Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 9

Selama menjalani perawatan di rumah sakit, hanya Lisa yang setia menjenguk dan menemani. Sahabatnya itu terang-terangan menyatakan keheranannya karena Kimora bisa menempati ruang perawatan terbaik. Terlebih, dia menyangkal telah menggunakan uang Kimora untuk membayar biaya administrasi rumah sakit.

"Apa mungkin kamu tidak ingat kalau kamu punya godfather atau semacam sugar daddy?"

Kimora menggeleng. "Mana ada begitu? Kamu jelas tahu aku tidak mengenal siapa pun selain orang-orang di restoran dan di rumah."

Lisa mengernyit, menatap sahabat yang terbaring pucat di ranjang. Dia menelengkan kepala, mencoba berpikir dan mengira-ngira. "Apa ini perbuatan ayah dari bayimu?"

Pertanyaan Lisa membuat Kimora terdiam. Dia bukannya tak memikirkan masalah itu. Jika dipikir lagi, tak ada orang lain yang dia kenal mampu membayar biaya rumah sakit mewah seperti ini. Satu-satunya orang kaya yang dia kenal seumur hidup ini hanyalah Danzel Kairaz. Tidak ada yang lain. Namun, pikirannya menolak. Tidak mungkin sang Malaikat Maut mengulurkan bantuan, terlebih untuknya yang sudah pasti dianggap melanggar perjanjian.

"Benar, 'kan?" desak Lisa.

Kimora menggelengkan kepala. "Entahlah, aku juga nggak yakin."

Bunyi ranjang berderit saat Lisa mengenyakkan diri di samping Kimora. Dia mengulurkan tangan untuk membantu merapikan selimut. Pandangannya tertuju pada wajah sahabatnya yang pucat dan lemah. "Aku nggak akan memaksamu untuk bercerita, siapa ayah dari bayimu. Kamu pasti punya alasan kenapa merahasiakannya."

Mereka bertatapan. Kimora meraih tangan Lisa dan menggenggamnya. "Aku pasti akan memberitahumu suatu saat nanti. Tapi tidak sekarang, nanti saat aku benar-benar yakin."

"Janji?"

"Iya, janji."

"Kamu jangan pulang ke rumahmu, Ikut saja ke denganku ke kosan."

"Tidak bisa," tolak Kimora halus. "Aku harus pulang. Ada banyak barang di rumah yang ingin aku ambil jika memang aku harus keluar dari rumah itu."

"Baiklah."

"Apa aku bisa kerja kembali setelah keluar dari rumah sakit?"

"Tentu. Manajer sudah memastikan jika kamu bisa kembali kapan pun. Ingat, jaga kesehatanmu dan juga bayi di kandunganmu."

Lisa berpamitan pulang setelah mendengar janji Kimora untuk segera menghubunginya begitu siap pindah kos. Sepeninggal sahabatnya, dia merasa sedih dan kesepian. Punya tante dan sepupu, tetapi mereka seperti orang asing. Semenjak orang tuanya meninggal, dan hak asuhnya jatuh ke tangan sang tante, di hari itu pula nasibnya berubah buruk. Dulu tidak separah ini, sampai akhirnya sang tante memutuskan menikah lagi dengan laki-laki yang lebih muda dan membuat hidup Kimora makin sengsara.

Setelah dirawat hampir seminggu, dokter yang menanganinya mengizinkan Kimora untuk pulang. Kimora berkemas sendirian tanpa ada yang membantu. Untunglah, dia tak perlu repot membayar tagihan, karena semua biaya sudah dibebankan pada orang yang sampai sekarang tidak dia ketahui identitasnya.

Kimora naik taksi untuk pulang. Sepanjang jalan sibuk menebak-nebak, apa yang akan dikatakan keluarganya setelah seminggu menghilang. Mereka tahu dia ada di rumah sakit, tetapi sepertinya tidak ada satu pun yang berniat menjenguk. Mengabaikan rasa sedih, dia turun dari taksi lalu menyusuri gang sempit menuju rumah.

"Wah, wah ... Tuan Putri pulang juga," sambut Safa sinis saat melihatnya memasuki pekarangan yang sempit. "Enak banget, ya? Nginap di rumah sakit jadi nggak perlu ngasih kami duit!"

Kimora tak mengacuhkan. Dia mencopot sepatu di teras dan menukarnya dengan sandal.

"Hei, budek, ya!" bentak Safa kesal. Gadis itu mengulurkan tangan. "Udah seminggu aku nggak jajan. Mana duit?!" Dia melotot kesal saat Kimora bangkit dari kursi dengan tenang, seakan-akan tak mendengar ucapannya.

"Mau duit? Kerjaaa!" sergah Kimora dingin.

Langkahnya terhenti karena tubuh Safa yang lebih gemuk darinya menghadang di tengah pintu. Keduanya berpandangan saling melotot. Sementara di gang depan terdengar riuh anak-anak berlarian.

"Siapa suruh kamu masuk?" Safa berkacang pinggang.

"Ini rumahku, minggir!" Kimora membentak.

"Kurang ajar, berani-beraninya kamu membentakku!" Safa mengentakkan kaki ke lantai lalu berteriak kencang. "Mamaaa! Cewek kurang ajar udah pulang!" Suaranya menggelegar di rumah petak kecil itu. Tak lama, dari dalam keluar sepasang suami istri yang terlihat baru bangun dari tidur. Baju dan rambut mereka berantakan dengan muka sembap.

Kimora mendesah, saat dia sangat membutuhkan istirahat tapi kenapa harus berhadapan dengan keluarga yang menjengkelkan ini. Ingin rasanya ia berbalik dan pergi ke kosan Lisa, tetapi dia perlu mengambil barang-barang serta cek kosong pemberian Danzel yang tertinggal.

"Cih, pulang juga kamu. Udah istirahatnya, hah? Kayak orang kaya aja, capek nginap di rumah sakit!" Nurma menuding marah, sementara di sampingnya Darkim menyeringai licik.

"Aku sakit, Tante. Bukan berleha-leha," jawab Kimora pelan.

"Halah! Kamu pikir kami nggak tahu kalau kamu hanya pura-pura? Mentang-mentang ada asuransi kesehatan dari tempatmu bekerja, kamu menggunakan itu untuk menghindar dari kewajibanmu!"

Kimora mengernyit. "Kewajiban apa?"

Tanpa diduga, Nurma memukul bahu Kimora dan membuat gadis itu tersentak mundur. "Anak kurang ajar! Kamu lupa di sini kamu numpang? Tentu saja kewajibanmu membayar apa yang sudah kamu dapatkan di rumah ini. Tanpa akuuu," Nurma menunjuk dadanya sendiri. "kamu akan menggelandang di jalanan!"

Ucapan Nurma ditanggapi tawa kecil dari mulut Darkim yang bergigi kuning. Serta cemooh dari Safa. Kimora merasa dirinya seperti dilempar ke dasar jurang, dan orang-orang yang mengaku keluarga ini malah menginjaknya agar jatuh lebih dalam.

"Bengong aja! Mana uang?!" Darkim ikut-ikutan membentak. Mata julingnya memandang Kimora dengan penuh nafsu keserakahan.

"Aku nggak ada uang, kerja aja tidak!" jawab Kimora lelah.

Safa melangkah maju, merenggut tas Kimora. "Jangan bohong! Mana dompetmu?!"

"Aku nggak ada uang!" Kimora berusaha mempertahankan tasnya. Terjadi tarik menarik antara dirinya dan Safa dengan dibantu oleh Nurma yang berusaha membuka tasnya. Besarnya kekuatan mereka membuat tas Kimora robek dan isinya berhamburan keluar.

Dia berdiri tak berdaya, dengan hati diliputi kesedihan saat menatap Safa dan Nurma berebut dompet. Mereka membuka dan merampas beberapa lembar uang ribuan yang dia punya. Ujung pelupuk matanya basah, dan air mata menetes di pipi. Dia membungkuk untuk mengambil barang-barang yang terserak di lantai, sementara tawa puas terdengar dari keluarga sang tante.

Suara seorang laki-laki yang menyapa tegas, menghentikan tawa keluarga itu.

"Selamat sore, Kimora."

Serentak mereka menoleh. Kimora mendongak dan detik itu juga terduduk di lantai karena kaget.

"Hei, kamu kenapa? Kamu baik-baik saja kan?" Seorang laki-laki tinggi besar dengan rambut pirang menyapa ramah. Dia mengulurkan tangan untuk membantu Kimora berdiri dan menolak dengan takut. Bagaimana tidak takut jika di hadapannya sekarang muncul laki-laki yang pernah dia lihat di rumah Danzel?

"Siapa kamu?" teriak Darkim keras.

Laki-laki itu tak terpengaruh oleh teriakan Darkim. Dia hanya berdiri, tersenyum, dan menatap Kimora yang kini bangkit dengan barang-barang dalam genggamannya.

"Kamu keluar dari rumah sakit tanpa memberi kabar," ucapnya lembut. "kami khawatir."

Jika ada petir menyambar, Kimora mungkin tak akan kaget mendengarnya seperti saat ini. Kimora bahkan melongo dengan tidak sopan. Keluarganya pun sama, terlihat terkesima dengan orang yang mendatangi rumah mereka. Di belakang laki-laki berambut pirang itu, ada dua orang lainnya yang bertubuh besar berotot seperti bodyguard, mengenakan seragam hitam dengan cara berdiri yang tegap dan penuh kewaspadaan.

"Si-siapa kalian?" tanya Nurma gugup. Dia menempel erat ke arah suaminya yang sekarang terlihat sama ketakutan seperti dirinya.

"Kimora, cepatlah masuk ke dalam dan segera ambil barang-barangmu. Kita harus pulang ke rumah sekarang." Laki-laki itu berucap santai, mengabaikan pertanyaan Nurma.

"Pu-pulang?" Kimora bertanya gugup.

Laki-laki itu mengangguk. "Iya, Tuan Danzel menunggumu. Ayo, sana! Rapikan barang-barangmu segera."

Kimora benar-benar kaget sekarang. Dugaannya menjadi kenyataan jika apa yang terjadi padanya belakangan ini ada hubungannya dengan Danzel. Dia berdiri gemetar. Menatap ketakutan ke arah laki-laki berambut pirang yang tersenyum bak malaikat.

Seperti tidak ingin kehilangan harga diri, Darkim maju ke depan tamunya. "Siapa kamu? Berani-beraninya ingin membawa keponakan kami keluar! Dia tinggal di sini, mau kalian bawa ke mana dia?"

Ramon menoleh, matanya menyorot tajam. "Keponakan? Sejak kapan kalian menganggap Kimora keponakan? Yang aku tahu, kalian hanya menganggapnya mesin pencari uang!" Dia mencemooh dingin pada Darkim.

"Lalu, apa masalahnya buatmu?"

Darkim mundur, diikuti oleh Nurma dan Safa yang merintih ketakutan saat laki-laki pirang di hadapannya, mendesak maju. Begitu pun dua orang bodyguard yang kini maju dua langkah mengikuti sang tuan.

"Berani sekali kalian menggunakan nada bicara seperti itu padaku! Apa nyawa kalian rangkap tiga? Mau kubakar rumah ini biar kalian jadi gelandangan sekalian?!" Ramon mengancam tegas.

"Ka-kamu ...." Darkim menggigil saat laki-laki itu meraih lehernya dan memiting ke tembok. Dia memucat kesakitan sementara istri dan anaknya hanya terkesiap dan merintih ketakutan.

"Dasar Manusia Laknat! Jangan kira aku takut dengan manusia rendah macam kamu! Sekarang, kalian minggir dan biarkan Kimora berkemas!"

Laki-laki pirang itu melemparkan Darkim ke tanah dan membuat suami Nurma kesakitan. Lalu beralih ke arah Kimora yang berdiri tertegun. "Kenapa masih di sana? Ayo, Kimora cepatlah. Tuan Danzel menunggumu. Dia akan sangat marah kalau kita terlambat."

"Ap-pa aku harus ikut kalian?" tanya Kimora gugup.

"Tentu saja, Sayang. Aku akan menunggumu. Kerjakan dengan cepat. Di perjalanan nanti aku akan menjelaskan padamu."

Tak ingin diperintah dua kali, Kimora bergegas masuk ke dalam kamarnya yang kecil, mengambil koper dan merapikan pakaiannya. Pikirannya mengembara dengan sedih, karena merasa jika mungkin hari ini adalah hari terakhirnya untuk hidup. Danzel sudah tahu dia hamil. Entah apa yang akan dilakukan laki-laki itu padanya. Dengan pikiran kacau, dia menutup koper dan menyeretnya ke ruang depan.

"Ak-aku sudah siap." Kimora berdiri dengan telapak tangan berkeringat karena gugup dan takut, menatap laki-laki berambut pirang yang berdiri menjulang di hadapan keluarganya.

"Bagus, kita pergi sekarang." Laki-laki itu memberi tanda pada salah satu bodyguard yang segera mengambil koper Kimora. "Mari, kita pulang!"

Terdengar rintih kebingungan dari mulut Nurma, Darkim, dan Safa. Mereka tak berani melarang karena takut. Namun, bayangan akan kelaparan dan kebingungan karena ditinggal oleh Kimora yang artinya membuat mereka tidak berpenghasilan, membuat Nurma memberanikan diri.

"Tinggali kami uang, Kimora!"

Laki-laki berambut pirang menyuruh Kimora tetap berjalan, sementara dia menoleh dan menuding Nurma dengan dingin. "Keluarga Sampah!" Lalu bergegas mengikuti Kimora yang lebih dulu berjalan di depan.

Bau anyir got yang ada di kanan dan kiri gang, tidak mengganggu penciuman Kimora karena sedang kalut. Dia menahan diri untuk tidak menangis saat didudukkan di bagian belakang mobil. Sepanjang jalan dia terdiam karena laki-laki pirang yang berada di sampingnya terus menerus menerima panggilan di ponsel tanpa henti.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro