Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 10

Mobil melaju mulus di jalanan yang tidak terlalu ramai. Dua jam kemudian, mereka memasuki sebuah halaman luas dari sebuah rumah mewah bak istana. Kimora ternganga, baru menyadari betapa luas halaman rumah Danzel. Dengan rumput, pohon, dan taman bunga indah terhampar di depan mata. Dia bahkan terbelalak saat menatap danau di halaman itu. Mungkin saat dia datang sebagai pelayan, melewati pintu belakang jadi tidak bisa menikmati keindahan rumah Danzel. Kimora melangkah gemetar saat digiring masuk ke dalam rumah. Dia ingin berlari, tetapi tak punya tenaga untuk melakukannya.

Saat tiba di ruang tamu, yang dia kenali sebagai tempat pesta, laki-laki berambut pirang berteriak nyaring. "Bos, aku membawa Kakak Ipar datang!"

Kimora bagai membeku di tempatnya berdiri saat dari lantai dua turun laki-laki paling tampan dan paling menakutkan yang pernah dia kenal. Mereka berpandangan, dan dia merasa tatapan mata Danzel Kairaz seperti membekukan tulangnya.

"Aku akan meninggalkan kalian untuk bicara." Laki-laki pirang menghilang ke ruangan sebelah. Meninggalkan Kimora yang berdiri menunduk dan Danzel yang menatap tajam dari anak tangga paling bawah.

"Kamu hamil," suara Danzel yang dalam dan tajam terdengar di telinga Kimora. "Apa itu anakku?"

Kimora mengangguk, dengan mata menatap lantai yang mengkilap.

"Bukankah sudah kubilang sebelumnya, jika aku tak ingin ada darahku dalam rahimmu?"

Jika sebuah suara bisa menyedot jiwa dan membakar sukma, Kimora sudah pasti mati sekarang. Dia tak yakin, sanggup menghadapi ucapan laki-laki itu yang penuh tuduhan.

"Jawab!"

Kimora menghela napas, mengembuskan perlahan dan berusaha menjawab dengan suaranya yang rendah. "Maaf, Tuan. Sa-saya juga tidak tahu." Dia menahan diri untuk tidak menangis.

Tak ada jawaban. Keheningan dipecahkan oleh langkah kaki Danzel yang mendekat. Aroma parfum yang lembut tetapi berkesan maskulin, menyerbu penciuman Kimora. Dia tahu jika laki-laki itu mendekat.

"Bukan kata maaf yang ingin aku dengar sekarang, tapi jawaban pasti apakah itu anakku?"

Kimora mengangguk kuat-kuat. "Iya, Tuan."

"Kamu tidak pernah tidur dengan orang lain selain aku?"

"Ti-tidak, Tuan!"

"Kamu tahu, 'kan? Apa konsekuensinya jika berbohong?" Wajah Kimora diangkat oleh jemari Danzel. Keduanya berpandangan. Danzel bisa melihat jika wanita di depannya berdiri gemetar dan ketakutan. Wajahnya pun pucat pasi.

"Aku akan membiarkanmu tinggal di rumah ini, sampai waktunya tiba untuk tes DNA. Jika itu anakku, aku akan merawatmu sampai anak itu lahir. Tapi, jika hasil tes DNA mengatakan kamu berbohong ...." Hangat napas Danzel berembus di telinga Kimora. Dia tak berani bergerak. "Aku akan membuat hidupmu sengsara."

Ucapan laki-laki itu yang dikatakan dengan pelan dan dingin, membuatnya menarik napas panjang. Dia tak takut ancaman dari Danzel karena memang anak yang dia kandung adalah anak laki-laki itu. Yang dia takutkan justru kenyataan di mana dia harus tinggal, di rumah besar milik laki-laki itu.

"Samiraa!" Danzel berteriak.

Tak lama dari dalam muncul pelayan berseragam berkulit hitam yang dikenal Kimora sebagai pelayan yang menggiringnya pulang, pagi itu.

"Iya, Tuan." Pelayan itu menyapa hormat.

"Siapkan kamar tidur di lantai dua untuknya." Danzel menunjuk ke arah Kimora yang menunduk. "Penuhi kebutuhannya dan awasi dia!"

Samira mengangguk. "Baik, Tuan." Lalu berpaling ke arah Kimora yang berdiri kebingungan. "Mari Miss, ikut saya."

Kimora tahu jika Samira mengenalinya, tetapi pelayan itu tidak menunjukkan reaksi apa pun. Dia melangkah perlahan mengikuti Samira dan meninggalkan Danzel. Tiba di anak tangga paling bawah, suara sang tuan rumah kembali terdengar menggelegar.

"Samira, hati-hati. Dia hamil!"

"Baik, Tuan."

Diucapkan dengan tak acuh tetapi penuh penekanan, Kimora merasa dia hanya objek tak berarti. Karena fokus sesungguhnya adalah bayi dalam kandungannya. Dengan lunglai dia menaiki tangga, menuju kamar yang sudah disiapkan. Dia menempati sebuah kamar besar dengan jendela yang melengkung, dengan pinggiran besi yang menghadap langsung ke taman. Kimora tercengang saat melihat kamar yang mewah. Ranjang besar berada di tengah dengan lemari kayu yang dipelitur mengkilap, sewarna dengan panel dinding, dan berdiri kukuh bersebelahan dengan meja rias besar. Tidak hanya itu, sebuah karpet bulu hitam terhampar lembut di bawah sofa mungil dari kulit, yang terlihat nyaman untuk diduduki. Kimora mengerjap, merasa silau dengan kemewahan yang menerpa matanya.

"Ini kamarmu, Miss. Silakan beristirahat. Panggil saya atau pelayan yang lain jika membutuhkan sesuatu." Samira menunjuk interkom yang terpasang di dinding. "Silakan tekan angka satu lalu katakan apa yang Anda butuhkan. Pelayan akan datang segera."

"Baik, terima kasih, Samira," ucap Kimora pelan.

Samira hanya mengangguk tanpa senyum. "Kalau begitu, saya tinggal dulu."

Setelah sosok pelayan itu menghilang di balik pintu, Kimora menjatuhkan diri di atas ranjang besar. Dia merasa kepalanya mulai berdentum kesakitan. Dia ingat, tidak makan apa pun semenjak keluar dari rumah sakit. Kini dia merasa mual sekaligus lapar, tetapi tak berniat memanggil pelayan untuk menyediakan makanan. Rasa takutnya melebihi rasa ingin makan itu.

Di ruang kerja, Ramon yang sedang minum kopi, menyeruput perlahan dengan mata melirik pada bosnya. Danzel berdiri membelakangi, mata laki-laki itu menatap ke arah taman belakang.

"Bagaimana rencana Anda selanjutnya?"

Danzel menoleh. "Tentang apa?"

"Kakak Ipar tentu saja."

"Kenapa kamu memanggilnya begitu? Siapa yang mau menikahi dia?"

Ramon tertawa, meletakkan cangkir ke atas meja dan duduk menyilangkan kaki. Dia menatap wajah kesal bosnya.

"Sebenarnya, kedatangan Kimora membantu Anda menyelesaikan dua masalah sekaligus. Satu, perihal Grizele. Kedua, tentu saja adik angkat kesayangan Anda."

"Diana."

"Betul." Ramon mengangguk, menepuk-nepuk lutut. "Mereka akan berhenti mengganggu Anda kalau ternyata sudah ada wanita di rumah ini. Saya rasa, mereka tidak cukup gila untuk merendahkan harga diri demi mengemis cinta."

Danzel mengernyit, meninggalkan sisi jendela dan duduk di atas kursi. Dia menatap Ramon yang tersenyum. Asistennya itu bersikap seolah-olah mereka sedang membicarakan masalah percintaan dengan gadis-gadis remaja, bukan soal cinta yang rumit seperti miliknya.

"Usulanmu ada bagusnya juga," ucap Danzel, setelah memikirkan banyak kemungkinan. "kalau benar anak yang dikandung itu anakku. Kalau bukan?"

"Bagaimana Anda bisa berpikir itu bukan anak Anda?" tanya Ramon balik.

"Entah lah, mungkin karena aku tidak cukup mengenalnya." Danzel mengangkat bahu. "Siapa tahu saja ...."

Ramon menggoyangkan telunjuk di depan bosnya. "Saya berani bertaruh untuk rumah dan mobil sport milik saya, kalau itu benar anak Anda."

Danzel tersenyum masam. "Kamu yakin sekali."

"Tentu saja. Harusnya Anda melihat langsung kehidupannya. Kalau tidak ingin memperpanjang masalah, rasanya ingin sekali saya menembak keluarganya!"

"Kamu tidak melakukan itu, kan?"

"Sayangnya, tidak. Tapi, entah suatu saat."

Ponsel Danzel di atas meja bergetar. Ada nama Grizele tertera di layar. Dengan enggan dia membaca, dan merasa kekesalannya memuncak. Wanita itu menekannya. Dengan geram Danzel melempar ponsel ke meja tanpa membalas.

"Grizele?" tebak Ramon.

"Siapa lagi? Akhir-akhir ini dia selalu membuatku kesal."

Percakapan terhenti saat pintu diketuk dari luar. Ramon berseru menyuruh masuk. Sosok Samira muncul dalam balutan seragam.

"Tuan, makan malam sudah siap."

Danzel memberi perintah pelan, "Panggil juga Kimora."

Samira mengangguk. "Baik, Tuan."

Danzel dan Ramon baru saja mengenyakkan diri di kursi, saat Samira datang tergopoh-gopoh.

"Maaf, Tuan. Sepertinya Miss Kimora sakit. Dia mengerang di atas ranjang dan badannya panas."

Danzel bangkit, melangkah cepat menuju lantai dua tempat kamar Kimora berada diikuti Ramon dan Samira.

"Panggil Dokter Budi. Suruh dia datang sekarang!"

"Baik." Ramon mengeluarkan ponsel dan melakukan panggilan.

Tanpa mengetuk lebih dulu, Danzel membuka pintu kamar Kimora dan menghampiri ranjang. Melihat gadis yang terlihat pucat dan lemah di atasnya. Dia duduk di tepi tempat tidur dan meraba dahi. Merasa kaget karena keningnya memang terasa panas.

"Dia masih sakit, kenapa keluar dari rumah sakit?" desis Danzel kesal.

"Tadi pagi sudah membaik, karena itu dokter memperbolehkan dia keluar," jawab Ramon dengan mata mengamati Kimora. "Dokter Budi dalam perjalanan. Sebentar lagi sampai."

Danzel menoleh ke arah Samira. "Kompres dia."

Samira mengangguk. Memanggil pelayan melalui interkom di dinding dan meminta dibawakan kompres. Tak lama dua pelayan datang membawa nampan dengan handuk dan air dingin. Danzel menyingkir dari ranjang, berdiri bersisian dengan Ramon. Samira hati-hati menyingkap selimut dan mengompres dahi Kimora. Terdengar erangan kesakitan dari gadis itu.

"Miss Kimora, tahan, ya? Sebentar lagi dokter datang."

"Ibu ... Ibu. Aku sakit, Ibuuu ..." erang Kimora terbata-bata. "Ib-Ibuu, sakiit."

Tak ada yang bicara. Danzel yang baru pertama kali melihat dari dekat seorang wanita sakit, tak mampu berbuat apa-apa. Dia hanya menatap dalam diam, Kimora yang mengerang kesakitan dikompres oleh Samira.

Tak lama, dokter pribadi mereka datang. Laki-laki tua berumur enam puluhan itu meminta pada semuanya untuk menunggu di luar selama dia memeriksa. Diperlukan waktu sekitar setengah jam sampai akhirnya dokter Budi keluar dan bicara dengan Danzel.

"Saya akan memberikan dia infus. Akan ada seorang perawat pribadi yang mengurusnya. Sepertinya, kandungannya berjalan tidak mudah. Itu yang membuat dia kesakitan."

"Apa dia perlu dirawat di rumah sakit? Aku akan menerbangkan helikopter untuk membawanya," tanya Danzel.

Dokter Budi menggeleng. "Tidak perlu. Yang dia butuhkan sekarang justru kehangatan keluarga. Tapi siapa dia? Aku tidak pernah melihatnya sebelumnya. Apa dia tamu kalian?" tanya Dokter Budi ingin tahu.

Kali ini yang menjawab bukan Danzel melainkan Ramon. "Dok, dia itu calon Kakak Ipar kami. Jadi, Dokter harus merawatnya dengan benar."

Keterkejutan mewarnai wajah keriput sang dokter. "Apa? Dia istrimu?" tanyanya pada Danzel.

"Belum, tapi anak dalam kandungan itu adalah cucumu," bisik Ramon padanya. "Ayo, turun. Buatkan resep biar Kakak Ipar cepat sehat."

Dokter Budi menggumam tentang betapa cerobohnya Danzel karena membiarkan calon istrinya kesakitan. "Panggil dokter kandungan untuk merawatnya. Kamu dengar, Danzel? Awas kalau sampai terjadi apa-apa dengannya!"

Dituntun oleh Ramon, laki-laki tua itu melangkah menuruni tangga diiringi Samira. Ocehan dan ancamannya menggema di lorong.

Danzel menatap kepergian mereka dengan kesal. Merasa tidak senang karena diomeli seorang dokter tua, tanpa dia tahu apa salahnya. Danzel mengembuskan napas panjang untuk meredakan kejengkelan, dia membuka pintu kamar Kimora dan kembali menghampiri ranjang. Menatap dalam diam, gadis yang tergolek lemah di hadapannya itu. Tubuhnya yang kecil dan kurus, terlihat ringkih dan tak berdaya. Dia sudah mengenal dan meniduri banyak wanita, tetapi tak ada satu pun yang membuatnya menyesal. Sekarang, dia menyesal karena lupa diri saat bersama Kimora.

"Dia hamil, itu anakku. Lalu, bagaimana hidupnya kelak jika orang-orang tahu dia adalah ibu dari anakku?" Gumam Danzel pelan. Merasa tusukan belas kasihan pada Kimora yang salah masuk dalam hidupnya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro