
Persona-12
by sirhayani
part of zhkansas
...
"Lo ... kayak habis nangis gitu, Del."
Della menoleh kepada Ara yang baru saja bertanya. Ara sama sekali tak melihat kearahnya. Perempuan di sampingnya itu sibuk membaca materi Biologi yang ada di buku paket kelas XII.
"Emang, kelihatan banget, ya?" tanya Della pelan. Ara yang mendengar jawaban dari Della hanya bisa tersenyum canggung. Dia merasa telah salah mengeluarkan pertanyaan seperti itu. Dari jawaban Della saja, sudah jelas bahwa perempuan itu mengakui bahwa dirinya sudah menangis. Tentunya, karena Ara melihat sendiri. Secara langsung.
Keduanya saat ini sedang duduk di bangku yang terbuat dari semen dan meja yang terbuat dari bahan sama yang berbentuk bundar dan mereka pakai untuk menaruh buku di sana. Di tengah-tengahnya terdapat pohon rindang yang menghalangi mereka dari terik matahari di jam ini. Della yang mengajak Ara ke taman itu beberapa menit setelah bel berbunyi tanda istirahat tiba. Ara merasa baik dia maupun Della tak sering berinteraksi mengenai materi. Hanya sesekali dan itu juga jika Ara bertanya atau pun sebaliknya. Selebihnya, keduanya saling diam dan mengerjakan soal-soal yang mereka sepakati sebagai patokan pembelajaran untuk mereka bahas kemudian.
Ara mengambil ponselnya ketika mendapati pesan masuk dari Pak Wijaya. Ini pasti penting tentunya karena beliau sering memberikan informasi yang bisa Ara cari tahu lagi.
Pak Wijaya: ra, ada saran artikel minggu ini dari tim. Tentang cita-cita. Coba kamu tanya siswa di sana tentang cita-cita mereka
Ara menghela napas panjang. Jemarinya kemudian bergerak di atas layar, mengetikkan balasan untuk Pak Wijaya.
Paramita E. : baik, Pak.
Pak Wijaya : kalau perlu, tanya ke yang bermasalah. Misalkan, kamu tanya ke yang sering bolos sekolah. Atau yang lebih parah dari itu.
Pak Wijaya : jangan lupa yang menarik ya. Nanti nama mereka disamarkan. Ini hanya kebutuhan tema
Paramita E. : oke.
"Ra?"
Ara menoleh. Dia menatap Della yang bingung menatapnya. "Ya?"
"Udah selesai?" tanya Della sambil menunjuk dengan dagu ke arah coretan kertas berukuran A4 yang ada di atas buku paket Biologi kelas XII. Keduanya sama-sama sedang mengerjakan soal mengenai pewarisan sifat dari materi yang sebelumnya mereka pelajari.
"Tinggal satu nomor," kata Ara. Dia memperbaiki letak kacamatanya sambil tersenyum. "Entar gue lanjutin. Tapi sebelumnya, gue mau tanya, boleh?"
Della menutup bukunya sambil mengangguk dan tersenyum. "Ya tanya aja. Silakan."
Butuh beberapa detik sebelum Ara mengeluarkan suara. Sebenarnya, bayang-bayang kejadian satu jam yang lalu masih terpatri di benaknya. Muncul begitu saja disaat Ara ingin fokus pada apa yang ingin dia kerjakan. Namun, saat ini saja dia sedang berusaha menormalkan perasaannya ketika mecoba menghilangkan apa yang dia ingat pada kejadian tadi. "Cita-cita lo apa?"
"Gue juga nggak tahu." Della terdiam sejenak. "Untuk sekarang gue emang nggak tahu. Gue bahkan sama sekali nggak mikirin cita-cita semenjak gue masih SMP. Tapi, waktu gue masih SD, gue pengin banget jadi dokter."
Raut Ara berubah ketika mengingat sesuatu hal. "Kayaknya, semua pengin gitu, ya?"
"Pasti lo pengin juga jadi dokter?" tebak Della.
"Ya. Gue juga pernah pengin bercita-cita jadi dokter. Tapi, bukan saat gue masih SD. Justru saat SD gue pengin jadi guru. Saat gue kelas sembilan SMP, tiba-tiba gue pengin jadi dokter."
"Oh, ya? Sampai sekarang?"
Ara mengangguk. Dia jadi teringat beberapa tahun yang lalu ketika mamanya terbaring lemah di rumah sakit selama beberapa bulan. Namun, pada akhirnya mamanya meninggal karena kanker payudara yang dideritanya itu. Saat itu juga, cita-cita Ara berubah dari seorang guru tiba-tiba ingin menjadi dokter spesialis kanker. Dan Ara akan menggapai cita-cita itu dengan belajar dan terus belajar sampai dia bisa seperti orang-orang yang berhasil kuliah di Jurusan Kedokteran dan tentunya akan berhasil mencapai gelar yang sebenarnya setelah wisuda nanti.
"Kenapa lo nggak kepikiran lagi pengin jadi dokter?" tanya Ara kemudian.
Della yang mendengar itu menerawang mengingat saat dirinya masih SMP. Bahkan dia tak pernah lagi memikirkan ingin jadi apa nantinya. "Mungkin, gue bakalan kerja di perkantoran. Iya sih, agak melenceng dari jurusan IPA."
"Lo mau kuliah di mana emangnya?" tanya Ara lagi.
"Belum tahu juga. Di mana aja gue lulus, ya di situ aja."
"Walaupun jurusan itu nggak lo pengin?"
"Setidaknya, jurusan yang gue pilih masih masuk dalam list gue. Nggak mungkin juga kan gue milih jurusan yang nggak gue pengin sama sekali?"
"Iya juga sih." Ara menunduk, menatap kertas yang dipenuhi oleh coretan tangannya sendiri. Dia kembali menatap Della. "Jadi, lo nggak mau ngambil kedokteran, gitu? Lo pasti bakalan lulus. Lo udah punya sertifikat kejuaran nasional juga. "
"Kayaknya enggak," balas Della. "Lo?"
"Bakalan gue coba." Ara tersenyum tipis. "Karena itu cita-cita gue."
"Kalau lo nggak lulus?"
"Bakalan gue coba lagi."
"Pertahanin." Della tertawa. "Gue suka deh gaya lo. Gue malah lebih suka yang santai-santai aja. Udah males gue berkutat dengan yang berhubungan dengan praktikum."
"Yang penting kan mau dijalanin atau enggak. Bakalan berjalan lancar kok kalau emang niat." Ara menghela napas panjang. "Ya, walaupun gue sering denger kondisi mahasiswa semester 1 di Jurusan itu kayak gimana." Perkataan Ara itu menjadi akhir perbincangan keduanya membahas tentang cita-cita. Della sibuk dengan ponselnya ketika bergetar sebanyak dua kali. Itu artinya pesan masuk di nomornya. Saat dia mengambilnya dari atas buku, dia melihat nama Elvan yang tertera di sana. Saat itu juga Ara tak sengaja menatap ke layar itu dan langsung menatap nama yang belakangan ini jarang dia lihat menghiasi layar ponselnya juga.
Dia menghela napas. Tak ingin terlalu memikirkan. Toh, selama ini dia tahu bagaimana Elvan. Ara tahu karena Elvan sendiri yang bilang seperti itu padanya waktu itu. Laki-laki itu terlalu dikuasai oleh amarah, sakit hati, yang bercampur dengan keadaan yang tak menentu dalam dirinya sendiri. Alasan yang dia pakai ketika memilih untuk mengakhiri hubungannya dengan Ara.
Elvan tak ingin merusak Ara. Hingga akhirnya laki-laki itu memilih untuk menjauh dan melampiaskan semuanya dari ajakan Danny ketika berkumpul dengan teman-temannya yang senang mabuk-mabukan, merokok, dan bermain ... perempuan.
Ara berdecak kesal. Selain Elvan yang membuat dirinya sendiri seperti itu, yang mendukung semuanya terjadi juga adalah Danny. Laki-laki yang sejak dulu tidak Ara sukai karena sikap dan sifatnya. Sama halnya dengan Danny ketika tak suka dengan Ara.
"Duluan, ya, Ra?" Della beranjak. Perempuan itu berdiri sambil memperbaiki alat tulis dan bukunya yang tak beraturan di meja. Dia pamit pada Ara dan meninggalkan Ara sendirian di sana. Ara kembali melamun dan kembali mengingat kejadian tadi saat dia melihat bagaimana Elvan memeluk Della, menenangkan Della yang sedang menangis.
Ara selalu berusaha bagaimana agar perasaannya itu hilang dan selamanya tak akan lagi berurusan dengan Elvan. Namun, dia sudah berusaha dan sejauh ini tidak begitu berhasil.
Tiba-tiba saja, Danny datang dan duduk di atas meja. Menaruh kakinya pada kursi yang ada Ara duduki dan tangannya dengan santai mengambil ponsel Ara yang tergelak di meja itu. "Ra, ada saran artikel minggu ini dari tim. Bah, nggak nyesel gue—"
"Siniin!" teriak Ara kesal. Dia merampas ponselnya dari tangan Danny. "Attitude lo tolong dijaga. Nggak sopan."
Danny mendengus mendengar kata-kata Ara. "Ah, pantesan gue sering banget ngelihat penulis berita di koran yang ngebawa nama SMA ini. Kirain orang luar yang nggak suka sama ini sekolah, ternyata orang dalam sendiri." Danny melirik Ara yang sibuk mengatur barangnya. "Lo jangan pergi! Gue belum selesai ngomong."
Ara berhenti melakukan aktivitasnya. Dia kemudian menatap Danny. "Ya, silakan lo ngomong. Lo ngomongnya nggak sama gue, kan? Jadi, nggak penting juga gue nyimak."
"Anj—" Danny berdecak kesal. Dia mengatur napasnya dengan mengembuskannya pelan agar emosinya meredam. "Jangan sampai kata-kata kotor keluar dari mulut gue gara-gara gue kesel sama lo, ya!"
"Mau lo apa, sih?"
Danny menaikkan sebelah sudut bibirnya. "Pertama, gue pengin tanya tujuan lo ngejelekin nama baik SMA ini buat apa? Kedua, kenapa lo nggak pakai nama asli lo aja, apa lo takut kena masalah sekolah? Ketiga, lo siapa sih sebenarnya?"
Ara berdecak dan dia duduk di bangku. Tatapannya lurus ke depan tanpa mau menatap laki-laki yang ada di dekatnya itu. Dia harus berusaha mendongak karena posisi duduknya di bangku yang berbeda jauh dengan posisi duduk Danny yang ada di atas meja. "Pertama, gue cuma ngejalanin tugas gue di redaksi. Kedua, penting banget lo mau tahu. Ketiga, gue Ara. Paramita Estiningtyas."
Danny mendengus pelan. "Lo nggak selemah lembut yang Elvan cerita ternyata."
"Karena yang berkomunikasi dengan gue sekarang ini mulutnya terlalu pedes," cibir Ara. "Kayaknya butuh es batu supaya dibiarin bengkak aja."
"Hah!" Danny menatap Ara dengan raut kesal. "Gue udah baca pesan lo dengan Pak Wijaya itu," katanya kemudian. Dia makin menjadi-jadi jika saja kembali membalas perkataan Ara untuknya.
Ara mendongak. "Terus?"
"Mau gue bantuin kagak lo?" tanya Danny dan Ara hanya menatap laki-laki itu sambil menyipitkan mata. "Ya, setidaknya lo denger jawaban dari si tukang bolos sekolah tentang cita-citanya di masa depan nanti."
"Apa?" tanya Ara refleks. Suaranya pelan. Bahkan dia menyesal mengatakan hal itu karena setelahnya dia melihat Danny tersenyum miring. "Nggak jadi."
Baru saja Ara ingin berdiri, lengannya tiba-tiba ditarik dan membuat perempuan itu kembali duduk di bangku. "Anggap sekarang lo bicara dengan Danny yang udah akrab dengan lo bertahun-tahun lamanya. Jadi, santai aja."
Ara menggeleng pelan. Bingung dengan jalan pikiran seperti laki-laki itu.
"Apa yang perlu gue jawab?" tanya Danny.
Ara melihat Danny menautkan kedua alis. Mau tak mau, Ara mencoba bertanya pelan karena bisa saja Danny hanya akan mengerjainya. Tanpa menatap Danny, Ara berkata dengan suara pelan, "gue udah tahu lo di luar sana kayak gimana."
"Lo nguntit gue, ya?"
"Enggak." Ara menggeleng. "Gue denger aja dari orang-orang."
"Ternyata lo sama aja dengan yang lain." Danny menggeleng-gelengkan kepalanya. Tertawa sejenak sebelum melanjutkan kalimatnya lagi. "Mengambil mentah-mentah apa yang orang-orang bicarakan tanpa mencari tahu kebenarannya dulu." Danny mendengus pelan menatap Ara yang masih bergeming. "Jangan-jangan, lo kebanyakan nulis berita hoax buat dipublikasiin ke koran atau mungkin internet. Kasian banget yang udah berlangganan koran dan malah dapat tulisan dari anak SMA yang nyebarin hoax di mana-mana."
"Berita yang gue bawa, emang pernah bahas tentang pribadi orang? Lo bahkan bukan siapa-siapa buat diangkat ke sebuah tulisan dan disebarin di koran. Kecuali kalau lo ngelanggar hukum negara." Ara menatap Danny lamat-lamat. "Seperti ... jadi pengedar narkoba. Yah, itu kalau emang kenyataannya gitu." Terkadang, sejak tadi Ara menyesali perkataannya sendiri, tetapi di sisi lain dia merasa Danny juga yang menyebabkan Elvan mengonsumsi barang haram itu. Ara pikir, Danny sudah akan memukulnya, mungkin. Tetapi laki-laki itu masih diam di tempat. Hanya memandang Ara yang sudah ketakutan di tempatnya duduk sekarang.
"Lo bilang apa tadi?" tanya Danny, dingin. Sekarang Ara sudah tahu, harusnya dia tidak mengeluarkan kata-kata yang bisa sangat menyinggung laki-laki itu.
"Terlalu panjang," balas Ara singkat.
"Seandainya lo bukan siapa-siapanya Elvan, udah gue tonjok lo dari tadi."
"Gue emang bukan siapa-siapanya dia," balas Ara lagi. Dia harus kuat berhadapan dengan laki-laki keras seperti Danny. Semenjak kejadian di kantin, dia sudah berpikir untuk tidak berurusan lagi dengan Danny. Namun, justru sekarang laki-laki itu yang memulai semuanya.
Beberapa detik berlalu hingga berganti menit, keduanya saling diam dan masih pada posisi semula. Ara merasa ingin pergi, namun di sisi lain takut jika saja Danny akan menghalanginya lagi.
"Kayaknya nggak penting banget gue tanya elo tentang cita-cita lo apa." Ara menatap Danny yang diam melamun. "Tapi..., apa lo punya cita-cita?"
Entah sejak kapan Danny sudah mendengarkan musik lewat earphone yang dia pasang hanya di telinga kanannya. "Semua orang punya cita-cita bukan?"
"Ya, pasti." Ara diam sebentar. "Cita-cita lo apa?"
"Pengin jadi orang."
"Maksud lo ... sukses?"
"Bukannya begitu?" Danny memainkan daun kering yang jatuh di lengannya beberapa saat yang lalu. "Kayaknya nggak bakalan tercapai."
Ara mengangkat alisnya, bingung. "Kenapa?"
"Lo lihat sendiri gue gimana. Ya, mana mungkin."
"Lo sendiri yang nggak mau keluar dari pekerjaan lo itu."
"Gue malah takut semuanya bakalan kebongkar." Danny menerawang. "Maksudnya, apa yang gue jalanin selama ini kan salah. Dan setahu gue apa yang salah itu suatu saat bakalan terbongkar juga. Nggak bakalan bisa sembunyi. Paling nanti juga berakhir di penjara. Kayak temennya Joni."
"Joni?" Ara bingung. "Siapa?"
"Orang yang udah gue anggap keluarga. Sama kayak gue. Sama-sama terlantar dulu."
Ara memerhatikan Danny yang sejak tadi berbicara tanpa menatapnya. Laki-laki itu entah menatap apa di arah pandangnya. Saat mendengar jawaban Danny itu, Ara sudah menebak bagaimana kehidupan asli Danny seperti apa. "Kenapa lo mau aja cerita ke gue? Bukannya lo nggak suka gue, ya?"
Danny mendengus pelan. "Yang suka lo kan si Elvan, bukan gue," candanya. "Emangnya, gue sejahat apa sih di pikiran lo?"
"Kayak preman pasar."
Danny terbahak mendengarnya. "Ara ... Ara. Heran deh gue sama lo. Apa istimewanya sih lo di mata Elvan? Ah, gue lupa. Elvan suka lo pas dia masih lugu. Ckckck. Lupa gue. Sekarang kan dia udah nggak kayak dulu."
"Kenapa ngejual barang itu yang lo jadiin pertahanan hidup? Kenapa nggak buat apa gitu, atau kerja di bengkel. Kan lumayan. Atau manfaatin apa yang lo bisa di diri lo." Ara bingung dengan dirinya sendiri kenapa malah tetap berada di tempat itu dan membiarkan dirinya bertanya-tanya pada Danny.
"Udah terlanjur juga."
"Jadi, prinsip lo, sekali rusak ya rusak aja? Gitu?"
"Bisa jadi iya."
"Heran." Ara berdecak pelan. "Lo ... juga pemakai?"
Danny menatap Ara langsung. Di pikirannya menebak-nebak maksud dari pertanyaan Ara untuknya. "Lo bakalan masukin ini ke artikel?"
"Ya enggak lah."
Danny menggeleng. "Gue emang pengedar, tapi bukan pemakai. Dan gue tahu, hukum buat pengedar lebih parah dari pemakai. Gue nggak mau dapat dua hukuman sekaligus."
"Lo kayak tahu aja bakalan dipenjara."
"Soalnya, polisi udah nangkep bandarnya. Pasti infonya diambil dari sana dan otomatis yang lain bakalan dicari."
"Kenapa lo masih jual barang itu kalau lo udah tahu bakalan ditangkep juga?"
"Karena gue nggak mungkin lari. Gue nggak mungkin khianatin orang yang udah gue anggap keluarga itu, disaat mereka berusaha lari dari kejaran polisi."
Ara mengembuskan napasnya. "Gue nggak habis pikir lo nawarin temen lo juga sampai dia ketergantungan kayak gitu."
"Dia yang mau sendiri. Kalaupun dia ketahuan, paling cuma berakhir di tempat rehab. Orangtuanya banyak duit, sih. Mana mau ngebiarin nama baiknya tercoreng di Indonesia gara-gara anaknya yang make gituan."
"Dan Tama?" tanya Ara lagi. "Lo ngebiarin dia juga? Nggak mikir temen-temen lo apa?"
"Gue nggak pernah maksa mereka berdua, ya!" kata Danny kesal. "Emang lo tahu dari mana kalau Tama juga make?" tanya Danny. Dan dia pikir, Ara tak tahu kalau Tama melakukan apa yang Danny dan Elvan lakukan, sekaligus.
"Cuma nebak," kata Ara cepat. "Kalian kan sohib. Sayangnya, lo malah jadi temen yang ngebiarin temennya sendiri terjerumus ke hal yang salah. Kalau lo emang tahu itu salah, kenapa lo ngebiarin mereka malah jadi pemakai?"
"Gue tahu lo khawatir sama Elvan. Tenang aja. Dia orang baik. Nanti bakalan balik kayak dulu lagi." Danny tertawa ketika tiba-tiba saja memikirkan sesuatu hal. "Ah, susah sih. Udah ngewe sama banyak cewek."
Rasanya sesak ketika mendengar hal-hal buruk tentang Elvan. Namun, Ara sudah tahu itu dari dulu. Hanya saja dia begitu tak terima ketika Della yang menjadi bagian dari perempuan-perempuan yang Danny maksud tadi. Bukan berarti Ara biasa saja jika Elvan berhubungan dengan perempuan lain, tetapi sejujurnya Ara sama sekali tak terima dan tak akan pernah terima dengan kenyataann itu, tetapi mau bagaimana lagi? Semuanya sudah terjadi. Tak bisa lagi untuk menjadi seperti dulu lagi.
"Lo kayak nggak pernah diajarin sopan santun aja," kata Ara dengan suara pelan. Dia menghela napas panjang.
"Emang. Kenyataannya gitu, kan?" tanya Danny lagi dan membuat Ara benar-benar kesal kali ini.
"Lo udah buang-buang waktu gue aja." Ara berdiri. Dia merapikan barang-barangnya lagi. "Harusnya gue udah tahu lo cuma pengin ngebuat gue kesel."
"Gue udah nebak gue bakalan dipenjara."
"Terus? Udahlah. Udah hampir bel. Banyak yang lebih penting—"
"Yaelah, santai aja kali. Nggak usah diambil hati." Danny menarik buku Ara di tangan perempuan itu dan menaruhnya kembali ke meja. Namun, Ara hanya memerhatikan apa yang Danny lakukan sedangkan dirinya masih tetap berdiri. "Ngomong sama gue itu emang butuh kebiasaan. Kalau lo dan gue cuma ngomong sekali dua kali doang, lo cuma bakalan mandang gue sebagai cowok brengsek yang suka kasar ke siapa aja."
"Lagian, nggak penting juga, kan? Gue nggak ada niatan buat bisa akrab sama elo juga."
"Sekarang gue tanya, gue ganteng nggak?"
Ara menatap bingung ke arah Danny. Pertanyaan aneh menurutnya. "Enggak."
"Nah, itu. Itu lo jawab nggak sesuai dengan fakta. Itu karena lo udah terlanjur nggak suka sama gue."
"Ini bukan masalah gue suka dengan sifat lo atau enggak, tapi ini dari pandangan gue sendiri. Lagian ganteng enggaknya cowok itu relatif di penilaian orang lain."
"Oh, gue tahu." Danny menarik earphone yang terpasang di telinga kanannya itu. "Cowok yang ganteng menurut lo itu yang kayak Elvan, iya kan?"
"Gue bingung sama lo. Tujuan lo apa sebenarnya dateng tiba-tiba ke dekat gue?"
"Gue udah berusaha ngomong baik-baik, tapi lo nyerocos mulu kerjanya."
"Ya karena gue udah kesel banget sama lo."
"Ya udah, tenang aja. Dari tadi juga gue bilang santai aja kalau ngomong sama gue."
"Udahlah," kata Ara. "Gue capek." Perempuan itu kembali mengambil bukunya. Dan dia merasa lega ketika Danny tak lagi memaksanya untuk berada tetap di sana. Dia sangat yakin bahwa apa yang Danny lakukan itu hanya ingin membuatnya kesal atau bahkan laki-laki itu ingin membuang-buang waktu Ara yang jelas tidak ingin terlambat masuk kelas ketika pelajaran selanjutnya dimulai.
Tapi, di sisi lain Ara bingung kenapa Danny malah menjawab pertanyaannya tadi, yang semuanya jelas begitu privasi. Atau mungkin memang laki-laki itu yang masa bodo dengan segala hal, termasuk dengan aibnya sendiri yang dia cerita kepada Ara tadi?
Ara menghela napas panjang. Dia menggeleng-geleng dan fokus ke jalanan di depannya.
"Nggak penting."
***
Kasih tau aja ya kalo ada typo.
aku udah nebak kayaknya cerita ini bakalan tamat bulan ini juga (April 2017) Soalnya ini aja udah di PART 12 kan? Sedangkan yang ada di catatanku, tertulis sampe part 23.
11 Part lagi. ditambah Epilog.
Elvan💖Ara
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro