Bab 10
Mika memang meminta kedua sahabatnya untuk ke rumah, ingin memberitahu masalah pekerjaan barunya di rumah Haven. Siapa sangka kedatangan mereka justru menyelamatkannya dari ancaman kekerasan Nola dan Iyana. Gertakan Cila berhasil, Nola mundur dan berkacak pinggang dengan wajah geram.
"Brengsek kalian! Memang sengaja bikin gue marah!"
Cila berdecak. "Buat apa gue sengaja bikin lo marah, Nola? Di kampus udah eneg ketemu lo, yakali di luar juga mau bikin masalah sama lo? Bosan juga guenya."
Iyana menunjuk Mika, Cila, dan Baskara bergantian. "Anak-anak muda kurang ajar macam kalian, nggak akan punya masa depan bagus. Pegang ucapanku!"
Baskara mendesah mendengar ancaman Iyana. "Terserah Tante mau gimana? Aku memang nggak punya cita-cita selai jaga toko. Kalau Tante dan Nola udah selesai ngamuknya, silakan pergi. Berisik! Bikin malu aja!"
Nola dan Iyana marah karena diusir tapi memang banyak orang kini melihat pertengkaran mereka. Tidak ingin menodai reputasi mereka sebagai orang kaya dan berpendidikan, Iyana mengajak anaknya pergi.
"Nola, kita pergi sekarang. Lingkungan di sini nggak sehat buat kita. Bikin gulit gatal-gatal!"
"Iya, Ma. Polusinya tebal, setebal muka mereka sampai nggak ada rasa malu!"
"Hush! Hush! Hush!" Cila melambaikan tangan, mengusir ibu dan anak itu. "Bikin rusuh aja!"
Mika bernapas lega, menurunkan Alika dari punggung dan mengernyit. "Pegel banget. Gue nggak tahu gimana jadinya kalau kalian nggak datang. Kasihan aja sama Alika. Ayo, masuk! Di sini panas."
Mereka bicara dengan suara rendah di ruang tamu karena sang mama terlelap di kamar. Baskara memuji wajah Alika yang cantik dan menggemaskan. Mengusap-usap pipinya dengan lembut.
"Cantikanya Alika. Pasti papanya tampan dan mamanya juga cantik, makanya anaknya seimut ini."
Cila menunjuk Alika. "Mika, dia anak majikan lo?"
Mika mengangguk. "Iye, bener. Gue bawa kemari karena mau ambil barang. Nggak tahunya malah ada perusuh."
"Emangnya sekarang lo jaga anak?" tanya Baskara. "Nggak jadi tukang cuci lagi."
"Panjang ceritanya tapi sekarang gue jadi pengasuh Alika. Harus tinggal di sana dua puluh empat jam. Sedangkan gue juga kuatir sama mama."
"Jadinya gimana, dong?" tanya Cila ikut bingung. "Gue yakin jaga anak gaji lo lebih gede tapi mama sendirian."
"Itu dia, makanya mau pindah. Bas, kosan dekat rumah Pak Haven masih ada yang kosong'kan?"
"Masih, bulan ini dua kamar kosong. Penghuninya pindah. Lo mau pindahin Mama ke sana?"
Mika mengangguk. "Hooh, minta bantuannya."
"Siip, ntar gue sisain satu kamar buat mama. Menurut gue itu solusi pas, sih. Bukan apa-apa, kalau dekat sama rumah majikan lo juga enak kalau mau bolak-balik."
"Selain itu juga jauh dari pelakor dan anaknya itu!" sungut Cila. "Masih kesal gue kalau ingat mereka. Bisa-bisanya mereka melabrak mama? Untung lo lagi di rumah. Kalau nggak, kasihan mama sendirian!"
Perkataan Cila menguatkan tekat Mika untuk pindah tempat. Tetap di sini sama saja masuk ke dalam masalah. Ia tidak akan membiarkan sang mama menanggung hujatan dan makian dari Iyana dan Nola.
Mika tidak tahu kenapa hanya soal obat saja Iyana mengamuk. Padahal hal wajar kalau sang mama memperhatikan mamanya. Bagaimana pun mereka pernah punya hubungan di masa lalu, meskipun sekarang sudah menjadi orang asing. Satu resep obat sudah membuat Iyana menggila, bayangkan bagaimana perasaan sang mama saat dulu suaminya direbut dan ditendang dengan paksa dari rumah yang dibangun serta dihuni dari awal menikah. Rasa sakitnya sungguh tidak terbayang.
Mika membiarkan Alika bermain dengan Baskara dan Cila sementara dirinya merapikan rumah serta barang-barang yang akan dibawa. Ia tidak ada niatan memanggil sopir karena Baskara akan mengantarnya dan Alika.
"Selamat siang!"
Suara bariton dan maskulin terdengar di pintu tak lama Alika menyahut.
"Papii!"
"Anak papi lagi apa? Main, ya, Nak?"
"Iya, main sama kakak."
Saat Haven berdiri, Cila ternganga dan Baskara juga kehilangan kata. Tidak menyangka kalau ternyata papa Alika masih sangat muda dan juga tampan rupawan. Haven tersenyum pada keduanya.
"Kalian siapa?"
"Kami temannya Mika, Pak," sahut Cila dengan cepat. Meraih tangan Haven, menjabat dengan antusias. "Bukan hanya teman tapi juga sahabat. Nama saya Cila."
"Cila, senang bertemu denganmu," sapa Haven.
"Percayalah, Pak. Saya juga senang!"
Baskara mengeluarkan kartu nama dari dompetnya dan membungkuk ke arah Haven. "Perkenalkan, nama saya Baskara dan saya punya beberapa toko elektronik. Kalau Anda memerluka sesuatu, tolong jangan segan menghubungi saya."
Haven menerima kartu nama sambil tersenyum. "Oke."
"Eh, Baskara. Dagang melulu lo!" kritik Mika keluar dari kamar dengan dua tas berisi laptop serta barang-barang. "Lengah dikit lo buka lapak."
"Namanya juga usaha!" jawab Baskara sambil menyeringai malu-malu.
Mika menghampiri Haven dengan heran. "Pak, kok bisa ada di rumah saya?"
Haven menyimpan kartu nama Baskara ke dalam saku jasnya. "Sekalian mau jemput kamu dan Alika. Kita harus ke kantor polisi sekarang. Bertemu pengacara di sana."
"Baik, Pak. Saya pamitan dulu sama Mama."
Mika bergegas ke kamar sang mama dan berpamitan dengan lirih. Menolak saat sang mama ingin bangun dan mengantarnya pergi.
Haven mendengar batuk Sundari tanpa henti dan menyimpan rasa iba.
"Pak, Mama minta maaf nggak bisa keluar."
Haven menggeleng. "Nggak apa-apa. Mamamu sakit. Kita pergi sekarang?"
"Iya, Pak."
Haven menggendong Alika, berjalan di depan sedangkan Mika, Baskara, dan Cila beriringa di belakang. Baskara menenteng tas Mika bersama Cila.
"Kok lo nggak bilang kalau majikan lo setampan Wu Lei," bisik Baskara.
Mika menoleh heran. "Wu Lei siapa?"
"Aktor Tiongkok."
"Oh, perasaan udah pernah bilang kalau majikan gue emang cakep."
"Tapi nggak nyangka secakep ini," sergah Cila. "kalau majikannya cakep dan punya anak satu, gue juga mau. Biarpun jadi pelakor atau istri kedua."
"Ngomong apa, sih lo?" sergah Mika. "Pak Haven duda."
"Kesempatan bagus, Mika!" ucap Baskara memberi semangat. "Jangan sia-siakan!"
"Apaan, sih"
"Njir, peson duda muda emang ngalahin cowok single. Aduh, kenapa gue nggak dapet duda juga?"
Mika terus mendesiskan peringatan pada dua sahabatnya, takut-takut kalau Haven akan mendengarnya. Sampai di mobil Haven yang terparkir di pinggir jalan, Baskara menyimpan tas Mika ke bagasi lalu mengucapkan selamat tinggal pada Alika.
"Daah, cantik. Kapan-kapan main sama kakak lagi, ya?" ucap Baskara.
"Daah, Kakak!" sahut Alika dengan wajah berbinar.
"Kok kakak, sih, harusnya lo dipanggil om," ledek Cia.
"Yee, lo dipanggil Tante," Baskara meledek balik.
"Nggak apa-apa, demi Alika aku siap jadi tante."
Mika memutar bola mata, mendengar perdebatan dua temannya. Cila melemparkan ciuman jarak jauh pada Cila. Haven menyalakan mesin, membuka jendela dan berseru pada Cila serta Baskara.
"Kapan-kapan kalian bisa main ke rumah. Kita bisa makan dan main kartu!"
"Waah, beneran, Pak? Mau banget," jawab Cila dengan semangat.
Baskara tidak kalah semangat menerima ajakan Haven. Keduanya melambaikan tangan hingga mobil yang dikendarai Haven melaju di jalan raya.
"Maafkan kedua teman saya yang norak-norak itu, Pak."
Mika duduk di jok depan, sementara Alika di jok belakang. Gadis itu bersandar dan tak lama berbaring di kursi dan terlelap.
"Nggak apa-apa, Mika. Temanmu seru-seru dan lucu. Kalian sudah lama temenan?"
"Dari SMU, Pak. Saya dan Cila satu kampus tapi Baskara yang orang tuanya juragan kaya raya itu menolak untuk melanjutkan pendidikan dan memilih jaga toko hape."
"Wah, usaha yang bagus itu. Kalau jadi Baskara aku akan melakukan hal yang sama, terlebih punya orang tua yang kaya raya. Benar nggak?"
Mika teringat nasibnya dan mengangguk. "Benar, Pak. Kalau kita punya orang tua kaya harusnya sebuah keistimewaan."
"Seandainya orang tuamu kaya raya, apa yang ingin kamu lakukan?"
Mika tertawa lirih, mengibaskan rambutnya malu-malu. "Saya nggak akan minta apa-apa, hanya berharap semoga Papa nggak jatuh cinta pada perempuan lain. Jadi saya bisa kuliah di tempat bagus, tanpa keteteran cari uang." Setelah bicara begitu, Mika tertawa lirih. "Maaf, saya berkhayal, Pak."
Haven tidak menganggap kalau perkataan Mika adalah sebuah khayalan. Ia yakin ada kebenaran dari cerita gadis di sampingnya, hanya saja tidak ingin tahu kalau Mika tidak bercerita dengan sendirinya.
"Mika ...."
"Iya, Pak."
"Kamu sudah pikirkan gimana tempat tinggal mamamu nanti. Kasihan dia sedang sakit dan sendirian. Bisa pindah ke kamar atas kalau mau."
Mika menggeleng. "Mama nggak mau ngerepotin, Pak. Tapi sudah sepakat mau pindah ke kosan dekat sama rumah Pak Haven."
"Kenapa malah di kosan? Padahal rumahku banyak kamar."
"Kosan itu milik keluarga Baskara, Pak. Nggak jauh dari ujung jalan rumah Pak Haven."
"Kapan pindah?"
"Bulan depan, Pak. Nunggu sewa rumah sekarang habis."
Haven berdecak dari balik kemudi, merasa rencana Mika dan Sundari tidak sesuai dengan isi hatinya. Ia merasa pindah ke kosan terlalu riskan, terutama dilakukan dalam waktu yang masih berjeda cukup lama. Sedangkan Sundari terlihat sakit parah.
"Jangan nunggu bulan depan. Besok pindah."
"Tapi—"
"Aku yang akan bayar sewa untuk tiga bulan ke depan. Kalau mamamu dekat, kamu juga akan kerja dengan tenang."
Mika menghela napas panjang dan menatap Haven dengan pandangan berbinar penuh syukur. "Pak, terima kasih untuk bantuannya."
"Nggak masalah Mika. Apa, sih yang nggak buat kamu?"
"Pak, gombal."
"Mika, satu hal yang aku mau tanya."
"Apa, Pak?"
"Kapan kamu pindah dan menempati hatiku? Mika, hatiku terlalu lama kosong. Siap dihuni dan dijajah sama kamu, Mika."
"Astagaa! Pak Haven, sadar Pak. Sadaaar!"
Haven terbahak-bahak hingga bahunya berguncang. Menggoda Mika benar-benar menaikkan rasa bahagia dalam dirinya.
.
.
Di karyakarsa bab baru update malam ini.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro