Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

PART 8 - A Day Without You

The problem is

I keep wanting to hear your voice

(Chen Feat Jonghyun – A Day Without You)


-

-

-


Hari pertama,


Menjadi seorang HRD itu tidak mudah. Pertama kali mendapatkan jabatan ini, Ines merasa berdosa luar biasa pada pelamar yang namanya harus dicoret dari daftar. Ada beberapa orang yang selalu melamar ke perusahaannya setiap kali ada lowongan dan karena kualifikasinya tidak cocok, Ines harus menghapusnya dari daftar wawancara. Hari pertama melakukannya, Ines banyak menangis sampai Ega melakukan segala cara untuk menghiburnya. Sekarang? Ines sudah mulai terbiasa. Ia sudah bisa memisahkan perasaannya dalam hal pekerjaan dan bersikap professional.

Seminggu yang lalu, jabatan untuk admin keuangan di perusahaannya kosong dan Ines sudah memasang iklan untuk posisi yang diperlukan. Ada lima ratus lowongan yang masuk dan Ines sudah menyortirnya selama dua jam namun ia belum selesai juga.

Pertama, Ines tidak menerima Fresh Graduate. Kenapa, karena akan sangat melelahkan bagi perusahaannya jika harus menerima Fresh Graduate. Bukan apa-apa, perusahaannya membutuhkan orang yang berpengalaman supaya mereka tidak menghabiskan banyak waktu untuk mengajarinya. Jam terbang perusahaan juga tinggi, terlalu beresiko kalau harus menerima seseorang yang tidak mempunyai pengalaman sama sekali.

Tapi masalahnya, terkadang yang berpengalaman juga mematok gaji yang cukup tinggi, terlampau tinggi dari gaji standar yang ditetapkan oleh perusahaannya. Well, menyeleksi orang memanglah tidak mudah.

Telpon di atas mejanya berdering. Ia memiringkan kepala, ragu untuk mengangkatnya namun pada akhirnya Ines memilih untuk mengangkatnya.

"Halo, selamat siang?"

"Selamat siang, dengan Ibu Inesia Larasati?"

"Ya, betul. Saya sendiri."

"Iya Bu. Saya Nadin dari Job Circle."

Mulut Ines membentuk huruf O. Ia menyadari dengan siapa ia berbicara sekarang. Yaitu marketing officer salah satu portal lowongan pekerjaan online yang siap menawarinya paket terbaik milik perusahaan mereka.

"Iya, gimana mbak?"

"Saya lihat ibu sedang membutuhkan admin keuangan ya bu? Kebetulan dalam database kami, ada banyak sekali orang dengan kualifikasi yang sangat tepat untuk perusahaan ibu. Biar saya sampaikan kalau untuk bulan ini, ada promo untuk pemasangan iklan."

"Oh, ya kirimkan saja penawarannya lewat email saya ya mbak. Kebetulan saya mau meeting," kata Ines.

Di sebrang sana, Nadin mengiyakan ucapan Ines dengan ramah dan memberitahukan bahwa ia akan segera mengirim penawaran pada Ines setelah telpon mereka terputus.

Begitu sambungan terputus, Ines menghubungi resepsionis dan berkata, "Kalau ada yang cari aku dari Job portal, bilang lagi meeting ya," katanya.

Ayas yang berada di dekatnya tersenyum, "Mulai diteror nih sama para pencari pengiklan," katanya.

Ines menganggukkan kepala, "Selain Screening CV, nerima telpon dari beberapa job portal juga bikin capek. Abis banyak banget sih," katanya.

Tatapan Ines beralih pada ponselnya yang bergetar. Ines menangkap nama Gandhi muncul di sana.

Aku makan siang sama nasi bungkus nanti, katanya sih nasi padang. Kamu rencana mau makan apa?

Yang dijawab oleh Ines dengan senyuman lebar di wajahnya.


****


Kalau dipikir-pikir, yang bekerja dengan maksimal saat ini adalah alat survey yang sedang dipegang olehnya sementara Gandhi hanya menunggu alatnya selesai memproses dan memindahkannya kemudian memastikan posisinya sudah benar. Banyak diamnya sebenarnya, Gandhi bahkan bisa sambil berbincang dengan Ines kalau ia mau. Tapi kan Ines sedang bekerja, katanya hari ini gadis itu sibuk. Lagi pula, Gandhi juga harus profesional. Bagaimana kalau tiba-tiba kliennya datang dan melihat Gandhi sedang cekakak cekikik di telponnya? Bisa dapat SP 3 nanti.

Ah, memang ya kalau sedang ada yang dipikirkan seperti ini, bekerja juga tidak bisa fokus sama sekali. Oke, mungkin Gandhi fokus, tapi tetap saja, diam sedikit... ia ingat Ines. Melamun sedikit, ia terbayang wajah Ines. Semuanya Ines.

Sudah seperti lagu saja. Mau makan, mau tidur, mau pergi, ingatnya Ines lagi.

Omong-omong, Ines ini punya apa sih? kenapa dia membuat Gandhi terus menerus mengingatnya dan bahkan ketagihan mendengarkan suaranya.

Tapi sebenarnya. Wajah Ines saja sudah cukup menjadi alasan. Dia kan cantik. Teramat sangat.

Ya Tuhan. Gandhi sudah gila.


***


Hari kedua,


Ines pulang sendiri hari ini. Ega pergi ke Jakarta karena ada pemotretan di sana, sementara Ayas harus lembur karena hari ini Closing. Kedua orangtuanya juga tidak ada di rumah karena sedang menghadiri undangan pernikahan kerabat mereka.

Ines menghela napas. Ia menatap seisi rumah yang kosong dan sepi. Ah, seandainya ada Gandhi... pria itu pasti akan mengajaknya keluar. Kalau sekarang? Jangankan mengajaknya keluar. Mengirim pesan saja tidak. Pria itu hanya mengabari Ines kalau hari ini ia harus bekerja sehari semalam karena temannya yang bertugas mengolah data harus dilarikan ke rumah sakit karena usus buntu. Jadi pria itu akan begadang semalaman setelah bekerja seharian, dan besok Gandhi juga akan bekerja seharian lagi. Itulah kenapa Ines hanya membalas pesan Gandhi dengan perhatian-perhatian kecil dan memutuskan untuk tidak mengganggunya hari ini.

****

Hari Keempat,

"Gandhi belum ngehubungin kamu?" tanya Ayas.

Ines menatap Ayas dengan memelas, "Dia tadi ucapin selamat pagi sih. Katanya hari ini mau tidur seharian karena temennya yang gantiin Gandhi udah dateng, jadi dia mau istirahat."

"Yah, senggaknya ngabarin sih Nes. Jadi kamu nggak usah khawatir."

"Iya. Selama tahu kalau dia baik-baik aja ya nggak masalah sih Yas."

"Lagian kamu sendiri yang bilang kan, kalau Gandhi pergi untuk kembali?"

Sekarang senyuman muncul di wajah Ines. Ia teringat akan lagu yang Gandhi kirimkan padanya tempo hari.


****


Hari Kelima,


Udah pulang kerja? Udah santai? Udah makan?


Ines mengerutkan keningnya. Kebingungan dengan pertanyaan Gandhi yang lebih dari satu.

Ia memutuskan untuk membalas pesannya.


Udah semua. Udah mandi. Udah cantik. Udah siap tidur.


Tak lama kemudian, balasan Gandhi datang.


Gandhi : Jangan dulu tidur. Liat aku dulu mau? Ketemu yu.

Ines : Hah? Kamu udh pulang?

Gandhi : Video Call Nes


Astaga!

Ines menelan ludahnya.

Apa kata Gandhi? Video Call? Hey, tidak salah?

Mengerjapkan mata. Ines memikirkan sejenak apa yang harus ia lakukan sekarang.


Gandhi : Nes? Ketiduran?

O-ow. Ines! balas dulu bisa tidak sih? kenapa harus panik dulu?!


Ines : Oke. Sebentar ya. Tungguin aku lima menit aja.

Dan lima menit yang Ines katakan berubah menjadi lima belas menit karena gadis itu rupanya bergegas menuju meja rias dan memoles dirinya dengan make up tipis yang menyamarkan wajah polosnya dan membuat Ines terlihat lebih segar dari sebelumnya. Ia memakai lip tint berwarna pink sebagai sentuhan akhir. Menatap cermin di hadapannya... Ines tersenyum puas akan penampilannya.

Gadis itu kembali pada ponselnya dan mengabari Gandhi bahwa ia sudah selesai.

Tapi sudah sepuluh menit menunggu, tidak ada balasan dari Gandhi. Bahkan pesannya saja tidak dibaca.

Jangan-jangan malah Gandhi yang ketiduran?

Ah, baiklah. Sepertinya dandan kilat Ines barusan sia-sia.

Lagipula, kenapa juga Ines harus berdandan sih? Gandhi menunggu lama kan jadinya!

Ya Tuhan. Ines boleh kesal tidak sih? tapi lebih dari apapun, rasa kecewa lebih besar dari rasa kesal yang ia rasakan sekarang. Yah....


*****


Ines terbangun dari tidur karena suara alarm yang mengusiknya. Ia menyipitkan mata untuk menyesuaikan cahaya yang masuk ke dalam kamarnya. Sudah jam delapan ternyata. Ines tidur lagi setelah selesai salat subuh karena hari ini weekend dan ia tidak akan berolahraga bersama Gandhi. Ya bagaimana mau berolahraga, Gandhi nya saja tidak ada.

Ah, memikirkan hal itu kenapa malah membuat Ines kesal sekali sih?

Ines membalikkan tubuhnya. Ia memutuskan untuk kembali tidur, tapi ponselnya malah berbunyi lagi. Kali ini deringan telpon.

Duh, siapa juga yang menelponnya sepagi ini?!

Meraih ponselnya, Ines menyentuh layar tanpa melihatnya.

"Hmm," katanya seraya menempelkan ponselnya di telinga.

"Nes? Masih tidur ya? Kamera kamu rusak? Kok gelap sih."

Sebentar.

Kamera rusak? Gelap?

Seketika Ines menjauhkan ponselnya dari telinganya dan menatapnya.

Matanya terbelalak saat mendapati Gandhi berada di layar ponselnya.

"Loh iya, baru bangun?" tanyanya.

Ines mengerjap.

Iya. Dia baru bangun.

Iya, Ines memang baru bangun.

Baru bangun sekali.

Baru...

ASTAGA!

Bangkit dari tidurnya. Ines menatap layar ponselnya lagi dan berkata, "Gandhi?!"

Di sebrang sana Gandhi tertawa, "Hai. Udah sadar belum? Kalau belum, mau aku sadarin? Pake cara apa nih?" godanya.

Ya Tuhan!

Ines segera menyentuh layar ponselnya untuk memperbesar gambar dirinya. Untung saja rambutnya tidak acak-acakan, bajunya tidak berantakan, dan wajahnya juga tidak membengkak, sehingga penampilannya tidak terlalu memalukan, menurutnya sih, tidak tahu kalau menurut Gandhi.

"Tetep cantik kok Nes baru bangun tidur juga," ucap Gandhi di sebrang sana.

Ines mengerucutkan bibirnya.

"Bisa-bisanya video call nggak ngabarin dulu," protesnya.

"Eh aku ngabarin loh Nes. Kamu aja nggak cek WA dari aku."

"Yah, aku kan lagi tidur tadiii."

"Ya udah jadi aku ganggu ya?" ucap Gandhi di sebrang sana.

Enak saja ganggu. Mana ada kata ganggu di kamus Ines untuk Gandhi. Tidak ada! Tidak sama sekali.

"Nggak kok," kata Ines pada akhirnya. Gadis itu melunak. Ia merapikan rambutnya sedikit kemudian menatap Gandhi yang terlihat lelah di sebrang sana.

"Kamu begadang lagi?" tanya Ines.

Gandhi mengangguk, "Malem ngolah datanya susah, aku ulang dua kali karena memori nggak kebaca. Datanya nggak lengkap. HP aku mati semalem, nggak sempet di charge, makanya nggak jadi video call."

Mendengar penjelasan Gandhi dan betapa lelahnya wajah Gandhi saat ini membuat Ines merasa bersalah karena ia sempat kesal dan kecewa tadi malam. Duh, Ines. Gandhi kan di sana bekerja, bukan macam-macam juga. Bagaimana sih?

"Ya udah Gan, kamu istirahat aja sekarang. Udah sarapan belum?"

"Udah, ini lagi sarapan. Lihat yang cantik, langsung kenyang aku Nes," katanya di sebrang sana.

Ines tersipu, tapi ia menatap Gandhi dengan judes, "Apaan!"

"BTW Nes, aku pulang, kita wajib ketemu ya," ucap Gandhi tiba-tiba.

Ines tersenyum, "Kenapa? Temu kangen?" katanya.

Gandhi mengangguk seraya tersenyum dengan sangat tulus, "Iya. Kangen banget Nes. Banget," katanya.

Suara Gandhi terdengar biasa saja, namun efek yang ditimbulkannya luar biasa karena sekarang Ines menahan napasnya sementara laju jantungnya tak dapat ia kendalikan. Debaran dahsyat di dalam sana membuat dadanya bergemuruh dan Ines yakin kalau detak jantungnya bersaing dengan riuh dalam kelas anak SMA, detak jantungnya yang akan menang. Saking bergemuruhnya. Astaga. Ines. apa-apaan sih!



TBC



HAHAHAHAYYY

AKU UPDATE 2 KALI SOALNYA HARI INI LAGI HAPPY!

Baru namatin drama favorit dan endingnya KAPALKU BERLAYAR. KYAAAAAA.SO HAPPY!

Ini beneran happy nya awet banget sampe jam segini aku masih berseri-seri dan masih pengen bernyanyi dan menari gitu loh lalu teriak teriak kyaaaa gemaaaasssss kwkwkwkwk

Udah lama banget loh aku nonton drama gak nangis waktu ending.

Dulu tuh ya, mau happy ending atau sad ending, aku pasti nangis WKWKWKWKWK

Kalau happy ending tuh nangisnya karena seneng aja terharu sama perjalanan cinta mereka yang tak kunjung ku rasakan di dunia nyata karena hidup itu tidak seperti di drama korea, apa lagi kisah cinta. Jangan harap!!!

Kalau sad ending mah udah jelas ya bikin empet kwwkwk

Ini tuh aku tadi nontonnya degdegan parah dan pas kapalku berlayar...

YA AMPUUUUUUN!!!!! AKHIRNYAAAAA!!!! HAHAHAHAHAHA

Berasa ikutan memperjuangkan cinta WKWKWKWKWKWK 

MEMANG HIDUP ITU HARUS TOTALITAS GAIS. 

Menonton juga wajib totalitas, seperti aku wkwkwkwkwk 

Oke abis ini aku mau nonton lagi juga drama yang lain.

Selamat membaca ya, kalau gak sibuk besok pagi aku update lagi.

Dah...

AKU SAYANG KALIAN :* 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro