Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

8. Kristal

Tengah malam, saat seluruh penduduk masih tertidur lelap, Edma berjalan tertatih ke rumah Tella. Tentu saja ia sudah memprediksi akan disambut raut kantuk dan sorot terganggu. Tella hendak melontarkan kalimat peringatan ketika menyadari Edma mengendong Brevan dalam pelukannya. Perempuan tua itu hanya berdiri kehilangan kata-kata.

Bibir Brevan berubah kering, matanya terpejam dan tak akan pernah terbuka, tubuhnya mulai terlihat kaku dan menguarkan bau tak sedap. Tapi Edma tidak keberatan jika itu bisa membuatnya ingat tentang hari menakjubkan bersama Brevan.

Edma menerobos masuk rumah dan meletakkan jasad Brevan ke bale. Lantas ia menoleh ke Tella yang masih kebingungan. "Tolong, makamkan Brevan di dekat Ayahnya. Makamkan mereka dengan layak. Gunakan saja seluruh uang yang mereka punya. Kalau perlu jual rumahnya. Berikan dua pahlawan itu bunga-bunga yang indah. Jika masih kurang, aku akan membayarnya nanti. Setelah aku selesai dengan urusanku. Aku percaya padamu."

Ketika Edma beranjak pergi lewat pintu yang belum tertutup, Tella menahannya. "Apa yang terjadinya padanya? Apa yang harus kukatakan pada penduduk?"

"Brevan meninggal untuk hal yang besar," sahut Edma pahit.

"Aku tak mengerti. Kau harus ikut ke proses pemakamannya," kata Tella lembut.

Ia menggeleng kuat. "Aku tidak datang untuk merayakan perpisahan dengannya. Tugasku mengantarkan tubuhnya saja. Kau lebih bijak dariku, tentu lebih paham caranya. Sampaikan rasa terima kasih pada penduduk desa ini yang mau menerimaku."

Ia beranjak ke rumah Brevan tanpa menoleh ke setiap sudut ruangan. Setelah mengambil jubah, ia membanting pintunya. Edma bergegas pergi tanpa menengok ke belakang. Rasa kebencian dan kemarahan pada diri sendiri yang dipendam kini harus diakhiri. Ia akan menyelesaikan apa yang sudah dimulai.

Bersumpahlah demi hidupmu.

Ia sudah berjanji pada Brevan. Dan janji itu menunggu untuk direalisasikan.

Dadanya berdebar marah dan membuat kakinya memiliki alasan untuk bekerja. Berlari lebih cepat. Ia harus menemukan Putri Deta. Darah dibalas darah. Api dilawan dengan api.

Saat menyelinap ke istana, perempuan itu belum juga kembali. Jika firasatnya benar, berarti Putri Deta sedang berada di lautan timur. Pusat untuk menghancurkan dua kerajaan saingannya. Agar lebih cepat sampai, Edma mengambil jalur alternatif. Melewati ladang gandum, kemudian kebun tomat, tempat perjualan pedang dan akhirnya sampai di daratan sekitar lautan timur.

Putri Deta ada di sana sambil menyuruh prajuritnya berpencar. Sebagian ada berjaga di jalur utama. Dari jarak pandanganya, Edma bisa melihat kristal di tangan perempuan jahat itu. Bawanapraba tidak bohong, Putri Deta jadi lebih kebal terhadap senjata. Edma mendadak mual melihatnya. Bagaimana ia bisa membunuh perempuan itu jika ia kebal terhadap senjata?

Ketika angin menerpa wajahnya, Edma tersadar. Ia menggunakan kekuatan untuk menyingkirkan prajurit yang menghalangi jalannya ke Putri Deta. Begitu sebagian prajurit tersingkirkan, Edma membangun tembok melingkar yang memenjarakan dirinya dan Putri Deta. Perempuan itu hanya tersenyum angkuh.

"Satu lawan satu, ya? Tidak masalah," kata Putri Deta menunggu Edma selesai membangun arena pertarungan.

Putri Deta semakin awet muda, fleksibel dan kuat dengan menggunakan kristal itu. Edma sadar bahwa mungkin inilah pertarungan terakhirnya.

"Apa yang salah dengan menjadi baik? Kau dulu putri yang baik, kan?" tanya Edma setelah usai.

Putri Deta tersenyum menghina. "Menjadi baik tidak akan pernah menjadi apa pun. Apa yang kudapat setelah berbulan-bulan merawat Ayahku? Tidak ada. Begitu ia meninggal, tertulis di surat wasiat kalau Putri Aurora yang meneruskan kerajaan. Mendapatkan kekayaan. Bahkan jika kenyataannya, ia tidak pernah merawat Ayah sekalipun!"

"Kau merawat Ayahmu untuk mendapatkan warisan?"

"Tidak. Tentu saja tidak. Saat aku baik, aku melakukan apa saja untuk Ayahku. Tapi kemudian aku sadar, menjadi baik tidak menjadikan aku kaya. Sejak itu aku meracuni pikiran pikiran Putri Mema agar ia menolak wasiat itu. Kami memang bersaudara kembar, tapi hanya beda hitungan detik. Kenapa harus Putri Aurora yang dapat warisan? Perempuan pesolek yang tidak bisa melakukan apa-apa. Sampai akhirnya aku dan Putri Mema membangun kerajaan sendiri," jelas Putri Deta.

Edma menenguk ludah. "Apa yang kau lakukan pada saudarimu? Di mana mereka?"

"Mereka sudah tidur," sahutnya sambil tertawa terkekeh. "Tidur untuk selama-lamanya."

"Kau merenggut kehidupan orang lain begitu saja? Kau bahkan membunuh Brevan yang tidak salah apa-apa padamu!"

Putri Deta memainkan gulungan rambutnya. "Jangan munafik, Edma. Kita sama-sama penjahat. Melakukan hal yang sama kejinya. Jadi, kenapa kau repot-repot melawanku?"

Edma menggeleng. "Tidak. Aku tidak mengorbankan hidup orang lain untuk membuat aku berada di atas. Apa yang sebenarnya kau inginkan?"

"Membuat kerajaan lebih baik," sahut Putri Deta sambil memainkan kristal di tangannya.

Butuh waktu untuk mencerna ucapannya. Karena tampak situasi menjadi lebih parah dari sebelumnya.

"Sebenarnya, kau tidak berhak mencampuri urusanku. Brevan mungkin masih hidup jika kau tidak mengusik. Dhanu dan Baruna juga tidak akan mengetahui rahasia yang selama ini kau sembunyikan. Jangan lupakan Putri Tenggara yang menunggu balasan cintamu. Kau membuatnya rumit sendiri. Dan siapa yang tertawa di atas penderitaanmu? Nah, kau sudah punya jawabannya."

Jika dipikirkan secara bijak, ucapan itu ada benarnya. Edma mengorbankan banyak hal untuk mendapatkan kristal itu kembali. Dan apa yang ia dapatkan? Kesia-siaan. Sedangkan sudah jelas kalau Bawanapraba tidak akan menganggap hal-hal yang Edma lalui penting, ia hanya memikirkan kristal. Meminta pertolongan atas kesalahan yang pernah dibuatnya sendiri.

"Ia hanya memperbudakmu. Menjadikanmu binatang untuk mencari jejak. Bukankah itu kesalahannya saat kristal pecah berkeping-keping? Bawanapraba punya kekuatan lebih, kenapa perlu repot-repot mengutusmu dan kawan-kawan? Kenapa bukan ia saja yang mengumpulkan sendiri? Apa tujuannya? Pernah kau bertanya itu padanya, Edma? Pernahkah terlintas dipikiranmu bahwa ia hanya bersantai-santai di dunia cahaya sedangkan kalian mencari-cari potongan kristal? Setelah ia mendapatkan tongkat, Bawanapraba akan menguasai seluruh dunia cahaya dan iblis. Lantas apa yang kau dapatkan?" tanyanya.

Edma tercengang. Pertanyaan itu seharusnya ia tanyakan saat pertama kali mendapatkan perintah. Kini semua orang yang ia sayangi telah pergi karenanya.

"Kenapa kau tidak membunuhku saja dan masalahmu terselesaikan," kata Edma suram.

Putri Deta terkikik geli. "Jika Bawanapraba bisa memanfaatkanmu. Aku juga bisa. Kau akan menyaksikan upayaku untuk membuat dunia lebih baik dengan memiliki satu kerajaan. Prajurit yang loyal padaku. Jadi, berhenti menuruti perkataannya dan kau bisa menjadi pengikutku."

Sekali sentak, perempuan itu menghancurkan arena pertarungan yang Edma bangun. Bukan karena tidak mampu mencegah, tapi ia membiarkannya. Edma tidak lagi tahu mana yang kenyataan dan mana yang hanya angan.

Dan seseorang yang tak sangka datang, wajahnya tidak menggelap tapi lekuk alisnya menunjukkan kejengkelan.

"Apa yang kau lakukan?" tanya Dhanu sambil mendorong kacamatanya ke pangkal hidung.

Ganti Edma yang mengerutkan alis. "Harusnya aku yang tanya begitu."

"Hah! Itu karena kau duduk-duduk saja seperti makhluk tak berguna. Sang Magi sudah memberitahuku apa yang terjadi padamu. Aku turut berduka cita pada Brevan," kata Dhanu, "tapi bukan berarti kau berdiri diam begini menyaksikan runtuhnya kerajaan."

"Apa tujuan kita mengumpulkan kristal itu?" tanya Edma diantara suara besi beradu.

Meski hanya sepotong, kekuatan kristal memang tidak boleh diremehkan. Putri Deta menguasai beragam elemen dan ia menggunakannya untuk meratakan istana saingannya dengan mudah. Lalu membuat peringatan pada rakyat yang tidak tunduk pada aturannya.

Jawaban Dhanu mengalahkan suara bising di belakang. "Agar hal seperti ini tidak terjadi. Apa sih yang ada dipikiranmu?"

"Apa yang kudapatkan setelah mengembalikan kristal itu?" tanya Edma galak.

Dhanu mengembuskan napas. Kesabarannya memang lebih unggul dari Baruna, tentu saja watak itu sudah terdidik dari orangtuanya.

"Edma, aku tidak tahu racun lisan apa yang Putri Deta berikan padamu. Tapi, aku hanya mengingatkan. Menemukan kristal itu bukan tentang untung dan rugi. Ini tentang menyelamatkan dunia. Fokus pada hal besar, bukan hanya pada dirimu sendiri," kata Dhanu lembut.

"Jika itu artinya Brevan harus meninggal?"

Tangan Dhanu terulur mencengkram kedua pundak Edma. "Ia meninggal karena pilihannya. Pilihanmu hanya dua, bersembunyi dalam tempurung. Atau lawan Putri Deta. Pertarungan ini milikmu bukan milikku, atau milik Bawanapraba. Kita terlahir untuk melakukan hal-hal yang besar, Edma. Aku harus pergi. Kerusakan di lautan semakin parah."

Sebelum Edma sempat menyanggah, Dhanu sudah berlari dan menceburkan diri ke laut. Namun tak terbantahkan, ada sorot kesedihan yang di bola matanya.

Reruntuhan bangunan mengepulkan asap, debu berterbangan dan beberapa orang merangkak menyelamatkan diri. Prajurit tak kenal ampun untuk menggiring mereka ke alun-alun. Menyaksikan ratu baru yang akan berkuasa. Memaksa mereka bertekuk lutut ke Putri Deta. Ada beberapa yang melawan, sebagai gantinya nyawa melayang.

Edma tidak membayangkan apa lagi yang akan terjadi jika ia hanya berdiam diri seperti orang konyol. Udara sekitarnya menghangat. Ia melakukan hal yang seharusnya dilaksanakan sejak tadi dibanding berlagak seakan amatiran.

Mengentakkan kaki, Edma melayang di atas tanah yang dipijaknya. Mengerakkan kedua tangan untuk membuat perisai bagi rakyat. Termasuk rakyat Desa Rama yang sudah berbaik hati tidak menggunjingnya dengan pakaian aneh. Awalnya tipis, namun semakin lama perisai itu tebal dan berbayang. Identitasnya harus dirahasiakan. Itu penting bagi Edma.

Tanpa sedikit pun terburu-buru, Edma mengumpulkan angin agar membentuk cakram dan melemparnya tepat ke bagian leher Putri Deta. Sayang, pengelihatan perempuan itu semakin tajam dengan kristal di tangannya. Ia bergerak menghindar dan tersenyum sinis.

"Hati-hati terhadap tindakanmu."

"Api dibalas api," bisiknya.

Adrenalin menghantam ketika Putri Deta menyerang dengan api, lalu air, tanah, batu dan udara. Ia menggunakan seluruh elemen yang dimilikinya. Kristal menyala terang digenggaman tangan perempuan tersebut.

Kristal itu.

Satu-satunya cara untuk menghentikan kekacauan ini adalah merebut sumber kekuatan. Maka dengan susah payah, Edma menangkis setiap serangan. Dhanu tidak muncul lagi untuk memberikan motivasi, atau membantunya. Jelas ini memang pertarungannya.

Edma melompat menerjang Putri Deta , perempuan yang tidak tahu akan diserang mendadak itu ikut tersungkur di tanah. Kristal terpental dari genggaman tangannya. Kekuatan perempuan tersebut pun hilang. Menyisakan bangunan kokoh yang ambruk di sekitar. Disambung suara tangis dan jeritan.

Putri Deta melonjak berdiri dan berusaha meraih kristal. Edma menendang kristal itu menjauh dari uluran tangan perempuan tersebut. Ia tidak seratus persen yakin akan melawan perempuan. Seandainya Brevan masih hidup, pastilah gadis itu yang akan mewakili.

"Harusnya kau tidak ikut campur," kata Putri Deta sambil memerintahkan prajurit membawakan sesuatu. Tak lama, salah satu prajurit datang dengan kelapa di tangannya, "untuk hidup selamanya dan mendapatkan kekuatan sihir agung. Kau bahkan menyembunyikan dengan mudah. Tindakan bodoh untuk seorang pangeran."

Saat Edma beranjak mendekat untuk mencegah, dua prajurit lain sigap menahan tangannya. Edma menjentikkan jarinya mengepulkan angin di bola mata prajurit yang menghambatnya. Sayangnya prajurit lain datang dan menyerang. Ia kehilangan kendali dan ingin menghabisi nyawa mereka, tapi tidak ingin menjadi pembunuh. Jelas pilihan yang dibuatnya membuat ia kesulitan meraih perempuan tersebut. Hingga Putri Deta berhasil menengak habis air kelapa.

"TIDAK!" jerit Edma murka dan kontrol anginnya meletup.

Prajurit dengan mudah tersingkir ke sisi kanan kiri. Sedangkan mata Edma tertumbuk pada Putri Deta yang berdiri tersenyum. Hingga kedutan itu menghilang. Sisa batok kelapa terjatuh dan menggelinding ke tanah. Terganti tangannya yang memegang leher seolah ada tali yang mengikat. Kulitnya yang halus berubah perlahan kusam, semakin lama menjelma keriput menjijikan. Suara Putri Deta juga menjadi parau dan serak.

Edma tercengang di tempatnya berdiri. Tidak yakin kalau penyebabnya air kelapa. Namun hanya benda itu yang menjadi satu-satunya alasan perubahan fisik perempuan tersebut. Rambutnya yang biasa digulung rapi kini layu dan memutih. Pakaian putrinya semakin lama semakin longgar dari ukuran tubuhnya sendiri. Tubuh Putri Deta menyusut. Wajah halusnya terganti wajah nenek. Putri Deta berteriak histeris.

Prajuritnya sama takut dengan Edma. Kejadian itu hanya menjadi tontonan publik. Kecuali, rakyat yang sama sekali tidak bisa melihat keadaan sekitar karena perisai yang Edma bentuk memang sengaja untuk menghalangi sudut pandang.

Kaki perempuan tersebut mengecil, lengannya bergelambir hingga kurus kering dan pemandangan selanjutnya tak bisa Edma nilai. Seolah hanya kulit membalut tulang. Dengan cepat tanggap, Edma beranjak mengambil kristal yang terpental dan mengenggam erat. Matanya mengawasi Putri Deta hingga sosok itu lenyap, menyisakan seonggok gaun putri.

"Edma," bisikan Putri Tenggara dari atasnya. Perempuan itu melayang-layang di udara sambil mengulurkan tangan.

Edma menggeleng. "Aku tak mengerti."

"Monster Ikan memang memberikan kelapa yang berbeda. Belut Danawa dan Buaya Raksasa sudah setuju dengan keputusan itu. Tidak boleh ada makhluk mana pun yang menggunakan kelapa untuk kepentingan sendiri, Edma, bahkan untuk makhluk seperti kita sekalipun," jelas Putri Tenggara sambil tersenyum simpatik.

Teringat olehnya ucapan Belut Danawa. Kami tidak akan salah membuat pilihan. Mendadak Edma melipat bibirnya ke dalam. "Tapi itu tindakan yang ceroboh. Bagaimana jika aku yang meminumnya? Mereka ingin melihatku mati dengan cara begitu?"

Putri Tenggara tesenyum. "Karena mereka tahu kau tidak akan meminumnya. Sekarang, ayo kita pulang. Kembali ke dunia kita. Tugas sudah selesai. Bawanapraba ingin aku menjemputmu."

"Lantas bagaimana dengan prajurit itu? Mereka pasti sudah melihat seluruhnya?" tanyanya. "Tidak ada yang boleh mengungkap dunia kita."

"Sage, kakak sang Magi akan membantu. Ia yang akan menghapus seluruh ingatan rakyat tentang ini," jawab perempuan itu sambil menunggu Edma membalas uluran tangannya, "kau sudah membuat banyak masalah. Sang Magi tidak ingin kau memperkeruh suasana di sini. Sekarang, lebih baik pulang."

Edma membalas uluran tangan itu dan perlahan tubuh keduanya menipis. Dalam pengelihatannya, Sage datang dan langsung menaburkan bubuk penghilang ingatan yang diterbangkan ke udara, dihirup oleh semua manusia di sana. Awalnya mereka terbengong-bengong, hingga akhirnya memilih bubar meski linglung.

Ketika Edma dan Putri Tenggara semakin lenyap naik ke dunia cahaya, tak ada keraguan kalau ia melihat ada yang menutup hidung dan berlari ke dalam rumah. Menutup seluruh celah rapat-rapat. Edma menyipitkan mata untuk melihat lebih jelas. Rocy.

TAMAT

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro