PART 24 - Epilog
Empat Tahun lalu,
Gedung Pernikahan Dharmawangsa
Dewa tersenyum menyaksikan akad nikah di hadapannya. Oke, acara pertama selesai. Ia mengacungkan jempolnya pada tim WO nya dari kejauhan, mengapresiasi kerja mereka hari ini. Pria itu berjalan mengelilingi gedung untuk memastikan tidak ada kekurangan apapun dalam pesta hari ini. Langkahnya terhenti ketika ia mendapati seorang pria sedang mengobrol hangat dengan seorang wanita. Pria itu temannya, Ega. Sementara wanita itu adiknya Ega, namanya Ines.
Dewa memperhatikannya dari jauh. Ia melihat wajah Ines yang berbinar dan senyuman yang menular sampai ke dirinya. Apa sih? kenapa Dewa malah tersenyum bodoh begini?
Pria itu cekikikan sendiri, namun keinginan dalam hatinya mendorongnya untuk melangkahkan kaki, mendekat ke arah mereka dan akhirnya memanggil Ega.
"Ega!" teriaknya. Nyaris memekik saking antusiasnya. Bukan bertemu Ega sih, melainkan bertemu Ines.
"Woy! Dewa?!" tanya Ega terkejut. Pria itu menghampirinya dan sibuk menyalaminya lalu menanyakan ini itu sementara Ines, ia memilih untuk memundurkan langkahnya dan pergi dari sana. Yah. Yah. Kenapa Ines harus pergi? Hey! Kenapa dia pergi? Tunggu dulu! Harusnya Ines berkenalan dulu dengan Dewa. Atau seharusnya Dewa menyapa Ines juga barusan.
Ya Tuhan. Kenapa sih? padahal barusan Dewa hampiri saja mereka pelan-pelan baru menyapa Ega. Kenapa malah berteriak? Kalau berteriak memanggil Ega seperti barusan kan Ega malah maju menghampirinya. Ah sialan! Padahal ini satu-satunya kesempatan langka. Karena kalau sengaja ke rumah Ega, ya mau apa? Masa iya Dewa mau menawarkan WO nya? Untuk apaa? Siapa yang akan menikah memangnya? Karena setahu Dewa, Ega juga belum punya pacar.
"Wa! Lo manggil gue tapi malah bengong gimana sih?" tanya Ega seraya menepuk pundaknya. Dewa menghela napas. Ia mengalihkan pandangannya dari Ines dan menatap Ega dengan memelas, "Ga, lo masih nggak mau ya ngenalin adek lo buat temen-temen lo?"
Ega menatapnya ngeri, "Nggak lah gila!" katanya.
"Termasuk gue Ga?" tanya Dewa.
Ega mengerutkan keningnya, "Lo mau sama adek gue?" tanya Ega.
Dewa mengangguk dengan yakin. Ia menatap Ega dengan tatapan yang sama—memelas dengan sangat kepadanya, "Coba lo pertimbangin gue Ga. Gue punya WO sendiri, ini bener-bener dibikin pake modal gue. Klien gue udah banyak, lo bisa lah lihat portofolio gue nanti. Udah gitu poin plusnya, gue anak tunggal Ga. Adek lo bakalan jadi satu-satunya menantu kesayangan di keluarga gue, dia pasti nggak akan dibanding-bandingin sama mantu lain. Ibu gue juga orangnya luwes kok Ga, kalau adek lo lahirannya sesar nggak akan dihujat karena Ibu gue juga sempet lahiran sesar tapi sayang anaknya meninggal, jadi beliau udah paham bahwa ada dua metode lahiran di muka bumi ini."
Mendengar penjelasan Dewa membuat Ega memundurkan langkahnya. Ngeri juga mendengar Dewa menceritakan hal sejauh itu pada Ega. Maksudnya dia mengobrol dengan Ines juga belum, kenapa sudah membahas lahiran?
"Itu contoh," ralat Dewa pada akhirnya, seperti tahu bahwa Ega bingung dengan jawabannya.
"Serius deh Ga. Emang gue nggak bisa dipertimbangin ya?" tanya Dewa lagi.
Ega mengangkat tangannya, meminta Dewa untuk berhenti berbicara sebentar.
"Temen-temen kampus gue emang ngecengin Ines semua sih soalnya adek gue cakep, emang manis juga dia. Tapi gue nggak tahu kalau lo—"
"Ya Salam. Gue sering kali minta nomor Ines sama lo waktu kuliah. Masa lo lupa sih?!" protes Dewa. Ega mengerutkan keningnya, pikirannya menelusuri kejadian-kejadian semasa kuliah dan mengingat-ingatnya hingga mulutnya menganga.
Benar.
Ega ingat kalau Dewa pernah sangat memohon-mohon kepadanya kalau dia ingin nomor telpon Ines.
"Ga, zaman udah maju. Kalau gue mau, gue bisa aja follow Instagram dia terus gue DM, jadi kan? Tapi nggak dong. Gue hargain lo sebagai kakaknya dia dan temen gue, jadi gue pasti izin dulu sama lo. Lo percaya nggak sama gue kalau gue bilang gue pengen prospekin adek lo, makanya kalau lo izinin ya gue minta nomornya, atau kenalin aja sekalian lagi di sini gitu," ucap Dewa.
Ega sedikit terperangah dengan ucapan Dewa padanya. Ia melipat tangannya di dada kemudian menatap Dewa dengan angkuh, "Kalau gue nggak izinin, lo mau mundur?"
Dewa mengangguk.
"Ya mundur aja, sampai suatu saat bisa maju. Lagian gue punya senjata yang lebih ampuh dari pada apapun."
"Emangnya apaan?" tanya Ega.
Dewa tersenyum, "Do'a," jawabnya.
"Dih anjir!" cibir Ega.
Dewa tertawa, "Lo nggak tahu aja, kekuatan do'a itu luar biasa."
Sesungguhnya diantara teman-teman kampusnya dulu, Dewa adalah orang paling beriman yang berada di tengah-tengah mereka. Ia yang selalu menyeret teman-temannya untuk ke masjid dan solat bersamanya. Kata Dewa, laki-laki itu solatnya di masjid. Padahal menurut mereka solat dimana saja juga sama. See? Tingkat keimanan mereka memang jauh berbeda.
"Kayaknya gue ngeles dikit lo bakal ngeluarin hadist," kata Ega.
Dewa tergelak, "Nggak lah. Rosul aja yang punya dalilnya nggak pernah ngeluarin hadist nya buat nasehatin orang. Bukan gitu caranya lagian," sahutnya.
"Masyaallah dapet siraman rohani gini," ucap Ega.
Dewa berdecak, "Jadi gimana?" tanya Dewa lagi.
Ega mencibir, "Keukeuh banget ya lo?"
"Dibilangin gue udah teguh," sahut Dewa.
"Emangnya apa sih yang lo suka dari adek gue?"
Ditanya hal seperti itu Dewa malah cengengesan. Ia menatap Ega dan berkata, "Emangnya harus ada alesan gue suka sama adek lo kenapa? Yah, suka mah suka aja kali."
"Anjir men, sinting lo ye," kata Ega pada akhirnya.
Dewa tertawa. Ia menatap Ega dan menepuk bahunya.
"Pertimbangin gue Ga pokoknya. Sekali aja."
Pada akhirnya Ega menjawab, "Gue tanya Inesnya aja dulu," putusnya.
*****
Wa. Ines abis ketemu cowok. Gatau tapi gimana.
Wa. Kayaknya ines makin deket deh ama cowoknya.
Wa. Gue liat2 sih kyknya mereka lanjut. Sorry bgt.
Wa. Cowoknya ke rumah, ortu gue suka. Lo mundur aja ya Wa.
Wa. Ines diterima dgn baik bgt di keluarga cowoknya. Udh sih ini mah fix.
Wa. Kabar terbaru, kayaknya mereka mau nikah. Cowoknya udah serius. Lo cari cewek aja ya Wa. Adek gue udh ga bisa nih.
Selama beberapa bulan terakhir Ega sering sekali menghubunginya dengan memberikan kabar terbaru mengenai hubungan adiknya yang ternyata semakin berjalan dengan baik. Dewa tak pernah membalasnya, ia membiarkan pesan Ega seperti notifikasi yang muncul di ponselnya. Kalau Ines akan menikah, ya sudah, tidak apa-apa. Semoga ia selalu bahagia dalam hidupnya, mungkin memang Ines bukan Tuhan ciptakan untuk Dewa kan.
Bagaimana pun juga hal pertama yang harus kita terapkan dalam hidup adalah merelakan. Merelakan impian yang tak tercapai, seseorang yang tak tergapai, dan sebuah kisah yang tak sampai.
*****
Beberapa bulan kemudian
"Gue gedek banget Wa sama cowoknya Ines. Anjing banget tuh orang! Bisa-bisanya dia ninggalin adek gue gitu aja."
Dewa yang sedang sibuk menyusun rundown acara menghentikan kegiatannya. Ia menatap Ega seraya mengerutkan keningnya.
"Adek lo putus?" tanya Dewa.
Ega mendengus, "Bukan lagi. Gue pernah bilang kan kalau mereka mau nikah. Cowoknya udah janji mau nikahin, terus dia malah kerja kan tuh ke luar kota. Si anjir, dia nggak bilang kalau dia mau kerja di Oman. Sialan. Sumpah bajingan banget tuh orang. Ines sampe hancur banget Wa. Gila ya, padahal impian adek gue tuh nikah tapi tuh cowok sialan nggak tahu diuntung malah hancurin semuanya."
Dewa merasa jahat karena mendengar bisikan dalam hati kecilnya yang berkata 'Udah putus? Bisa dong' padahal jelas-jelas keadaan Ines tengah hancur seperti yang Ega ceritakan.
"Udah tiga minggu. Minggu awal parah banget sih, adek gue pergi kerja aja kayak mayat idup, muka pucet mata sembab, cantiknya ilang Wa. Sampe pusing gue ngejar-ngejar tuh cowok kayak gimana."
"Nggak lo hajar abis-abisan?" tanya Dewa.
Mengingat hari-hari itu membuat Ega mengepalkan tangannya dengan erat, "Gue sama kak Ghofar susulin ke rumah sama ke kantornya nggak ada. Tahunya dia udah di Oman. Gue sumpahin aja dia tenggelam di kilang minyak," sahut Ega.
Dewa tertawa mendengar sumpah Ega pada kekasihnya Ines.
"Tahunya dia tenggelam di duit hasil kilang minyak gimana Ga? Makin kaya nanti," katanya.
Ega mendengus, "Gue sumpahin lagi dia penyakitan biar duitnya abis."
Ya Tuhan. Ega ini benar-benar.
"Mending lo hajar aja sih," timpal Dewa.
Ega menggeleng, "Kak Ghofar udah menghajar dia sama caranya sendiri. Nggak tahu deh gimana. Lagian kalau niat mau mukulin juga gimana, berat diongkos bro. mending gue kasih ke Ines aja duitnya supaya dia bisa liburan dan seneng-seneng. Tahu ah bro. Kalau bakal kayak gini, dulu gue nggak akan semudah itu ngizinin Ines sama Gandhi. Emang guenya aja jadi kakak lemah banget, nggak bisa lihat Ines seneng dikit langsung luluh," katanya.
"Segitu juga lo udah memainkan peran seperti bagaimana seorang kakak seharusnya sih Ga. Yah namanya perjalanan hidup, siapa yang tahu kan ya?"
****
Ines keluar dari mobil Ega dengan lemas. Kakaknya yang satu itu memaksanya untuk ikut ke resepsi pernikahan temannya. Ega sudah membujuknya selama tiga hari terakhir namun Ines selalu menolaknya karena ia sendiri sedang dalam posisi dimana ia membenci hal yang berbau pernikahan. Bukan apa-apa, Ines tidak mau menodai kesucian dari hari bahagia orang lain. Salah-salah kalau Ines tak bisa mengendalikan dirinya, ia malah menyalahkan keadaan dan bertanya-tanya tentang kenapa orang lain bisa menikah sementara ia tidak. Bukankah pada akhirnya Ines akan membenci banyak hal termasuk kebahagiaan orang lain?
"Nes, smile," kata Ega.
Ines tersenyum tipis. Ia mendekat pada Ega dan merangkul tangannya agar mereka bisa berjalan bersama.
"Ya Allah kangen banget digandeng Ines begini," kata Ega.
Ines mencibir, "Apaan sih," katanya.
Mereka berjalan bersama sampai ke dalam. Ega membawa Ines ke pelaminan dan mengenalkan adiknya pada teman-temannya, ia bahkan ikut berfoto dengan Ega dan teman-temannya, mereka semua berkumpul dan membuat suasana menjadi ramai sehingga Ines juga perlahan bisa menikmati acaranya dengan baik.
Ega sekarang sibuk sebagai fotografer mereka. Katanya teman-temannya ingin difoto oleh professional, sementara Ines berpamitan dan memilih untuk berkeliling mencari makanan. Pilihannya adalah salad sayuran yang berada di sudut ruangan.
"Laras?"
Sebuah suara membuat Ines membalikkan tubuhnya. Ia menatap seorang pria yang tengah memakai kemeja hitam dengan name tag di dadanya bertuliskan nama Dewa Dharmawangsa dengan keterangan Dewa Wedding Organizer.
Ines kebingungan. Ia menoleh ke kanan dan ke kiri bahkan ke arah belakang untuk memastikan kalau orang yang dipanggil oleh pria bernama Dewa ini adalah dirinya.
"Adeknya Ega kan?" tanya Dewa lagi.
Ines mengerjap. Ia mengingat-ingat wajah Dewa kalau-kalau mereka pernah bertemu sebelumnya dan...
"Ah! Temen kak Ega yang waktu itu ya?!" tanyanya.
Dewa tersenyum, merasa senang karena Ines berhasil mengingat siapa dirinya.
"Kok manggil aku Laras?" tanya Ines.
"Bukannya nama kamu itu ya?" sahut Dewa.
Benar sih, nama Ines ada Larasnya. Tapi semua orang memanggilnya dengan nama depannya, bukan nama belakang.
"Y—yah iya sih," kata Ines pada akhirnya.
"Saladnya enak?" tanya Dewa tiba-tiba.
Ines mengerjapkan mata. Kenapa jadi membicarakan salad?
"Belum dicoba sih Kak," sahutnya seraya tersenyum tipis.
"Nanti kalau udah coba, kasih feedback ke IG kita ya. Ini produk baru yang lagi aku kembangin," kata Dewa.
Dan apakah Ines bertanya tentang hal ini?
"Omong-omong, yang nikah hari ini. Sebelumnya dia gagal nikah tiga kali, sampe udah nyerah buat menikah. Orangnya hampir mati, mau bunuh diri dia. Mau loncat dari kamarnya tapi keburu ketahuan sama orangtuanya. Cuman memang perawatannya sehabis itu juga panjang banget, bolak-balik psikiater dan terapi ini itu," ujar Dewa tiba-tiba.
Ines menatapnya tak mengerti namun Dewa menatapnya dan tersenyum, "Tapi sekarang dia menemukan seseorang yang tepat banget buat dia. Lihat aja gimana cara cowoknya perhatiin dia, sampe takjub sendiri. Yah, memang luka apapun bakal Tuhan ganti sih sama kebahagiaan yang nggak pernah kita bayangkan. Dengan syarat, kita tidak menyerah," ucapnya lagi.
Ines mengerjapkan matanya. Sesungguhnya ia agak risih dengan kehadiran Dewa yang 'sok akrab' padanya di awal-awal dan ia hampir saja meninggalkannya ketika Dewa mulai menceritakan temannya—yang mungkin kliennya—karena Ines justru berpikir... kenapa Dewa harus membuka cerita orang lain kepadanya yang bukan siapa-siapa? bahkan kenal mempelai saja tidak.
Namun kalimat terakhir Dewa membuat Ines terdiam dan memikirkannya dalam-dalam.
"Luka apapun bakal Tuhan ganti sih sama kebahagiaan yang nggak pernah kita bayangkan. Dengan syarat, kita tidak menyerah."
****
Di waktu yang sama,
Oman.
Gandhi baru selesai dengan pekerjaannya. Ia masuk ke dalam kamarnya dan melemparkan dirinya begitu saja di atas ranjang. Semua pekerjaan ada konsekuensinya, gajinya lebih besar maka tanggung jawabnya juga lebih besar, dan Gandhi benar-benar tengah menanggung konsekuensinya sekarang dimana ia tengah kelelahan atas tanggung jawab yang dibebankan kepadanya.
Pria itu bangkit dan meraih ponsel yang sudah ia matikan selama dua minggu terakhir. Bukan apa-apa, Gandhi sedang tidak mood melihat ponselnya, karena sesungguhnya ada hal yang harus ia lupakan bukan?
Sebuah notifikasi langsung muncul ketika ponselnya menyala.
Ghofarul Hakim ingin mengirimi anda pesan
Gandhi mengerutkan keningnya. Ia segera memilih notifikasi di ponselnya dan membuka permintaan pesan yang masuk ke dalam inbox di Facebooknya.
Halo Gandi. Lo tau kan gue siapa? kakak pertama Ines. ghofar.
Gue harap lo baik-baik di sana, lo dapetin apa yang lo mau. Senggaknya lo harus dapet kompensasi besar banget kan karena udah nuker Ines sama kerjaan yang mungkin udah lo idamkan sejak lama. Senggaknya lo bisa dapetin sesuatu yang lebih oke dari Ines.
Thanks. Udah sempet bahagiain adek gue meskipun akhirnya lo ninggalin dia dgn cara gini.
Gapapa, gue percaya Ines bisa dapetin cowok yg jauh lebih baik dr lo dalam segi apapun.
Tapi sebagai kakak yg udh merhatiin ines sejak dia bayi, bahkan kalau dia kegores pisau dikit aja gue pengen patahin pisaunya. Hal yang sama akan berlaku buat lo kalau lo masih di sini. Beruntung juga lo mendapatkan tempat perlindungan yg jauh dari jangkauan gue. Tentu gue pengen banget abisin lo sekarang juga, tapi gak.
Gue memilih amarah gue buat berdo'a sama Tuhan untuk kebahagiaan adek gue di masa depan. Lagipula gue nggak menyayangkan apa-apa. Syukur alhamdulillah karena adek gue putus sama orang yg gak bertanggung jawab kayak lo. Senggaknya Tuhan tunjukin orang seperti apa lo sebenernya. Karna ga kebayang bgt kalau lo jadi nikahin adek gue dan tiba-tiba lo ninggalin dia dengan kondisi yg sama kayak sekarang. No, pasti adek gue makin hancur.
Memang lebih baik berhenti daripada menyesal saat semuanya sudah terjadi kan?
Terlihat seperti pesan biasa yang dikirimkan oleh kenalannya. Atau kalau boleh Gandhi katakan lebih jujur, pesan yang dikirimkan terlihat seperti Klien nya yang tengah mengeluhkan pekerjaan Gandhi yang tak sesuai dengan keinginannya—anggap saja begitu—tetapi tubuh Gandhi meresponnya berbeda, terlebih hatinya.
Tiga minggu tak merasakan apa-apa dan hari ini, Gandhi merasakan semuanya. Ada sebuah serangan rasa sakit yang mengganggu di dalam hatinya. Rasanya seperti sebuah titik yang perlahan melebar hingga akhirnya menjadi sebuah lubang besar yang pada akhirnya menenggelamkannya dalam kegelapan yang tak pernah ia duga sebelumnya.
- END OF EPILOG -
BTW AKU NULIS CERITA BARU JUDULNYA SOMETHING ABOUT LOVE DAN KOLAB SAMA , LANGSUNG CEK PROFILNYA YA SOALNYA DI POST DI SANA. JANGAN LUPA. DIVIANA90.
Oke. Seperti komen yang kalian bilang, ini pertama kalinya tulisan aku dibuat kayak begini. Kenapa ya, apa aku udah terlalu mengalami banyak hal sampe tulisan aja jadinya realistis banget dan banyak relate sama kehidupan orang-orang wkwkwkwk
Hmm, aku pernah mengalami apa yang ines alami hahahaha tapi ga sampe kayak ines yg udah pacaran dan udh janji mau nikah sih. Aku cuman dalam tahap mulai percaya sama orang dan mulai menimang2 bahwa ya mungkin dia bisa banget aku pertimbangin namun takdir berkata lain yah gais dan akhirnya aku malah kecewa sama diri sendiri. Sepahit-pahitnya rasa kecewa itu sama diri sendiri sih karena gak ada yang bisa kita salahin selain diri sendiri, jadi yang bikin beratnya itu. Emang sih kita gak boleh banyak nyalahin org lain, tapi kadang kalau ada yg bisa kita salahin tuh agak tenang hey senggaknya semua ini salah lo, bukan salah gue. Sementara kalau ga ada, capek bgt. Udah mencoba mencintai diri sendiri eh hancur gitu aja dengan menyalahkan diri sendiri. Ingat gais. Love yourself. Don't blame yourself. Oke?
Gapapa, take your time. Yang namanya patah hati emang rasanya kayak mau mati, tapi pada akhirnya tetep bisa dilalui kan yah?
Aku juga posisinya udah biasa aja makanya bisa aku tuangin ke dalam karya kayak begini. Dulu sampe muak bgt sama hal-hal berbau romantis sementara aku aja author romance, gimana coba wkwkwk (YAH KETAUAN DEH NAPA HIATUS WKWKWK)
Tapi sekarang udah nggak apa-apa, aku udh bisa happy lagi nulis dan ciptain scene2 yang so sweet wkwkwkwk
Anggap aja kisah yang pernah aku jalani dulu sebagai referensi yang bisa aku masukin ke wattpad WKWKWKWKWKWKWK
Jujur berat banget nulis bagian Ines patah hati tuh karena mau gak mau aku harus ngulang kejadian dimana aku lagi hancur-hancurnya waktu itu (definisi menyakiti diri sendiri) makanya aku cuman bikin sekilas doang. Wkwkwkwk
Biasanya aku gak pernah bocorin dapur tapi sekarang malah ngebuka dapur sendiri WKWKWK BIARIN AH ORANGNYA JUGA GA AKAN BACA WKWKWKWKWKWK
Curhat aja weh kan aku mah orangnya seneng curhat yah HAHAHAHAHAHA
Aku cuman mau bilang sih, kecewa kamu hari ini akan Tuhan ganti dengan banyak hal yang gak pernah kita bayangkan sebelumnya. Itu aja. Gak tahu apa, tapi ya tunggu aja, nanti juga paham kenapa Tuhan biarin kita terluka. TTTSSSAAAAAHHHH.
Aku nulis ini dari pagi, baru beres jam segini. BANYAK IKLAN WKWKWKWKWK
Masih ada satu part yang bakalan aku share sehabis ini.
Salam perpisahan di sana aja ya wkwkwk
Bye.
Aku sayang kalian :*
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro