Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 1

Sinar matahari membias ruangan melalui celah gorden yang tersingkap. Bayang temaram terpantul di ranjang dan selimut dengan corak dan warna emas. Sunyi, sepi, tidak ada suara apa pun di dalam kamar.

Danzel menatap wanita yang tergolek di atas ranjang. Dia duduk sambil menyilangkan kaki dan menopang dagu. Satu tangan terentang di pinggiran sofa. Danzel sudah terbangun dari sejam lalu, kemudian mandi dan berpakaian lengkap. Namun, wanita itu belum juga terbangun. Sempat terpikir olehnya kalau wanita itu pingsan, tetapi mendengar dengkur halus dari mulutnya, membuat Danzel yakin jika tubuh yang tergolek di atas ranjang hanya tertidur.

Dia masih tak habis pikir, saat terbangun dan mendapati sesosok tubuh wanita tergolek di sampingnya. Tubuh mereka menempel erat satu sama lain. Dia bahkan sama sekali tidak tahu identitas wanita itu, selain ingatan samar tentang apa yang mereka lakukan tadi malam. Mereka bercinta, nyaris seperti dua makhluk kesurupan. Danzel yang tak mampu menahan hasrat pada wanita itu, seperti kehilangan akal dan tidak sanggup mengendalikan diri. Sekarang, dia menyadari ada yang salah dengan dirinya tadi malam.

Danzel mengerjap, ketika wanita di atas ranjang bergerak, menguap sesaat dan membuka mata. Dia menunggu dengan tenang seperti harimau mengamati mangsa. Danzel hanya perlu bersabar, untuk tahu apa maksud wanita itu menjebaknya.

"Aduh, tubuhku sakit semua. Di mana ini?" Kimora meregangkan tubuh dan duduk. Dia menatap sekeliling kamar yang temaram dengan kebingungan. Perempuan itu mengerjap saat terdengar tepukan dan lampu mendadak terang benderang.

Matanya menatap satu sosok yang duduk di atas sofa. Laki-laki tampan berpakaian lengkap berupa jas dan dasi. Sedangkan dia sendiri tak mengerti kenapa ada di dalam kamar bersama laki-laki itu. Perlahan, ingatannya kembali tentang sosok laki-laki itu dan seketika dia merasa malu juga takut.

"Tu-Tuan Danzel, ke-kenapa saya ada di sini?" Dia bertanya gugup.

Danzel tidak menjawab, bangkit dari sofa dan berdiri menjulang di dekat ranjang. Menatap tajam pada wanita yang kini terlihat kebingungan ke arahnya. Danzel bisa melihat gurat kemerahan di leher wanita itu yang berakhir di atas dada yang menyembul dari balik selimut. Mendesah resah, menyadari jika itu hasil perbuatannya.

"Boleh aku tahu, kenapa kamu bisa masuk ke kamarku?" tanya Danzel dingin.

Kimora yang tak punya ingatan apa pun tentang apa yang terjadi hanya dapat menggeleng kalut. Kimora menatap Danzel seakan-akan laki-laki itu adalah malaikat pencabut nyawa. Dia ingin lari, tetapi tubuhnya terasa kaku. Dia ketakutan setengah mati.

"Jawab!" bentak Danzel tak sabar.

Kimora tersentak, menahan takut dia menjawab gugup, "Saya nggak tahu, saya nggak ingat. Saya juga bingung dan kaget."

Kimora menyadari tubuhnya telanjang. Cepat-cepat dia menarik selimut dan menunduk.

"Kamu tidak ingat apa pun? Bagaimana mungkin? Lalu, kenapa kamu bisa masuk begitu saja ke kamar orang lain? Dan menyerahkan tubuhmu!"

Rasanya ingin menangis sekarang, dia tertekan dan tak mengerti satu hal pun. Dia tak tahu harus menjawab apa. Semua pertanyaan dari Danzel membuatnya kebingungan.

"Apa kamu mengenalku?"

Dia mengangguk. "Tuan Danzel Kairaz."

"Dari mana kamu tahu namaku?"

"Sa-saya pelayan bufet di pesta Anda tadi malam."

"Kenapa seorang pelayan bisa masuk ke kamarku? Apalagi ini kamar utama, tidak seorang pun bisa kemari tanpa melewati penjagaan yang ketat."

Kimora hanya tertunduk, menggeleng. "Sa-saya tidak tahu."

Danzel membuang napas kasar. Merasa frustasi sekarang. Dia tidak tahu apakah wanita di atas ranjang benar-benar tidak ingat apa pun atau hanya berpura-pura. Ini pertama kalinya ada seorang wanita yang berani masuk ke kamarnya tanpa diundang. Terlebih mereka menghabiskan malam bersama tanpa mengenal satu sama lain. Dia bukan tipe laki-laki yang bercinta dengan sembarang wanita.

"Kamu paham apa yang terjadi di antara kita?"

Kimora mengangguk. Dia bukan anak kecil yang tidak tahu kenapa tubuhnya penuh memar dan pangkal pahanya sakit. Dia belum pernah bercinta dengan orang lain, dan ini pertama kali untuknya. Dalam sebuah malam yang dia tidak ingat dan dengan orang yang sama sekali tak terduga.

"Kamu sengaja menyerahkan tubuhmu?"

"Tidaaak, Tuan. Anda salah paham. Sa-saya juga bingung kenapa ada di sini."

Danzel menaikkan sebelah alis. "Begitu? Tapi kamu jelas-jelas tahu kalau ini kamarku?"

"Saya tidak tahu." Kimora menggeleng lemah.

Sunyi.

Danzel memandang wanita yang berada di atas ranjang. Mencoba memahami tentang apa yang wanita itu katakan. Tebersit rasa tak percaya tentang apa yang dikatakan wanita itu. Sebagai seorang pebisnis ulung yang terbiasa bernegosiasi dan bertemu banyak orang, dia tahu sudah dijebak. Yang sekarang ingin dia cari tahu adalah, siapa yang menjebaknya. Apa hubungan wanita ini dengan para penjebaknya?

"Katakan, apa maumu? Karena tak mungkin kamu tidak menginginkan sesuatu dari aku!"

Kimora mendongak lalu ternganga. Detik itu juga dia tahu apa maksud perkataan Danzel.

"Tuan tidak usah takut. Saya tidak menginginkan apa pun. Sa-saya sendiri bingung."

"Lalu, apa rencanamu selanjutnya?" Danzel bertanya coba-coba. Tidak percaya dengan perkataan wanita itu.

"Tidak ada rencana apa pun. Saya hanya ingin keluar dari kamar ini sekarang. Maaf, Tuan. Sa-saya sungguh tidak ingat apa pun."

"Benarkah, kamu akan melupakan tentang ini?" tanya Danzel sangsi.

Kimora mengangguk cepat. "Iya, saya berjanji pada Tuan. Saya akan melupakan malam ini dan tidak akan menuntut apa pun." Lalu kembali menunduk. Tak kuasa menatap mata Danzel yang seperti menelanjanginya.

"Apa kamu memakai alat kontrasepsi? Aku tidak mau ada darahku mengalir dalam rahimmu."

Kali ini, kebingungan melanda Kimora. Dia tidak tahu harus berkata jujur atau tidak. Demi melindungi nyawanya, dia mengangguk.

Danzel menyipit, menahan napas dan mengembuskan kasar. Dia menatap Kimora yang di matanya terlihat seperti gadis muda yang polos. Dengan rambut ikal terurai di bahu, mata besar dan tubuh langsing. Dia melangkah menuju meja dan menarik selembar cek kosong, lalu menyerahkan pada Kimora yang menunduk.

"Isi berapa pun yang kamu mau, asal kamu melupakan kejadian tadi malam. Ingat, kalau sampai kamu membocorkan masalah ini ke media, aku tak segan-segan untuk membunuhmu."

Ancaman Danzel yang diucapkan dengan dingin, seperti membekukan tulang Kimora. Diam-diam dia mengusap air mata di ujung pelupuk. Menatap nanar pada selembar cek yang tergeletak di atas ranjang.

"Aku tidak ingin melihatmu lagi. Pergilah diam-diam. Asistenku akan memandumu hingga keluar dari rumah ini."

Selesai berucap, laki-laki itu keluar dari kamar dengan langkah ringan. Sepeninggalannya, Kimora memejam sambil menangis. Menyesali diri karena terlalu ceroboh. Dia tidak tahu apa yang terjadi dengannya hingga berakhir di dalam kamar seorang Danzel Kairaz yang terkenal kaya dan kejam. Dia hanya ingat sedang bekerja jadi pelayan bufet, menyediakan makanan dan minuman bagi para tamu pesta, dan tidak ada niatan untuk menggoda sang presiden direktur. Namun, inilah yang terjadi sekarang. Dia merasa malu dan kotor.

Pintu kamar membuka, seorang wanita dalam balutan seragam putih melangkah cepat menghampirinya. Sebelum dia sempat bertanya, wanita berkulit hitam dengan rambut keriting sebahu itu berucap keras, "Miss, silakan mengenakan pakaian Anda. Saya akan antarkan keluar."

Kimora tergagap, sedikit malu untuk menyingkap selimut karena tubuhnya yang telanjang. Namun, pelayan di depannya seperti bisa membaca pikiran. Dengan sigap, wanita itu membantu mengumpulkan baju-bajunya yang tercecer di atas ranjang maupun di lantai dan menyerahkan padanya. Lalu membalikkan tubuh, agar tak melihatnya memakai baju.

Dengan gemetar Kimora meraih baju-bajunya. Menyingkap selimut dan memakai bra lebih dulu. Dilanjut dengan kamisol—yang putus sebelah talinya—dan baju bagian atas. Dia sedikit meringis saat memakai celana dalam karena pangkal pahanya sakit. Mengabaikannya, Kimora memakai rok dan berusaha berdiri tegak.

"Aku su-sudah selesai," ucapnya gugup.

Pelayan itu membalikkan tubuh, menatap Kimora dari atas ke bawah dan berucap lembut. "Silakan jika Anda ingin ke kamar mandi, di sebelah sini. Saya akan menunggu di depan pintu."

Sepeninggalan pelayan itu, Kimora tertatih ke arah kamar mandi. Dia ternganga menatap interior kamar mandi yang tak kalah mewah dengan kamar tidur. Lantai granit putih dengan bathtub bulat dan kaca super besar di depan wastafel. Dia menarik napas, bergerak cepat untuk buang air kecil dan membasuh wajah.

Dia mengamati wajahnya yang kusut. Jarinya mengelus gurat kemerahan di leher dan mendadak merasa malu. Kimora menggelengkan kepala, berusaha menjernihkan pikiran. Dia sama sekali belum mengerti kenapa bisa terbangun di atas ranjang Danzel Kairaz. Semua orang tahu, bagaimana kejam dan berkuasanya laki-laki itu. Dia bersyukur diberi kesempatan hidup sampai sekarang. Mengingat reputasi yang dia dengar tentang laki-laki itu. Setelah berhasil sedikit menenangkan diri, Kimora menarik daun pintu dan keluar dari kamar mandi.

"Aku sudah siap." Dia menyapa pelayan yang berdiri di depan pintu kamar.

"Miss, jangan lupakan ini." Pelayan itu menyodorkan cek yang sengaja ditinggalkan Kimora di atas ranjang.

"Aku tidak menginginkannya itu," tolak Kimora halus.

"Simpanlah, siapa tahu Anda membutuhkan." Tak mengindahkan Kimora yang memerah karena malu, pelayan itu menyodorkan cek. Dia memaksa meski Kimora menggeleng, hingga akhirnya menerima tanpa daya. "Silakan ikut saya."

Selanjutnya, Kimora tak tahu arah tujuan dan pasrah akan dibawa ke mana. Dia mengikuti pelayan yang berjalan cepat di depannya. Sedikit tersaruk karena tubuhnya pegal dan sakit. Mereka melewati lorong panjang dengan banyak lukisan tergantung di dinding. Tanpa disadari, mereka tiba di samping pintu kecil yang menghadap ke taman. Tak lama, sebuah mobil hitam berhenti tepat di depan mereka.

"Silakan masuk, Miss. Sopir akan mengantarkan Anda ke tempat tujuan."

"Aku bisa naik taksi," tolak Kimora halus.

"Tidak bisa. Ini perintah Tuan."

Kembali tak kuasa menolak begitu mendengar kata Tuan disebutkan, Kimora masuk mobil dan membiarkan dirinya dibawa keluar dari rumah putih nan megah. Dia kembali menengok ke belakang, mengamati untuk yang terakhir kalinya tempat di mana dia menghabiskan malam, dan tempat di mana dia menyerahkan keperawanan. Kimora mengutuk diri, karena sudah membuat kesalahan paling besar dalam hidup tanpa menyadari apa penyebabnya. Mobil melaju kencang menembus jalanan, membawa Kimora yang masih terus menyesali nasib buruknya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro