Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 1

Hujan mengguyur deras, membasahi bumi dan seisinya. Air mengucur tak berkesudahan dari langit, membasahi pohon-pohon, atap rumah, dan jalanan. Kendaraan berjalan dengan hati-hati dan tidak ada pejalan kaki yang berani keluar. Hujan juga membuat orang-orang bertumpuk di warung, pinggir toko, maupun tempat-tempat untuk berteduh. Semua menunggu hujan reda baru melanjutkan perjalanan. Satu jam berlalu dan tidak ada tanda-tanda hujan akan berhenti. Angin bertiup kencang, membuat suasana makin dingin dan membekukan tulang.

Pemandangan berbeda justru terlihat di depan rumah besar berpagar putih tinggi. Rumah besar itu memiliki bangunan yang cukup mewah meskipun bungan bangunan baru. Pagarnya model lama, berupa stainles putih yang tebal dan kokoh. Bukan rumah itu yang menarik perhatian melainkan seorang gadis yang berteriak sambil memukul gerbang.

"Papaa! Tolonglah kali ini saja. Kalau nggak Mama bisa mati. Papaaa! Tolonglah Papa!"

Gadis itu memakai mini dress hitam dengan tangan menggenggam payung mungil kuning cerah. Hujan yang turun dengan deras tidak mampu ditahan oleh payung. Baju basah, sekujur tubuh pun sama. Sandal yang dipakainya seakan tidak mampu menahan terjangan hujan yang dingin. Jemarinya menggenggam payung dengan gemetar karena dingin. Tidak ada orang yang keluar untuk menemuinya, tapi gadis itu tidak patah semangat dan terus menggedor.

"Papaa, aku tahu Papa mendengarku. Paa, yang aku minta nggak banyak. Cuma demi Mama. Paaa!"

Tidak habis akal, gadis mencari ke sekeliling dan menemukan sebongkah batu. Mengambil dan menggenggamnya lalu menghantamkan ke gerbang hingga bersuara sangat keras.

"Papaa! Bukan pintunya Paa!"

Di teras rumah besar itu, seorang perempuan berusia pertengahan empat puluhan dengan wajah dan kulit terawat menatap geram ke arah gerbang. Di sampingnya ada laki-laki berusia enam puluh tahun dengan tubuh sedang. Pandangan laki-laki itu pun sama, tertuju pada gerbang yang digedor dengan batu.

"Paa, lihat kelakukan anakmu itu. Bisa-bisa rusak rumah kita. Gerbang itu baru saja diperbaiki, penutupnya diganti baru, kita keluar uang cukup banyak untuk memperbaiki dan sekarang mau dirusak?"

Perempuan itu mengomel, menghela napas panjang untuk menahan jengkel. Kalau tidak melihat sedang hujan, ingin menghampiri gerbang untuk mengusir gadis itu pergi. Sayanganya di samping sedang ada sang suami. Tidak mungkin ia bertindak gegabah dengan mengusir sembarangan.

"Dia minta apa?" tanya si laki-laki.

"Apa lagi, Pa. Tentu saja uang. Padahal tiap bulan kita udah ngasih mereka uang. Anakmu itu juga kuliah, kurang apa lagi coba? Kenapa masih merepotkan kita? Paa, bisnismu sedang turun. Kita juga butuh uang untuk biaya kuliah Nola dan biaya sekolah Nilo. Nggak bisa kita kasih mereka uang terus-terusan? Ngelunjak jadinya!"

Naturahman memandang istrinya yang mengomel. Sejujurnya ia juga setuju dengan pendapat Iyana, kalau sudah memberikan uang yang cukup untuk mantan istri dan anaknya. Kenapa Mika masih menggedor gerbang dan meminta uang? Padahal selama ini tidak pernah telat dikirim.

"Asal Papa tahu, bulan ini aku menambah uang untuk mereka karena Mika mengatakan kalau mamanya sakit. Ternyata apa? Bukannya terima kasih malah minta tambah. Kurang ajar!"

Naturahman menanggil pelayan laki-laki yang berdiri di belakangnya. "Bukan gerbang, bawa Mika masuk!"

Iyana terbelalak menatap suaminya. "Papa ini apa-apaan? Kenapa membawa Mika masuk? Papa mau ngasih dia tambahan uang?"

Naturahman mengangkat tangan, memberi tanda pada istrinya untuk berhenti bicara. Tidak peduli kalau Iyana melotot tidak suka. Bagaimana pun rumah ini adalah miliknya, apapun yang dilakukan suaminya harus sepakat dengannya. Tindakan Naturahman membuat Iyana jengkel.

Gerbang dibuka, Mika masuk dengan langkah gemetar. Seluruh tubuhnya basah tapi ada harapan menghangat di dadanya. Ia diminta masuk berarti ada harapan kalau sang papa akan menolong. Mengusap wajah yang basah karena air mata bercampur hujan, Mika berusaha untuk tersenyum. Ia sudah datang jauh-jauh demi sang mama, tidak boleh gagal kali ini.

Pandangannya tertuju ke teras di mana sang papa dan istri mudanya berdiri berdampingan. Rasa iri mengusainya melihat bagaimana penampilan Iyana yang sangat berbeda dengan sang mama. Padahal keduanya sama-sama istri Naturahman tapi bagaikan langit dan bumi. Mamanya hidup dalam kesederhaan, bekerja di tempat orang lain demi menyambung hidup. Sedangkan Iyana hidup mewah bergelimang harta. Mika mengesampingkan rasa iri untuk bicara pada sang papa.

"KENAPA KAMU MEMBUAT ULAH? INGIN MEROBOHKAN RUMAH INI?" Teriakan Naturahman membuat semua orang berjengit kaget, termasuk Mika yang hampir terlonjak di tempatnya. "APA KAMU DIBESARKAN OLEH MAMAMU TANPA TAHU ATURAN?"

Iyana mendengkus keras, tersenyum sinis pada Mika yang berdiri dengan payung setengah rusak di hadapannya.

"Mika, lihat gimana akibat ulahmu. Kegaduhan yang kamu buat, bukan hanya merusak rumah tapi juga menganggu ketenangan kami. Apa yang kamu inginkan sebenarnya? Kurangkah uang yang kami berikan?"

Mika menatap sang papa yang melotot dan pada Iyana yang bertanya dengan nada manis tapi mengandung racun. Kesenangannya saat diminta masuk seketika runtuh saat melihat teriakan keras sang papa. Ia tetap memberanikan diri untuk bicara, semata-mata demi mamanya. Menelan ludah untuk menahan rasa gugup.

"Papaa, sakit Mama kambuh lagi. Batuk dan muntah da-rah. Paa, Mama harus dibawa ke rumah sakit dan uangku kurang."

"Lihaaat! Benar bukan tebakanku? Dia datang mau minta uang?" teriak Iyana dengan wajah menyiratkan kebencian mendalam. "Alasan aja mamamu sakit. Bilang aja kalian kemaruk, serakah, makanya mau uang terus-terusan!"

"Nggak gitu, Tante. Mama emang lagi sakit parah. Tolonglah, Papa. Bantu Mama sekali ini saja," pinta Mika dengan bibir bergetar karena sedih. Melihat gelagat sepertinya ia gagal kali ini tapi harus tetap berusaha. Mamanya sedang berbaring sakit, membutuhkan uang untuk membeli obat. "Papa, aku nggak minta banyak. Hanya sedikit untuk pengobatan Mama."

"Sedikit itu berapa juta? Berkali-kali kamu datang dengan wajah tebal nggak tahu malu. Kenapa, sih, mamamu itu mengajarimu menjadi gadis parasit?"

"Tante! Jangan hina Mama. Dia sedang—"

Plak-plak-plak!

Naturahman maju dan menampar Mika hingga berkali-kali. Membuat tubuh gadis itu oleng dan terjatuh di atas halaman keras yang basah. Naturahman menunjuk dengan wakah kerasa serta kejam pada Mika yang duduk bersimpuh sambil memegang pipi.

"Jangan pernah membentak tantemu, Mika. Sebagai anak, kamu memang kurang aja dan semestinya diberi pelajaran."

Iyana tidak dapat menyembunyikan senyum penuh kemenangan. Ia mengusap lengan Naturahman dan berpura-pura menenangkan.

"Papa, jangan keras begitu. Dia butuh uang."

"Siapa yang nggak butuh uang di dunia ini? Semua orang butuh uang, kita pun sama. Memangnya kalau butuh uang bisa bersikap nggak sopan?"

Mika menangis sekarang, pipinya perih sekali dan bisa diduga pasti memar. Meski begitu ia tetap berusaha tenang. Angin bertiup sangat kencang, mengalirkan rasa dingin ke seluruh tubuh. Namun yang membuatnya menggigil bukan karena angin dan hujan melainkan karena sikap sang papa.

"Paa, ke-napa marah? Padahal aku hanya minta bantuan kecil saja," ucap Mika fdengan suara bergetar. Payungnya terjatuh dan terbawa angin.

"Bantuan apa? Memangnya kamu pikir sebagai papa aku nggak tanggung jawab? Bilang sama mamamu, minta sama selingkuhannya sana. Jangan ganggu kami lagi! Selain uang bulanan, tidak akan ada lagi tambahan!" teriak Naturahman.

Mika menggeleng, air mata berderai bercampur dengan hujan yang turun deras. "Pa, tolonglah. Demi Mama. Sekali ini saja, Pa. Aku janji ini yang terakhir!"

"Pergi!" usir Naturahman.

"Paa, tolong," rengek Mika.

"Pelayaaan! Lemparkan gadis ini keluar!" perintah Iyana.

Percuma Mika berteriak, kedua lengannya diangkat oleh dua pelayan laki-laki. Ia berusaha memberontak dan tubuhnya dilempar ke jalanan. Gerbang ditutup dengan rapat, tidak ada lagi yang ingin menemuinya. Terduduk di pinggir jalan dengan hati merasa karena perlakukan sang papa, Mika tergugu dan terisak. Berpikir bagaimana mendapatkan uang untuk sang mama. Ia menatap rumah besar di mana dulu pernah tinggal di dalamnya dengan bahagia sebelum Iyana datang dan mengacaukan semuanya. Bangkit dengan tubuh gemetar, ia berjalan tertatih meninggalkan rumah.

Pikiran Mika kacau balau memikirkan tentang sang mama. Nyaris tidak memperhatikan arah langkah. Yang ada di benaknya adalah kemana harus mencari uang. Tidak fokus, kesedihan mendalam, membuat Mika berjalan tanpa arah dan nyaris tertabrak mobil yang melintasi perempatan. Mika menjerit, tubuhnya terpelanting karena bodi mobil dan membuatnya terkapar di atas aspal.

"Ya Tuhan, apes sekali aku hari ini," rintih Mika dengan wajah perih dan kakinya yang luka-luka karena terserempet mobil.

"Kamu nggak apa-apa? Ada yang luka? Kita ke rumah sakit sekarang!"

Suara seorang laki-laki terdengar dari atas kepala Mika. Sebuah payung hitam dan besar menaungi kepalanya. Laki-laki itu berjongkok dan bertanya lagi dengan suara kuatir.

"Maafkan aku, mengemudi sambil menelepon jadi nggak lihat kamu. Ayo, aku antar ke rumah sakit."

Mika menggeleng, bangkit sambil mengernyit. Ia tidak boleh pergi sekarang karena mamanya sendiri dalam keadaan sedang sakit.

"Nggak apa-apa, aku baik-baik saja."

"Kamu yakin? Wajahmu merah."

"Ini nggak ada hubungannya sama benturan tadi. Nggak apa-apa, aku harus pergi sekarang."

"Tunggu!" Laki-laki itu mengeluarkan uang dari dalam dompet dan meletakkan di genggaman Mika. "Pergi ke rumah kalau dirasa ada salah."

"Tapi—"

"Terimalah, kalau kamu nggak mau, aku terpaksa menggotongmu ke rumah sakit."

Mika menatap laki-laki yang berdiri di hadapannya. Bertubuh tinggi denagn rambut tersisir rapi. Ada tato yang menyembul keluar dari balik krah kemeja. Laki-laki ini sangat tampan dan juga wangin. Mika menelan ludah, menggenggam uang karena tidak ingin memperpanjang masalah.

"Terima kasih kalau begitu."

"Hujan masih turun. Pakai payungku! Ingat, untuk periksa ke dokter kalau merasa sakit."

Dengan uang di tangan kiri dan payung di tangan kanan, Mika menyeberangi jalan. Meninggalkan laki-laki yang menatapnya kuatir. Ia tidak peduli kalau dianggap sengaja mencari untung dari kecelakaan tadi. Kakinya nyeri dan membuatnya berjalan pincang. Selain itu pipinya perih juga memar tapi ada uang di tangan kirinya. Mika sanggup menahan semua kesakitan, rasa malu, dan penderitaan demi sang mama.
.
.
Di Karyakarsa update bab 10.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro