2. Pemanah
Sebelum mentari memancarkan sinarnya, Desa Rama mulai sibuk dengan aktivitas masing-masing. Kebanyakan lelaki mengasah pedang, bercocok tanam, menempa candrasa, dan berlatih diri dengan berburu. Sementara perempuan melakukan kegiatan lain, menjahit pakaian, merawat binatang ternak yang dimiliki dan membuat kerajinan tangan. Rama memang terkenal sebagai desa penghasil perlengkapan rumah tangga dan sabel. Tak heran jika patih kerajaan datang jauh-jauh dari pusat wilayah hanya untuk melihat cara rakyat Rama membuat pedang. Meski sudah meniru caranya bekerja, namun hasilnya tak akan sama.
Dan kini, kalau Brevan tidak menarik tangan, Edma yakin ia akan berguling terlelap lagi. Semalaman ia berbicara dengan Putri Tenggara lewat perantara angin. Membicarakan rencana dan progress. Bertukar ide untuk mendapatkan kristal itu. Persen kegagalan Edma untuk masuk istana semakin meningkat, ia baru tahu kalau kerjaan diselimuti kabut anti-kekuatan.
"Aku sudah mengirimkan gembala angin untuk mengecek istana Putri Deta. Bagaimana bisa kau masuk tanpa kekuatan? Kau akan mati di dalam." Kalimat Putri Tenggara terngiang-ngiang di telinga Edma.
Edma terdiam. Mengelompokkan informasi yang tertebar di kepala. Sang Magi sudah memberi petunjuk bahwa kristal ada di tangan Putri Deta, tapi belum mengetahui di mana pastinya orang itu menyimpannya. Putri Tenggara memberi informasi bahwa istana diselimuti kabut anti-kakuatan. Seolah ada sesuatu yang memiliki kemampuan yang sama untuk melakukan penguncian. Atau mungkin seseorang.
"Kita mau ke mana?" tanya Edma. Ia sudah membaca isi kamus sampai selesai, kini ia tidak perlu khawatir tentang bahasa manusia.
"Belajar sesuatu hal yang tidak akan kau lupakan," kata Brevan. Ia berjalan mendahului Edma. Langkahnya sama sekali tidak ragu.
Melewati jalan berkerikil, harum roti panas menyeruak. Di sisi jalan, perumahan saling menempel dan berjajar. Di setiap depan pekarangan rumah, anak-anak kecil membantu ibu mereka. Menimba air, membawa kayu dan ada yang menjahit pakaian sendiri. Edma mengikuti Brevan berjalan sampai ke hutan. Suara-suara manusia kini berganti nyanyian burung. Bunyi-bunyi gemerisik daun. Deguk air.
Brevan bersiul-siul. Bukan sembarang suara. Seolah ia memanggil sesuatu. Beberapa menit kemudian datang burung elang yang berkaok-kaok. Edma bergeming. Mengamati. Elang itu hinggap di pundak Brevan.
Sesudah itu, Brevan berjalan dua meter dari tempatnya berdiri. Edma mengikutinya. Perempuan itu mengorek sesuatu di balik pohon yang tumbang. Sebagian kulit pohon itu mengelupas, tapi tidak terlalu parah. Berkat tertutup lumut yang tumbuh mengelilingnya. Ternyata sebuah busur dan sekantong panah. Lalu, kembali ke tempat awal tanpa pembicaraan.
"Kau pernah memanah?" tanya Brevan sambil menyerahkan gandi pada Edma. "Aku akan mengajarimu jika mau."
Edma menatapnya. "Kau bilang tugas perempuan memasak dan menjahit. Kenapa kau bisa memanah? Dan kenapa mereka mengizinkanmu memegang ini?"
Brevan menepuk dada. "Berani menjadi diri sendiri. Seperti kata brave dalam bahasa Inggris. Jarang ada perempuan yang memegang senjata, semua sudah diambil alih oleh pihak lelaki. Tapi, sejak salah satu sahabatku meninggal, aku berjanji untuk melindungi keluargaku. Salah satunya dengan memanah. Panggilan jiwa."
Edma mengambil gandi itu. Ia belum pernah berlatih dengan alat ini. Ayahnya dulu sudah berjanji akan mengajari, sayang ayahnya meninggal dalam upaya membantu Bawanapraba memenjara sang Iblis. "Namamu seperti laki-laki," komentar Edma sambil menimbang-nimbang berat busur.
"Dulu namaku ada beragam. Stella, Violet, Aura, Mary, Juliana dan masih ada banyak lagi. Tapi, kata ayah jika menggunakan nama-nama itu membuat aku malah sering sakit. Entah mitos atau fakta. Makanya ayah memilih nama Brevan. Menjadi perempuan pemberani," jelas Brevan, "sekarang, aku harus mengajarimu memanah. Karena cuma senjata ini yang bisa kuajarkan. Kalau-kalau kau membutuhkannya saat nanti menemukan keluargamu lagi. Memperjuangkan kehidupan mereka."
"Untuk ukuran perempuan yang tinggal di desa kecil, kau benar-benar cerdas," puji Edma.
"Itulah gunanya membaca buku," kata Brevan sambil tertawa.
Pagi hingga tunggang gunung, Edma terus berlatih bersama Brevan. Awalnya Edma selalu gagal. Meleset, tarikan yang terlalu lemah bahkan tangan yang bergetar ragu. Membidik tepat di batang pohon yang Brevan beri tanda. Edma masih khawatir Penunggu Pohon akan datang untuk menumbuknya. Tapi, untung makhluk itu tidak datang, pasti sudah tahu bahwa ia sedang membuang-buang waktu dengan manusia.
"Payah sekali. Kau harus fokus. Lihat pohon itu. Itu musuhmu yang datang. Selamatkan keluargamu sebelum mereka menyerang." Brevan menyugesti.
"Terima kasih dukungan moralnya," kata Edma.
"Sama-sama," jawab Brevan tanpa merasa tersindir.
Kembali Edma merentangkan kaki selebar bahu. Menjajarkan tubuhnya segaris lurus dengan sasaran. Sudut kaki empat puluh derajat sesuai perkataan Brevan. Memasukkan ekor panah ke nocking point pada tali. Angkat busur setinggi bahu. Jari telunjuk, jari tengah dan jari manis menarik tali. Tali harus menyentuh dagu, bibir dan hidung. Edma menerapkan langkah yang sudah diulang-ulang sejak tadi oleh Brevan.
Ia sudah membidik tepat sentral. Jemarinya melepaskan anak panah dengan pasti. Gerak lambat terjadi. Hingga panah itu menancap akurat di tengah. Edma menurunkan busur dan bernapas lega. Luar biasa. Belajar memanah ternyata tidak semudah perkiraannya.
"Ya ampun, dari pagi sampai sore ngajarin satu kau doang. Luar biasa lamanya," kata Brevan sambil mendongak. Lalu, berpaling ke burung di pundaknya, "Sev, kau harus pulang, besok saja kita bermain. Hati-hati."
Seolah mengerti, elang itu berkaok-kaok dan terbang. Edma takjub bagaimana hewan itu tidak bosan bertengger di pundak Brevan. Matahari mulai tergelincir ke barat, cahayanya menerobos pohon-pohon. Bayangan memanjang. Gemerisik dan wangi dedaunan tertiup angin. Udara lembap dan dingin.
"Kita harus pulang. Lelaki tidak boleh berlama-lama berkeliaran di hutan," kata Brevan sambil mencabut panah dan menutupi bekas titik cat putih di pohon dengan kain yang diikat.
Perempuan tersebut merapikan perlengkapan dengan cepat. Memasukkan anak panah ke dalam quiver. Dan menyembunyikan gandi ke dalam pohon tumbang lainnya. Ia memberi tanda goresan dengan ranting dan beranjak pergi tergesa-gesa.
"Ada apa sih?" tanya Edma tak mengerti.
"Aku lupa. Harusnya aku tak boleh membiarkanmu pulang sampai sore," kata Brevan.
Edma semakin tidak mengerti dengan pembicaran sepotong-sepotong itu. "Bukannya perempuan yang tidak boleh pulang terlalu sore? Aneh sekali."
"Selamat datang di Desa Rama, wilayah Shinta. Lelaki yang terlihat di hutan saat sore dan malam dianggap mata-mata kerajaan lain. Apalagi lelaki identik dengan senjata. Mereka tidak pernah khawatir jika perempuan yang berkeliaran. Bagi mereka, perempuan makhluk lemah dan tidak berbahaya," jelas Brevan, "sahabatku dibunuh saat ia terlalu lama di hutan."
"Memang ada berapa kerajaan di wilayah ini?" tanya Edma tercengang. Terpikir kalau istana yang kemarin dilihatnya ternyata bukan istana Putri Deta.
Brevan melompati sulur yang melintang. "Ada tiga istana. Lima belas desa. Desa Rama yang paling kecil sekali. Beruntung terkenal dengan pembuatan pedang dan kerajinan. Kalau tidak, pasti desa ini sudah lama rata dengan tanah. Atau malah menjadi menara tawanan. Bisa kau bayangkan, kan?"
Edma menggeleng cepat. "Jadi, maksudmu secara tak langsung ada tiga kerajaan? Lalu lima belas desa itu masuk ke dalam bagian mana? Kau bilang patih kerajaan sering datang ke sini untuk membeli pedang secara langsung? Jadi, siapa patih kerajaan itu?"
"Terkadang patih dari tiga kerajaan itu, tapi kadang patih dari kerajaan luar wilayah Shinta. Kami semua sangat bergantung pada sumber pekerjaan itu. Pembuatan pedang lebih utama," kata Brevan. Ia mengembuskan napas panjang. "Dulu, kerajaan hanya satu. Semua hidup damai dan tentram. Sampai raja dan ratu meninggal dunia. Mereka meminta anak pertama yang meneruskan kerajaan. Putri Aurora. Tapi, anak-anak raja itu semua kembar. Lahir hanya selisih sedetik. Menurut dua saudarinya itu tidak adil. Akhirnya tiga saudari itu tidak ada yang mau kalah. Sama-sama membangun istana sendiri. Mengklaim dirinya kerajaan. Desa-desa akhirnya terpecah belah. Tiap Kamis, semua desa harus rutin membayar tiga upeti untuk tiga kerajaan. Seluruh desa sengsara."
Edma menyingkirkan ranting yang menghalangi jalannya. "Kenapa tidak bermigrasi saja ke wilayah lain?"
"Tidak ada yang mau mengambil risiko," jawab Brevan pelan.
Berdua mereka melangkah ke jalan setap yang mengarah ke perumahan dari istana. Langkah Brevan semakin cepat dan mantap ketika menerobos hutan. Tak ada pilihan lain bagi Edma selain mengikuti langkahnya. Hutan itu cukup lebat oleh pepohonan besar bahkan ada suara lolongan hewan. Entah binatang jenis apa.
Brevan mengambil langkah lebar-lebar. Sama sekali tidak takut tersesat. Bahkan meski matahari telah menyeruak di ufuk, tidak ada kekhawatiran. Seakan sudah hafal seluruh senti hutan. Hingga mereka kembali sampai di jalan menuju perumahan seolah ada denai yang memberi petunjuk. Terbesit pertanyaan di benak Edma.
"Siapa nama dua saudari Aurora?" tanya Edma.
"Putri Deta dan Putri Mema."
"Di mana letak istana Putri Deta?"
"Satu kilometer dari Selat Malaka. Ia punya banyak penembak jitu. Salah satunya sudah membunuh sahabatku itu."
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro