Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

PART 19 - LDR

"Dapetin sesama orang Bandung tapi jadinya malah LDR," kata Ayas pada Ines yang sibuk mengirimkan foto makan siangnya pada Gandhi.

Sudah dua minggu Gandhi di Gresik dan katanya sih dia diperlukan selama satu bulan di sana. Yah, tidak apa-apa. Selama mereka baik-baik saja, Ines tidak masalah. Untungnya pertengkaran diantara mereka selesai dengan damai tanpa meninggalkan masalah lagi. Ines malah merasa semakin dekat dengan Gandhi, lebih dekat dari sebelumnya—hal yang Ines syukuri saat ini.

Ines menyimpan ponselnya setelah memastikan pesannya terkirim, ia mengaduk makanannya sambil menghela napas.

"Tuntutan pekerjaan memang sulit Yas," kata Ines.

"Nggak apa-apa lah, sementara. Kita berjuang buat jauh-jauhan dulu, nggak akan lama kok, paling setahun-dua tahun," sambung Ines lagi.

Ayas menganggukkan kepalanya. Sepakat dengan apa yang dikatakan oleh Ines. Karena kalau mendengar ceritanya sih baik Ines dan Gandhi sudah punya masa depan yang pasti untuk keduanya. Tinggal bersabar saja menunggu proses menuju masa depan mereka. Wah, sungguh rencana yang indah.

"Tapi kalian masih suka video call kayak biasa?"

Ines mengangguk, "Kita selalu usahain video call sih Yas, tapi memang durasinya nggak selama dulu. Palingan setengah jam doang, sekarang yang paling penting itu kita tetep berkabar aja," sahut Ines.

Memang ya, manusia kalau dilancarkan oleh Tuhan, rintangan apapun tidak masalah bagi mereka. Keduanya benar-benar bisa mengatasinya, Ayas sendiri sampai takjub mendengar cerita Ines.

Ayas menatap Ines lekat-lekat hingga sahabatnya itu menatapnya kebingungan.

"Aku seneng banget Nes. Kalian berdua kayak tumbuh dewasa bersama tahu nggak," pujinya.

"Aaah, makasih Ayaaaas. Do'ain aku sama Gandhi sampe di tujuan kita yaah," katanya.

"Pasti," jawab Ayas.


*****


Gandhi kembali dari site selepas senja. Ia masuk ke dalam kamarnya dalam kondisi kelelahan namun isi chat yang Ines kirimkan padanya selalu bisa meringankan lelahnya. Pria itu menyimpan ponselnya. Ia memutuskan untuk mandi lebih dahulu, namun suara ketukan yang berasal dari luar kamarnya membuat Gandhi mengurungkan niatnya. Pria itu berjalan ke arah pintu dan membukanya. Andri di sana, menatapnya dengan cemas.

"Lo diomongin tahu di grup. Kemana aja?" Tanyanya.

Gandhi menggaruk kepalanya yang tak gatal, "Gue nggak kemana-mana. HP gue aktif kok."

"Kayaknya nggak deh. Lo cek wifi nya nyala nggak?"

"Emang ada apa sih?"

"Cek aja HP lo. FYI, lo nggak digoreng kok digrup, tenang aja," ucap Andri pada akhirnya.

Gandhi memberikannya tatapan sebal, "Riweuh banget lo kayak ibu-ibu. Palingan juga gue diomongin gara-gara tadi siang kan?"

Andri mengangkat bahunya, tak mau menjawab ucapan Gandhi.

"Lo cek sendiri aja," Katanya lagi.

Gandhi berdecak. Ia mengusir Andri agar cepat-cepat pergi dari hadapannya supaya ia bisa melanjutkan kegiatan yang awalnya ia rencanakan.


****


Ines menatap ponselnya. Pesan yang ia kirimkan pada Gandhi sudah terkirim, bahkan sudah dibaca, tapi tidak ada balasan apa-apa dari Gandhi. Hadeuh, pasti Gandhi sibuk lagi. Semalam saja video call mereka terganggu karena Gandhi dihubungi klien secara tiba-tiba. Malam-malam. Bayangkan!

"Yah, tutup."

Desahan kecewa Ghofar membuat Ines mengalihkan perhatian dari ponselnya. Gadis itu mengikuti arah tatapan Kakaknya, dan benar saja. Tempat yang mereka tuju tutup hari ini.

Ines mengerucutkan bibirnya, padahal ia sedang ingin makan sate hari ini dan Ghofar juga tadi mengajaknya keluar. Mereka sengaja menyusuri jalanan malam-malam begini namun apa boleh buat kalau satenya tutup. Pada akhirnya Ines dan Ghofar harus mencari-cari sate lain yang menurut mereka enak.

Ines mengambil inisiatif untuk menelpon Ayas, siapa tahu sahabatnya yang satu itu tahu sate lain sekitar sini yang enak.

"Yas... Sate yang enak dimana ya? Sate Anggrek tutup," Kata Ines di telpon.

"Sate Bang Toyib aja Nes. Yang di Pahlawan. Sini. Aku lagi di sini juga, masih antri nih. Mau sekalian dipesenin?"

"Wah. Serius? Kamu lagi di sana? Ya udah tungguin ya, aku ke sana dulu. Nitip pesenin sate kambing 10, sate ayam 10 sama soto satu ya Yas."

"Oke," kata Ayas.

Ines memutuskan sambungan telpon mereka dan tersenyum dengan senang. Ia melirik Ghofar dan berkata, "Aman Kak!"

Lima belas menit kemudian mereka sampai. Ines melihat antrian cukup panjang di sana dan Ayas juga masih berdiri di barisan kedua. Wah. Kalau begitu sih gilirannya akan tiba sebentar lagi.

Ia berjalan lebih dulu, meninggalkan Ghofar yang masih sibuk memarkirkan mobilnya. Gadis itu melewati beberapa orang seraya mengucapkan kata permisi—kalau-kalau mereka terganggu dengan Ines atau menyangka bahwa Ines memotong antrian.

"Ayas!" Sapa Ines.

Ayas tersenyum, "Pas banget datengnya," kata dia.

Ines mengangguk. Ia ikut menemani Ayas mengantri seraya melihat-lihat tempat duduk yang kosong di dalam.

"Kamu kesini sapa siapa Yas?" Tanya Ines.

Ayas mengangkat bahunya, "Sendiri lah Nes. Sama siapa la--"

"Hai Ayas!"

Sebuah sapaan dari seseorang yang kini berada di belakang Ines membuat napas Ayas terhenti sementara jantungnya yang semula normal mulai memompa darahnya dengan cepat, berdebar tak karuan hingga membuat Ayas merasa dirinya bisa tumbang saat ini juga.

Ya Tuhan.

Tidak.

Tuhan.

BISA-BISANYA AYAS TAK BERPIKIR DENGAN SIAPA INES PERGI?!

Ya Tuhan. Kalaupun tidak dengan Ega, ya tentu saja dengan Ghofar. Bagaimana bisa Ines pergi sendiri ketika semua orang di rumahnya posesif pada Ines?

Wah. AYAS SUDAH GILA KARENA IA MELUPAKAN SEMUANYA!

Ines menyenggol bahunya—menyadarkan Ayas hingga membuat gadis itu kelimpungan tak karuan. Ia menatap Ines, meminta pertolongan namun Ines malah diam saja sementara Ghofar masih belum menurunkan tangannya, menunggu Ayas membalas lambaiannya.

"Oh. H-hai K- hai Kak! Udah pulang ya?" Tanyanya dengan hambar.

Wah. Ayas. Kan memang sudah pulang sejak satu bulan yang lalu! Bagaimana sih?!

Ghofar tersenyum, "Kita kan sempet ketemu waktu di kantor Ines, Yas," Katanya.

"Oh iya. Waktu itu kamu lagi buru-buru ya?" Tanya Ghofar lagi.

Ayas tersenyum, ia memilih menganggukkan kepalanya alih-alih menjawabnya.

Ya masa iya Ayas harus menjawab kalau dia kaget dengan kehadiran Ghofar yang tiba-tiba hingga membuatnya panik luar biasa?

Beruntung gilirannya tiba sehingga Ayas bisa sedikit mengalihkan perhatiannya. Ghofar juga pergi dari sana, katanya mau pesan kopi ke sebelah seraya merokok dulu sebentar.

Fyuh. Setidaknya Ayas bisa bernapas dengan lega.

Ines tertawa kecil melihat tingkah Ayas yang sejak tadi melirik ke sana kemari, memastikan kehadiran Ghofar yang masih merokok di luar.

Sebenarnya Ines tahu sih kalau Ayas menyukai Ghofar, mereka juga pernah saling bercerita, Ines bahkan pernah berharap Ayas bisa bersama dengan kakaknya, tapi siapa sangka Ayas ini tidak punya keberanian penuh sehingga ia memilih untuk memendam perasaannya saja. Apalagi waktu ghofar pindah ke Korea, hancur sudah harapan Ayas. Ines tidak pernah ikut campur, ia juga tidak pernah membahas kakaknya kalau Ayas tidak membahas duluan. Tapi memang sejak kakaknya ke Korea, Ines berhenti menceritakannya karena kakaknya punya pacar dan ia juga tidak mau Ayas patah hati.

Tapi sekarang, sepertinya tidak apa-apa juga kalau ia membicarakannya, bahkan mempertemukan mereka. Toh Ghofar juga sudah putus dengan kekasihnya—satu hal yang sepertinya tak Ayas ketahui.

"Santai Yas. Kak Ghofar kan nggak gigit," Ines memperingatkannya, membuat Ayas menatapnya dengan putus asa.

"Aku keliatan salting nggak sih?" Tanyanya.

Ines tertawa "Kalau yang nggak tahu sih mikirnya kamu judes kali Yas. Tapi aku kan tahu, jadi keliatan salting kalau menurut aku."

Ayas menggeleng. Sibuk dengan dirinya sendiri.

"Jadi kamu buru-buru terus tiap aku dijemput tuh gitu ya? Takut ketemu kak Ghofar?"

Kalau itu sih bukan takut bertemu Ghofar. Ayas kan sedang menghindari Ega. Aduh. Seandainya Ines tahu kelakuan kakak keduanya seperti apa.

"Loh, kalian belum makan?"

Suara Ghofar membuat jantung Ayas hampir jatuh dari tempatnya. Ia bahkan menjatuhkan sendok yang sejak tadi berada di atas meja.

"Aduh maaf, " Katanya.

Ghofar meraih sendoknya lebih dulu dan meletakannya di meja.

"Jangan pake ini Yas. Ganti aja," sahutnya.

Ayas tersenyum tipis. Ia memutuskan untuk fokus pada kegiatan makannya hari ini, tanpa berbincang sedikitpun dengan Ghofar maupun Ines. Memang benar, bahkan sampai mereka berpamitan dan berpisah pun Ayas hanya mengucapkan satu dua kata saja. Benar-benar.


*****


Pagi tadi Ines terbangun dengan rasa tidak nyaman yang ia rasakan di kepalanya. Gadis itu memaksakan dirinya untuk bangun, ia sarapan lalu meminum obat untuk membuat dirinya sedikit baikan.

Ega yang mengantarnya mengomeli Ines sepanjang perjalanan, menyayangkan keputusan Ines untuk tetap bekerja padahal sedang tidak enak badan, tapi Ines memilih untuk mengabaikannya. Lagi pula keluarganya memang begini, selalu heboh kalau Ines mengeluh sakit walau hanya pusing biasa. Dasar mereka terlalu perhatian.

Pekerjaan Ines juga cukup banyak hari ini, lumayan menghabiskan energinya karena seharian Ines meeting untuk membahas rekrutmen di kantornya. Gadis itu pulang dengan kelelahan. Ia menjatuhkan dirinya di atas ranjang. Matanya terpejam karena migrain yang dideritanya tak kunjung mereda. Ah, kalau begini caranya sih Ines harus mengganti obat yang diminumnya.

Deringan di ponselnya membuat Ines menoleh, tangannya bergerak untuk meraih ponsel yang masih ada di dalam tasnya. Gadis itu mengambilnya dengan susah payah, namun usahanya terbayar dengan sebuah senyuman di wajahnya. Pesan dari Gandhi muncul paling atas bilah notifikasinya.


Aku baru pulang


Tersenyum, Ines segera membalasnya.


Ines: Capek bgt ya pasti? Istirahat dulu ya Gagan. Aku gak kuat pusing :( dari pagi gk ilang2 sakitnya huhuhu pengen nangis.

Gandhi: Ya udah kalau gitu kamu istirahat aja. Aku mau makan malem dulu sama klien.


Ines tersenyum. Ia memilih untuk tak membalasnya, biar besok pagi saja ia balas. Gadis itu menyimpan ponselnya dan memutuskan untuk tidur. Semoga saja sakitnya mereda saat ia bangun nanti.


****


"Nes? Udah sembuh?"

Ines membuka mata dan terkejut melihat orangtua dan kedua kakaknya berbaris menatap dirinya dengan cemas. Ya Tuhan. Punya keluarga seperti ini kadang membuatnya keteteran. Sungguh.

"Udaaah. Malem nggak bisa tidur, Ma, Pa, Kakak. Tapi abis minum obat lagi lumayan oke," sahutnya.

Ayah dan ibunya mengangguk. Diikuti oleh Ghofar dan Ega. Mereka sudah selesai memastikan dan kembali ke kamarnya masing masing sementara Ines mempersiapkan dirinya.

Tak lupa membuka ponselnya, Ines mengirimkan Gandhi pesan.


Aku semalem nggak bisa tidur Gagan :( tapi udah baikan sih sekarang, hehe

Kamu gimana acara makan malemnya?


Tidak ada balasan apa apa dari Gandhi. Pria itu pasti sudah sampai di site. Ya sudah, tidak apa-apa.

"Yang anterin aku hari ini siapa ya?" teriak Ines dari kamarnya.

"Papa nak!" sahut ayahnya. Lah. Kenapa malah jadi ayahnya yang mengantar Ines pergi kerja?


******


Ines menatap ponselnya kebingungan. Sejak pagi Gandhi belum membalas pesannya, bahkan dibaca saja tidak. Apakah dia sesibuk itu ya?

Ia menatap room chat nya dengan Gandhi lama dan matanya berbinar ketika mendapati status Online di kontaknya Gandhi. Wow! Akhirnya.

Tanpa menunggu lama, tanpa menunggu balasan dari Gandhi untuk pesannya, Ines segera mengirimkannya pesan—sengaja menunjukkan betapa Ines merindukan Gandhi hari ini.

Gagaaaaan.

Tak menunggu berapa lama, tanda dibaca muncul. Ines semakin antusias. Ia bahkan menyiapkan dirinya sekarang—kalau-kalau Gandhi langsung membalas pesannya dengan sebuah telpon atau video call.

Oh tapi dasar Ines terlalu percaya diri, Gandhi tidak menelponnya, pria itu malah terlihat sedang mengetik pesan balasan untuk Ines.


Gandhi: Oh. Hai. Sorry baru ngabarin.


Ines diam sejenak. Ia mengerjapkan matanya perlahan. Dibacanya sekali lagi isi pesan Gandhi untuknya, namun yang Ines dapatkan sekarang adalah perasaan mencelos. Apalagi pada kata "sorry" yang Gandhi ucapkan kepadanya. Alih-alih kata maaf seperti biasanya, Gandhi malah mengatakan kata...sorry?



TBC



HAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHA

Aku ketawa aja.

Bye bye.

Aku ngetik scene kedua sampe terakhir sambil nunggu pendaftaran di rs wkwkwkwk

Dan lumayan juga bisa jadi. Walaupun agak males ngetiknya pake hp tapi kalau lancar bgt kan sayang ya.

Oke segitu aja. Next part udah ada sih kalau udh oke mungkin aku update besok.

Dah.

AKU SAYANG KALIAN :*  

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro