Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

4. Siapa Kau Sebenarnya?

Ada perselisihan yang berlangsung lama, namun tak pernah terselesaikan karena kedua pihak sama-sama tidak mencoba. Yang rakyat tahu Edma dan ibunya hilang di hutan. Tidak ada yang curiga mengingat orang yang mengatakan adalah paman, pihak keluarga. Kenyataannya, paman telah merenggut harta dan takhta yang seharusnya milik Edma sedari kecil. Beranjak dewasa, Edma tidak lagi peduli karena ia sudah hidup bahagia dengan ibunya di perbatasan terpencil dari bagian Kerajaan Timur Laut. Meski ibu selalu mengingatkannya bahwa kerajaan butuh pemimpin yang sesungguhnya.

Edma tidak pernah menanggapi perkataan itu dengan serius. Hingga, kakinya kembali menginjak tempat dulu ia tumbuh dan berkembang. Kerajaan sudah berubah. Rerumputan gersang, penduduk berpakaian compang-camping seakan hanya peduli pada urusan perut, langkah kaki mereka berat oleh banyaknya perintah dan mata-mata sayu yang lelah berjuang sendiri.

Hati Edma teriris. Tidak menyangka kekacauan dibawah pimpinan pamannya.

"Selamat datang keponakanku," ujar Paman yang duduk angkuh di singgasananya. Empat dayang-dayang mengipas-kipaskannya.

Tiga ajudan yang baru datang menunduk hormat. Salah satunya menyepak kaki Edma agar melakukan hal yang sama. Tapi tentu saja Edma tidak melakukannya. Bagaimana bisa memberi hormat pada pemimpin yang menyengsarakan rakyatnya?

"Siapkan jamuan untuk keponakanku," perintah Paman pada ajudan yang lain.

Begitu beberapa ajudan beranjak pergi, Edma berdeham meminta perhatian. "Ada keperluan apa sampai Paman memanggil?"

Paman tertawa membahana. "Edma, kau sangat mirip sekali dengan Ayahmu. Selalu ingin membicarakan inti masalah. Marilah kita makan malam bersama dulu. Beristirahatlah di sini sehari," katanya.

"Apa yang Paman inginkan?" tanya Edma tajam. Sama sekali tidak menginginkan percakapan berliku.

"Edma, kau sudah sangat dewasa. Aku tahu apa yang paling kau inginkan. Takhta dan kekayaan yang kumiliki," ucap Paman sambil tertawa pongah.

Edma tersenyum sinis. "Kekayaan yang Paman miliki? Lucu sekali, mengingat warisan ini diperuntukkan untukku dan kesejahteraan rakyat. Paman hanya penganti sementara."

"Penganti sementara? Selama ini aku memimpin, kau masih bilang aku hanya penganti sementara?" tanya Paman licik.

"Paman hanya sedang berada di atas angin. Siapa pun yang terlalu pongah di atas angin, akan kualat di tanah yang akan dipijaknya," tandas Edma.

Paman bertepuk tangan. Suaranya nyaring di tengah-tengah ruangan sepi. Ajudan yang berbaris di sisi kanan-kiri hanya penonton tanpa suara, yang bergerak jika diminta.

"Betapa muda dan naif keponakanku," ucap Paman polos. "Begini saja, mari kita buat perjanjian. Sederhana saja. Kau harus mengambil kelapa di pohon yang berada di perbatasan Laut kerajaan ini dan Kerajaan Timur. Jika kau berhasil membawanya padaku, kau berhak menjadi raja dan memperoleh seluruh harta. Tapi jika kau gagal, kau dan ibumu harus pergi selama-lamanya dari wilayah ini. Bagaimana?"

Semua orang tahu ada pohon ajaib yang menjadi garis pemisah di perbatasan Kerajaan Timur Laut dan Kerajaan Timur. Pohon itu hanya satu, berakar kuat, bercabang besar dan tinggi. Di dahan teratas ada satu kelapa yang selalu dijaga tiga hewan buas. Monster Ikan, Buaya Raksasa dan Belut Danawa. Belum ada yang tahu manfaat kelapa tersebut. Namun Paman tetap memberikan pilihan itu seolah berencana untuk membunuh keponakannya secara tak langsung.

"Bukankah semua perjanjian harus ada hitam di atas putih?" tanya Edma yakin. Satu-satunya cara untuk membahagiakan ibu dan membebaskan rakyat dari kesengsaraan hanya dengan langkah tersebut.

Paman tersenyum puas. "Baik. Surat perjanjian ini akan ditulis segera."

Surat perjanjian itu ditandatangani oleh Edma dan Paman. Hanya dua orang saja tanpa mampu dicegah oleh penasihat kerajaan. Harusnya dipertimbangkan bersama para tetua, namun Paman implusif bahwa tubuh Edma akan dikoyak tiga hewan buas tersebut sebelum sempat meraih kelapanya. Tidak pernah ada dalam catatan sejarah, seseorang selamat dari tempat itu.

Keluar dari kerajaan, Edma pulang ke rumahnya. Meminta restu pada ibu. Sekaligus berpamitan kalau terjadi sesuatu yang tak diharapkan.

"Nak, kebaikan selalu memenangkan pertempuran," kata ibunya sambil memasangkan kalung berbandul cincin di leher Edma.

"Bu? Ini kan peninggalan Ayah untuk I—"

"Ssst, cincin ini dulu pernah dipakai oleh Ayahmu. Kau juga harus ingat, kalau kau tidak sendiri di sana," ucap ibunya. Kali ini memeluk Edma dengan erat. Setelah itu hanya jejak dan kenangan yang mampu direngkuh.

Di perjalanan pulang, seluruh organ Edma nyaris runtuh dari rongganya. Surat sudah ditandatangi, izin dari ibu sudah dapat dan tinggal menghitung jam hingga pagi hari. Kaki Edma terus melangkah sampai ia sadar sedang kembali menuju rumah Brevan. Ia berniat berpamitan padanya.

Sesampainya di rumah, ia baru ingat kalau Brevan sedang ditangkap oleh pasukan Putri Deta. Tidak ada cara berpamitan. Jadi, yang dilakukan Edma hanya berbaring di bale-bale sampai kantuk menyerang. Ia terbangun oleh suara gemerisik dan langkah kaki. Edma terjaga.

Tidak ada siapa pun.

Ketika Edma hendak berbaring lagi. Suara itu semakin mendekat dan ia nyaris terguling saat melihat siapa yang datang.

"Brevan?"

Wajah Brevan merah padam. "Siapa kau sebenarnya?" tanyanya sambil menarik panah pada busur yang mengarah tepat di mata Edma.

"Apa maksudmu?" Edma bergerak mundur, hingga tubuhnya membentur dinding.

Brevan menatapnya. Lantas menurunkan busurnya dan menggeleng-geleng tak percaya. "Kau bukan manusia. Benar, kan? Dan aku membiarkanmu tinggal di rumah bersamaku dan Ayah. Mengajarkanmu memanah dan kau berpura-pura tak bisa."

"Aku memang tak bisa memanah," ucap Edma masih berdiri di sudut ruangan.

Brevan mengangkat busurnya kembali. "Edma. Atau bisa disebut Pangeran Edma dari Kerajaan Timur Laut? Apakah itu benar?"

Edma membuka mulut, namun tidak ada kata-kata yang keluar. Brevan melempar busur dan panahnya ke sisi ruangan. Kedua tangannya yang bebas digunakan untuk mengusap muka.

"Dari mana kau tahu?" tanya Edma.

Perempuan itu menunjukkan halaman buku yang terbuka. Bab 81. Garis Keturunan Timur Laut yang Hilang. Edma tidak diizinkan membaca seolah sudah jelas kalau yang sedang buku itu bicarakan adalah dirinya.

"Itu kenapa kau memakai jubah aneh saat pertama kali bertemu. Itu jubah khas kerajaanmu," kata Brevan frustrasi. "Kenapa kau tidak memberi tahuku? Kenapa kau menyembunyikannya selama ini?"

"Ini rumit untuk dijelaskan," kata Edma.

Brevan bersandar pada tembok dan merosot, duduk di lantai. "Ibuku meninggal ditelan tsunami. Aku masih kecil untuk mengingat wajahnya, tapi ia selalu menyanyikan Ni Na Bo Bo sebelum aku tidur. Aku bisa mengingat suaranya, bukan wajahnya. Tadi, Nyonya Tella memberitahuku kalau Ayah meninggal tak terselamatkan. Tidak ada lagi yang tersisa untuk dicintai. Aku terakhir kali melihat wajah Ayah, tapi tidak mendengar suara terakhirnya. Hanya kau yang tersisa, Edma. Jika aku tidak memiliki alasan untuk percaya padamu, untuk apa kita saling bicara?"

"Aku tidak bisa memberitahumu karena akan ada konsekuensi yang harus ditanggung," kata Edma mencoba menjelaskan.

"Konsekuensi macam apa?"

"Brevan, jika aku memberitahumu tentang duniaku, suatu saat kau akan menceritakannya pada orang lain. Jika itu terjadi, sejarah bisa jadi ditulis ulang, keberadaan aku akan tersingkap oleh manusia. Penjaga Waktu akan terpanggil," ucap Edma lembut.

"Aku berjanji tidak akan menceritakan pada siapa pun. Memang siapa Penjaga Waktu?"

"Roh yang akan datang jika seseorang membuat deviasi waktu. Penjaga Waktu akan merenggut hidupmu. Saat kau tanpa sengaja menceritakan kehidupanku ke orang lain. Terutama jika ada sejarahwan yang mendengar, maka ia akan melakukan apa saja untuk menemukan keberadaanku," ucap Edma. "Dan itu bisa menggoyahkan tatanan waktu."

Brevan memalingkan wajah ke pintu yang tertutup. "Tidak apa-apa. Aku akan berusaha semaksimal mungkin agar tidak bercerita pada siapa pun."

Edma memandangnya sambil menghela napas. "Aku bukan seperti yang tadi kau katakan. Memang aku anak raja, tapi setelah Ayahku meninggal, aku tidak lagi bergelar pangeran. Aku masih terlalu kecil untuk menggantikan posisi Ayah, itu sebabnya Paman yang dipilih sebagai raja sementara. Lantas, Paman membuang aku dan Ibu ke perbatasan terpencil. Tempat terlupakan yang tidak layak dihuni. Ibu pasrah saja dan kami hanya hidup berdua," tutur Edma mengingat hari kelabu yang pernah dialaminya. "Kami sangat kelaparan. Sampai kami mencari ikan di sungai kotor. Ketika dapat, Ibu malah melepaskannya. Ikan itu bisa berbicara. Ia menginginkan kebebasan. Sebagai bayaran, ia memberikan emas pada Ibu untuk dijual. Emas dari ikan itu membantu kami terlepas dari lilitan kesusahan."

"Ikan bisa berbicara?" tanya Brevan tak percaya.

"Entahlah. Ibuku bisa berbicara pada hewan-hewan. Meski mempunyai kemampuan tersebut, Ibu tidak pernah menggunakan untuk kepentingan sendiri. Jangan pernah memperbudak binatang untuk kebaikan pribadi, katanya."

Mata Brevan berbinar. "Wow. Keluargamu menganggumkan. Walau aku agak benci pada Pamanmu yang haus kekuasaan."

"Nanti pagi, aku juga harus pergi ke perbatasan laut. Mencari kelapa untuk Paman agar aku bisa menjadi raja dan Paman akan menerima kekalahan. Perjanjian darinya," ucap Edma teringat keinginanya untuk berpamitan. "Namun aku tak yakin bisa."

Brevan tak suka ekspresi dari wajah Edma. "Aku yakin kau bisa. Kau—"

"Ada tiga hewan buas di sana. Dan aku bukan seperti Ibuku yang bisa berbicara pada binatang. Bukan Ayahku yang tersohor kebaikannya. Juga tidak pantas disebut pangeran," kata Edma sambil menampik semut di bahunya.

"Edma, kau bisa menjadi apa saja. Tidak ada yang memaksamu untuk mengemban gelar pangeran. Kau tidak perlu khawatir pada angin yang kau taklukan. Jadilah versi terbaik dirimu sendiri," sahut Brevan. Ia bergerak berdiri dan merapikan busur beserta anak panahnya.

"Aku tidak bisa. Aku jahat, Brevan. Aku mengambil kehidupan orang lain," ketika Edma mencoba menjelaskan, ia kehilangan kata-kata. Kalimatnya mengambang tak tuntas.

"Kau melakukan apa yang menurutmu benar. Dan kau tidak jahat," sambung Brevan.

Edma tersenyum miris, "Bagaimana caramu keluar dari penjara Putri Deta?"

"Tidak. Aku menyelematkan diri di pertengahan jalan. Mereka membawa panah yang dilumuri obat tidur. Jadi, aku merebutnya dan menusukkan ke semua prajurit. Ayah melatihku dan latihan tidak pernah sia-sia," kata Edma yang tak mampu menyembunyikan mata berembun.

"Darimana kau tahu panah itu dilumuri obat tidur?"

Brevan mengusap mata. "Panah yang berbeda selalu diberi tanda agar mereka tidak salah ambil. Biasanya panah yang sudah dilumuri obat tidur ditandai goresan di ujungnya."

Edma mengangguk. Tidak ada pembicaraan lebih lanjut yang pantas untuk dikatakan.

Brevan menyimpan perkakasanya di bawah ranjang, ditutupi selimut tebal. "Nanti pagi, aku akan ke hutan untuk menyimpan busur dan panah. Selesai dari itu, aku harus mengurus pemakaman Ayah. Tella berbaik hati untuk mengurus proses doa dan mengizinkanku kembali pagi-pagi sekali ke rumahnya. Sekarang lebih baik kita beristirahat, karena besok akan jadi hari yang sibuk untuk kita berdua. Aku percaya padamu, Edma. Nanti siang kita bicara lagi."

Edma menenguk ludah, kalau saja Brevan tahu apa yang sudah dilakukannya.






A.N

Bagi yang belum mengerti soal Penjaga Waktu. Penjaga Waktu itu tokoh original yang aku buat. Tugasnya dia itu menjaga waktu tetap stabil. Cerita dia sendiri pun sudah ada. Silakan cek work aku.

Jadi, Edma takut cerita ke Brevan karena ia pikir Brevan bakal cerita ke orang lain. Lalu orang lain itu akan cerita ke orang lain sampai akhirnya membuat kepercayaan. Kalau ada sejarahwan yang tahu, tentu akan dicari tahu keasliannya. Itu sama artinya mencoba berkomunikasi dan masa depan bisa jadi berubah situasinya untuk manusia. Penjaga Waktu otomatis akan datang ke Brevan sebagai penyebabnya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro