PART 20
Ines mengerucutkan bibirnya. Gandhi pasti sibuk sekali, sampai-sampai membalas chat nya saja begitu. Ya sudah, biarkan saja lah. Tapi sebenarnya Ines merindukan Gandhi, ia rindu mendengar suara Gandhi, sungguh.
Menarik bibirnya untuk tersenyum, Ines membalas pesan Gandhi.
Ines: Duh, Gagan. Kamu lagi sibuk banget ya di sana?
Gandhi: Nggak juga
Deg!
Ines tidak pernah menyangka bahwa dua baris kata membuat dirinya terdiam dalam waktu yang sangat lama. Balasan dari Gandhi benar-benar membuatnya mencelos. Ia menelan ludah sementara hatinya mulai merasa gundah. Perasaannya tak karuan, kecemasan dan perasaan-perasaan lain mulai berkecamuk dalam dirinya, namun Ines menepisnya. Gadis itu menggelengkan kepala. Mencoba mengusir pikiran-pikiran negatif yang mengganggunya. Ia mencoba untuk memunculkan kembali senyuman di wajahnya, menarik napasnya dalam-dalam seraya menarik bibirnya dengan paksa.
Ines meringankan beban berat yang perlahan menghimpit dadanya kemudian mengetikkan pesan untuk Gandhi.
Ada yang ganggu pikiran kamu?
Bahkan hingga beberapa jam menunggu, balasan dari Gandhi tak kunjung datang. Ines mengerucutkan bibirnya. Gandhi kenapa sih? Kalau dia ingin dibiarkan sendiri ya tinggal bilang saja pada Ines, kenapa malah mengabaikannya seperti ini?
Jadi maunya Gandhi begini ya? Ya sudah. Ines juga akan mengikutinya. Gadis itu sengaja mematikan ponselnya. Awas saja. Ia akan membuat Gandhi mencari carinya dan khawatir padanya karena Ines tidak bisa dihubungi semalaman. Huh. Memang Gandhi saja yang bisa? Ines juga bisa!
*****
Ines tidak bisa tidur semalaman. Ia baru terlelap jam satu dini hari, tapi terbangun satu jam kemudian, terus begitu sampai jam empat subuh dan akhirnya ia memutuskan untuk bangun. Gadis itu menghela napasnya dengan berat. Kepalanya terasa pusing tapi ia mencoba untuk bangkit.
Ines meraih ikatan rambutnya dan mengikatnya. Gadis itu merenggangkan tubuhnya. Berolahraga di jam segini sepertinya akan membuat tubuhnya segar.
Matanya menangkap ponsel miliknya yang tergeletak begitu saja dalam keadaan mati. Ah, Ines malas mengaktifkannya karena ia yakin Gandhi pasti tidak membalas pesannya. Atau.. jangan-jangan Gandhi sudah membalasnya? Gandhi mencoba menelponnya? Atau mungkin Gandhi sedang kelimpungan mencarinya?
Pikiran-pikiran itu membuatnya terkekeh, tapi Ines menahan dirinya untuk tidak mengaktifkan ponselnya, maka yang Ines lakukan adalah membuka instagramnya lewat laptop. Ia segera membuka DM nya dan mencari-cari nama Gandhi di sana. Lagi, Ines malah mendesah kecewa, Gandhi tidak mengiriminya pesan di Instagram.
Ih. Gandhi apa-apaan sih?!
Ya sudah kalau begitu. Ines tidak akan menyalakan ponselnya seharian!
Benar. Pikirannya memang berjalan seperti itu, namun rupanya malah jauh berbeda dengan hatinya yang malah memberikannya keinginan yang kuat untuk menyalakan ponselnya. Sialan.
Ines menyerah dan meraih ponselnya. Awas saja. Gandhi pasti merasa bersalah kan sudah membuatnya marah semalam. Baiklah, mari kita lihat. Kalau Gandhi membalas pesannya dan merasa ada yang salah, pria itu akan Ines maafkan, tapi kalau Gandhi tidak membalas pesannya... Ines bersumpah akan mendatangi rumahnya dan memarahinya habis-habisan. Tapi nanti sih, ketika Gandhi kembali. Sekarang kan Gandhi masih di Gresik.
Layar ponselnya menyala. Ines menyalakan koneksi internetnya dan menunggu pesan masuk ke dalam ponselnya. Hatinya berdebar namun perasaannya malah gusar. Ya ampun, menunggu balasan pesan saja sampai sebegininya. Dasar Ines.
Ia membuka Whatsapp nya dan begitu nama Gandhi muncul, gadis itu segera membaca pesannya.
Ines. Kayaknya kita harus break dulu.
DEG!
Ines kehilangan fokus. Matanya menatap layar dengan kosong sementara tangannya gemetar, perasaan berkecamuk yang semalam mengganggunya kini menyerangnya lagi, menguasai diri Ines hingga gadis itu tak menyadari bahwa air mata mulai turun dari matanya.
Ines mencibir, ia tersenyum sinis kemudian bergumam, "Nah. Emang seistimewa apa kamu itu Ines, sampe mikir semua hal bakal terjadi sesuai keinginan kamu?"
Ines membaca pesan dari Gandhi untuk kesekian kali. Bahkan cara Gandhi mengetik nama 'Ines' saja sudah membuat Ines dapat mencerna situasi dengan baik. Ia mengusap air matanya dengan kasar kemudian membalas pesan Gandhi.
Ines: Oke.
Gandhi: Makasih ya Nes.
Ines: Sama-sama.
Seharian kemarin Gandhi tak punya waktu untuk membalas pesannya sementara hari ini, di waktu yang bahkan adzan subuh saja belum terdengar, Gandhi malah membalas pesannya dengan cepat. Ines tersenyum sinis. Ya sudah. Maunya Gandhi itu kan? Lagi pula, untuk apa kita mempertahankan orang yang bahkan tak ingin bersama kita? Karena Ines pikir kata break yang Gandhi ucapkan padanya hanya alasan dibalik kata perpisahan yang ingin Gandhi sampaikan, tapi tidak apa-apa, Ines bisa menerimanya.
****
Ayas selesai menyantap sarapannya dan menyimpan piring kotornya di washtafle. Gadis itu berlari kecil ketika mendengar ponselnya berdering. Ia segera mengambilnya, rupanya ada telpon dari Ines. Wow! Tumben sekali?
"Kok tum—"
"Ayaaas!" suara panggilan yang terdengar di sebrang sana membuat Ayas mengerutkan keningnya. Tunggu sebentar, Ines menangis?
"Yas," kata Ines lagi. Isakan Ines terdengar, suaranya bahkan lebih jelas dari sebelumnya. Gadis itu benar-benar menumpahkan air matanya lewat telpon.
"Kenapa Nes? Ada apa? Kamu dimana sekarang?"
"Gandhi.." isaknya tergantung.
Ayas menghela napas, "Kenapa? Gandhi kenapa? Dia sakit? Kecelakaan? Apa gimana?" tanya Ayas panik. Tak terdengar apapun selain isakan Ines yang semakin kencang. Oh Tuhan. Jangan-jangan memang benar, Gandhi kecelakaan.
"Ines. Tenang dulu yuk. Coba, kamu tenangkan diri kamu sebentar," pinta Ayas pada akhirnya.
Isakan Ines mereda. Ada jeda di sebrang sana, membuat Ayas hampir saja kehilangan kesabarannya dan ingin mendesak Ines—menanyakan dimana ia berada.
"Gandhi—dia—Gandhi tiba-tiba minta break sama aku."
Damn.
Ayas mengumpat perlahan. Ia memejamkan matanya kemudian menghela napas.
"Terus gimana? Kamu jawab apa?"
Di sebrang sana Ines terisak lagi, "Aku bilang oke."
Oh Tuhan. Bisa-bisanya.
"Dia udah jawab?"
"Udah, katanya makasih."
Wah. Dasar pria gila!
"Nes. Kenapa kamu nggak tanya alasan dia apa? Bentar, tapi kamu dimana deh sekarang?"
"Aku—aku nggak tahu aku dimana. Tadi bawa mobil sendiri, terus aku langsung telpon kamu."
"Kalau gitu kamu share loc dan tungguin aku di sana."
Hening. Tidak ada suara.
"Nes?"
"I—iya, aku share loc," jawab Ines.
Ayas memutuskan sambungan telponnya. Ia melihat lokasi yang Ines kirimkan dan memilih untuk pergi ke sana menggunakan ojek online supaya Ayas bisa menyetir untuk Ines.
Perjalanannya cukup lama. Berulangkali Ayas menghubungi Ines untuk menunggunya—memastikan bahwa sahabatnya yang satu itu menunggunya dengan benar tanpa melakukan apapun.
Lima belas menit kemudian Ayas sampai. Ia melihat mobil Ines yang sudah menepi di pinggir jalan. Buru-buru ia datangi mobil itu. Ayas mengetuk kacanya pelan dan Ines membukanya, mengizinkan Ayas untuk masuk ke dalam mobilnya.
Pemandangan pertama yang Ayas dapati begitu masuk ke dalam mobil Ines adalah Ines yang kacau dengan matanya yang sembab sementara hidungnya memerah. Ayas bahkan bisa menebak berapa lama Ines menangis.
"Ya Allah. Nes."
Hanya itu yang bisa Ayas ucapkan pada sahabatnya. Bahkan tiga kata dari Ayas saja mampu membuat air mata Ines berjatuhan semakin deras. Ia berhambur ke pelukan Ayas dan menangis sekeras-kerasnya. Menumpahkan semua air mata atas kekecewaan yang ia rasakan pagi ini. Tidak. Lebih tepatnya dua hari terakhir ini.
"Aku sebenernya udah punya feeling. Ada yang aneh dari Gandhi sejak kemarin, tapi aku pikir dia sibuk dan capek aja. Ternyata..."
Ines mengusap air matanya. Ia memilih untuk tak melanjutkan ucapannya.
"Aku nggak butuh alasan Gandhi apa. Dengan sikap dia kayak gini aja aku tahu kalau dia memang pengen udahan sama aku. Lagi pula, untuk apa mempertahankan orang yang tidak ingin bersama kita? Malah nyiksa diri kan nantinya?"
Ayas menatap Ines baik-baik, "Ines. Dengerin aku. Di usia kita, kamu harus tahu alasan seseorang ninggalin kamu itu apa, bukan buat nyakitin hati kamu, tapi supaya kamu tahu letak kesalahan kamu dimana. Kalau memang kamu salah, ya kamu bisa instrospeksi dan membenahi diri kedepannya."
Ines mengusap air matanya. Ia menatap Ayas dengan putus asa, meminta pertolongan pada sahabatnya atas ketidakberdayaannya hari ini. Sumpah. Ines benar-benar buntu, ia tidak tahu harus bagaimana. Semuanya terlalu mendadak, ia dan Gandhi bahkan masih baik-baik saja beberapa hari yang lalu. Bahkan pertengkaran mereka tempo hari juga berakhir dengan damai, kenapa sekarang... kenapa Gandhi malah tiba-tiba memutuskannya secara sepihak?
"Ayo. Kamu chat Gandhi. Tanyain alesannya apa. Karena kamu juga sekarang bertanya-tanya kan Nes, salah kamu apa?"
Ines menganggukkan kepalanya. Memang sejak subuh tadi isi kepalanya bergemuruh, memikirkan banyak alasan yang mungkin bisa membuat dirinya paham. Tapi benar kata Ayas. Ines harus menanyakannya pada Gandhi.
"Oke. Aku chat dia lagi," katanya.
Ayas tersenyum ke arahnya, "Kita tunggu balesan dia ya Nes."
****
Hai Gan! Sorry ganggu deh. Tapi aku boleh nanya nggak, alesan kamu bilang kayak gitu ke aku apa?
Ines menatap room chat nya dengan kosong. Ia mengirimkan pesan pada Gandhi sejak tujuh jam yang lalu namun tak kunjung mendapat balasan dari Gandhi, hal itu membuat semua pikiran negatif yang ditepisnya muncul kembali satu per satu.
Ya sudah, mungkin pertanyaannya akan menjadi kepedihan atas sebuah tanya yang tak akan pernah terjawab oleh Gandhi.
Ines memaksakan senyumnya. Ia memasukkan ponselnya ke dalam tas namun deringan terdengar olehnya hingga membuat Ines mengurungkan niatnya. Ah, balasan dari Gandhi datang.
Gandhi : Pasti ada alasannya lah Nes, tapi aku gak bisa bilang. Kamu take care ya di sana.
Ines mencibir. Setelah perubahan sikapnya yang tiba-tiba, kemudian pernyataan perpisahan yang bahkan masih belum bisa Ines cerna dengan baik, Gandhi berharap Ines baik-baik saja?
TBC
Asalnya mau aku post besok. Tapi kejam kalau post pagi-pagi, malah ngerusak mood. Jadi aku post jam segini aja.
Jangan salahin aku kalau kalian bacanya pagi ya wkwk
Aku bingung sebenernya waktu ngetik ini, soalnya sambil mules perut aku melilit. Jadi bingung sedihnya gimana. Seperti yang aku keluhkan ya, aku tidak ahli menulis scene sedih jadi kalau feel nya ga dapet ya udah lah mau gimana lagi wkwk passionqu hanya romcom memang.
Segini dulu aja.
Dah.
Aku sayang kalian :*
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro