3. Labirin
Berulang-ulang Putri Tenggara mengingatkannya jangan sampai terjebak di dunia manusia. Mudah diucapkan jika saja Edma tidak bergaul dengan manusia seperti Brevan. Perempuan itu memiliki kelebihan yang tidak pernah Edma temui pada perempuan lainnya. Berani mengambil risiko meski nyawa taruhannya.
Tadi pagi, Brevan mengajarinya memanah lagi. Hanya sebentar. Lantas, kembali lagi ke desa saat mendapatkan firasat buruk. Edma tidak yakin perempuan itu mendapat firasat buruk, mengingat setelah pergi tadi tidak ada tanda-tanda masalah. Namun Edma menyesali pemikirannya begitu melihat suasana desa. Anak-anak perempuan berusia lima tahun tak berhenti menangis, kepala pemuda-pemudi menunduk dan orang tua saling menggengam tangan seolah memberikan kekuatan. Edma mengikuti Brevan saat mencoba membaur bersama kerumunan ibu-ibu.
"Aku tidak akan bertanya sekali lagi, Pak Tua!" ketus seorang panglima sambil menatap Ayah Brevan lekat.
Edma yang melihat kejadian itu ingin sekali mengeluarkan kekuatannya. Tapi sebelum sempat terjadi, Brevan menyeruak dari kerumunan dan mendorong tubuh panglima hingga orang itu tersungkur. Dua prajurit lain otomatis membantu pemimpinnya berdiri. Beberapa memegang tangan Brevan, menahannya. Dan sisanya membidikan panah dan pedang tepat di wajah perempuan itu.
Panglima itu tersenyum mengejek. Berjalan mendekat ke arah Brevan hingga menyisakan satu inci sebagai ruang kosong. "Coba lihat perempuan kecil ini," katanya. "Mencoba menyelamatkan orang tua."
"Ia tidak salah apa pun padamu!" pekik Brevan.
"Tentu saja Pak Tua ini salah. Sangat salah. Seandainya ia bisa menghitung dengan benar, kami tak akan kekurangan pedang saat berperang," ujar panglima itu galak.
"Prajurit yang baik pasti bisa menggunakan pedang atau senjata apa pun yang ada dengan bijak tanpa perlu menyalahkan pembuatnya," sahut Brevan singkat, seakan panglima sudah pasti tahu siapa yang salah.
Suara kasak-kusuk para penduduk saling bersahutan. Jelas mereka setuju dengan perkataan Brevan. Untuk apa menyalahkan pembuat pedang jika ada senjata lain sebagai alternatif. Bukankah prajurit perang sudah dididik untuk menggunakan semua jenis senjata untuk perlindungan diri? Namun yang ada kini, seolah keteledoran satu orang menjadi masalah yang perlu dibesar-besarkan. Apalagi membawa rombongan ajudan.
Edma merekam kejadian di depan matanya dengan cepat. Panglima itu berwajah keras, ada luka bakar memanjang di kiri pipi. Mulutnya yang runcing mengeluarkan kata-kata keji di wajah Brevan. Rambut hitamnya dipangkas membentuk ular di kepala. Matanya hitam pekat seakan melihat musuh. Tangannya perlahan bergerak ke pinggang, mengeluarkan pedang panjang yang terpantul cahaya matahari.
Senyum Brevan sama sekali tak pudar. "Hanya laki-laki pecundang yang melawan orang tua renta dan perempuan tanpa senjata. Mungkin gelar panglima akan dicabut setelah kejadian ini. Putri Deta akan sadar bahwa ia memilih pemimpin perang yang salah."
Wajah panglima semakin menggelap. Dengan isyarat tangan, ia menyuruh anak buahnya melepaskan Brevan. Begitu dilepaskan, Brevan meregangkan kedua tangannya. Keduanya kini saling bertatapan.
"Ia hanya seorang anak yang mencoba menyelamatkan orangtuanya," kata salah seorang pemuda yang mencoba meredakan pertikaian yang akan segera terjadi.
"Oh jadi begitu," kata panglima bergerak menjauh, lantas bergerak cepat ke Ayah Brevan sambil menusukkan pedang ke perutnya.
Suara perempuan menjerit histeris, anak-anak meraung ketakutan dan lelaki berdeham gusar. Namun tidak ada yang berani berlari menghampiri karena tahu risikonya. Brevan memekik. Teriakan memilukan yang pertama kali Edma dengar dari perempuan tangguh itu. Brevan langsung berlari ke arah ayahnya yang spontan jatuh. Panglima itu tampak tidak merasa bersalah saat berlalu pergi.
Namun hal yang tak pernah Edma sangka terjadi. Brevan meletakkan tubuh ayahnya dengan hati-hati dan bergerak merebut salah satu busur dan panah milik prajurit. Edma langsung mengerti adegan selanjutnya. Panah itu tepat tertancap di jantung panglima tadi. Brevan melempar busur dan panah itu ke sembarang arah. Menunggu dengan angkuh hingga prajurit menangkapnya.
Dua pemuda sudah cepat tanggap untuk memindahkan Ayah Brevan ke perumahannya. Meletakkan tubuh berlumur darah itu telentang di bale. Seorang perepuan tua bergelut mengumpulkan tumbuhan obat-obatan di pekarangan rumahnya dan perempuan yang lebih muda menekan darah yang terus menyembur itu dengan kain. Sisanya memilih bersembunyi di dalam rumah sendiri. Rasa takut mengalahkan empati.
Brevan diseret menjauh tanpa mengizinkan kepalanya menoleh. Edma memutuskan berlari menyusul Ayah Brevan sambil memberikan kabar ke sang Magi lewat angin. Hanya makhluk itu yang bisa menyembuhkannya. Lewat angin juga, sang Magi menjawab bahwa itu bukan urusannya. Prioritasnya adalah mendapatkan kristal. Tidak ada bantahan dari Edma sesudah itu. Ia sadar diri bahwa sudah masuk ke dalam labirin kehidupan manusia.
Perempuan tua tadi meramu obat dengan sigap. Menambakan sedikit air ke dalam baskom tanah liat. Meletakkan ramuannya pada perut Ayah Brevan. Lelaki itu sudah kehilangan kesadaran sejak sepuluh menit yang lalu. Seakan pasrah pada lukanya. Perempuan muda yang tadi menekan darah, kini mencuci kainnya, memasak air dan merendam kain itu sambil menyiapkan ramuan lainnya.
"Ia tidak akan mati, Nak. Jangan khawatir. Ia sudah mendapat luka tusukan hampir sepanjang hidupnya," kata perempuan tua itu ramah. "Namaku Tella. Siapa namamu? Tampaknya aku belum pernah bicara denganmu."
Edma yang sadar diajak berbincang langsung merespons. "Aku Edma. Menumpang sementara di rumah Ayah Brevan. Bisakah kau menyelamatkannya?"
"Percaya saja pada Ibuku," jawab perempuan yang menyiapkan ramuan kedua sambil semringah, "ia dulu pernah merawat Ayah Brevan saat usai perang."
"Ayah Brevan dulunya prajurit Putri Deta?" tanya Edma keheranan.
Perempuan muda itu menggeleng. "Prajurit Raja Major, ayah Putri Deta. Setelah raja meninggal, Ayah Brevan dibebastugaskan. Ia prajurit terbaik dalam masanya."
"Kenapa Putri Deta melepaskan prajurit terbaik begitu saja?"
"Hanya Ayah Brevan yang tahu jawabannya," jawab perempuan muda itu. Kembali ia membantu ibunya.
Edma tidak lagi banyak bertanya. Hanya mengamati cara Tella mulai menjahit luka sobek di perut dengan lembut. Sementara perempuan muda itu menunggu dengan sabar hingga ibunya selesai, baru meletakkan ramuan baru.
Dua pemuda yang tadi berdiri diam saja menuntun Edma keluar. Edma menurut saja karena tidak memiliki hak.
"Ayah Brevan pasti akan selamat. Ia pernah menyelamatkan Rocy dan aku saat mengalami luka perang," kata salah satu pemuda itu.
Pemuda yang bernama Rocy mengangguk meyakinkan. Sampai keduanya berpamitan untuk mencari kayu bakar. Edma menunggu di pintu. Mengamati desa yang nyaris sepi. Jendela dan pintu kini tertutup rapat. Edma meyakini kalau beberapa di dalam hati, mereka berduka untuk tetangga. Sisanya berterima kasih bukan ayahnya yang jadi korban.
"Kau mau terus di luar hingga panglima lain menghunus perutmu. Atau kau masuk ke dalam dan menutup pintunya?" tanya Tella yang membuka pintu dan membiarkan terbuka tanpa menunggu jawaban.
Edma melakukan persis seperti yang Tella katakan. Begitu menutup pintu, ia beranjak duduk di samping bale tempat Ayah Brevan tak sadarkan diri. Tella bilang, itu akibat ramuan obat dan akan segera sadar. Sementara mereka kembali ke pekerjaan masing-masing. Merajut tanpa memedulikan kehadiran Edma di dalam rumahnya.
"Maaf tidak bisa menyelamatkan," bisik Edma pada lelaki yang selama ini tak banyak bicara. Ia baru sadar kalau selama menumpang tidak membantu apa pun. Hanya menyiapkan makanan dan menghabiskan waktu dengan Brevan.
Kelopak mata Ayah Brevan bergerak. "Hai, Nak," sapanya.
Edma tidak merespons apa pun. Air muka Ayah Brevan menyiratkan pesan-pesan yang selama ini belum ia katakan.
"Kau tidak bisa terus bersembunyi, apalagi di desa kecil," kata Ayah Brevan dengan nada tersendat.
Kepala Edma ingin pecah saat mendengarnya. Apa selama ini penyamarannya telah terungkap? Atau Ayah Brevan salah satu utusan dari Bawanapraba?
"Brevan tidak akan bisa berada di akhir ceritamu, Nak. Jika kau mencintainya, kau harus mengatakannya sebelum menyesal." Ayah Brevan tersenyum padanya. Ia terbatuk-batuk kecil hingga akhirnya erangan kesakitannya memanggil Tella dan putrinya. Kedua perempuan itu siaga. Hilir mudik mengambil tumbuhan, kain basah dan air. Keluar masuk dapur.
"Jangan banyak bicara!" perintah Tella pada Ayah Brevan sambil mengecek kondisinya.
Darah segar menembus kain yang telah disusun Tella. Luka jahitan kini telah terobek lagi karena terlalu banyak bergerak.
"Kau akan baik-baik saja," ujar Tella gugup. Tangannya gemetar saat meletakkan ramuan sementara.
"Pada akhirnya," ujar Ayah Brevan. Matanya menerawang ke langit-langit rumah. Hingga tubuhnya bertambah lemah. "Edma... akan selalu ada nama di hati yang tak pernah terlisankan secara langsung."
"Aku tidak tahu apa yang ia bicarakan," kata Edma, mencoba berdusta pada Tella. "Kau harus segera menolongnya. Lebih baik aku menunggu di luar. Agar tidak menganggu."
Ketika Edma hendak beranjak pergi, tangan Ayah Brevan terulur mencengkram pergelangan tangannya. "Temukan kristal... itu..." Ayah Brevan tercekik. "Kau akan... menyelamatkan...." Kalimatnya mengantung.
Tubuh kekarnya mengejang cepat, Tella dan putrinya mencoba berbagai cara untuk meredakan. Tapi tampak Ayah Brevan tidak memberi respons apa pun. Kelopak matanya perlahan terpejam. Hingga tubuhnya tak bergerak. Tidak ada tarikan napas dan detak jantungnya menghilang.
Tella melempar seluruh penghalang di tubuh Ayah Brevan dengan frustrasi. Lantas meletakkan kedua telapak tangan dan menekan bagian antara tulang iga dan pusar Ayah Brevan. "Aku tidak akan membiarkan kau mati!"
Pintu terbanting membuka. Dua anak lelaki kembarnya masuk dengan panik. Rocy menyuarakan pikiran saudaranya. "Apa yang terjadi?"
"Ia kehabisan banyak darah. Atau mungkin ada gumpalan darah yang menghambat. Aku tak tahu. Aku hanya pernah menjadi bagian medis saat perang bukan dokter," kata Tella sambil terisak. Tangannya masih mencoba memopa dada berusaha mencari tanda kehidupan.
Edma hanya mampu menyaksikan setiap bagian semakin jelas. Rocy menghentikan usaha ibunya dan memeluk untuk menenangkan. Tella masih meraung dan meronta. Hingga ia kelelahan menangis. Perempuan muda mengurus ibunya, sedangkan saudara kembar laki-laki mengurus jasad Ayah Brevan.
Tidak ada usaha apa pun yang bisa dilakukan. Kakinya lebih dulu bekerja dibanding otak, Edma berlari ke arah hutan. Tempat seharusnya ia dan Brevan berada. Mengabaikan luka goresan akar. Namun yang ditemukan di sana diluar dugaan. Tiga ajudan dari Kerajaan Angin Timur Laut.
"Raja, ingin bertemu denganmu."
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro