Persona-03
by sirhayani
part of zhkansas
___
"Ssst...."
Suara ringisan yang keluar dari Danny membuat Bu Wulan—perawat UKS SMA Negeri Unggulan Akademi—memundurkan badannya. Perempuan berumur 28 tahun itu menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkah laku Danny.
"Tadi kamu belum jawab, ini sudut bibir bisa robek karena apa?" tanya Bu Wulan sambil menunjuk ke arah bibir Danny yang luka itu.
"Dia." Danny menatap Elvan. Temannya itu berdiri di dekat stature meter sambil menyandarkan punggung di dinding. Kedua tangan Elvan terlipat di depan dada dan matanya mengarah ke luar ruangan. "Untung mukulnya sekali doang. Kalau berkali-kali saya bisa mati, Bu."
Bu Wulan menghela napas lalu beranjak dari tepi kasur menuju kursi yang ada tak jauh darinya. "Alasan dia mukul kamu kenapa? Bukannya kalian sekawan?"
"Dia ngebela ceweknya," jawab Danny. Dia mendengus ketika melihat Elvan spontan menoleh ke arahnya. "Ya, kan?"
Elvan berdecak. Laki-laki itu berdiri tegak dan mulai melangkah meninggalkan ruangan UKS.
"Van?" panggil Tama. Namun yang dipanggil terus melangkah tanpa ingin menoleh ke belakang walau sedikit pun.
***
"Lo duluan aja, Far. Gue beneran nggak apa-apa." Ara menatap Farah yang saat ini berdiri di ambang pintu. Sahabatnya itu sejak tadi menunggunya agar bisa keluar gerbang sama-sama, sekalian menunggu ayahnya Farah menjemput Farah. Akan tetapi, setelah ayahnya Farah tiba lima menit yang lalu, Farah tetap menunggu Ara selesai mengerjakan tugas kelompok. Padahal sekarang suara yang terdengar dari toa masjid, menandakan waktu maghrib telah tiba.
"Ra, gue beneran nggak tega lo pulang malem sendirian." Farah beralih menatap lima teman kelompok Ara yang masih bergelut dengan tugas. Ada yang konsentrasi pada buku, ada yang sibuk dengan kertas karton manila di lantai, dan ada juga yang berkonsentrasi pada laptop.
"Far, nanti kita teleponan. Oke?" Ara merapikan buku-bukunya di atas meja. Sebelum dia kembali sibuk bergabung dengan beberapa teman kelompoknya yang berkutat dengan bahan-bahan di lantai, Ara kembali menatap Farah. "Udah, lo pulang.... Kasian kan bokap lo nungguin lo dari tadi."
Pada akhirnya, Farah mengangguk. Sambil memeluk dua buku paket, dia mundur dan melambaikan satu tangannya yang tak memegang apa-apa. "Lo hati-hati, ya?"
Dari tempat Farah berdiri, dia melihat sahabatnya itu mengangguk dengan yakin.
Pantas saja Farah khawatir pada Ara karena Farah pernah ke rumah Ara untuk tinggal di sana saat Ara sedang sakit, itu terjadi di semester ganjil kelas XI. Walaupun saat itu Farah ditemani oleh kakak laki-lakinya melewati gang sempit dan gelap, belum lagi jarak rumah Ara dan rumah yang lainnya begitu jauh, tetap saja menurut Farah itu menakutkan.
Ara bernapas lega ketika melihat hasil kerja satu kelompoknya selesai juga. Semuanya bersiap-siap untuk pulang dan meninggalkan tugas kelompok mereka di kursi Ara yang letaknya ada di tengah ruangan.
"Gue duluan, ya?" Ara melambaikan tangannya pada dua teman kelompoknya yang perempuan ketika dirinya akan berpisah jalur dengan yang lainnya.
Perempuan itu berlari kecil sambil memegang beberapa paket buku di tangan, yang memang sengaja dia lakukan karena tasnya sudah terlalu banyak muatan. Pak Said terlihat hampir saja menutup gerbang samping sekolah. Ketika Ara tiba di sana lalu melewati gerbang itu, dia mengucapkan terima kasih pada Pak Said yang merupakan penjaga sekolah di sana.
Dia hanya butuh beberapa meter dari sekolah menuju lorong di mana rumahnya berada. Walaupun begitu, tetap saja Ara masih akan melewati beberapa gang yang hanya diberi pencahayaan bulan.
Namun sayangnya, tak ada tanda-tanda bulan yang terlihat di atas sana. Ara khawatir akan ada hujan lagi malam ini.
Ini untuk yang pertama kalinya perempuan itu pulang di malam hari. Dia belum sholat Maghrib, padahal lima menit lagi pukul tujuh malam.
Saat akan berbelok ke lorong berikutnya, sesuatu yang bergetar di tangannya mengangetkan dirinya sendiri. Refleks dia berhenti dan memejamkan mata, berusaha juga menetralkan keadaan jantungnya yang berdetak kencang.
"Halo, Far?" sapa Ara dengan suara yang sangat kecil. "Gue nggak lama lagi sampe kok."
"Ya udah, deh. Syukurlah. Sori ya gue baru telepon lo soalnya tadi gue mau telepon lo tapi pulsa gue abis, jadinya harus gue isi dulu. Bokap Nyokap punya sih, tapi gue malu mintanya. Hehe."
Ara tersenyum. Dia menoleh pelan-pelan ke belakang karena dia merasa seperti ada suara langkah kaki yang mengikutinya. Ara meneguk ludahnya dengan getir. Apa yang dia rasakan itu memang benar ada.
Ara menghadap ke depan dengan cepat. Langkahnya dia percepat, sebelum mematikan telepon dari Farah, dia pamit dulu. "Udah dulu ya, Far? Bye."
"Ya udah, deh. Nanti gue telepon lo. Lo pasti capek. Bye...."
Sambungan itu Ara putuskan dengan cepat. Jantung perempuan itu sejak satu menit yang lalu berdetak tak karuan, semenjak laki-laki di belakangnya terus mengikuti. Ara sudah seringkali mengalami ketakutan seperti ini, tetapi ini lebih takut dari keadaan sebelumnya setiap kali dia pulang di malam hari karena malam ini berbeda dari biasanya.
Ara sering diikuti oleh laki-laki ketika ingin pulang, tetapi dia kenal laki-laki itu siapa.
Elvan.
Elvan selalu melakukan hal yang Ara tak sangka, tetapi malam ini bukan Elvan yang dia lihat. Laki-laki itu bukan Elvan. Laki-laki itu sama sekali tak pernah Ara lihat sebelumnya.
"Hei...."
Ara terbelalak. Tangan laki-laki itu menahan lengan Ara hingga tak bisa melangkah lagi.
"Lepasin!" Ara memberontak ketika laki-laki tua itu berusaha memegang lengan Ara yang satunya. Buku-buku paket beserta ponsel terjatuh dan Ara tak peduli lagi dengan semua barang itu kecuali memikirkan bagaimana dia bisa lepas dari laki-laki yang kini berusaha memeluknya.
Bahkan Ara sudah tak sadar lagi bahwa dirinya sudah telentang di tanah. Erangan meminta pertolongan berusaha ia keluarkan dengan keras, namun terhalang oleh seraknya suaranya akibat tenggorokannya yang terasa tercekat.
Kedua kaki Ara menendang-nendang ke mana pun. Rasa jijiknya pada laki-laki tua yang ada di atasnya yang juga berusaha menciumnya itu membuat Ara menangis sesenggukan. Menampar dan menendang berusaha dia lakukan, namun terus gagal.
Perempuan itu menangis. Dengan penuh amarah menarik ujung buku paket yang ada tak jauh darinya lalu mengarahkan ujung buku paket tepat ke kepala laki-laki tua itu. Memukulnya berulang kali hingga Ara bisa menarik diri.
Dia tak peduli barangnya yang lain.
Yang dia pikirkan adalah berlari sekencang mungkin agar orang itu tak tahu rumahnya di mana.
Saat Ara tiba di rumah, dia segera mengunci pintu. Sambil terisak mendorong sofa ke pintu dan menjadikannya sebagai penghalang juga. Ara tak mampu berkata-kata lagi. Tas dipunggungnya masih ada. Namun, buku-buku paket pinjaman perpustakaan beserta ponsel pemberian seseorang tertinggal di sana.
Ara terduduk di lantai. Melepaskan tasnya dari punggung dan menumpukan kedua tangannya di atas lutut. Dia menutup bibirnya. Menahan isakan tangisnya yang terdengar sesenggukan. Keras.
Pelecehan itu ... akan selalu membekas diingatannya.
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro