

Mika mengedip lalu mengangguk perlahan. "Iya, Pak."

"Bingung kenapa mantan mertuaku nggak suka sama anakku. Itu karena mereka mengharapkan cucu laki-laki. Dari dulu aku tahu kalau mereka memang nggak bisa terima sepenuhnya keberadaan Alika tapi berharap seiring berjalannya waktu, kasih sayang akan tercipta. Bagaimana pun mereka itu keluarga dekat Alika. Sayangnya harapan tinggal harapan. Nggak peduli apa pun yang terjadi, mertuaku justru membela orang lain. Miris memang."

Mika diam-diam mengamati Haven yang terlihat sangat bersedih. Mengerti benar perasaan tidak diinginkan sepertinya halnya dirinya dan sang papa.

"Bagaimana dengan keluarga Pak Haven?"

Haven menoleh. "Keluargaku?"

"Iya, mereka sayang Mika bukan?"

"Sayang sekali, tapi mama dan papaku memang lebih banyak berkeliling ke luar negeri mengurus bisnis. Aku punya dua saudara, laki-laki dan perempuan. Keduanya sudah mandiri, punya keluarga sendiri dan tidak tinggal di kota ini. Makanya selama kamu di sini nggak pernah lihat mereka."

"Waah, ternyata pada tinggal di luar negeri?"

"Kakak laki-lakiku di Swiss dan adik perempuanku di Belanda. Kami jarang sekali bisa berkumpul. Orang tuaku selain mengurus bisnis, juga sibuk berkeliling menengok anak-anaknya. Mereka adalah pasangan yang sibuk."

"Pak Haven nggak ada niatan tinggal di luar negeri?"

Haven menggeleng. "Nggak ada minat. Aku merasa lidahku kurang cocok dengan makanan luar negeri."

Mika tertawa lirih. "Lidah lokal. Sama seperti saya."

"Nggak ada yang salah sama lidah lokal, Mika."

"Emang, saya bangga dengan lidah lokal."

Keduanya kembali terdiam, menatap malam temaram. Di komplek ini rumahnya tidak ada yang kecil dan dikeliling tembok besar serta tebal. Karena itu tidak ada yang tahu urusan tetangga satu sama lainnya. Seperti malam ini, meskipun bicara di teras dengan rumah tetangga yang terang-benderang di hadapan mereka tapi tidak ada suara apa pun. Sesekali mobil atau motor lewat dan itu pun jarang sekali. Dunia yang damai, tenang, dan nyaman tapi hati mereka bergejolak.

Mika melihat Haven sudah menghabiskan dua batang rokok, tidak ingin menegur karena mengerti laki-laki ini sedang gundah. Bisa jadi merokok meredakan sedikit amarah yang bergejolak di dada.

"Pak, seperti kejadian tadi saya yang salah. Seharusnya saya nggak menegur tapi langsung membawa Alika pergi ke tempat lain."

Haven menggeleng. "Kamu salah kalau baru datang dan menegurnya. Sedangkan kamu dan Alika lebih dulu duduk di sana. Sebagai orang tua semestinya Pak Abdul bisa bersikap lebih bijak."

"Tapi, jadi masalah besar, Pak."

"Nggak apa-apa, jangan terlalu dipikir. Apa yang kamu lakukan malam ini sudah benar." Haven mematikan rokok, menarik kursi Mika hingga mendekat dan membuat gadis itu kaget. Mengulurkan tangan untuk menyentuh dagu dan pipi Mika yang memerah karena malu. "Mika, aku senang kamu menjaga Alika dengan baik. Dari bayi dia nggak dapat kasih sayang utuh, berganti-ganti pengasuh, kesepian, dan terakhir malah dianiaya. Tolong, perlakukan Alika seperti anak atau adikmu sendiri. Buat dia merasa nyaman dan aman bersamamu. Maka, apa pun yang akan kamu lakukan, entah benar atau salah, aku akan mendukungmu."

Mika mengerjap, dadanya berdebar dengan jantung berdetak tak karuan. Jemari Haven kini mengusap lembut pipinya, menimbulkan hawa panas yang seolah menjalar dari pipi ke seluruh tubuh. Mika yang tidak pernah disentuh sebelumnya, merasa bulu kuduknya meremang tapi menahan diri untuk tidak mengusap kulit.

"Mika, kamu pernah jatuh cinta?" tanya Haven.

Mika memejam sesaat lalu tersenyum kecil."Saya nggak tahu apa itu jatuh cinta tapi dulu pas SMU pernah naksir cowok."

"Terus?"

"Nggak jadi pacar, malah menjauh satu sama lain."

"Kenapa? Bertepuk sebelah tangan?"

"Bukan, saya yakin cinta berbalas karena Niko sempat mengajak untuk kencan dan lain-lain."

"Oh, namanya Niko. Apa dia pintar."

Mika tertawa lirih. "Dia termasuk terkenal di sekolahan karena berprofesi sebagai model. Sayangnya memang kami nggak ada jodoh buat jadi pacar gara-gara Nola juga suka sama dia. Makanya saya mengalah."

"Nola itu siapa?"

"Saudara tiri, Pak. Saya punya dua ibu. Saya anak istri pertama dan Nola anak istri kedua."

Haven mengangguk, menarik jarinya dari wajah Mika. Ia sudah menduga kalau latar belakang Mika memang tidak biasa. Melihat bagaimana Sundari berjuang seorang diri merawat Mika padahal kondisi tubuhnya sedang tidak sehat, memang ada rahasia di dalam keluarga mereka.

"Papamu di mana sekarang? Sama istri kedua?"

Mika mengangguk dengan wajah sedih. "Mereka punya kehidupan sendiri sekarang, Pak. Nggak mau diganggu. Terakhir saya menemui mereka saat kita pertama bertemu, Pak Haven ingat?"

Haven terbelalak. "Mukamu lebam semua itu, karena mereka? Kamu bertengkar?"

Mika menggeleng sedih, ttanpa sadar mengusap wajah, merasakan nyeri yang seolah timbul dalam dirinya. "Papa memukuli saya karena meminta uang untuk pengobatan Mama."

"Meminta uang pengobatan dan kamu dipukul?"

"Benar, saat itu saya bertahan demi rasa sakit. Tidak masalah kalau harus babak belur yang penting Mama punya uang untuk beli obat. Ternyata saya salah, tubuh dan wajah memar tapi nggak dapat uang. Beruntung saya bertemu Pak Haven dan dapat uang. Terima kasih, Pak. Uang yang Bapak berikan sudah menyelamatkan nyawa Mama dan juga bisa makan untuk satu bulan." Mika mengakhiri ceritanya dengan senyum kecil.

Haven sama sekali tidak membalas senyuman itu, tidak menyangka akan mendengarkan cerita yang begitu mengharukan dari Mika. Uang yang diberikannya tidak banyak tapi ternyata mampu membuat Mika dan mamanya bertahan. Ia menghela napas panjang, menatap Mika lekat-lekat dengan hati dipenuhi rasa haru.

"Berarti rumah papa dan mama tirimu nggak jauh dari sini?"

"Memang, ada di komplek depan, Pak."

"Kamu dulu tinggal di komplek ini?"

"Saat masih kecil, sampai umur sepuluh tahun ditendang dari rumah."

"Papamu termasuk orang berada berarti."

"Iya, Pak. Kenal sama Tante Iyana saat menikah dengan mama sudah tiga tahun tapi belum punya anak. Saat hamil ternyata bersamaan."

"Pantas saja umurmu dan saudara tirimu sepantar. Mika, hari itu selain lebam-lebam kakimu juga terkilir. Apa benar kamu baik-baik saja?"

Mika mengacungkan dua jempol. "Tenang saja, Pak. Saya sangat kuat. Pokoknya saya nggak akan melupakan jasa dan kebaikan Pak Haven hari itu."

"Padahal kalau kamu jujur, aku akan memberimu uang lebih banyak. Sebagai balasannya, kamu merawat Alika dengan baik."

"Ada atau tanpa uang itu saya akan merawat Alika seperti anak sendiri, Pak. Dia gadis yang menggemaskan."

Haven menaikkan sebelah alis, menatap Mika sambil tersenyum simpul. "Anak sendiri?"

Mika terbelalak bingung lalu tersadar sudah salah bicara. "Pak, mak-sud saya adik sendiri."

"Nggak apa-apa, Mika. Nggak usah gugup. Kalau kamu anggap Alika anak sendiri, kamu juga boleh menganggapku sebagai suami sendiri."

"Dih, Pak Haven apa-apaan sih?" kilah Mika dengan wajah memanas.

"Loh, yang aku bilang benar. Alika anakmmu berarti aku suamimu, Mika."

Mika bangkit dari kursi, nyaris terjungkal karena terburu-buru, membungkuk ke arah Haven dan berpamitan dengan gugup.

"Pak, saya ke kamar dulu. Udah ngantuk."

"Mika, kamu tega biarin suamimu sendirian di teras?"

Mika mengerang, tanpa banyak kata berlari ke kamar Alika. Sesampainya di sana, membaringkan tubuh di atas ranjang dan menghela napas panjang. Bukan hanya wajahnya yang memanas tapi tubuhnya juga sama. Perkataan Haven benar-benar membuatnya malu.

"Pak, jangan sering-sering menggoda. Takut saya jatuh cinta," gumam Mika dengan suara lembut sebelum memiringkan tubuh dan memejam. Perlu waktu beberapa lama sampai akhirnya bisa terlelap dengan pikiran dipenuhi Haven.
.
.
Tersedia di Karyakarsa dan playbook.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro