Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

PART 5 - You and Me in The Moonlight


You and me in this cool night

The half-moon is smiling

(Twice – Dance To Night Away)

-


-

-

Sepanjang perjalanan, Ayas berdecak seraya merutuki dirinya sendiri. Kenapa baru terpikir olehnya sekarang kalau seharusnya Ayas menyarankan Ines untuk menyimpan kunci mobilnya di loker kemudian Ines menghubungi Ega untuk mengambilnya sendiri ke kantor mereka. Bukan malah Ayas yang harus menempuh perjalanan jauh untuk mengantarkan mobil Ines kepada Ega, sekarang bagaimana coba? Ayas pulang ke rumahnya naik gojek? Wah! Apakah ini semua akibat rasa dedikasi dan loyalitasnya yang tinggi terhadap Ines yang sudah menjadi sahabatnya sejak mereka SMP? Ya Tuhan. Benar-benar.

Menepikan mobil Ines, Ayas keluar dan berjalan lalu mendapati Ega sedang nongkrong di luar toko bunga milik Ibunya seraya memotret beberapa bunga yang berada di sana. Ck. Si Ega ini seperti ayahnya saja, hobi memotret bunga.

Berjalan dengan cepat, Ayas menghampiri Ega. Ia menyimpan kunci mobil Ines di atas meja lalu berkata, "Ini kunci mobil Ines."

Setelah itu Ayas berbalik dan berjalan dengan cepat namun rupanya Ega juga cukup cepat. Pria itu berjalan mendahuluinya, membuat Ayas menatapnya, dan lihat... Ega menatap Ayas dengan tatapannya yang menyebalkan. Hih.

"Gitu doang Yas?" tanyanya.

"Emang mau gimana? Kan cuman kasihin kunci mobil doang!"

"Ya, iya sih. Tadi Ines juga udah bilang."

"Ya makanya."

"Terus kamu pulangnya gimana? Kakak anterin ya?" tawarnya.

"Nggak deh. Nggak usah, aku bisa pulang sendiri," tolak Ayas. Tidak halus sama sekali. Ini tolakan kasar. Tolakan penegas batas antara mereka.

Ayas berjalan dengan cepat. Nyaris berlari seraya menggerutu, sebal karena sebenarnya Ega adalah orang yang paling ingin ia hindari di dunia ini. Hih. Bagaimana tidak. Pria itu menyebalkan sekaliiii. Asal tahu saja, yang membuat Ayas tahu kalau Ghofar sudah punya pacar di Korea adalah Ega. Apa coba, pria itu tiba-tiba mengirimkan postingan Ghofar lewat DM instagramnya. Padahal Ayas tidak mengikuti instagram Ghofar, sengaja... kan Ayas tidak mau kepo. Eh, malah Ega yang mengirimnya. Dasar pria menyebalkan! Untung saja Ega adalah kakaknya Ines. kalau bukan... Ayas jamin pria itu sudah mati di tangannya!

Omong-omong... Ines sudah bertemu dengan Gandhi belum ya?


****


Ines tak menyangka kalau yang namanya kecanggungan tidak dalam kamus pertemuan mereka. Serius, sejak masuk ke dalam mobil Gandhi sampai mereka berbincang-bincang seraya menunggu makanan mereka tiba, keduanya asik mengobrol dan bercanda tanpa jeda. Obrolan mereka cocok, selera humor mereka apalagi. Tahu tidak sih... rasanya seperti... hmm, bagaimana ya... Ines tidak mau GR sih, tapi memang rasanya seperti mereka berdua ini memang cocok bersama gitu loh. Kalau baju, mungkin seperti... baju itu memang diciptakan untuk dipakai oleh Ines? Tuh kan, yang begini bukannya GR ya namanya?

"Tahu nggak Nes, Gina kan pernah tinggal di Banjarmasin ya dua bulanan gitu, terus aku tanya. Mau sekolah di Banjarmasin apa di Bandung, kamu tahu nggak dia jawab apa?"

"Apa?" tanya Ines antusias.

"Ya Gina sekolahnya di sekolahan atuh Gagan," kata Gandhi seraya menirukan suara Ghina.

Seketika Ines tergelak. Ia menatap Gandhi dan tertawa sekali lagi, dan lagi.

Gandhi terpana, tawanya Ines ini menarik sekali untuk dilihat dan sangat sayang sekali untuk dilewatkan. Rasanya Gandhi malah termotivasi lebih untuk membuat Ines terus tertawa saat bersamanya. Wah, apakah membuat Ines tertawa akan menjadi misinya setiap hari? Wow! Gandhiiiii.

"BTW Nes, aku seneng liat kamu ketawa."

Mendengar ucapan Gandhi seperti itu, Ines mematung. Matanya mengerjap perlahan sementara ia menatap Gandhi dan membeku, kehabisan kata-kata.

"Bengong begini juga seneng, Gemes aja Nes," kata Gandhi lagi.

YA TUHAN! SERANGAN MACAM APA INI?!

Ia mengerjapkan matanya lagi, kali ini bahkan Ines menelan ludahnya, cukup terkejut dengan respon Gandhi untuknya. Whoa, bukankah Ines tidak merasakan kecanggungan apapun sejak tadi? Lalu kenapa sekarang ia malah merasa canggung sekali? Tidak... sebenarnya bukan canggung sih, Ines malah gugup karena jantungnya tiba-tiba saja berdebar dengan sangat cepat.

"Gandhi, random banget," kata Ines tiba-tiba.

Gandhi mengangkat alisnya dan malah tersenyum manis sekali pada Ines. Ya ampun, kalau begini caranya... tubuh Ines yang lemas dan terasa lemah sebelum bertemu Gandhi di kantornya bisa merasakan kelemahan yang lebih dahsyat lagi!

"Eh makanannya dateng tuh," ucap Gandhi tiba-tiba.

Ines mengikuti arah tatapan Gandhi. Benar, makanan mereka datang. Bersyukurlah Ines karena sekarang adalah waktu yang tepat untuk makan, sungguh.

"Kamu yakin makan itu aja?" tanya Gandhi. Ia menatap piring Ines yang hanya berisi salad sayur dengan campuran thousand island di pinggirnya.

Ines mengangguk, "Aku nggak bisa makan banyak Gan. Jam segini makan salad begini tuh udah mending, biasanya apel doang satu."

"Serius? Kamu diet?"

Ines menggeleng, "Enggak diet juga sih, memang udah kebiasaan makan ini," katanya.

"Well, kelihatannya nggak enak sih jujur," sahut Gandhi.

Ines tertawa, "Kak Ega selalu bilang begitu juga sih Gan," sahutnya.

Gandhi mengangguk. Setuju.

Omong-omong, mereka baru bersama selama satu jam tapi Gandhi sudah tahu kalau Ines anak bungsu dari tiga bersaudara. Ines bahkan memperlihatkan foto-foto kakaknya pada Gandhi, termasuk sifat dan kelakuan mereka sehingga Gandhi bisa menilai sedikit banyak mengenai sedekat apa Ines dengan kedua kakaknya yang berarti—Gandhi harus waspada kalau bertemu dengan mereka.

Wow! Gandhi. PD sekali kau akan bertemu dengan mereka.

Pria itu tersenyum lalu menggeleng karena pikiran random nya.


*****


Ines menatap Gandhi yang menyantap makanannya dengan lahap. Pria itu seperti orang yang tak makan berhari-hari. Tapi Ines justru senang melihatnya. Wah, kalau Gandhi makan selahap ini... orang yang memasaknya pasti bahagia. Apalagi Ines, yang senang sekali kalau seseorang menghabiskan masakannya.

O-ow, Ines. Pikirannya nakal! Belum apa-apa sudah memikirkan untuk memasakkan makanan. Apa-apaan sih?!

"Nes, mau nyobain?" tawar Gandhi saat piring keduanya datang. Ia terlalu sibuk makan sampai-sampai lupa menawarkan Ines makanannya. Tapi sebenarnya sih Gandhi ragu, memangnya Ines ini suka kalau Gandhi tawarkan makanannya? Yah, sebagian orang tidak suka makan di piring orang lain kan? Atau memang sebenarnya semua orang suka? Gandhi saja yang tidak tahu. Apakah begitu ya?

Ines menggeleng dengan senyum manisnya.

Aduh, senyumannya menyerang Gandhi seketika, Tuhan.

"Nggak Gan, makan aja. Aku nggak suka udang," kata Ines.

"Alergi?" tanya Gandhi.

"Nggak. Memang nggak makan aja, rasanya aneh sih menurutku."

"Aneh gimana?"

Ines memiringkan kepala, mengingat-ingat rasanya agar ia bisa mendeskripsikannya pada Gandhi.

"Aneh aja gitu, aku pernah coba sekali dan... nggak deh."

"Eyy, baru coba sekali. Cobain lagi. Mau nggak? Ini enak banget loh," kata Gandhi.

Ines menggeleng, tapi Gandhi tidak mau menyerah. Ia menawarkannya lagi, "Coba dulu depan aku. Mau lihat senggak suka apa kamu sama makanan ini. Kalau nggak suka ya nggak apa-apa, kamu bisa muntahin makanannya. Depan aku pun nggak masalah," ucap Gandhi lagi.

Ines terkejut. Ia menatap Gandhi tak menyangka.

Begini... Ega selalu mengomel setiap kali memesan udang tapi Ines tak memakannya namun kakaknya itu membiarkan Ines begitu saja. Berbeda dengan Gandhi yang sekarang malah mendorong Ines untuk memakannya. Seharusnya Ines merasa bahwa Gandhi memaksanya kan, ia seharusnya tidak suka kan? Tapi... kenapa Ines malah merasa seperti anak yang takut membuka matanya saat berenang namun orang tuanya terus membuatnya berani hingga akhirnya Ines berhasil membuka matanya di dalam air? Ha! Ines sudah gila.

Gandhi menatap Ines, masih menunggu responnya. Gadis itu terlihat ragu, namun Gandhi yakin ia bersedia mencobanya. Maka Gandhi menyendokkan udang yang berada di piringnya dan menaruhnya di atas sendok milik Ines.

"Cobain deh," ujarnya.

Ines terpaku. Ah. Parah. Lagi-lagi ia membeku. Ya, habisnya Gandhi ini kenapa senang sekali melancarkan serangan tiba-tiba padanya ha? Bisa pingsan kalau Ines diperlakukan begini terus. Sudah baik sekali karena mau menjemput Ines, lalu asik sekali diajak ngobrol, enak diajak bercanda, dan sekarang... Oh Tuhan. Untung saja jantungnya masih bisa bertahan di tempatnya.

Pada akhirnya Ines memakan udang yang diberikan oleh Gandhi. Pria itu menatapnya baik-baik, memperhatikan bagaimana cara Ines memakannya, bahkan menelannya.

"Gimana? Enak kan?"

Sebenarnya enak sih, tidak seperti udang dengan rasa aneh yang pernah Ines cicipi. Tapi kalau mengaku enak, malu tidak sih? nanti Gandhi malah menertawakannya lagi.

"Hmm, gitu deh," kekeh Ines.

Ghandi tersenyum, kemudian meledeknya, "Bilang aja enaak," katanya.

Seketika Ines tergelak.


****


Jam setengah sepuluh malam, mobil Gandhi membelah jalanan komplek perumahan Ines yang rupanya cukup dekat dengan rumahnya, bisa ditempuh hanya dalam waktu sepuluh menit saja. Wow. Kalau begini caranya, setiap hari ke rumah Ines juga Gandhi mampu. Bahkan akan Gandhi usahakan saja semaksimal mungkin. Oh Tuhan, kegigihannya semakin membabi buta ternyata.

"Yang itu Gan, yang ada pohon mangganya," kata Ines seraya menunjuk sebuah rumah berpagar coklat di depannya.

Ghandi menepikan mobilnya. Ia memperhatikan Ines yang tengah melepaskan seat belt nya. Merasa tidak rela karena harus mengirim Ines kembali ke rumahnya sekarang juga. Ah, kenapa mereka malah bertemu sore sih? kenapa tidak dari pagi saja?

"Makasih ya Gan, udah ajak aku ketemu hari ini," ucap Ines.

"Yah, makasih juga Nes. Asik banget ngobrol sama kamu."

"Masa?"

"Tentu dong. Seasik itu," kekeh Gandhi.

Ines menganggukkan kepala. Ia menatap Gandhi dan tersenyum, "Pertemuan kita hari ini menyenangkan sih. Fyi, aku seneng aja liat kamu makan, lahap banget abisnya."

"Hahaha, bukannya kasian ya? Ibu selalu kasian katanya liat aku makan. Kayak orang yang nggak dikasih makan berhari-hari."

"Aku mikir gitu juga sih, tapi barusan lebih ke memperhalus bahasa aja," kata Ines.

Gandhi mendesis, "Aku cekokin udang loh yaaa," godanya.

Ines menjulurkan lidahnya, meledek, "Nggak takuuut."

"Ya, gimana mau takut. Udangnya aja enaak," balas Gandhi.

Ines mengerucutkan bibirnya, "Aku nggak bilang enak tuh."

"BTW mulut manusia bisa berdusta, tapi matanya tidak."

"Aaaaaa Gandhiiiiii," rajuk Ines.

Gandhi tertawa, puas sekali. Ia menatap wajah Ines yang kini terlihat menggemaskan dan sekuat tenaga menahan dirinya untuk tidak mencubit pipi Ines atau sekadar menjawil hidungnya. Tahan Gandhi. Tahan.

"Oke-oke maaf Nes, abis lucu juga yaa yang katanya udang rasanya aneh tapi nyobainnya satu biji, bukan satu gigit."

"Tuhkan Gandhi maah, udah ah aku turun sekarang aja, tar malah digodain lagi," kata Ines.

Gandhi mengangguk. Ini saat baginya untuk melepaskan Ines malam ini.

"See you Nes. Thanks for today," katanya.

Ines tersenyum. Maaniiiis sekali.

"Too," sahutnya.

Ia keluar dari mobil Gandhi kemudian melambaikan tangannya dan menunggu Gandhi pergi, namun pria itu tidak juga pergi. Ia bahkan tak kunjung menyalakan mesin mobilnya yang membuat Ines mengerutkan kening.

"Gan, kok nggak—"

"Ines, naik lagi yuk."

"Hah?" tanya Ines kebingungan.

"Naik lagi. Kita muterin komplek sambil ngobrol, maybe bentar lagi? Setengah jam? Gimana?"

Tersenyum. Ines menganggukkan kepala. Sesungguhnya ia juga masih ingin bersama dengan Gandhi.


****


Di hari liburnya, Gandhi tak biasanya keluar sore dan pulang malam, karena biasanya Gandhi akan menghabiskan waktu untuk tidur seharian lalu malamnya bermain game atau bermain bersama Gina. Tapi hari ini anaknya yang masih lajang itu pergi jam empat sore dan pulang jam sebelas malam.

"Ibu nunggu aku?" tanya Gandhi ketika masuk ke dalam rumah dan mendapati Ibunya duduk di ruang tamu seraya menonton TV—menunggunya.

Rita mengangguk, "Takut lupa pulang anak ibu."

"Ya masa iya," kata Gandhi.

Ia berjalan menuju dispenser dan meminum segelas air kemudian bersiul lalu terkekeh. Tingkahnya ini membuat kejanggalan di pikiran ibunya. Rita menatap anaknya dan tersenyum. Apakah sekarang sudah saatnya? Apakah giliran Gandhi sudah tiba?

"Bu, tahu nggak?" tanya Gandhi tiba-tiba.

"Apa?"

"Ada yang cantik tapi bukan bunga, ada yang manis tapi bukan gula, ada yang indah tapi bukan pemandangan, ehehehehe."

Rita mengerjap. Menatap anaknya yang malah cengengesan tak jelas kemudian bergidik.

"Kamu kenapa sih nak?" tanyanya.

Gandhi menggeleng, kemudian terkekeh lagi.

Ia menatap ibunya dan berkata, "Bu, do'ain ya. Tabungan Gandhi kayaknya bisa ditarik," ucapnya.

Rita tersenyum, "Bau-baunya anak ibu abis ketemu cewek ya?"

Gandhi mengangguk antusias. Seperti orang bodoh.

"Cantik bu, enak banget diajak ngobrol, terus... lucu juga godain dia," sahut Gandhi.

Rita mengerutkan keningnya. Senang sih, tapi heran juga. Sudah lama Gandhi tidak seantusias dan sejujur ini kepadanya.

"Sebagai Ibu, yang bisa ibu lakukan memang hanya berdo'a kan nak? Semoga dia pilihan yang sangat tepat ya. Ibu mah ikut saja, asal kamu bahagia," ucapnya dengan tulus.


****


"KAKAKUUUUUUU..."

Sejak masuk ke dalam rumah, Ines tak henti-hentinya memanggil Ega dengan sebutan yang sama. Gadis itu kelewat senang. Ia berkali-kali berteriak-teriak kecil di kamarnya kemudian berlari ke kamar Ega, kembali ke kamarnya, berlari lagi ke kamar Ega, dan sekarang berguling-guling dengan gemas di ranjang Ega.

Whoa. Adiknya sudah gila.

"Nes, minum obat sana. Kayaknya kamu sakit."

Ines mengerucutkan bibirnya, "Jauh obatnya, udah pulaaaang," keluhnya.

"Astagfirullah, nyebut Nes. Nyebut," kata Ega. Dia tahu kalau Ines diantarkan oleh Gandhi karena Ega juga baru sampai ketika Ines sampai di rumahnya. Sayang sekali Ega tak bisa melihat Gandhi karena mobilnya sudah maju duluan sebelum Ega keluar dari mobil. Padahal kan kalau lihat, Ega bisa memasang tatapan sinis sambil bertanya, 'Siapa kamu ha?! Anterin anak orang malam-malam begini? Sadar jam nggak sih?!' Hahahaha sepertinya menyenangkan.

"Ternyata Gandhi tuh kerja lapangan gitu Kak. Dia surveyor. Tapi kok ganteng ya, hahahahaha."

"Emangnya pekerja lapangan nggak boleh ganteng? Dipikir orang ganteng satu dua biji doang," gerutu Ega.

Ines tak mempedulikan ucapannya. Ia sibuk menceritakan Gandhi yang hanya disahuti gumaman saja oleh Ega.

"BTW Kak. Aku tuh tadi nggak mau dijemput Gandhi. Soalnya nggak enak juga masa hari pertama ketemu udah ngerepotin sih. Tapi kata Ayas, aku nggak boleh nolak cowok yang mau mengorbankan dirinya untuk direpotin gitu. Kebayang nggak sih kalau tadi aku nggak dijemput akan secanggung apa pertemuan kita? Wah, untung aja yaa aku mau dijemput Gandhi. Jadi bisa asik ngobrol sambil ngilangin rasa gugup, sama bisa mempersiapkan diri juga. Udah latihan dalem mobil sebelum duduk bersebrangan gitu, hahahaha."

"Eh, Gandhi chat aku."

"Kakaaaaaak. Aku besok mau dianterin Gandhi pergi kerjanyaaaa," teriak Ines antusias.

Ines saja yang antusias. Sejak mendengar nama Ayas. Ega malah menggerutu, kesal. Habis, bagaimana ya... Ayas ini, pintar sekali menasehati Ines untuk tidak menolak Gandhi yang mau menjemputnya, tapi dia sendiri malah menolak Ega untuk mengantarkannya? Ha! Benar-benar.



TBC



Ada yang pait tapi bukan kopi

Ada yang kecut tapi bukan cuka

Ada yang pedih tapi bukan luka

Ada yang sakit tapi bukan penyakit.

IYA. KISAH CINTAKU. HAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHA

SO SAD SO SAD SO SAD HUHUHUHU

NGAKAK DULU TAPI WKWKWKWKWKWK 

Foto di Mulmed bukan kata akuuu wkwkwwk tuh ada terpampang nama orang yang bilangnya wkwkwk

Yah, selama ini akumah nggak mempermasalahkan juga kan yaa. Soalnya sekali aku memikirkan dan mempermasalahkannya. OH KENIKMATAN MENULIS INI BISA HILANG WKWKWKWK

Tidak mau. Tidak mau wkwkwk

Tapi aku pribadi sih kalau baca pasti vote sama comment. Ya kalau aku. Orang kan beda-beda wkwkwk

Emang aku orangnya senang mengapresiasi hahahaha

Oke balik lagi. Orang beda-beda, aku memilih untuk tidak mempermasalahkan itu. Jadi, suka-suka ajalah. Udah pada gede juga (apa hubungannya iroooh wkwkwkwk) 

Btw besok itu kan banyak ya, dan rupanya besok yang aku bilang kemarin adalah besok sabtu minggu depan dan minggu depannya lagi wkwkwkwk

Maafin ya telat banget. Abis update terakhir tuh aku migren, parah banget. Karena udah seminggu berasa kleyengan terus, aku kira anemia aku kambuh lagi. Tapi pas bangun tidur, secara tiba-tiba aku ini vertigo pemirsa! Ya allah, seumur-umur, baru dong ngalamin yang namanya vertigo.

GAK MAU LAGI YA ALLAH. GAK MAUUUU.

Gila ya, ngeri banget itu rasanya. Muter-muter sampe mual banget. Mau bangun aja super hati-hati, mau duduk juga pelaaaaan banget, bahkan aku sampe kapok banget kalau tiduran. Whoah, dipake solat apalagi, mendadak aku menjadi kayak iblis, nggak mau sujud :( soalnya pas sujud, begitu bangun langsung nggak bisa berdiri. Harus duduk lama. WAH SUSAH SEKALI YA YA AMPUN.

Aku konsultasi ke dokter dan SEPERTINYA AKU STRESS PEMIRSA HAHAHAHAHA

Gimana enggak. Satu bulan di rumah apa tidak muak? Sekarang mungkin menuju 2 bulan yaa karena bulan ramadhan ya full aja kayak begini.

Butuh main, butuh kelayapan, dan sesungguhnya diri ini butuh bertemu makhluk 3D berjenis kelamin laki-laki walau hanya melihat sekilas atau berpapasan di mall dan disekitarnya tidak apa-apaaa wkwkwkwk

Saking bosennya, drama aja nggak aku tonton. Udah males gitu loh, banyak yg on going tapi aku nnton satu dua doang. Hadeuh.

Dan btw setelah vertigo sembuh, lima hari kemudian sampe kemarin... aku sibuk gaisss! Yess. Akhirnya bisa sibuk juga.

Tapi emang sesibuk itu karena kerjaan aku banyak wkwkwk sengaja cari kerjaan.

Sekarang udah mulai nyantai lagi sih karena udah mulai pada beres satu persatu jadi bisa nulis lagi.

Next part akan aku ketik sekarang jadi ya kalau cepet besok bisa sih.

Omong-omong soal scene Ines disuruh masuk mobil lagi itu terjadi pada temanku ders. Seriusan mereka asik ngobrol sampe cowoknya nyuruh dia masuk mobil lagi wkwkwkwk

Sungguh uwu kisah orang-orang, sungguh asu kisahku sendiri.

WHOAH. IRI. IRI. IRI. IRI WKWKWKWKWK

Oke mari kita beristighfar.

Astagfirullahaladzim.

BTW Selamat berpuasa ya sayang-sayangku. Semoga puasanya lancar, barokah, dan semoga ibadah kita lebih baik lagi. Aamiin.

Akhir kata, selamat pagi dan...

AKU SAYANG KALYAAANNN :* 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro