Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

PART 23 - Selamat Tinggal

Empat Tahun Kemudian



Gandhi tidak pernah menyangka bahwa ia akan mendatangi lagi tempat ini. Tempat yang menyimpan kenangannya akan pertemuannya dengan Ines. Ia melihat jajaran kursi yang berbaris dan beberapa terisi oleh tamu undangan yang sedang makan itu dengan ekspresi wajah yang tak bisa dijelaskan. Ia dan Ines bertemu untuk pertama kalinya di sini, tepat di kursi baris pertama paling pojok dan mereka mengobrol kecil namun berakhir dengan Gandhi yang menyukainya dan siapa sangka Ines juga merasakan hal yang sama dengannya.

Hari ini Gandhi datang ke sini dengan seseorang yang lain, yang tangannya melingkar di lengan Gandhi dengan mesra sejak mereka masuk ke dalam.

"Lo mau makan dulu apa kasih selamat dulu? Gue sih prefer makan dulu," katanya.

Gandhi tersenyum tipis, "Makan dulu aja, gue udah laper soalnya."

"Bukannya emang lo selalu laper ya?"

Gandhi tergelak, "Tempat kosong di perut gue banyak soalnya."

"Halah boy, alesannya nggak banget."

"Bodo ah," ledek Gandhi pada akhirnya.


****


Ines tersenyum pada barisan petugas catering yang berada di balik meja seraya melihat-lihat makanan yang ada di sana. Langkahnya terhenti saat mendengar tawa dari seseorang yang sangat ia kenal. Bahkan dengan lamanya waktu berlalu, Ines masih mengenali tawa khas yang dulu selalu ia dengar saat seseorang tengah menggodanya. Ia berbalik dan kakinya refleks mundur satu langkah saat menemukan Gandhi di sana—pria itu sedang memakan kambing guling seraya bercanda dengan seorang wanita cantik yang berada di sampingnya. Ah. Dia pasti pacarnya Gandhi kan?

Ines menelan ludah dengan berat, ia hendak berlalu dari sana namun tiba-tiba saja mata mereka bertatapan. Gandhi melihatnya dan mereka terjebak dalam tatapan satu sama lain. Ines membeku, begitu juga Gandhi yang terlihat sama di tempat duduknya. Satu hal yang ada dalam pikiran Ines saat ini adalah... ia harus mengalihkan tatapannya, pura-pura tak melihat Gandhi kemudian melanjutkan kegiatannya seolah-olah tak terjadi apa-apa selama beberapa menit terakhir, namun hatinya mendorong Ines melakukan hal yang lain. Ia menyunggingkan senyumnya pada Gandhi—sebuah senyuman yang dulu selalu Ines berikan kepadanya dalam keadaan apapun.

"Mamaaa!" sebuah suara menyadarkan Ines. Ia menoleh dan melihat seorang gadis kecil berlari ke arahnya. Langkah kecilnya yang terlihat masih goyah membuat Ines berlari kecil untuk menghampirinya dan meraih tubuhnya.

"Sayaaang, larinya pelan-pelan nanti Nimi jatoh," katanya.

Gadis kecil itu terkekeh, ia tidak menjawab ucapan Ines dan malah menghujani Ines dengan ciuman kecilnya. Tepat di hadapan seorang pria yang kini terdiam karena menyaksikan adegan yang tak pernah ia sangka sebelumnya. Kehadiran Ines di sini saja sudah membuatnya terkejut, belum lagi senyuman tiba-tiba Ines yang membuat sudut hati Gandhi terasa ngilu tiba-tiba tanpa ia sadari apa penyebabnya, dan sekarang... seorang gadis kecil yang memanggil Ines 'Mama.'

Ah... Ines sudah menikah ya?

"Kenapa lo?" sebuah pertanyaan terdengar oleh Gandhi. Menyadarkannya untuk kembali ke masa kini dan ia menoleh kemudian tersenyum, "Nggak apa-apa," katanya.

"Itu Ines ya?" tanya seseorang di sampingnya.

Gandhi tersenyum miris, "Lo hapal dia ternyata Bil," sahut Gandhi.

Nabila—wanita yang sejak tadi bersamanya menepuk pundak Gandhi, "Gue mana bisa lupa sama cewek yang bikin lo nyesel lama banget sampe kerjaan lo mabok mulu dan akhirnya ketemu gue—yang jadi temen mabok lo—tapi sekarang jadi pacar lo."

Gandhi menatap Nabila dengan penuh penyesalan, "Sorry, kalau lo ngerasa nggak nyaman. Apa kita mau pulang aja?"

"Hah? Kayaknya lo deh yang nggak nyaman?" tanya Nabila.

Gandhi tak menjawab apa-apa.

"Samperin aja," ucap Nabila pada akhirnya.

Gandhi menatapnya tak percaya.

"Yuk. Kita samperin, gue temenin," katanya meyakinkan Gandhi.

Pada akhirnya Nabila berdiri lebih dulu. Ia menarik tangan Gandhi agar mengikutinya dan pria itu berdiri dari tempatnya semula. Ia menatap Ines yang kini masih sibuk dengan anaknya—ya Tuhan, Ines memang sudah sangat cantik sebenarnya, jadi tak heran kalau anaknya juga bisa secantik itu meskipun ia masih sangat kecil.

"Ayo!" kata Nabila sedikit memaksa.

Gandhi menurutinya. Ia berjalan lebih dulu, namun keberanian dalam dirinya hilang sehingga ia memilih untuk memundurkan langkahnya dan menarik tangan Nabila kemudian menggenggamnya. Seolah meminta Nabila untuk menguatkan hatinya.

Mereka berjalan bersama dan tiba di depan Ines yang kini sudah menurunkan anaknya dan sibuk merapikan rambutnya.

"Hai Nes!" sapa Gandhi lebih dulu.

Ines menghentikan gerakannya. Ia mengerjapkan mata. Perasaannya berubah menjadi tak karuan secara tiba-tiba. Ia memejamkan mata sejenak untuk menenangkan dirinya. Perlahan Ines membuka matanya lagi dan menggenggam tangan anaknya dengan erat, ia kembali menggendong anaknya dan berbalik, menatap Gandhi kemudian menjawab sapaannya.

"Halo," sapanya.

"Halo Ines! Kenalin! Gue Nabila, pacarnya Gandhi," sambar Nabila—memecah keheningan diantara mereka.

Ines mengalihkan tatapannya, ia menatap Nabila dan tersenyum, "Hai Nabila," sapanya balik.

"Ini anak lo?" tanya Nabila. Gandhi membisu secara tiba-tiba sehingga Nabila memilih untuk menjadi orang yang aktif diantara mereka.

"I—iya. Ini anak gue," kata Ines. Ia berdehem. Menatap Gandhi dan Nabila secara bergantian sementara sentuhan kecil yang ia rasakan di wajahnya membuat Ines tersenyum. Ia menatap Nimi dan tersenyum, "Sayang. Lihat ada Om sama Tante, coba salam sama mereka," pinta Ines.

Nimi mengerjapkan mata. Ia mengulurkan tangannya kepada Gandhi dan pria itu menerimanya. Ada sebuah serangan yang muncul dalam hatinya begitu Gandhi menyentuh tangan kecil yang terulur ke arahnya. Kalau empat tahun yang lalu Gandhi memilih Ines, mungkin tangan yang menyentuhnya sekarang adalah tangan dari anaknya dengan Ines, bukan anak Ines dengan pria lain.

"Aaa, lucu banget," kata Nabila.

Nimi sibuk menggerak-gerakkan badannya, ingin turun dari pangkuan ibunya namun Ines menahannya, karena kalau Nimi turun, anaknya itu pasti berlarian sementara Ines merasa ia masih harus berada di sini—setidaknya sampai basa-basinya dengan Gandhi dan Nabila selesai.

"Berapa tahun?" tanya Nabila.

"Setahun setengah. Dua puluh bulan sih lebih tepatnya."

"Tapi ngomongnya udah pinter ya."

"Bukan lagi," kata Ines seraya membenahi posisinya menggendong Nimi.

"Ngomongnya udah pinter, muter-muternya juga pinter. Kalau diturunin dia pasti lari-lari. Tadi aja dia gangguin Papanya terus, muterin Papanya kayak kucing. Dasar. Tapi memang seusia dia sih memang gini," kata Ines.

Begitu kata 'Papa' muncul dari bibir Ines, Gandhi menelusuri setiap sudut gedung dengan gelisah. Mencari-cari seseorang yang menjadi objek obrolan Ines barusan. Siapa kira-kira pria beruntung yang mendapatkan Ines dan menikahinya?

"Aku cari kamu kemana-mana sayang, tahunya di sini."

Sebuah suara membuat Gandhi menoleh. Ia melihat seorang pria dengan jas hitam muncul diantara mereka. Tangannya terulur untuk menggendong Nimi yang masih berada dalam pangkuan Ines. Ia membenahi pakaian Nimi kemudian membenahi juga pakaian Ines yang terlipat karena gendongannya barusan.

Gerakan kecil itu diperhatikan oleh Gandhi diam-diam. Sudut hatinya terasa aneh namun Gandhi memilih untuk membiarkannya. Mungkin memang seperti ini perasaan seseorang yang bertemu dengan mantan kekasihnya, apalagi bagi Gandhi... Ines bukan hanya sekedar mantan kekasih, melainkan sebuah kebahagiaan sekaligus penyesalan yang tak akan pernah bisa ia dapatkan kembali dan ia perbaiki di dunia ini.

"Aku barusan mau ambil Zupa-zupa, tapi Nimi lari-lari ke sini, kaget juga sebenernya," sahut Ines.

"Tadi dia main sama Putra, jadi aku titip Putra dulu," ucap pria itu.

Ia menyadari bahwa Ines sedang berbicara dengan seseorang dan menoleh, "Loh. Gandhi ya?" tanyanya pada Gandhi.

Suaranya terdengar aneh di telinga Gandhi, seolah penuh perhitungan dan menyiratkan, 'Lo ya, mantan bini gue tuh?'

"Iya, gue Gandhi," jawab Gandhi. Ia mendapatkan kepercayaan dirinya kembali secara mendadak.

"Kalian udah nikah apa pacaran?" tanyanya.

Nabila yang menjawab, "Masih pacaran."

"Wah pas banget. Kalau mau nikah, pake jasa gue ya," ucapnya tiba-tiba.

"Babe ih! Kamu kebiasaan, promosi dadakan," sambar Ines.

Pria itu tertawa, "Kalau ada yang bisa diprospek kenapa nggak," katanya.

"Sayang, ambilin kartu nama aku coba di saku," pintanya pada Ines.

Ines menatapnya dengan gemas namun tangannya bergerak untuk mengambil sebuah kartu nama dan menyerahkannya pada suaminya.

"Nih, kartu nama gue. Jasa gue udah professional banget, udah lama juga. Kalian bisa lihat sih testimoni nya nanti. Pertimbangin ya kalau mau pilih WO," katanya seraya menjulurkan kartu nama pada Gandhi.

Pria itu menerimanya dan ia membaca sebaris nama dalam kartu nama yang barusan ia terima.

Dewa Dharmawangsa

Nesia Wedding Organizer

Nesia? Nama Ines?

"Asalnya WO gue namanya Dewa doang, tapi begitu nikah sama Laras diganti jadi Nesia, soalnya dia suka banget ikut urusin ginian, dan Alhamdulillah begitu namanya diganti WO gue jadi lebih oke banget."

Dewa menjelaskan tanpa diminta oleh siapapun yang membuat Gandhi menganggukkan kepalanya. Namun bukan itu yang menjadi perhatian Gandhi sekarang, melainkan nama 'Laras' yang barusan disebut oleh Dewa. Inesia Larasati adalah nama lengkap Ines dan Gandhi tidak menyangka kalau sekarang Ines hidup dengan nama... Laras?

"Nama lo jadi Laras Nes?" tanya Gandhi tiba-tiba.

Ines yang sudah merasa lebih tenang karena kehadiran Nimi dan Dewa di sampingnya mulai terlihat santai. "Sama dia aja sih. Nggak tahu tuh, dulu flirting nya pake nama Laras."

"Ya ampun lucunya," sahut Nabila. "Nama WO nya juga bagus, Nesia," sambung Nabila dengan pujian.

Ines tersenyum, "Itu nama gue, Inesia Larasati."

"Loh kok manis bangeeet," ujar Nabila dengan antusias. Ines menganggukkan kepalanya sementara Dewa mencondongkan kepalanya dan berkata pelan, "Bukti kebucinan gue," katanya.

"Astaga, buciin," kata Nabila.

"Papaaa! Turuun!" suara Nimi beserta gerakan tubuhnya memecah fokus diantara mereka dan membuat Dewa menurunkan anaknya dari pangkuannya, tapi benar saja. Anaknya itu langsung berlarian ke sana kemari sementara Dewa berlari mengejar-ngejarnya dan Ines memanfaatkan kesempatan ini untuk berpamitan pada Gandhi dan Nabila.

"Gue mau nyusulin mereka, kasian Papanya susah fokus kalau udah main sama anaknya. Kalian have fun ya. Kalau makanannya nggak enak bilang aja, nanti gue perbaiki kualitasnya," kekeh Ines, kembali mempromosikan WO milik suaminya yang sebelumnya sudah Dewa promosikan.

Gandhi tersenyum simpul sementara Nabila antusias menjawab ucapan Ines.

"BTW Selamat ya Nes. Anak lo lucu banget, semoga lo selalu bahagia sama keluarga kecil lo."

Ucapan itu keluar dari mulut Gandhi. Membuat Ines menatapnya lama dan tersenyum.

Andai dulu Gandhi tak pergi dari hidupnya dan menyakitinya, Ines tak mungkin menemukan Dewa yang kini mengisi hari-harinya. Dewa benar-benar luar biasa. Ia menerima semua hal dalam diri Ines termasuk semua kenangan masa lalunya yang terkadang masih membuat Ines menangisinya. Pria itu selalu ada untuknya, ia bahkan menenangkan Ines kala Ines mengingat Gandhi. Dewa ada di sampingnya ketika Ines berjuang untuk menyusun kembali hidupnya yang pernah hancur. Ines bahkan tak menyangka ia bisa kembali memimpikan pernikahan yang sempat ia benci selama beberapa saat. Dewa benar-benar membuka matanya, membuat Ines memandang dunia dengan cara yang berbeda dan mensyukuri keberadaannya yang ternyata begitu Ines butuhkan dalam hidupnya.

Lagipula kalau Ines pikir-pikir. Andai dulu Ines memaksakan dirinya untuk tetap bersama Gandhi, belum tentu juga mereka tetap bahagia. Karena cara kerja dunia begitu bukan, apa yang kita harapkan tak kunjung kita dapatkan namun apa yang tak pernah kita perkirakan justru kita dapatkan secara cuma-cuma. Memang benar kalau rencana Tuhan lebih indah dari harapan manusia, dan keputusan Tuhan lebih baik dari keinginan manusia.

Bagaimana pun juga, kisahnya dan Gandhi membuat Ines sadar bahwa Tuhan sedang mendewasakannya meskipun lewat luka. Toh pada akhirnya Ines berhasil melewatinya kan, dan Tuhan bahkan membalas luka Ines yang hanya beberapa bulan saja dengan sebuah anugrah yang akan ia dapatkan seumur hidupnya. Dewa dan Nimi—anaknya.

Ines menatap Gandhi dan tersenyum, "Thanks ya! semoga kalian juga selalu bahagia. Gue bener-bener tulus mendo'akan kalian," ucapnya.

Nabila tersenyum membalas ucapan Ines namun ia merasakan genggaman Gandhi pada tangannya lebih erat dari sebelumnya.

"Gue duluan ya. Jangan lupa nanti pertimbangin WO kita," katanya sekali lagi.

Gandhi tersenyum begitu juga Nabila.

"Bye," kata Ines.

"Oke, bye," sahut Gandhi. Ia memberikan senyuman terbaiknya. Melambaikan tangan pada Ines dan membiarkan wanita itu pergi dari hadapannya. Semua sudah terjadi, masa depan sudah di depan mata sementara masa lalu sudah tertinggal jauh di belakang sana. Ines sudah punya kehidupannya sendiri begitupun dengan Gandhi. Kisah mereka memang terlalu indah untuk dilupakan, namun rasa sakit yang mengiringi kisah keduanya juga tak akan pernah bisa dilupakan. Gandhi pernah sangat mencintai Ines, namun pada akhirnya ia juga sadar bahwa ia berubah menjadi orang paling jahat karena lebih memilih egonya dibandingkan cintanya, namun penyesalannya selama dua tahun terakhir ia anggap sebagai hukuman dari Tuhan untuknya—meskipun mungkin tak setimpal dengan apa yang sudah dilakukannya.

Hari ini Tuhan menunjukkan kepadanya bahwa kebahagiaan yang pernah Gandhi renggut dari Ines sudah Tuhan gantikan dengan berkali lipat untuk Ines, dan baginya... ia juga sudah punya Nabila yang berada di sampingnya. Yang harus Gandhi lakukan begitu keluar dari gedung ini adalah menjalani hidupnya seperti biasa, mencintai Nabila, dan menghabiskan sisa-sisa hidupnya bersamanya. Sementara Ines, dia pernah menjadi kisah terindah dan menempati sebuah tempat di hati Gandhi, namun kata pamitan dari Ines barusan seolah-olah menjelaskan perpisahan mereka yang sebenarnya.

Akan selalu ada kata Selamat dalam setiap kata Selamat tinggal.

Selamat tinggal untuk Ines dan masa lalunya dan selamat untuk kebahagiaan mereka masing-masing.



END



Tenang. Part depan aku kasih 1 part epilog GIMANA CERITANYA INES BISA NIKAH SAMA DEWA WKWKWKWKWKWKWKWK

Masih inget gak siapa Dewa? Kalau lupa, ayo flashback ke part 1 hahahahaha

Sebelum nulis cerita ini aku memang lagi super cinta dan suka banget sama lagu ini. Jujur lagu ini bikin aku nangis banget huhuhu bahkan ngetik part ini aja dalem hati meringis. Ada rasa sakit yang mengganggu gitu guys HAHAHAHAHAHAHA

NANGIS BANGET.

MAKASIH LOH BUAT MBA AUDY SAMA MAS VIRGOUN YANG UDAH BUAT LAGU INI. PAS BANGET AWWW. ANGGAP AJA INI SONG FICTION YA, SEKALIGUS APRESIASI BUAT BETAPA SUKANYA AKU SAMA LAGU INI HUHUHU

Aku ga akan kasih ucapan perpisahan. Nanti aja di epilog wkwkwkwk

Mari kita tutup kisah mereka hari ini ya

Selamat beraktivitas dan AKU SAYANG KALIAN :* 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro