Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 11

Selama beberapa hari tinggal di istana Danzel, Kimora tak pernah keluar rumah. Yang dilakukan hanya berbaring di ranjang, ke ruang tengah untuk makan, atau ke taman belakang untuk melihat-lihat taman bunga yang mengelilingi kolam renang. Selama melakukan itu, dia ditemani seorang pelayan karena takut tersesat. Memang bagi orang awam berlebihan jika tersesat di dalam rumah, tetapi tidak bagi Kimora. Rumah Danzel terlalu besar dengan banyak kamar dan ruangan yang nyaris mirip. Membuatnya sering lupa jalan dan lorong yang dilewati. Dia sempat bingung saat mengamati ruang tamu, karena seingatnya ada kolam di sana. Pelayan yang menemaninya mengatakan, kolam hanya dibuka jika Danzel ingin berenang. Dia menggeleng heran, kenapa dalam rumah harus ada dua kolam renang sedangkan pemiliknya hanya satu.

Setelah mendapat perawatan dari dokter, kondisinya membaik. Kimora berusaha untuk membuat dirinya kuat dan sehat karena takut merepotkan. Yang dia alami justru kebosanan karena tidak bekerja.

"Samira, aku bosan sekali," ucapnya suatu sore saat melihat Samira berkutat di dapur membuat roti, dan dia duduk di meja dari marmer panjang yang ada di dapur. Aroma mentega bercampur gula dan kayu manis memenuhi dapur. Kimora mengendus udara dan menahan godaan untuk meminta apa pun yang sedang dipanggang oleh Samira.

"Miss Kimora, suka baca buku?" tanya Samira menghampiri Kimora dan meletakkan satu nampan bersi kue yang sudah dipotong-potong dan diletakkan di atas piring putih. Sepertinya dia bisa membaca pikiran Kimora.

Kimora mengangguk, menatap roti di hadapannya dengan gembira. "Suka sih, novel percintaan. Dulu waktu sekolah suka baca tapi setelah lulus sibuk kerja jadi nggak ada waktu membaca lagi."

Samira mengangguk. "Saya akan menelepon Tuan Ramon untuk membelikan Miss novel percintaan. Jadi, tidak akan bosan saat sendiri."

Kimora mengerutkan kening. "Apa tidak merepotkan?"

"Tidak. Tuan Ramon mengatakan pada saya, untuk memenuhi semua kebutuhan Miss selama di sini."

Samira berbalik, kembali menghadap oven. Kimora menatap punggung wanita itu dan menyadari jika Samira adalah seseorang yang berdedikasi pada pekerjaan. Roti buatannya pun enak, pikirnya saat mencuil roti yang empuk dan mengunyahnya. Nafsu makannya mulai membaik akhir-akhir ini, tidak lagi terlalu mual. Mungkin pengaruh dari obat yang diberikan dokter. Selama ini pula, dia sama sekali belum pernah melihat Danzel. Hanya terkadang samar-samar mendengar suaranya dari balik pintu, tetapi tidak ada keberanian untuk menyapa.

"Samira, kopi please." Suara Danzel yang tiba-tiba terdengar di sampingnya, membuat Kimora tersadar dari lamunan. Terlambat untuk pergi, dia memandang Danzel yang berdiri pongah di ambang pintu dapur. Mata mereka berpandangan sebelum dia menunduk.

"Tuan, apa kabar?" sapanya lirih. Tidak berani mengangkat wajah.

Danzel tidak menjawab. Dia memandang Kimora dengan tatapan menyelidik. Bola matanya yang kecokelatan, seperti mata harimau yang sedang mengincar mangsa.

"Kamu sudah sehat?"

Kimora mengangguk kuat, menjawab pertanyaan Danzel.

"Apa perlu kupanggil dokter lagi untuk check up?"

Kali ini dia menggeleng, masih dengan mata menatap roti di atas piring. Jantungnya berlompatan keluar, tubuh gemetar ketakutan.

"Tuan, mau minum kopi di mana?" tanya Samira sopan.

Danzel mengamati Kimora yang menunduk, lalu berucap tenang. "Bawa ke ruang kerjaku. Siapkan makan malam, hari ini aku akan makan di rumah."

Samira mengangguk. "Baik, Tuan."

"Kamu harus ikut makan malam. Ada yang harus kita bicarakan," ucap Danzel pada Kimora sebelum menghilang di balik pintu, meninggalkan Kimora dalam tanda tanya.

"Miss Kimora, Anda harus bersiap-siap untuk makan malam bersama Tuan." Samira berucap sambil memerintahkan dua pelayan lain untuk membawa kopi ke ruang kerja Danzel.

Kimora menatap bingung. "Bersiap-siap, apa?"

Samira menghela napas, menghampiri Kimora dan berucap pelan seperti bicara dengan anaknya sendiri. "Mandi, berdandan. Di sini makan malam cenderung formal."

Tercengang dan kebingungan, Kimora mencecar Samira dengan banyak pertanyaan. Tentang apa yang harus dia pakai, dan harus bersikap seperti apa saat di hadapan Danzel. Setelah mendapat informasi yang cukup, Kimora buru-buru ke lantai atas untuk mandi.

Dia kebingungan di depan lemari, karena tidak punya banyak baju. Satu-satunya gaun yang dia punya hanya berupa terusan sedengkul warna salem dengan lengan pendek, yang dia beli online tahun lalu dengan mengumpulkan uang tips selama dua bulan. Sebuah gaun terusan dengan bordiran di bagian dada, dengan bahan katun yang dingin. Dia mendesah, menatap penampilan yang cenderung biasa saja. Meskipun sudah memoles bedak dan lipstik, tetap saja dia terlihat pucat. Setelah berkecamuk dalam kebimbangan, dia memutuskan turun tepat waktu sebelum sang tuan rumah marah. Seorang pelayan perempuan mengantarnya ke ruang makan. Sampai di sana, dia melihat Danzel dan Ramon. Hanya berdua, tidak ada orang lain.

"Ah, Kakak Ipar. Mari, duduk di sini." Ramon menyapa ramah. Dengan senyum manis tersungging di wajah yang tampan.

Kimora mengangguk, menelan ludah untuk meredakan kegugupan. Posisi duduknya yang tepat di sebelah Danzel membuat kegugupannya makin meningkat. Kimora melirik Danzel yang sedang mengisap cerutu, serta-merta asap tembakau membuatnya mual.

"Kenapa?" tanya Danzel saat melihat Kimora menutup mulut, berusaha mencegah dirinya muntah. "Asap tembakau membuatmu mual?" Lagi-lagi Danzel bertanya.

Kimora hanya mengangguk pelan. Tanpa banyak bicara, Danzel mematikan cerutu dan meletakkan di atas meja.

"Mungkin untuk ke depannya, Anda tidak merokok di dekat Kakak Ipar. Saya yakin asap cerutu tidak baik bagi wanita hamil," ucap Ramon formal, tapi juga terdengar santai pada bosnya. Ramon memandang Kimora prihatin. "Bisa jadi anaknya perempuan, makanya kurang suka asap tembakau."

Danzel terdiam, melirik Kimora yang menunduk. Wanita itu tak lagi menutup mulut, hanya saja terus menerus menunduk menatap lantai.

"Kakak Ipar, apa kamu mau baca novel percintaan? Samira mengatakan padaku kamu suka membaca novel." Pertanyaaan Ramon yang ditujukan pada Kimora, dibalas dengan anggukan kecil oleh wanita itu.

"Maaf ya, tapi kalau itu merepotkanmu tidak usah saja," jawab Kimora pelan.

Ramon mengibaskan tangan. "Aduh jangan sungkan, itu hal kecil. Bila perlu, aku akan membangun perpustakaan untukmu, aku yakin bos tidak akan keberatan. Tinggal bilang saja, buku seperti apa yang kamu mau."

"Eh, makasih," jawab Kimora, melirik segan pada Danzel.

Dua pelayan datang menghidangkan makan malam. Untuk makanan pembuka berupa salad dengan kepiting dan saus thailand. Rasanya yang asam manis, membuat Kimora menyukainya. Lalu, dilanjut hidangan utama berupa daging merah panggang, ikan filet goreng, tumis sayur campur daging cincang, dan ada tiga hidangan lain. Kimora menatap heran pada banyaknya hidangan di atas meja, berpikir jika makanan itu bisa untuk menghidupi keluarganya untuk tiga hari ke depan. Dia lebih banyak diam, sementara mendengar Ramon dan Danzel mengobrol. Sama sekali tak mengerti apa yang mereka obrolkan.

"Kimora, betul itu namamu?" Danzel mendadak bertanya, membuatnya mengangguk cepat. "Berapa umurmu?"

Kimora menunduk. "Dua puluh tiga."

"Kamu tidak punya keluarga lain, selain tiga orang yang tinggal di rumahmu itu?"

"Ti-tidak ada, Tuan. Hanya mereka bertiga keluarga saya."

Danzel memainkan sendok di tangannya, menatap Kimora yang menunduk. Wajahnya yang pucat, rambut yang tergerai hingga sepunggung, dan bentuk tubuh yang entah kenapa makin hari makin terlihat kurus.

"Aku hanya memperingatkan, baik-baiklah selama kamu tinggal di rumah ini. Kamu bisa meminta apa pun pada Samira atau Ramon. Tapi, sekalinya kamu kabur sebelum tes DNA dilakukan, kamu harus menanggung konsekuensinya."

Kimora kembali menunduk. Dia merasa sengsara, karena berkali-kali diingatkan dan diancam untuk tidak meninggalkan rumah tanpa izin. Dia meletakkan sendok, memegang ujung baju dan berusaha bersikap tenang.

"Bos, Anda sedang mengajak Kimora bicara atau mengancamnya?" decak Ramon heran, menggoyangkan telunjuk di depan wajah. "Kalau cara Anda bicara seperti itu, bisa-bisa bayi yang ada dalam perut Kakak Ipar lahir sebelum waktunya."

"Aku hanya mengingatkan," jawab Danzel tanpa merasa melakukan kesalahan. Tangannya terulur untuk mengambil minuman dan menggoyangkannya sebentar sebelum meneguk. "Di sini, dia bisa mendapatkan apa pun yang dia mau. Kehidupannya akan jauh lebih baik daripada tinggal bersama keluarganya yang berengsek itu. Untuk itu dia harus menurut."

"Ya, itu memang benar. Saya juga akan memastikan Kakak Ipar menurut. Sudah belum mengancamnya? Lihat, Anda sudah membuat dia ketakutan sampai tidak lagi bernafsu makan." Ramon sedikit mendengkus sebal ke arah bosnya lalu menatap Kimora yang menunduk. "Makan yang banyak, Kimora. Demi keponakanku, ya?"

Ucapan Ramon hanya ditanggapi dengan anggukan kepala oleh Kimora. Dia kembali meraih sendok dan hendak meneruskan makan. Entah kenapa, dia hilang selera. Rupanya, Danzel melihat jika dia tak lagi ada nafsu makan. Laki-laki itu meminta dihidangkan sup panas.

"Singkirkan nasimu. Makan sup itu biar perutmu nyaman," ucap Danzel. Agak terdengar kasar, tapi untuk ukuran Danzel kata-katanya itu sebenarnya cukup baik.

Kimora pun berpikir demikian karena sekarang dia memandang Danzel dengan tatapan antara terpana dan tidak percaya, Kimora melihat pelayan mengangkat piringnya dan mengganti dengan sup panas berisi irisan jamur dan daging, yang dimasak dalam kaldu bening. Dia mencicipi dan merasakan kehangatan menyebar di tenggorokan dan perutnya. Kimora makan dengan lahap dan tidak menyadari tatapan tajam dari Danzel.

"Enak?"

Kimora tersenyum sambil mengelap mulutnya. "Enak sekali, Tuan. Saya suka supnya." Detik itu juga dia sadar sudah bicara lancang. Kembali menunduk menatap piring.

"Samira, mulai besok siapkan sup untuk sarapan, makan siang, dan malam. Jangan lupa untuk mengganti menu biar tidak bosan," perintah Danzel pada sang pelayan yang berdiri tak jauh dari meja makan.

"Baik, Tuan." Samira mengangguk hormat.

"Ah, bosku memang baik sekali. Saya tidak menyangka Anda dapat menunjukkan perhatian juga kepada Kakak Ipar dan keponakan saya." Ramon berucap mendayu, meneguk minuman sambil mengedipkan sebelah mata pada Kimora yang tercengang mendengar ucapannya. Danzel tidak menjawab, tetapi matanya tertuju ke arah Ramon dengan tatapan membunuh.

Selesai makan malam, Kimora berpamitan ke kamar. Dia buru-buru mengganti terusannya dengan daster katun tipis. Mencopot bra dan hanya memakai celana dalam. Merasa lega saat di dalam kamar karena tidak harus memakai pakaian lengkap. Setelah mencuci muka dan menggosok gigi, dia mendengar pintu kamar diketuk. Dia tahu itu adalah pelayan yang biasanya selalu mengantarkan susu. Kimora bergegas membuka pintu dan terperangah, mendapati Danzel berdiri di ambang pintu.

Untuk sesaat, Danzel terpana. Dia menatap kimora yang mengikat rambut ke atas hingga menampakkan leher jenjangnya. Lalu, pelan-pelan mengamati buah dadanya yang membusung tanpa bra. Turun lagi hingga ke lekuk pinggang dan mendapati napasnya menjadi berat.

"Tu-Tuan, ada apa?" tanya Kimora bingung. Menyadari tatapan Danzel yang tertuju ke tubuhnya dan seketika merasa malu. Ingin berlari masuk ke dalam dan mengambil selimut untuk menutupi tubuh, tetapi mata Danzel menahannya.

Danzel berdeham. Mengeluarkan sesuatu dari saku. "Ini kartu kredit, untuk kamu pakai membeli keperluanmu. Kamu bisa mengajak sopir dan pelayan untuk mengantarmu." Tangannya terulur, memberikan kartu hitam mengkilat pada Kimora yang masih terdiam. "Aku akan ke luar negeri selama seminggu. Kamu tetap di rumah ini, jangan ke mana-mana kecuali ditemani. Ambilah."

Kimora tergagap. "Ta-tapi saya tidak mau apa-apa, Tuan."

"Peganglah, ini perintah."

Dengan enggan Kimora mengambil kartu yang diulurkan. Mendongak, menatap mata cokelat milik laki-laki tampan di depannya. Tanpa sadar, menelan ludah untuk menutupi kegugupan. Menunggu dengan antisipasi tinggi, tangan Danzel terulur ke tubuhnya. Mula-mula membelai leher, turun ke dada, dan terakhir ke pinggang. Dia merasa bulu kuduknya merinding.

"Gaun tidur yang unik." Danzel berucap pelan, menarik tangannya dan membalikkan tubuh.

Kimora mengembuskan napas panjang, meredakan jantung yang bertalu-talu. Dia menutup pintu dan merebahkan diri di ranjang dengan tubuh gemetar.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro