Bab 16
Mika sering mengamati foto Fabriana yang tergantung di dinding, membandingkan dengan perempuan yang sedang memeluk Haven. Menyadari ada kemiripan di antara keduanya, berarti yang sedang memeluk sekarang adalah Fabiola, adiknya Fabriana. Untungnya sebelum datang Mika sempat bertanya-tanya tentang kondisi keluarga ini pada Widi. Dengan begitu ia bisa mempersiapan sikap yang baik dan juga menjaga Alika semampunya.
"Keluarga mereka terhitung sangat kaya raya, nama sang mama Nyonya Diah. Nama sang papa Pak Dandi, adiknya Fabiola dan setahuku ada sepupu yang tinggal di sana. Sepasang suami istri anak satu laki-laki. Sepupu Fabiola adalah pihak laki-laki, kurang tahu siapa namanya. Bekerja pada perusahaan milik Pak Dandi dan dianggap anak sendiri karena itu kedudukan Alika di hati mereka sedikit tergeser."
"Kenapa begitu, Bu?"
"Bukan rahasia lagi kalau Pak Dandi ingin cucu laki-laki. Mika, kamu harus jaga Alika. Anak itu pemalu dan perasa, takut merasa nggak nyaman kalau nggak ada kamu."
"Iya, Bu. Pasti saya jaga."
Dengan Alika berada dalam gendongannya, Mika memperhatikan bagaimana Fabiola enggan melepaskan pelukannya pada Haven. Dengan berani mengusap dada, lengan, serta bahu Haveng kokoh. Tidak peduli meski Mika dan Alika memperhatikan dari samping.
"Aku nunggu dari tadi, napa baru datang?"
Haven melepaskan pelukan Fabiola dengan lembut. "Bukannya acara jam tujuh? Sekarang kurang lima menit."
Fabiola mencebik. "Semua orang sudah datang, tinggal kalian aja yang belum datang. Tapi nggak apa-apa, yang penting udah di sini."
Beralih dari Haven ke depan Mika, Fabiola menyapa Alika dengan senyum terkembang. "Aduh, anakku yang cantik. Sini, gendong sama aunty!"
Alika menggeleng lemah lalu menyarukkan kepalanya di lekukan leher Mika, membuat Fabiola menggigit bibir kecewa.
"Kenapa, Sayang. Kamu lupa sama aunty, ya?"
"Bukan lupa, mungkin kurang akrab aja. Kamu tahu Alika sulit dekat dengan orang lain," sela Haven pelan.
"Memang, aku pun merasa bersalah karena jarang berkunjung. Nggak apa-apa, mulai sekarang aku akan sering datang. Iya'kan, Sayang?"
Fabiola mengusap rambut Alika dengan penuh kelembutan. Tangannya gatal ingin menggendong, apa daya anaknya tidak mau. Ia mundur, menatap Mika yang memeluka Alika dengan erat.
"Kamu pengasuh baru? Siapa namamu?"
"Mika, Miss."
"Nama yang bagus, masih muda pula. Kerja yang benar, awas kalau ada apa apa dengan keponakanku!"
Mika tersenyum kecil. "Saya akan berusaha menjaga Mika, Miss."
Fabiola tidak menanggapi perkataan Mika, membalikkan tubuh dan meraih lengan Haven lalu menyeretnya ke dalam. Berceloteh tentang para tamu yang sudah berkumpul, meninggalkan Mika yang melangkah perlahan dengan Alika dalam gendongan. Belum mencapai dalam rumah, Alika sudah ketakutan. Mungkin memang karena jarang bertemu orang asing, padahal Mika sekarang sering mengajaknya keluar seperti ke rumahnya ataupun ke kampus. Sepertinya memang perlu banyak pelatihan lagi. Tidak apa-apa, ia akan melakukannya secara perlahan dan yakin Alika makin baik ke depannya.
Mika berdiri di dekat pintu saat memasuki ruang tamu yang super luas dan megah. Dia pasang sofa berada di sisi kanan dan kiri ruang tamu berkarpet tebal. Lampu gantung kristal yang sangat besar berada di langit-langit, memberikan pencahayaan luar biasa terang. Mika terus berjalan mengikuti Haven dan Fabiola hingga berada di teras samping yang merupana kolam renang. Teras diubah menjadi tempat pesta dengan banyak booth makanan, para pelayan berseragam yang siap melayani, seorang pianis laki-laki mendentingkan lagu bernuansa lembut di pinggir kolam. Para tamu yang jumlahnya kurang lebih lima puluh orang, menoleh saat Haven datang.
"Papa, Kak Haven datang!"
Dandi dan istrinya, Diah, memutar tubuh dan menyambut kedatangan Haven dengan senyum terkembang. Haven memberikan pelukan ringan ke mantan mertua laki-laki disertai ucapan selamat ulang tahun.
"Pa, semoga sehat selalu dan banyak rejeki."
Dandi menepuk bahu Haven dengan ramah. "Terima kasih."
"Maa, malam ini cantik sekali. Gaunnya bagus, cocok dipakai Mama."
Diah tertawa, mengusap permukaan gaun orange dengan taburan panyet yang membalut tubuhnya. "Haven, bisa aja kamu muji aku. Gimana kabarmu? Sehat bukan?"
Haven mengangguk. "Selalu sehat, Ma."
Pandangan Diah tertuju pada Alika yang meringkuk dalam pelukan Mika. "Cucuku yang cantik datang juga. Sini, peluk oma, Sayang."
Haven mendekati anaknya untuk membisikkan perintah sekaligus penghiburan. "Salam sama Om dan Opa, Sayang. Alika anak baik, ayo, harus sopan."
Alika mengangkat wajah, Haven memberi tanda pada Mika untuk menurunkan anaknya. Setelah menjejakkan kaki di lantai, Haven menggandengn anaknya menuju Diah dan Dandi. Tangan mungil Alika meraih jemari Diah dan menciumnya.
"Cucuku yang cantik, sudah sebesar ini."
Selesai dari Diah, meraih tangan Dandi dan melakukan hal yang sama. Sambutan Dandi hanya mengangguk kecil tanpa pujian.
"Anak seumur Alika memang semestinya belajar sopan santun. Lihat itu anak Cody, si Elvano juga sudah pintar."
Haven terdiam, menarik tubuh anaknya dan merangkulnya. Baru saja datang sudah dibandingkan dengan anak orang lain. Haven kenal siapa Cody, sepupu istrinya. Anak dari kakak Dandi. Ia tidak tahu kalau Cody dan keluarganya tinggal di rumah ini.
"Haven, kamu pasti sudah kenal Cody. Ini anaknya yang tampan, Elvano serta istrinya Sisil. Sini Elvano, gendong opa."
Suasana menjadi kurang nyaman saat Haven bersalaman dengan Cody, Sisil mengangguk kecil dengan senyum angkuh. Senyuman perempuan itu berubah menjadi lebar saat Elvano masuk ke dalam pelukan Dandi.
Mika tidak suka melihatnya. Diam-diam ia mengusap bahu Alika. Seorang cucu yang tidak dianggap oleh kakeknya sendiri hanya karena berjenis kelamin perempuan. Keluarga macam apa ini? Kenapa mereka malah lebih sayang dengan cucu orang lain dari pada cucu kandung? Alika yang merasakan belaian Mika, menoleh dan berpindah tempat.
Haven membiarkan anaknya berdiri di samping Mika. Ia tahu diri untuk tidak mengatakan apa pun tentang Alika. Membiarkan Dandi memuja dan memuji Elvano dibantu dan ditambah oleh istri Cody.
"Elvano udah pintar, Opa. Barusan makan sendiri habis banyak," ucap Sisil.
Dandi mengusap kepala Elvano. "Anak pintar, udah bisa naik sepeda juga, ya?"
"Bisa, malah hapal huruf, bisa nyanyi, dan berhitung juga lancar."
"Anak pintar, calon pewaris perusahaan."
Cody menyela dengan wajah semringah. "Masih terlalu dini bicara hal itu, Papa."
Dandi menggeleng, mengibaskan tangan ke udara. "Nggak ada yang dini kalau untuk melatih anak pintar. Camkan itu!"
"Ehm, kita sedang pesta apa sedang berada di taman kanak-kanak?" sergah Fabiola jengkel. Sedari tadi ia melihat bagaimana sang papa sibuk memuji Elvano sedangkan Alika justru tidak disapa. Melotot pada Sisil, Fabiola menarik Elvano turun dari gendongan sang papa. "Paa, sudah waktunya memberi sambutan. Sanaa!"
Dandi mengangguk senang. "Iya, juga. Kita kesana dulu, Ma."
Bergandengan tangan, suami dan istri itu berjalan menuju tempat yang disediakan untuk memberi sambutan. Fabiola mengikuti dengan Elvano berada di sebelahnya. Selama Dandi bicara, Mika berlutut untuk bertanya pada Alika.
"Lapar nggak, Sayang? Mau makan?" tanyanya.
Alika mengangguk. "Lapar, Kakak."
"Ayo, kita cari makan." Mika bertanya pada Haven yang sedang bertepuk tangan mendengar sambutan Dandi. "Pak, boleh nggak saya bawa Alika keliling untuk ambil makanan."
"Tentu saja, Mika. Ambil makanan buat kalian berdua, jangan hanya untuk Alika," jawab Haven.
Mika belum menjawab saat Sisil menyela pedas. "Anakku, nggak aku biasakan makan di jam sembarang. Elvano sedini mungkin mengerti tentang aturan. Benar nggak, Sayang?" Sisil merangkul lengan suaminya.
Cody adalah laki-laki berumur tiga puluh lima tahun dengan tubuh kurus dan tinggi, rambutnya hitam klimis dengan wajah persegi yang terkesan sangat tirus. Pertanyaan istrinya diberi anggukan setuju olehnya.
"Tentu saja, Sayang. Kita memang harus mendidik Elvano dengan baik. Contohnya sekarang, saat Papa sedang bicara anak kita mendengarkan dan bukan ribut lapar!"
Haven menghela napas panjang, tidak mengindahkan pasangan suami istri di sampingnya. "Mika, kenapa masih di sini? Ajak Alika makan, kasihan kelaparan."
"Iya, Pak."
Mika dengan sigap menggandeng Alika untuk berkeliling. Keduanya mendatangi booth makanan satu per satu dan bertanya pada Alika ingin makan apa. Mika mencari tempat duduk kosong, memesan mie goreng sapi yang tidak pedas untuk Alika, sedangkan dirinya makan bakso. Ada banyak makanan lain dari sushi, sashimi, tempayaki, steak, beragam gorengan serta kue-kue, tapi lidahnya sepertinya cocok makanan lokal. Alika pun sama, menolak banyak jenis makanan dan memilih mie goreng.
Orang-orang kini bertepuk tangan, saat Dandi meniup lilin. Lagu ulang tahun dinyanyikan bersama-sama dan Mika melihat bagaimana Dandi menggendong Elvano dengan bangga. Cody dan Sisil kini berada di antara mereka. Mata Mika mencari Haven tapi tidak menemukannya. Entah kemana perginya sang majikan.
"Makan pelan-pelan, Sayang. Kamu pasti lapar sekali. Mau kakak suapi?" tanya Mika.
Alika menggeleng. "Alika bisa makan sendiri."
"Pintar, makan yang banyak."
"Kakak, habis makan pingin pulang."
"Iya, habis makan kita pulang."
Mika tersenyum, menatap Alika yang makan dengan lahap. Alika bukan anak kandungnya tapi dirinya turut sakit hati karena perlakukan berbeda dari Dandi. Kalau Diah masih terbilang cukup ramah dan sopan. Padahal keduanya adalah kakek nenek kandung Alika, sepertinya tidak begitu anggapan mereka.
Selesai acara tiup lilin, orang-orang membubarkan diri dan mulai berbaur satu sama lain. Makan, berbincang-bincang, dan beberapa berdansa. Meja yang semula sepi, kini dipenuhi orang-orang dewasa. Mika mulai kesal saat seorang laki-laki menyulut rokok sedangkan ada Alika di sampingnya. Dengan sopan ia menghampiri laki-laki itu dan menegur dengan sopan.
"Maaf, Pak. Apakah bisa pindah ke kursi lain? Ada anak kecil di sini."
Laki-laki itu menyipit, menatap Mika dari atas ke bawah. "Siapa kamu?"
"Saya? Pengasuh anak ini," jawab Mika menunjuk Alika. "Asap rokok takut bikin batuk."
"Halah! Pembantu aja sok ngatur! Kalau kamu nggak suka, pindah sana!" bentak laki-laki itu.
"Tapi kami yang duluan duduk di sini." Mika menjawab tidak mau kalah.
"Memangnya kenapa kalau duluan? Pembantu rendahan macam kamu mau atur-atur aku? Bedebah!"
Tanpa disangka laki-laki itu meraih gelas berisi jus dan menyiramkan ke muka Mika. Alika yang terkejut menangis dan menubruk Mika.
"Kakaaak! Alika takut!"
Mika ingin menyingkirkan Alika dari tubuhnya yang basah kuyup tapi di lain pihak tidak tega melihat anak itu ketakutan. Akhirnya berdiri pasrah dengan tubuh dan pakaian basah.
.
.
Di Karyakarsa udah ending.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro