Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Persona 2 - 1

by sirhayani

part of zhkansas

...

Ada satu hal yang membuat Ara tertarik untuk memasuki ruangan di mana seorang gadis berumur 8 tahun berada. Setelah tak sengaja menerima kabar dari teman sesama dokter, Anggi, bahwa ada seorang anak yang masuk rumah sakit karena demam, ia buru-buru memasuki ruang rawat inap tempat di mana Feenat Keziela dirawat.

Feenat Keziela

Ara tahu nama itu. Nama yang 8 tahun lalu mulai dia dengar. Membuat rasa bahagia dua pasangan remaja tersalurkan kepada dirinya juga meski dia tak melihat langsung. Anak yang selamat dari pertanggungjawaban dua remaja yang terjebak dalam pergaulan salah.

Perempuan itu tak menyangka tujuan Anggi menyuruhnya ke ruangan itu adalah karena gadis kecil tersebut memiliki keterbatasan. Anggi tahu Ara bisa bahasa isyarat dan juga Ara masih istirahat.

Setibanya di ruangan VIP, Ara membuka ruangan pelan. Di atas brangkar ada seorang gadis kecil yang masih tersenyum dan senyuman itu tetap tak lepas ketika melihatnya. Ara yakin, baru saja Feenat berkomunikasi dengan yang lain tentang sesuatu yang menyenangkan.

Feenat cantik. Rambutnya lurus dan panjang. Ada poninya. Matanya indah. Semua itu mirip dengan Kezia, kecuali satu: ekspresi gadis kecil itu ketika tersenyum.

"Ra?" panggil Anggi, menyadarkan lamunan Ara tentang gadis kecil yang masih menatapnya. Setelah melihat anggukan Anggi pertanda bahwa Ara bisa langsung menuju Feenat, Ara mengerti. Dia pun duduk di sebuah kursi yang Anggi siapkan untuknya. Seorang perempuan berumur 30-an yang Ara yakin adalah baby sitter Feenat menggeser kursinya untuk memberikan Ara ruang bebas.

Entah kenapa, Ara merasa sedih sekaligus senang karena gadis kecil yang menatapnya sambil tersenyum sekarang ini adalah anak dari mantan pacarnya saat SMA dulu.

"Maaf, Mbak." Ara menaikkan alis. "Nama Mbak....?"

"Risa," jawab perempuan itu.

Ara mengangguk-angguk. "Oh, Mbak Risa."

Tanpa Ara duga, seperti kebiasaannya ketika bertemu dengan anak seumuran Feenat ataupun di bawah Feenat, tangan Ara refleks mengelus puncak kepala gadis kecil itu dengan lembut. Dia suka anak kecil. Dulu sampai sekarang.

Ara mulai berkomunikasi dengan Feenat. Sebelumnya dia tersenyum membalas senyuman Feenat yang tak pernah lepas semenjak tadi. Senyuman itu seperti bentuk salam perkenalan darinya.

Ara mulai menggerakkan tangannya. "Nama kamu siapa?"

"Feenat. Panggil Fee aja," balas Fee semangat.

"Oke, Fee. Bagaimana sekarang keaadaan kamu, Fee?"

"Sehat. Nama Bu Dokter siapa?"

Ara mengangkat alis dan menunjuk dirinya sendiri. "Aku?"

Feenat mengangguk.

"Panggil aja Bu Ara."

Fee tersenyum. "Aku boleh panggil Bu Dokter Cantik?"

Ara tertawa. Dia menatap Fee sambil menahan senyumnya. "Kenapa mau panggil aku Bu Dokter cantik?"

"Karena Bu Dokter cantik. Kayak Mama."

Sejenak, Ara terdiam memikirkan hal itu. Kali ini Ara tersenyum, bukan senyuman senang melainkan senyuman yang membuatnya meringis dalam hati.

Dia kembali menggerakkan tangannya. "Boleh."

"Asyik." Fee bertepuk tangan sambil tersenyum senang.

Ara memerhatikan tingkah Fee yang sangat ceria. Dia kemudian mengambil sebuah mangkuk berisi bubur. Harusnya Fee makan, tapi anak itu tidak mau makan tadi saat Mbak Risa yang ingin menyuapi. Katanya sudah kenyang. Sementara Anggi yang bingung ingin berinteraksi seperti apa akhirnya menghubungi Ara yang untungnya sedang istirahat.

Ara menyimpan mangkuk itu sebentar di meja karena lupa berkomunikasi dengan Fee dulu. "Kamu makan, ya?"

Fee menggeleng.

"Kenapa, Fee?"

"Nggak laper," balas Fee.

"Nggak boleh gitu. Kamu harus makan tepat waktu biar sehat."

Fee kemudian mengangguk dan membuka mulutnya. Ara segera mengambil mangkuk dan sesendok bubur. Sambil menyuapi Fee, Mbak Risa mengajaknya berbicara.

"Cita-citanya mau jadi dokter. Makanya senang ketemu sama dokter langsung. Apalagi kalau dokternya perempuan." Mbak Risa berkata di tengah-tengah Ara menyuapi Fee. "Tadi Dokter Anggi yang tangani, tapi dia nggak bisa bahasa Isyarat dan katanya ada temennya yang dokter juga dan bisa bahasa isyarat."

"Iya, kebetulan juga bisa." Ara tersenyum tipis.

"Kamu belajar di mana?"

"Dulu waktu kuliah di Jepang ada teman satu jurusan yang bisa bahasa Isyarat. Saya belajar banyak dari dia selama di sana."

"Wah. Kuliah di Jepang?"

Ara tersenyum canggung. "Iya."

"Tapi bekerja di Indonesia? Saya kalau nggak salah info, lulusan Kedokteran luar negeri susah buat kerja di Indonesia? Harus melalu serangkaian proses lagi?"

"Iya, Mbak. Tahun lalu saya baru aja selesai proses adaptasi dokter di Indonesia. Saya balik ke Indonesia karena banyak hal yang nggak bisa saya lupain di sini. Dulu memang saya di Jepang buat kuliah Kedokteran, nggak mikir lainnya. Tapi setelah berpikir, kalau lama di Jepang saya nggak bisa ke makam untuk berziarah kapan sepuasnya."

Mbak Risa tersenyum tipis. Agak menyesal telah bertanya tadi. Dari ucapan dokter di depannya itu, dia pikir ada keluarga penting Ara yang sudah meninggal.

"Kamu pulang jam berapa?" tanya Mbak Risa.

"Saya nggak ada jadwal malam, sih. Kemungkinan pulang habis magrib." Dia menatap Fee yang asyik mengunyah. "Fee nggak apa-apa, kan?"

"Nanti saya kasih tahu Fee saja kalau kamu sudah selesai kerja."

"Iya, maaf banget, Mbak."

"Nggak apa-apa. Justru saya mau berterima kasih sama kamu karena sudah mau meluangkan waktu untuk Fee."

Ara memberikan seulas senyum kepada Mbak Risa. Dia jadi berpikir tentang kedua orangtua Fee. "Ayah dan ibunya Fee bagaimana?"

"Nanti saya hubungi. Sebenarnya ini permintaan Fee yang nggak mau orangtuanya khawatir." Mbak Risa menghela napasnya. Ada senyum yang tercipta ketika melihat Fee yang juga tersenyum menatapnya sampai mata Fee terlihat menyipit. "Fee meskipun usianya masih delapan tahun, tapi entah kenapa pikirannya sampai ke sana. Justru anak-anak kecil biasanya yang paling butuh orangtua di sampingnya. Mungkin karena dia paham, kedua orangtuanya sibuk bekerja dan Fee merasa nggak pengin ganggu."

"Lebih baik setelah ini, Mbak Risa telepon orangtuanya aja, ya? Bagaimana pun, Fee masih anak-anak. Orangtua Fee juga justru makin khawatir kalau nggak diberitahu dari awal."

"Itu lah yang saya pikirkan tadi." Mbak Risa menghela napas lagi. "Ya sudah, nanti mungkin setelah pulang kantor, saya hubungi mereka. Setengah jam lagi."

Ara mengangguk. Dia ingin mengatakan sesuatu yang sebenarnya mengganggu pikirannya sejak tadi. "Mbak, nanti tolong jangan cerita-cerita ya kalau Fee ketemu sama saya?"

"Lho, kenapa?"

"Nggak apa-apa, kok, Mbak." Ara tersenyum canggung. "Nggak usah nyebut nama saya aja. Nggak apa-apa kalau misalkan Fee cerita tentang dokter yang tangani dia, asal nggak usah bawa nama Ara."

Mbak Risa mengangguk. Dia heran, tapi apa pun itu dia hanya bisa menurut. Lagipula, bukan urusannya mengenai semua hal yang tadi dia pikirkan selain menjaga Fee sebagai tugasnya.

***

Elvan memijat pelipisnya. Lelah sepulang kantor karena mengurusi semua hal di sana bukannya meringankan bebannya ketika dia sudah duduk di kursi mobil, dia justru mendapatkan kabar buruk yang hampir membuatnya khawatir. Dia memijat hidungnya lelah.

"Kenapa Mbak nggak bilang dari tadi kalau Fee sakit?"

"Ini permintaan Fee sendiri," balas Mbak Risa di seberang sana. "Fee nggak mau Pak Elvan tahu."

Elvan menghela napas. Dia berpikir tentang Kezia? "Kezia tahu ini?"

"Belum. Tadi sudah saya hubungi juga, tapi nggak diangkat. Sepertinya lagi sibuk."

"Oh, oke kalau begitu," balas Elvan. Tak ada gunanya juga dia berlama-lama di dalam mobil. Dia sudah merindukan anaknya yang biasanya sebagai obat penenang ketika dia lelah pulang dari kantor. "Di rumah sakit mana?"

Setelah mendengar balasan Mbak Risa mengenai lokasi rumah sakit tempat Fee dirawat, Elvan langsung berangkat ke tempat tujuannya. Tanpa mengganti pakaian kantornya. Tanpa mengusap wajahnya dengan air. Yang dia pikirkan hanya satu, menyusul buah hatinya.

***

an: 

Gimana perasaan kamu setelah baca part ini?

.


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro