Bab 11
Mika tidak menunggu waktu lama untuk memindahkan sang mama ke kosan milik keluarga Baskara. Dibantu dua sahabatnya dan seorang pelayan Haven, mereka memindahkan barang-barang menggunakan mobil milik Baskara. Dalam dua kali angkut, barang-barang milik Mika dari rumah lama sudah berpindah sepenuhnya. Mika membuang barang-barang yang dirasa tidak lagi digunakan.
"Mama nggak usah repot-repot masak. Di kosan ada kantin jadi bisa pesan aja, tiap Minggu aku bayar."
"Mana bisa gitu? Boros Mika."
"Maa, lebih boros mana sama biaya obat dan periksa?"
"Tapi—"
"Gimana kalau Mama masak nasi aja, lauk beli. Jadi nggak terlalu repot. Ya, Ma?"
Sundari menimbang perkataan anaknya dan mengangguk. Lebih baik tidak membiarkan Mika terlalu kuatir, dengan begitu anaknya bisa bekerja dengan tenang.
"Tante, di sini banyak teman mengobrol." Baskara menunjuk deretan pintu yang sebagian terbuka. "Beberapa juga pasangan berumah tangga. Kalau ada apa-apa, bisa lapor ke pengurusan kosan."
Sundari tersenyum penuh terima kasih pada Baskara. "Kosan kalian bagus sekali dan bersih."
"Memang, selalu dirawat biar para penghuni betah."
"Terima kasih ya, Nak. Udah ngasih tante tinggal di sini." Sundari menepuk tangan Baskara dengan gembira. "Rasanya tante juga akan betah di sini."
"Syukurlah, Tante. Aku juga sering kemari, bisa sekalian main."
Mika membereskan kosan yang ditempati sang mama dengan cermat. Tidak hanya dirinya yang bekerja, Cila dan seorang pembantu pun kerja. Tidak ketinggalan, si kecil Alika yang mengekor kemana pun Mika pergi. Seperti bayangan yang tidak terpisahkan. Selesai semua Baskara memesan nasi di kantin, khusus untuk Alika membelikan bubur ayam yang beraroma lezat.
"Sayang, kakak suapin, ya?" Mika menawari Alika.
Gadis kecil menggeleng. "Mau makan sendiri."
"Oh, pintarnyaa." Mika membuka bungkusan bubur, menuang ke piring dan meletakkan di atas meja pendek. "Alika duduk sini. Makan pelan-pelan biar nggak tumpah."
Alika mengangguk, menyuap menggunakan sendok kecil. Mika membantu mengipasi agar bubur cepat dingin. Cila mencolek Mika, berbisik di telingannya.
"Bapaknya nggak apa-apa anaknya lo bawa-bawa gitu?"
Mika mengangguk. "Nggak apa-apa, malah nyuruh gue buat selalu deket sama anaknya. Kenapa emangnya?"
"Yee, biasanya orang kaya kayak punya aturan gitu buat ngasuh anaknya. Nggak boleh gini dan gitu."
"Bisa jadi karena ulah perawat yang lama bikin Alika luka-luka, makanya Pak Haven merasa gue cocok buat jaga anaknya. Dibebasin buat kemana aja berdua, asalkan Alika senang."
"Benar juga, orang tua di mana pun pastinya senang kalau anak mereka senang."
"Alika cantik, ya?"
"Emang, cantik banget."
Selesai makan, Mika menggelar kasur dan membiarkan sang mama beristirahat. Alika yang kelelahan juga ikut tertidur. Pelayan yang membantu mereka berpamitan pulang. Mika menyalakan pendingin ruangan, menutup pintu dan duduk di teras bersama Cila dan Baskara. Kosan sepi saat siang begini, para penghuninya kebanyakan bekerja atau istirahat di dalam kamar.
Baskara menyulut rokok, mengembuskannya ke udara. Cila dan Mika makan rujak buah sambil minum es teh manis. Menikmati udara siang yang membara sambil mengobrol untuk menghilangkan lelah setelah berkerja mengangkat-angkat barang.
"Kayaknya gue nggak jadi ambil cuti, deh."
Cila mencolek irisan nanas dengan sambal lalu menguyahnya. "Baguslah, belum setor ke TU'kan?"
Mika menggeleng. "Belum, niatnya semester ini mau cuti tapi kok sayang, ya? Menurut kalian kalau gue tetap kuliah sambil bawa Alika ke kampus bisa nggak?"
"Boleh aja, siapa yang ngelarang. Kita punya beberapa temen yang bisa digunakan buat jaga Cila kalau lo lagi ada kelas."
"Masalanya papanya setuju kagak anaknya lo bawa-bawa?" Baskara menyela percakapan dua cewek itu. "Bukan apa-apa, kalau lo bawa ke kosan pasti nggak masalah. Secara jaraknya juga deket tapi ke kampus itu jauh. Masa lo mau bawa Alika naik bis?"
Mika termenung, mendengar perkataan Baskara. "Bener juga, ya? Pak Haven belum tentu setuju."
Cila menyenggol lengan Mika sambil mengedipkan sebelah mata. "Coba aja dulu. Tanya sama Pak Haven, kali aja dia setuju. Kalau misalnya dia nggak setuju lo bisa rayu dia. Pakai tubuh lo itu."
Mika tersedak sambel mendengar sara Cila yang sangat kurang ajar. Terbatuk-batuk tidak karuan dengan tenggorokan terasa pedas. Buru-buru mengambil es teh dan meneguknya sampai rasa pedas hilang. Cila terkekeh, melihat wajah Mika memerah.
"Napa lo? Maluu?"
"Apaa, sih?" sergah Mika dengan bibir mendesiskan rasa pedas. "Saran aneh lo."
Baskara berdecak keras. "Cila, lo ngasih saran yang bener, dong. Gimana Mika mau ngerayu pakai tubuh, ciuman aja dia belum pernah."
"Heii!"
Cila tergelak sekarang. "Gimana ciuman? Pacaran aja dia belum pernah. Aneh temen kita ini. Padahal dulu di sekolah dan di kampus banyak yang naksir tapi nggak ada satu pun dipacari."
Mika menghela napas panjang, mengunyah satu potong apel kali ini tanpa sambel. Termenung memikirkan hidupnya di masa lalu. Karena umurnya dengan Nola yang terpaut beberapa bulan, keduanya berada di tingkatan yang sama saat sekolah. Dulu sewaktu di SMU, Mika terkenal pintar sedangkan Nola terkenal cantik. Mika yang fokus belajar lebih banyak berdiam diri di kelas atau perpustakaan. Menjadi langganan para guru untuk melakukan tugas-tugas sebagai ketua kelas. Kemana-mana selalu ditemani hanya oleh Baskara dan Cila. Berbeda dengan Nola yang populer, ikut cheerleader, berpacaran dengan para cowok idola sekolah. Anehnya, mereka dirumorkan menyukai satu cowok yang sama.
Entah dari mana rumor bermula, saat itu Mika didekati satu cowok dari kelas sebelah yang cukup tampan dan berprofesi sebagai model majalah. Mika tidak pernah tertarik pacaran dengan siapa pun, tapi mengakui kalau cukup senang didekati cowok tampan dan terkenal. Sampai akhirnya Nola juga ternyata suka sama cowok itu dan melabrak Mika di perpustakaan.
"Jangan bila kalau lo suka sama Nico. Dia itu cowok gue. Bisa-bisanya lo juga naksir dia. Ngaca lo!"
Mika yang tidak terima dituduh sembarang, membalas makian Nola. Bukan karena ia suka dengan Nico, tapi bosan selalu dimusihi saudara tirinya sendiri.
"Emangnya Nico punya lo? Siapa yang ngelarang gue suka sama Nico, hah?"
Akibat pertengkaran itu, keduanya terkena hukuman dari penjaga perpustakaan. Rumor dan gosip dengan segera menjalar di antara para murid kalau dua bersaudara terlibat persaingan cinta. Setelah kejadian itu, Mika tidak ingin bertemu Nico. Selalu menghindar untuk bertatap muka, hingga akhirnya lulus pun keduanya tidak lagi saling bicara.
"Kalau kalian jadi gue, tiap deket cowok selalu direbut sama Nola, pasti juga akan berbuat sama. Malas buat pacaran!" gumam Mika pada diri sendiri.
"Nggak apa-apa nggak pacaran, langsung kawinlah!" sergah Baskara.
Cila bertepuk tangan dengan gembira. "Aduh, setuju banget gue. Makanya cari laki-laki yang serius, contohnya Pak Haven. Biar pun dua tapi kaya raya dan masih muda. Kapan lagi didekati papa muda dengan pesona luar biasa?"
Mika melotot. "Apa-apaan, sih? Malu tahu."
"Ciee, kalau malu tandanya naksir beneran," goda Baskara. "Nggak apa-apa kalau naksir, wajar dan normal."
Mika tidak pernah terpikir sampai sejauh itu menyangkut hubungannya dengan Haven. Ia memang suka berdekatan dengan laki-laki itu. Saling menggoda, melemparkan candaan satu sama lain tapi hanya itu. Tidak ada pikiran untuk lebih dekat atau lebih akrab, Mika tahu diri dan batasan. Meskipun Haven kerap menggodanya dengan mesra, ia ingat kalau laki-laki memang suka bikin baper dan memilih untuk melindungi perasaannya.
Mika mengernyit saat mendadak ingat sesuatu. "Bas, di sini ada penjaga gerbang'kan?"
Baskara mengangguk. "Ada, kenapa emang?"
"Di gang sebelah rumah Pak Haven. Di sebelahnya lagi rumah kami dulu. Jangan sampai Iyana dan Nola tahu kalau nyokap gue di sini."
"Tenang aja, gue nggak akan biarin nyokap lo dilabrak kayak kemarin."
"Siip, thank you."
Mereka membubarkan diri menjelang sore. Mika berpamitan pada sang mama untuk kembali ke rumah Haven. Baskara mengantar Cila pulang, sedangkan Mika menggendong Alika di punggung menyusuri gang yang sepi. Mika berjalan sambil bernyanyi lagu anak-anak bersama Alika. Tiba di rumah, memandikan Alika lalu menyiapkan makan malamnya.
"Hari ini Alika makan apa, Mika?" tanya Widi saat melihat Mika menata piring kecil di meja.
"Bubur ayam, Bu. Banyak makannya, pakai sate segala macam. Mungkin dia cape karena nguli jadinya makan banyak," jawab Mika sambil tertawa geli.
Widi mengernyit. "Nguli? Maksudnya?"
"Kami tadi pindahan, Alika ikutan sibuk. Angkat-angkat barang, nyapu, habis makan langsung tepar, tidur sama mamaku."
Widi mendengarkan cerita Mika dengan rasa tidak percaya. Seorang anak kecil yang biasanya pendiam kini menjadi lebih aktif dan mudah tersenyum, semua karena pola asuh Mika yang menyenangkan.
Alika datang, duduk di kursi dan makan dengan lahap apa pun yang diberikan Mika. Widi makin senang melihatnya, Alika secara perlahan menemukan rona merah di pipi dan terlihat makin sehat serta menggemaskan. Widi memperhatikan kalau Mika memperlakukan Alika bukan seperti anak majikan tapi seperti adik sendiri dan cara itu bagus untuk keduanya. Membuat hubungan mereka menjadi makin.
"Bagaimana kabar Mira waktu kalian ke kantor polisi Minggu lalu?"
Mika mengangkat bahu. "Nggak tahu, Bu. Nggak lihat dia, cuma ketemu pengacara sama polisi aja."
"Mudah-mudahan dihukum seberat-beratnya."
"Amin paling kencang, Bu. Aku pun sangat kesal sama dia. Sampai sekarang kalau ingat bawaan pingin marah."
Keduanya bercakap-cakap sambil menemani Alika makan. Tidak ada yang tahu Haven pulang jam berapa, Mika berniat makan di dapur bersama pelayan lain setelah Alika kenyang.
"Bu, kalau saya kembali kuliah. Kira-kira boleh nggak, ya?" tanya Mika.
"Kuliah malam?"
Mika menggeleng. "Nggak, kuliah siang."
"Alika gimana?"
"Kira-kira Pak Haven ngebolehin Alika saya bawa kuliah nggak, ya?"
"Mana bisa begitu. Pak Haven pasti nggak akan ngijinin."
"Ngijinin Mika mau kemana?" Haven muncul, menentang tas hitam dan meletakkan di kursi.
"Papii, makan!" sapa Alika.
"Makan yang banyak, Sayang." Haven menatap Mika dan Widi yang berdiri bersisihan. "Tadi kalian bahas apa? Kenapa mendadak diam?"
Mika menunduk, rasa takut dan segan menjalarinya. Memikirkan kalau idenya membawa Alika kuliah adalah hal paling mustahil yang bisa dilakukannya.
.
.
Bab terbaru tayang di Karyakarsa hari ini.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro