Bab 5
"Jamuan yang mewah," ucap Danzel pelan. Matanya memandang sekeliling, mengamati riuh rendah pesta yang kini terhenti karena kehadirannya. Danzel sudah terbiasa pada banyak mata yang memandangnya curiga, was-was, dan penuh keingintahuan, hingga mudah baginya untuk tidak memedulikan mereka sama sekali.
Malik yang semula tegang, perlahan mengulas senyum. Ada ketamakan dalam sinar matanya yang tak dapat disembunyikan. Dia menjentikkan jari di udara, tak lama seorang pelayan laki-laki berompi merah datang membawa nampan berisi botol minuman dan gelas kosong. Dia mengambil botol yang masih tersegel. Membuka tutupnya dan menuangkan isinya ke dalam gelas. Lalu menyorongkannya ke hadapan Danzel.
"Ayo, kita bersulang." Malik mengambil minumannya dan mengangkatnya ke udara. "Untuk persahabatan kita dan sebagai ucapan terima kasihku karena kedatanganmu malam ini."
Danzel bergeming, memandang minuman di atas meja lalu membiarkan Ramon mengambil gelas yang disuguhkan untuknya dan meneguk habis isi gelas itu hingga tandas.
"Apa-apaan ini?!" bentak Malik keras. Matanya melotot bergantian ke arah Danzel dan Ramon.
Danzel tetap tak bereaksi. Sampai Ramon mengangguk dan berucap pelan, "Aman."
Malik menggebrak meja. Semua orang terlonjak. "Bedebah! Kamu berpikir aku meracunimu?"
Danzel mengangguk tanpa takut. Tindakannya membuat Malik meradang, laki-laki itu menuding dengan telunjuk bergetar.
"Berani-beraninya kamu! Memang kamu pikir siapa dirimu? Sepenting itu sampai aku harus menyingkirkanmu di depan orang banyak?"
Ketegangan melanda seluruh ruangan. Seluruh mata kini terpaku pada meja mereka. Sorot ketakutan terpancar dari mata setiap orang yang ada di sana.
"Memang. Siapa pun tahu, banyak orang yang ingin aku mati," jawab Danzel dingin.
"Hei!" Malik menggebrak meja. Besar kekuatannya membuat gelas berisi minuman tumpah dan piring-piring berisi makanan bergetar. "Aku seorang anggota dewan yang terhormat. Kamu pikir aku akan meracuni seseorang tak berharga seperti kamu?"
"Iya, aku curiga." Lagi-lagi Danzel menjawab singkat.
Detik itu juga terjadi keributan, saat Malik yang geram berusaha memiting leher Danzel. Nahas baginya, Danzel bergerak lebih cepat. Dia berkelit dan meraih leher sang anggota dewan dan menekan kepalanya di atas meja.
Bunyi senjata dikokang terdengar nyaring. Saat Ramon menodongkan pistolnya ke arah Boby yang juga memegang pistol dan diarahkan ke Danzel. Mereka berdua bertatapan intens dengan senjata di tangan. Ramon mendengkus, mengambil satu senjata lagi dari balik jas dan diarahkan ke kepala Malik.
"Aku terkenal jago dengan senjata. Baik tangan kanan atau kiri. Mau coba?" tanya Ramon tanpa senyum di wajah.
Boby kebingungan. Dia hanya terdiam masih dengan senjata di tangan. Sementara di atas meja, Malik merintih kesakitan. Terdengar makian dari mulutnya. "Berengsek! Bajingan! Berani kamu mempermalukan aku!"
Semua tamu di ruangan terbeliak ketakutan. Tidak ada yang berani beranjak dari kursi, terlebih saat pintu ruangan ditutup dari luar entah oleh siapa. Semakin sempit ruang gerak mereka.
Danzel menunduk, berbisik di telinga Malik. Tangannya menekan leher sang anggota dewan dengan keras. "Kamu pikir aku takut dengan ancamanmu? Ingat, siapa yang dulu membiayai kampanye partaimu, Malik!"
Malik terbeliak kesakitan saat tangan Danzel menekan pangkal lehernya dengan keras. Napasnya tersengal dan matanya berair.
"Berani sekali kamu mengubah peraturan kilang minyak untuk memerasku. Berapa yang kamu minta, dua puluh persen? Serakah! Jadi manusia serakah itu tidak baik." Danzel berkata dengan nada jijik.
"Auu, bedebah!" Malik mengumpat. Matanya berair dan lehernya sakit. "Itu semua harus kusetor, Danzel. Kamu tahu, bukan?"
"Memang. Tapi memerasku dengan cara seperti ini, salah!" Danzel mendongak, menatap dingin pada Boby yang mengacungkan senjata ke arahnya. "Tak ada orang yang berani menentangku, terlebih menodongkan pistol."
Selesai berucap, Danzel bergerak cepat. Dia melepaskan leher Malik dan merebut pistol dari tangan Boby lalu membidik laki-laki itu tepat di lengan. Darah menyembur dari lengan Boby, membuatnya terjatuh ke lantai dan merintih kesakitan.
Ruangan pecah oleh jerit ketakutan dan kepanikan. Danzel tak peduli. Kali ini membidik ke arah betis Malik yang baru saja berdiri melonggarkan napas. Tembakan membuat sang anggota dewan menjerit kesakitan dan ambruk di lantai.
"Aaah!"
Tak ada yang berani beranjak untuk menolong Malik dan asistennya. Ramon dengan wajah tanpa ekspresi menodongkan dua pistol ke seluruh ruangan.
Danzel meraih tisu dari meja untuk mengelap ujung kemejanya yang terciprat darah. Menatap dingin pada dua korbannya dan berucap pelan, "Ini baru permulaan. Camkan itu! Kuperingatkan untuk tidak lagi main-main denganku!"
Dengan pistol di tangan, diiringi oleh Ramon, mereka beradu punggung dan melangkah keluar ruangan. Tak ada yang berani bergerak di bawah todongan senjata Ramon. Seseorang membantu mereka membuka pintu yang semula tertutup dan keduanya keluar tanpa ada yang menghalangi.
Di dalam mobil yang membawa keduanya menjauh dari tempat perjamuan, Danzel membuang pistol ke jok mobil. Melirik ke arah Ramon dan berucap pelan, "Hubungkan aku dengan ketua partai dari wilayah pusat. Aku ingin mengundang dia makan malam segera."
Ramon mengangguk. "Dia pasti datang bersama anak perempuannya. Anda tahu, 'kan?"
"Tidak masalah. Kita kumpulkan kekuatan untuk menghadapi peraturan baru yang direncanakan oleh Malik. Aku akan membuat Malik tersingkir dari kursinya. Jika dia masih menentangku, dengan senang hati aku akan mengantarnya ke neraka lebih cepat!"
Ramon menghela napas, mengerti betul tentang kemarahan yang dipendam oleh bosnya.
"Bagaimana jika ketua partai pusat tidak mendukung rencanamu?"
Danzel tidak menjawab, mengalihkan pandangan ke jendela luar. Pemandangan jalan raya yang padat kendaraan membuat pikirannya teralihkan. Dia berpikir, jika ibu kota pada saat malam adalah daerah paling palsu di dunia. Gemerlap lampu, hiruk pikuk pedagang dan juga tempat hiburan yang tak pernah tutup, membuat ibu kota terlihat angkuh dengan orang-orang yang tinggal di dalamnya.
"Kalau ketua partai pusat tidak mendukungku, kita akan kumpulkan orang-orang yang menentangnya."
Ramon mengangguk, meraih ponsel di saku dan mulai sibuk menelepon. Sementara Danzel memejamkan mata, bersandar pada kursi dan sibuk berpikir.
***
"Kimora, kenapa duduk aja di situ?" Lisa datang tergopoh-gopoh, menghampiri Kimora yang terdiam di atas kursi. "Wajah kamu pucat sekali."
Kimora mendongak, menatap wajah sahabatnya dan menjawab. "Benarkah? Aku memang merasa lemas dan perutku sakit."
"Kenapa? Masuk angin?"
"Sepertinya iya."
"Minum obat, biar cepat sehat. Malam ini restoran kita di-booking tamu istimewa. Yang mendapat jadwal untuk melayani adalah kita berdua dan dua orang pelayan lainnya. Juga tiga koki."
Mata Kimora berbinar kaget. "Siapa memangnya tamu kita?"
Lisa mengangkat bahu. "Entahlah, yang pasti orang yang sangat kaya. Karena mampu mem-booking restoran besar seperti ini. Ayo sana minum obat! Nanti manajer marah kalau kamu terlihat lemas, bisa-bisa dianggap malas."
Kimora mendesah, menatap Lisa yang kembali masuk ke dalam restoran. Sementara menunggu waktu mulai bekerja, dia duduk di bawah pohon yang ada di samping restoran. Memandang matahari senja yang mulai menggelap. Seharusnya sif kerjanya dimulai satu jam lagi, tetapi dia tak tahan menunggu di rumah. Hari ini, bukan hanya sang tante yang ribut meminta uang. Safa, sepupunya pun melakukan hal yang sama. Mereka berdua hanya berjarak usia satu tahun dibanding dirinya, tapi Safa lebih suka bermain-main daripada bekerja.
"Ingat ya, Kimora. Kamu hanya numpang di sini. Kalau mau hidup tenang, kamu harus membuatku gembira!"
Berbeda dengan dirinya yang kurus tinggi, Safa jauh lebih pendek dengan tubuh berisi. Mungkin karena gadis itu suka sekali makan. Semua makanan dari restoran yang dia bawa pulang, Safa lah yang memakan. Bukan dirinya.
"Kamu kan sudah kenyang di tempat kerjamu. Ngapaian mau makan lagi? Pelit amat jadi orang!"
Tanpa permisi, gadis itu akan merebut kantong makanan dari tangannya dan dibawa ke dapur untuk dibagi bersama ayah dan ibunya. Tak memedulikan Kimora yang kelaparan karena baru pulang kerja. Sebenarnya dia berniat untuk keluar dari rumah itu dan mandiri, tetapi satu hal yang menghalanginya adalah, itu rumah warisan orang tuanya. Jika dia tak berada di sana, banyak kemungkinan sang tante akan menjual rumah itu.
Belakangan ini dia merasa sangat tertekan. Bukan hanya karena keluarganya yang bersikap kasar, melainkan fisiknya yang gampang lelah. Dia berpikir untuk ke dokter dalam waktu dekat, jika dalam seminggu ke depan tidak juga membaik. Perutnya sering kali mual dan nafsu makannya menurun drastis. Dia yang biasanya sangat suka ayam goreng olahan koki di restorannya, kini sama sekali tak berniat memakannya. Sudah hampir satu bulan seperti ini. Kimora merasa ketakutan karena makin hari makin lemah. Bisa jadi karena kelelahan bekerja, membuat badannya kurang sehat. Jika begitu, dia berpikir untuk mengambil cuti. Tanpa sadar Kimora mendesah, membayangkan jika harus seharian di rumah tanpa bekerja. Entah apa yang akan dilakukan keluarga sang tante padanya.
Setelah minum air dari botol yang dia bawa di tas, Kimora melangkah masuk ke restoran melalui pintu belakang. Mengganti bajunya dengan seragam pelayan, batik dan rok hitam sedengkul. Untuk sejenak mengamati wajah yang pucat dan memutuskan untuk memakai make-up guna menyamarkannya.
"Kamu sudah minum obat?" tanya Lisa saat mereka berdiri bersisian di depan pintu restoran. Manajer memberi perintah agar para pelayan menyambut para tamu yang akan datang.
"Sudah tadi, pusingnya sudah berkurang," jawab Kimora pelan. Takut terdengar oleh sang manajer yang kini terlihat berdiri garang di teras restoran. Manajer restoran adalah seorang laki-laki pertengahan empat puluhan yang terkenal disiplin dan galak.
"Ingat, ke dokter besok!"
"Iya, pasti."
Mereka menghentikan percakapan saat sebuah mobil hitam mengkilat berhenti di depan teras. Sopir berseragam bergegas membuka pintu penumpang. Seorang laki-laki berjas hitam keluar dan menatap manajer yang menunggunya di teras.
"Selamat datang, Tuan Danzel. Senang rasanya Anda mengunjungi restoran kami."
Kimora merasa tanah yang diinjaknya bergetar. Dia mengerjap dan memandang tak percaya pada sosok laki-laki tampan yang baru saja turun dari mobil. Laki-laki itu, terlihat sama tampannya seperti terakhir dia lihat. Dengan tubuh tinggi tegap dan mata yang menyorot dingin. Kenangan samar-samar saat mereka bercinta di malam itu, kembali menguar di pikirannya. Sampai sekarang dia tak habis pikir, bagaimana mungkin seorang wanita sepertinya bisa menjadi teman tidur seorang Danzel Kairaz, tanpa mereka saling menyadari. Sebulan berlalu dari peristiwa itu, dan Kimora masih bisa mengingat dengan jelas peringatan laki-laki itu untuknya.
Saat Danzel memasuki restoran, pandangan mereka bersirobok. Refleks Kimora menunduk, berusaha menyembunyikan debar jantung. Dia tahu, laki-laki itu mengenalinya.
"Matilah aku!" desah Kimora dalam hati saat laki-laki itu melangkah tegap melewatinya.
Semua pelayan dengan sigap berdiri berjejer tak jauh dari pintu yang menghubungkan restoran dengan dapur. Ada sekitar dua puluh meja di restoran yang biasanya penuh terisi tamu, malam ini kosong. Hanya satu meja yang terisi, dengan Danzel dan Ramon duduk berhadapan dengan dua wanita.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro