Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

5. Tiga Makhluk Buas

Brevan sudah pergi saat Edma bangun. Perempuan itu berangkat pagi sekali sebelum ayam sempat berkokok. Edma curiga kalau Brevan tidak tidur semalaman karena memikirkan jasad ayahnya yang belum dimakamkan secara terhormat. Dan juga alat kebanggaannya yang belum tersimpan dan tersembunyi di hutan

Edma mengayunkan kaki, beranjak mandi dan bersiap. Ia harus mengambil kelapa sebelum tengah malam. Mudah diucapkan kalau saja tidak ada penunggunya. Edma meletakkan handuknya di bale dan mengecek dapur, kalau saja ada sisa makanan semalam. Namun yang ditemukan di sana membuat ia nyaris terjengkang di lantai.

"Hai," sapa Putri Tenggara.

"Kau... sedang apa di sini? Brevan akan melihatmu. Penduduk desa bisa melihatmu. Identitas kita akan terungkap," kata Edma memberi tatapan maut.

Putri Tenggara meringis. "Identitas kita sudah terbongkar sejak kau memberitahu siapa dirimu ke Brevan. Makhluk seperti kita tidak akan pernah bisa bersatu dengan manusia, Edma. Kau harus ingat itu!"

Edma mengabaikan kalimat terakhirnya. "Dari mana kau tahu kalau aku cerita seperti itu ke Brevan?"

"Sang Magi yang memberitahuku," sahut Putri Tenggara ketus. "Kau tidak tahu akibatnya nanti. Edma, kau terlalu lama berada di dalam labirin manusia. Sekarang kau tersesat, tidak tahu cara keluar. Jadi, aku datang ke sini untuk memberitahumu bagaimana cara keluarnya dan kau pasti akan sangat berterima kasih untuk itu."

Sambil menyipit curiga, Edma melihat mata almond Putri Tenggara. "Tugas kau sendiri bagaimana? Sudah ketemu kristalnya?"

"Aku selalu mengerjakan tugas dengan cepat. Bukan menundanya," sahut Putri Tenggara bangga.

Edma mengerang. "Jadi kau ke sini untuk mengajariku bagaimana mendapatkan kristal di tangan Putri Deta? Bagaimana kalau kau yang mengambilnya sendiri? Aku akan sangat berterima kasih."

"Itu bukan tugasku," kata Putri Tenggara, "itu tanggung jawabmu kepada Bawanapraba."

"Nah, kalau begitu. Kau tidak perlu ikut campur urusanku!" katanya spontan pada perempuan tersebut.

Putri Tenggara tampak terluka. "Aku hanya khawatir padamu."

Edma sama sekali tak meresponsnya. Meninggalkan Putri Tenggara di dapur dan beranjak keluar rumah. Membanting pintunya. Ia akan segera mendapatkan kristal itu setelah mengambil kelapa untuk Paman. Edma yakin akan mudah menyelesaikan masalahnya jika berfokus pada satu persoalan tanpa dicampuri oleh siapa pun.

Di perjalanan, kalimat Putri Tenggara berdengung di telinganya. Ia tersesat di dalam labirin manusia. Itu karena hanya di dalam labirin, ia bertemu Brevan. Seseorang yang melihatnya bukan sebagai putra raja dan menghargai dirinya. Jadi karena itu ia tidak pernah merasa tersesat. Justru menemukan jati dirinya.

Ia harus mengakui kalau Brevan membuatnya menjadi pribadi yang lebih baik dan rendah hati. Kini ucapan Ayah Brevan ada benarnya. Edma mulai menyadari gejolak rasanya saat bersama Brevan. Segalanya tampak mudah ditaklukan. Hanya saja ia tidak mampu menafsirkan perasaannya sendiri.

Pemikiran tersebut menemaninya sampai ke tujuan. Jantung Edma berdebar. Ia menyewa perahu dan mendayung dengan gemetar. Tentu saja ia bisa berjalan di atas air seperti ilmu yang diajarkan Bawanapraba, tapi Edma tak ingin memancing perhatian manusia. Bisa-bisa aksinya direkam dan didokumentasikan dalam sejarah.

Hingga perahunya perlahan sampai perbatasan, Edma memperlambat usahanya mendayung. Ia menoleh kiri-kanan memastikan situasi. Ketika dirasa aman, ia berdiri. Perahunya terobang-ambing dipijakan. Keringat membasahi kening dan dada. Embusan angin menerpa punggung tengah. Ketika bersiap meluncur, tiga makhluk asing menyerobok dari permukaan dan membuat Edma terpelanting dari perahunya. Tubuhnya ditelan cepat oleh derasnya air sebelum mampu menarik napas persiapan.

Edma cepat-cepat menyembul kepala ke permukaan air. Menghirup oksigen dengan tersengal-sengal. Lalu ia tersadar kalau ada tiga bayangan besar yang menggelapkan. Edma mendongak, mendapati tiga makhluk mitos memandangnya hina. Rasa sakit di tenggorokan dan mulut karena tertelan air laut langsung menghilang.

"Siapa kau? Berani sekali memasuki wilayah kami," kata Belut Danawa.

Monster Ikan menekuk wajahnya. "Kau hanya mencari masalah, Nak. Kau seharusnya mendengarkan kata-kata rakyat kalau memang ada makhluk buas di sini."

Edma kehabisan kata. Tidak menyangka apa yang dilihatnya. Ia biasa melihat Dhanu dan Baruna membuat hal aneh-aneh dengan air. Atau Penunggu Pohon yang mampu merawat tanaman asing dan mengenal jenisnya. Atau seperti Putri Tenggara yang paling sabar menjaga angin di wilayahnya. Namun menemukan makhluk mitos layaknya mimpi dalam dunia nyata, terlalu sulit untuk dipercaya.

"Hai, Nak. Dari mana kau dapat cincin itu?" tanya Buaya Raksasa mengamati cincin di leher Edma dengan seksama.

Edma meraba lehernya dan menemukan bandul cincin itu. Ia menunjukkannya pada Buaya Raksasa. "Aku mendapatkan ini dari Ibu. Peninggalan Ayahku. Ayah memang pernah memai cincin ini. Maafkan aku yang lancang—"

"Nak, kau putra Raja Timur Laut?" tanya Belut Danawa tak percaya.

"Ya... aku anaknya," jawab Edma terbata kaget. "Dari mana kau mengenal Ayahku?"

"Raja pernah mengajak kami ke pesta kelahiranmu. Tak kusangka, kini kau sudah dewasa sekarang," tutur Belut Danawa sambil memandangi Edma sedemikian rupa.

Buaya Raksasa mendekati wajah sampai Edma bisa mencium embusan napasnya. "Bukankah putra raja sudah hilang di hutan bersama Ibunya karena depresi suaminya meninggal?"

Edma nyaris tenggelam di air saat buaya membuka mulut. Gigi besarnya membuat bergidik. "Bukan. Itu kebohongan dari Pamanku. Ia—" Edma tidak bisa menyelesaikannya karena tidak ingin membicarakan kesalahan pamannya.

"Lantas apa yang kau lakukan di sini, Nak?" tanya Monster Ikan mengalihkan pembicaraan.

Edma menunjuk satu-satunya pohon di sana. "Aku harus memetik kelapa itu. Paman membuat perjanjian. Jika aku bisa memetik dan memberikan kelapa tersebut kepadanya. Aku bisa menjadi raja dan kesempatan memperbaiki situasi rakyat akan lebih besar. Tapi jika tidak, aku dan Ibu harus pergi dari wilayah kerajaan."

Ketiga makhluk itu berpikir sejenak. Berdiskusi dan saling memberi pertimbangan. Sampai Buaya Raksasa mewakilkan isi kepala kedua sahabatnya.

"Nak, kelapa itu bukan buah sembarangan. Ada kekuatan murni di dalamnya. Bisa mengubah seseorang menjadi baik sejati atau jahat selamanya, tergantung niat si pemakai," tutur Buaya Raksasa. "Celakalah dunia jika dipakai oleh jahat. Namun makmur jika diniatkan baik."

"Kau harus tahu apa niat Pamanmu," sambung Belut Danawa.

Edma menggeleng. "Aku tak tahu apa niatnya. Ia hanya membuat perjanjian itu."

Monster Ikan mengambilkan buah itu dengan persetujuan dua rekannya. "Kami memercayai pilihanmu. Jadilah baik seperti Ayahmu. Kau sudah tahu akibatnya, kini kau harus memutuskannya sendiri."

Edma menerima buah itu dengan tangan gemetar. Bukan karena kelapa itu berat, atau karena keraguan. Tapi karena kekuatannya yang besar. Pantas jika dijaga makhluk buas.

Belut Danawa tersenyum menenangkan. "Kami tidak akan salah membuat pilihan."

Ketika Edma ingin menanyakan maksudnya. Monster Ikan sudah menutup pembicaraan.

"Jika kau ingin menjadi raja, bertindaklah sebagai raja," katanya. Lantas ketiga makhluk buas itu pergi dan membalikkan perahu ke permukaan agar siap berlayar pulang.

Edma segera naik ke perahu dan mendayung ke daratan. Andai Ayah masih hidup, ia yakin bisa membuat keputusan yang bijak. Ia bisa saja ke rumah Ibu dulu untuk meminta pendapat, tapi tindakan itu terlalu kekanak-kanakan. Edma yakin ia bisa memutuskan pilihan sendiri.

Pilihannya semakin mantap ketika perahu Edma sampai ke daratan. Keputusannya semakin bulat saat kakinya berlari cepat ke pintu kerajaan. Ia yakin untuk memberikan kelapa ke Paman dan mendapatkan haknya kembali.

Jika saja tak ada suara dari ruangan utama yang menggoyahkan niatnya.

"Putri Deta, kau tenang saja. Edma pasti sudah meninggal sekarang. Ia baru saja melaut ke sana. Tiga makhluk buas di sana pasti sudah memakannya." Edma tahu itu suara Paman, bahkan tanpa perlu dilihat. Nadanya gugup, seolah kalimat yang diucapkan lebih meyakinkan diri sendiri.

Terdengar suara meludah. "Bodoh! Edma itu anak putra raja. Ia tak akan mudah mati begitu saja. Dan aku tak pernah menyuruhmu membunuhnya. Ada yang lebih sakit dari kematian. Membuatnya menyaksikan orang yang paling dicintai mati di tanganku," ketus Putri Deta.

Edma merapatkan tubuhnya ke dinding. Menghindari visualisasi dari celah daun pintu yang sedikit terbuka. Kepalanya was-was mengamati situasi. Kalau ada penjaga atau ajudan yang lewat di lorong.

"Tapi jika Edma masih hidup, ia akan menyulitkanku. Rakyat akan membuat revolusi dan menggulingkan kerajaanku. Mereka pasti menuntut Edma agar menjadi raja, mengantikan Ayahnya."

"Itu bukan urusanku. Perintahku kepadamu sangat jelas. Ajak dan tinggalkan Edma di pinggir lautan. Sisanya biar aku yang mengurus. Bukan menyuruhnya berlayar dan membunuh dia secara tak langsung."

"Maafkan. Maafkan aku. Aku bersumpah akan mencarinya," kata Paman dengan suara terbata.

Putri Deta berjalan mondar-mandir. "Jangan. Itu pasti akan membuatnya curiga. Biarkan ia datang dan menyerahkan kelapa itu kepadamu. Setelah itu—"

Edma kehilangan kata-kata. Ia memercayai seekor ular. Licik dan penipu. Ketika hendak berbalik arah, meja di samping tubuhnya tersenggol. Membuat vas bunga bergoyang dan jatuh bebas sebelum mampu diselamatkan. Pintu langsung terbuka lebar.

"Kau salah jika menguping percakapan kami," ejek Putri Deta.

Wajah perempuan itu sangat cantik. Hidungnya bangir dan rambutnya digulung ke atas rapi. Namun Edma tak menyangka. Hanya permukaan saja putri itu cantik. Tapi di dalamnya busuk.

"Rencana sudah berubah," kata Putri Deta sambil menjentikkan tangan dan mematahkan leher Paman Edma.

Ia ternganga. "Kau—"

"Benar. Aku menggunakan kristal itu. Tampaknya kau menambahkan kekuatanku dengan membawa kelapa tersebut."

Edma menyembunyikan kelapa di belakang tubuhnya. "Di mana kau menyembunyikan kristal itu? Kau tidak tahu apa akibatnya bagi dirimu sendiri."

"Berikan kelapa itu padaku," omel Putri Deta. Telapak tangannya menengadah.

"Tidak. Sebelum kau memberitahuku di mana kau menyimpan kristal itu. Kekuatan itu terlalu besar untukmu. Lebih baik jika digunakan oleh Bawanapraba."

"Hah, apa yang Bawanapraba tawarkan padamu? Kejayaan? Kebangkitan Ayahmu? Kekayaan? Mendapatkan akhir cintamu? Bawanapraba tidak akan bisa memberikan itu padamu. Tapi aku bisa. Jika kau mau bekerja sama denganku," tawar Putri Deta lembut.

"Tidak ada yang bisa menghidupkan orang yang sudah mati," sahut Edma kasar.

"Tentu bisa. Aku bisa melakukan apa saja dengan kristal di tanganku. Sekarang, berikan kelapa itu padaku dan aku akan mewujudkan apa saja yang kau inginkan."

Hati Edma meragu. Ia bisa bertemu Ayahnya, itu kesempatan yang langka. Lalu kepalanya menoleh pada jasad Pamannya yang mati mengenaskan. Tidak. Itu pasti janji palsu. Edma membuang pemikiran tersebut.

"Tampaknya, kau membuat pilihan yang salah. Kurasa seseorang harus mengajarkan arti kehilangan padamu agar kau bisa berpikir jernih. Katakan selamat tinggal untuk orang yang kau kasihi," kata Putri Deta. Ia berjalan ke arah jendela dan melompat.

Edma menyimpan kelapa di balik lemari kayu dan berbalik mengejarnya. Ia tahu siapa tujuan perempuan jahat itu.

Brevan dalam bahaya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro