Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 2

Malam sebelumnya ....

Kimora berdiri di atas sepatu hak lima sentimeter. Dia memandang sekeliling ruang pesta. Berdecak kagum pada interior rumah yang super mewah. Dengan lantai terbuat dari granit mahal, dengan kaca sebagai pembatas ruangan dan panel dinding, membuatnya serasa berada dalam istana.

"Hei, kok bengong aja. Kenapa?" Kimora menoleh saat Lusi, teman sekerja menyenggol pelan pundaknya.

"Kamu ngerasa nggak, kita kayak di istana?" ucapnya kagum.

"Oh jelas. Hampir saja aku gagal fokus waktu membawa nampan karena sibuk jelalatan. Apa kamu tahu kalau di ruang tamu ada kolam renangnya?"

"Serius?"

"Iya. Cukup pencet tombol, lantai terbuka dan kolam jernih muncul begitu saja."

Kimora terbelalak, sama sekali tak habis pikir jika bisa menemui istana di dunia nyata. Matanya bergerak cepat melihat para tamu yang datang dengan pakaian terbaik mereka. Wajah-wajah rupawan baik laki-laki maupun wanita, berseliweran di depannya.

"Eih, jangan bengong lagi, Kimora! Lihat, pastel tunamu nyaris habis." Lisa menunjuk pada deretan meja panjang berisi makanan.

Kimora mencebik. "Habis apanya, dari tadi yang makan baru dua. Entah kenapa orang-orang ini nggak suka makan."

Kali ini giliran Lisa yang terkikik. Tak lama mereka terdiam dengan kaku saat sepasang tamu menghampiri meja dan melihat-lihat makanan. Gaun yang dipakai sang wanita membuat Kimora berdecak kagum, gaun hitam itu terbuat dari sutra halus dengan bulu-bulu di bagian bahu.

"Ayo coba ini, Sayang. Kamu belum makan apa pun dari tadi siang kan," ucap laki-laki berjas abu-abu sambil tersenyum ke arah pasangannya.

Wanita berbaju bulu itu mencebik. "Kamu nggak paham, ya? Aku sengaja tidak makan, karena diet."

Kimora diam-diam melirik Lisa. Mereka mengangguk dalam kesepakatan yang sama, jika wanita itu tidak gemuk sama sekali. Justru terlihat kurus karena tulang selangkanya pun menonjol dengan jelas.

"Jangan begitu, Sayang. Aku tidak mau kalau nanti kamu jatuh sakit," rayu si laki-laki.

"Aduh, kamu tahu apa, sih? Bagaimana aku bisa merebut perhatian Danzel, kalau aku gemuk?"

Dengan langkah gemulai, sang wanita meninggalkan tempat prasmanan. Sementara si laki-laki hanya mengembuskan napas pasrah dan melangkah lunglai mengikuti pasangannya.

"Kayak gitu dibilang gemuk. Gimana aku?" bisik Lisa kesal.

Kimora menahan senyum, melirik ke arah Lisa. Memang dibanding dirinya, temannya itu tergolong gemuk.

"Aku lebih suka badanmu, Kim. Tinggi, dan berlekuk di tempat yang semestinya."

"Aah, sayangnya aku hanya pelayan bufet." Kimora menatap sekeliling. Keningnya mengerut heran. " Kenapa tamu-tamu yang datang terlihat kaku dan tegang, ya? Ini pesta tapi suara sangat lirih. Musiknya pun sama, melow." Dia menatap seorang pianis bertuksedo yang bermain piano di dekat pintu.

"Hei, memangnya kamu nggak tahu ini rumah siapa?"

Kimora mengangkat bahu. "Mana aku tahu? Kita kan hanya pelayan. Disuruh datang, ya datang. Apalagi upah untuk pesta ini terhitung lumayan."

Lisa berdecak, memandang temannya dengan tidak puas. "Kita memang hanya pelayan, tapi paling nggak tahu dong rumah yang akan kita layani itu rumah siapa?"

"Memangnya siapa?" Kimora bertanya cuek, tangannya bergerak merapikan tisu di atas piring.

"Astagaa, benar-benar deh. Rumah ini milik Danzel Kairaz. Kamu tahu 'kan, siapa dia? Pebisnis muda yang terkenal dengan julukan—"

"Malaikat Maut!"

"Betul. Pengusaha dengan jaringan luas. Hampir setengah properti di kota ini milik keluarganya. Dia tidak bergaul dengan orang sembarangan macam kita. Daaan ... kita pun jangan macam-macam sama dia kalau nggak mau nyawa melayang."

Kimora ternganga, sama sekali tidak menyangka jika perusahaan katering tempat dia bekerja akan melayani seorang Danzel Kairaz. Semua orang tahu siapa laki-laki itu, bahkan dia yang penduduk biasa pun tahu. Dia sering melihat Danzel keluar masuk berita baik cetak maupun online. Semua membahas tentang bisnis dan pergaulannya dengan kalangan artis. Hampir semua wanita yang digandeng oleh Danzel adalah artis cantik dan terkenal.

Kerumunan di dekat pintu menyibak, saat seorang wanita amat cantik dengan rambut kecokelatan sebahu memasuki ruang pesta. Wanita itu berpakaian cukup seksi, gaun merah yang terbelah di bagian depan menampakkan sebagian dadanya. Gaun yang dia pakai cukup panjang, nyaris menyapu lantai.

Terlihat beberapa laki-laki mencoba menyapa saat dia melintas, tetapi wanita itu mengabaikan mereka. Matanya menatap sekeliling, hingga terhenti di lantai dua. Tak lama, senyum tipis tersungging di bibirnya yang dipoles lipstik merah.

Kimora dan Lisa seketika menegakkan tubuh saat melihat wanita bergaun merah itu menghampiri meja prasmanan.

Dengan menjentikkan jari, wanita itu berucap nyaring. "Hei kamu, pelayan, bawakan saya dua gelas wine."

Kimora bertukar pandangan bingung dengan temannya. "Maaf, Miss. Untuk minuman bisa langsung ke bartender," jawabnya sambil menunjuk bar minuman di ujung ruangan. Ada sekelompok orang sedang duduk di sana.

"Hais, itu aku tahu. Mana mau aku berdesak-desakan di sana." Wanita itu menunjuk Kimora dan berucap lantang. "Nanti kalau saya berikan tanda, kamu ke sana dan ambil dua gelas wine. Lalu berikan padaku. Kamu mengerti?"

Kimora mengangguk gugup. "Iya, Miss. Saya mengerti."

Lagi-lagi wanita itu menjentikkan jari. "Bagus, tunggu tanda dariku."

Setelah wanita itu melenggang ke tengah ruangan untuk menyapa orang-orang yang dia kenal, Kimora mengembuskan napas lega.

"Ingat perintahnya, jangan lupa," ucap Lisa.

"Iyaa. Aneh-aneh tamu di sini."

"Begitulah, di sini kita hanya butiran debu di antara tumpukan uang."

Kimora terkikik mendengar perumpamaan temannya. Namun, yang dikatakan Lisa memang ada benarnya. Mereka berdua hanya pelayan biasa di antara orang-orang kaya dan terkenal di pesta ini. Beberapa kali dia melihat sosok wajah yang sering muncul di berita atau TV. Mereka adalah politikus, artis, maupun pengusaha. Sebuah pesta hebat, hanya saja cenderung dingin.

"Ladies and gentlemen, attention please." Seorang laki-laki berjas hitam, bertubuh tinggi besar dengan rambut pirang, berteriak di ujung tangga. Suaranya yang menggelegar, mengalihkan perhatian banyak tamu yang semula asyik bercengkerama.

Ruangan mendadak sunyi. Laki-laki itu berdeham sebentar sebelum berteriak sekali lagi. "Kita sambut, tuan rumah malam ini, Presiden Direktur Danzel Kairaz!"

Tepuk tangan bergemuruh di ruangan, saat sekelompok laki-laki menuruni tangga. Kimora terpukau pada laki-laki yang berjalan paling depan. Bertubuh tinggi kisaran 190 cm, dengan badan tegap, wajah tampan dihiasi cambang tipis. Laki-laki itu seperti jelmaan malaikat yang dia lihat di acara TV. Bagi Kimora, Danzel Kairaz adalah laki-laki tertampan yang dia kenal. Penampakan aslinya jauh lebih tampan dari foto-foto yang beredar di internet.

Mata Danzel menyapu ruangan, mengangkat sebelah tangan dan meneruskan langkah menuruni tangga. Sosoknya yang tampan berwibawa seperti membius orang-orang yang memandang. Bahkan Kimora pun tak mampu mengalihkan tatapan. Kesan menakutkan terlihat dari tatapan matanya yang tajam dan bahu kukuh yang terkesan angkuh. Sepertinya, segala sesuatu yang melekat padanya adalah uang dan bahaya.

Danzel berhenti di tengah ruangan, merentangkan kedua lengannya dan berucap keras, "Selamat datang, terima kasih sudah hadir di pesta ini. Dan saya harap kalian menikmati pesta ini!"

Dia menjentikkan jari tiga kali ke udara dan seketika dentum musik terdengar dari lantai dua. Tak lama gemuruh sorak-sorai melanda ruangan dan lampu warna-warni berpijar menggantikan lampu terang benderang di ruangan.

Kimora mulai kewalahan saat para tamu yang semula terdiam, kini menyerbu meja prasmanan untuk mengambil camilan. Dengan menggunakan perangkat jemala, dia berbicara cepat pada koki di dapur untuk memberitahu makanan mana saja yang habis. Para pelayan hilir mudik dengan nampan di tangan, membawa minuman maupun makanan kecil. Tamu-tamu berbicara lantang dan berdansa di tengah ruangan.

Kimora mengamati sang tuan rumah yang berkeliling menyapa para tamu. Sementara di sampingnya terlihat wanita bergaun merah tadi. Wanita itu menempel ketat, seakan-akan tak memberi kesempatan pada Danzel untuk melirik wanita lain.

"Hai, Cantik. Berikan aku camilan paling enak yang kamu punya." Laki-laki berambut pirang menghampiri meja dan mengedipkan sebelah mata pada Kimora.

"Silakan, Tuan." Kimora mengulurkan duah buah kaviar yang disajikan di atas piring keramik kecil. Ada jamur di bawah Kaviar yang diolesi saus istimewa.

Laki-laki itu mengambil satu buah kaviar yang disodorkan padanya, mengigit perlahan dan berdecak. "Rasanya enak sekali. Sungguh hebat cara kalian mengolah ini. Tolong berikan aku dua lagi ya."

Setelah menerima makanan yang diinginkan, laki-laki itu mengedip sekali lagi sebelum berlalu. Kimora menghela napas, melanjutkan kesibukannya melayani para tamu.

"Hei, Kamu! Sudah disiapkan belum, yang aku mau?" Dua jemari berkutek dan dihias bunga-bunga indah, mengetuk meja. Kimora mendongak, menatap wanita bergaun merah di depannya.

"Ya, Miss. Sekarang? Saya panggil teman yang biasa antarkan minuman bagaimana?" tanya Kimora sopan.

"Tidak! Aku ingin kamu dan hanya kamu! Lakukan segera!" Sentakan wanita itu membuat Kimora tergagap, dia buru-buru memberi tanda pada Lisa. Temannya mengangguk tanda mengerti dan berbicara di perangkat jemalanya untuk memanggil bantuan.

Kimora mengibaskan baju dan melepas sarung tangan plastik. Lalu keluar dari meja dan bergegas berdiri di dekat wanita bergaun merah.

"Kamu ambil minumannya, cepat!"

Dengan patuh Kimora mengangguk, melangkah ke arah bar. Sedikit mengantre karena banyaknya tamu yang ingin mengambil minum. Setelah mendapatkan dua gelas wine, dia kembali ke arah wanita bergaun merah tadi.

Wanita itu, memberi isyarat agar Kimora meletakkan minuman di atas meja. "Pergi sana, ambilkan tisu!"

Tanpa berpikir panjang, Kimora menuruti wanita itu dan meninggalkannya untuk mengambil tisu, tak lama kembali lagi dan meletakkannya di samping gelas.

"Ikut aku!"

Dengan nampan di tangan, Kimora mengikuti wanita di depannya. Walau sedikit merasa kesulitan, dia tetap berusaha agar tidak kehilangan wanita bergaun merah yang kini berjalan di depannya. Wanita itu kini menyapa Danzel, lalu tampak membisikkan sesuatu di telinga laki-laki itu. Tak lama, Danzel menoleh dan matanya bersirobok dengan mata Kimora. Dengan gugup Kimora menunduk, takut untuk bertatapan dengan sang tuan rumah.

"Bawa minuman itu ke atas, tunggu aku di ujung tangga," perintah wanita bergaun merah. Lalu berbalik kembali ke arah Danzel.

Kimora mengangguk, mencari jalan untuk naik ke loteng. Nahas baginya, saat di ujung tangga dia menyenggol wanita bergaun putih, yang marah seketika.

"Ah, sialan kamu!"

"Maaf, Nona. Saya tidak sengaja," ucapnya takut-takut.

"Dasar pelayan rendahan! Kamu tahu harga pakaian ini berapa?"

"Maaf, saya mohon maaf sekali lagi."

Terdengar cibiran dan geraman marah, saat wanita itu berkata keras. "Kamu pikir gajimu setahun mampu untuk beli gaun ini?"

Kimora makin takut dibuatnya. Dia menyesali diri yang bersikap ceroboh.

"Sudahlah, Eve. Bisa jadi pelayan itu ingin merasakan minuman enak. Makanya sengaja dia tumpahkan agar sisanya bisa dia minum." Terdengar nada geli dari ucapan laki-laki di belakang wanita yang gaunnya rusak karena Kimora.

"Ah, bilang saja kalau begitu. Jangan bikin alasan." Wanita itu menyambar satu gelas dan menyorongkan ke mulut Kimora. "Ayo, minum! Habiskan!"

Kimora menggeleng. "Jangan, Nona. Saya tidak minum alkohol."

"Minum kataku! Atau kutuntut kamu untuk biaya ganti rugi. Habiskan, dan aku bebaskan kamu!"

Kimora menghela napas, merasa sangat takut. Sementara di sekitarnya, orang-orang memandang sambil mencemooh. Benaknya berpikir keras bagaimana menyelesaikan masalah ini. Di bawah ancaman dan bentakan, untuk pertama kalinya Kimora menenggak alkohol. Dengan air mata di ujung pelupuk, dia menandaskan isi gelas. Seketika, tawa pecah di sekelilingnya.

Menahan rasa malu, Kimora menunduk dan terhuyung pergi.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro