PART 18 - Sorry
Dua hari yang lalu Gandhi sudah pulang ke Bandung, tetapi ia tertahan di kantor karena harus menyelesaikan pengolahan data yang harusnya dikerjakan oleh temannya—tetapi berhalangan sehingga Gandhi yang mengambil alih. Ines sempat mengunjunginya sebentar seraya mengantar makanan dan situasi pekerjaan Gandhi sepertinya memang benar-benar mendesak. Pria itu bekerja dengan dua komputer. Katanya yang satu untuk men-download data sementara yang satunya mengolah data. Ines hanya memperhatikan Gandhi yang sibuk di depan komputernya tetapi kemudian ia berbicara di telpon, mengirim email pada klien, lalu mengirim pesan di Whatsapp Grup kantornya. Benar-benar sibuk hingga membuat Ines undur diri karena mau bagaimana pun juga kehadiran Ines tak akan membantu pekerjaan Gandhi.
Hari ini akhir pekan, tapi Gandhi lembur di kantornya. Pria itu masih sibuk. Wajar sih, katanya kantornya dapat empat project sekaligus, keempat-empatnya bernilai sembilan milyar. Bagaimana tidak ketar-ketir semua karyawannya.
Menatap ponselnya, Ines mengirimkan pesan pada Gandhi.
Gagan, jangan lupa makan, minum vitamin, sama banyak minum yah. Kalau capek stretching dulu, kalau matanya lelah coba keluar dulu, hirup udara segar. Love you.
****
Gandhi menghela napas. Boleh tidak sih kalau ruangannya dipindah saja ke rumahnya pakai cara teleportasi. Sungguh. Ia sangat lelah, tapi super sialan tuntutan pekerjaan ini! Gandhi merasa ia tidak boleh lelah sama sekali. Rejeki sih memang rejeki ya, tapi batin Gandhi berteriak geram di dalam sana karena sepertinya Gandhi tidak harus sampai sebegininya.
Kalau begini ceritanya lebih baik dia tinggal lebih lama saja di Muara Enim. Jelas-jelas pekerjaan di sana hanya pekerjaan lapangan. Oh Tuhan.
Menatap ponselnya, Gandhi membaca pesan dari Ines dan tersenyum.
Ia sudah terlalu lelah dan muak dengan pekerjaannya. Mungkin ini saatnya bagi Gandhi untuk mengisi ulang energinya.
Pria itu menghubungi kekasihnya, tapi Ines tak mengangkat telponnya. Mungkin ponselnya disimpan. Yah, tidak apa-apa kalau begitu. Gandhi akan memberikan kejutan kecil untuknya.
Pria itu terkekeh dalam kelelahannya. Ia meraih jaketnya dan keluar dari kantor. Menunggu di pinggir jalan kemudian menaiki taxi yang akan membawanya ke rumah Ines. Sepertinya satu jam cukup untuk bertemu dengan Ines kemudian kembali ke kantor dan menunggu data yang di download nya selesai sembari tidur.
Dua hari menginap di kantor membuatnya hampir seperti orang gila. Ya Tuhan. Benar-benar.
Sampai di rumah Ines, Gandhi turun dari taxi dengan penuh kebahagiaan namun langkah kakinya terhenti ketika melihat rumah Ines yang paling gelap dari rumah-rumah lainnya. Lampu rumahnya belum dinyalakan. Oh tidak. Apakah tidak ada seorang pun di rumah?
Ponselnya bergetar, Gandhi melihatnya dan membaca pesan dari Ines.
Kenapa Gagan? Aku lagi di jalan, mau ke Lembang sama keluarga aku Gan. Katanya Papa mau lihat tanah di sana sekalian kita main aja sambil liburan hihi.
Mau aku telpon balik gak? Kyknya aku sampe setengah jam lagi.
Menghela napasnya, Gandhi membalas pesan Ines dengan cepat.
Gapapa Nes. Kamu have fun ya di sana! Ati-ati masuk angin.
Setelah membalas pesannya. Pria itu berbalik dengan kecewa. Ia gagal mengisi energinya hari ini. Ya sudah, mungkin besok-besok bisa.
Gandhi memesan ojek online untuk dirinya sendiri tapi panggilan masuk ke ponselnya mengalihkan dirinya. Adik iparnya menelpon. Wow. Tumben sekali.
"Halo, Kenapa Dek?" tanyanya.
"Bang Gandhi dimana?" tanya adik iparnya.
"Dijalan."
"Mau pulang?"
"Enggak," kata Gandhi, "Mau balik ke kantor. Kenapa?"
"Jam segini balik ke kantor? Come on! Ini weekend Bang, kenapa masih kerja?"
Kata-kata 'kenapa masih kerja' benar-benar menyinggungnya. Gandhi membuang napasnya kasar, "Ya namanya juga orang kerja," sahutnya.
"Ya, kerja lah dengan cerdas Bang. Bukan kerja keras. Lagian Abang bukannya kemarin dari lapangan? Udah aku bilang mending gabung aja kita rintis sesuatu bareng supaya bang Gandhi nggak jauh-jauh dari rumah. Bukan apa-apa, kata Ghadati bang Gandhi kemarin hampir dua bulan udah kerja, sekarang kerja lagi. Kayaknya jam kerjanya nggak—"
Tanpa berpikir panjang, Gandhi memutuskan sambungan telponnya. Cukup ya. Gandhi sudah lelah hari ini, ia tidak mau merasa semakin lelah hanya karena mendengar omongan dari adik iparnya. Lagipula, niatnya menelpon Gandhi apa sih? kenapa malah tiba-tiba menceramahi Gandhi?
****
Ines bergegas ke rumah Gandhi begitu ia sampai di rumahnya. Subuh tadi Gandhi bilang kalau pekerjaannya akhirnya selesai dan ia akan istirahat di rumahnya. Ines memilih untuk membiarkannya istirahat tapi barusan Ibunya Gandhi menelpon dan mengabarkan kalau beliau akan pergi ke rumah sakit karena Ghadati akan melahirkan, jadi Ines diminta untuk menjaga Gandhi di rumahnya.
Sampai di rumah Gandhi, Ines benar-benar menjaganya. Ia duduk di depan Gandhi yang tengah tertidur pulas dan memperhatikannya dalam-dalam. Ya Tuhan, Gandhi kalau sedang tidur begini lucu juga ya.
Satu jam bertahan seperti itu sampai Gandhi membuka matanya dan ia mendapati Ines berada di hadapannya.
"Hng?" Gandhi mengerutkan keningnya. Ia mengerjapkan mata, merenggangkan tubuhnya, kemudian mengerutkan keningnya lagi. Kebingungan dengan Ines yang berada di hadapannya.
"Haloo," sapa Ines.
Kali ini Gandhi tersenyum. Ia mengucek matanya kemudian bergeser dan menepuk-nepuk tempat di sebelahnya. Ines mengerutkan kening, menatap Gandhi penuh pertanyaan namun Gandhi malah terkekeh dan kembali menepuk-nepuk tempat di sampingnya, meminta Ines untuk bergegas.
"Ya ampun," kata Ines. ia menurut, bangkit dari kursinya dan segera berbaring di samping Gandhi namun pria itu malah berbalik dan memeluknya dengan erat.
"Kangen," katanya.
Ines terkekeh dalam pelukannya. Ia menepuk-nepuk pundak Gandhi agar memberinya celah untuk bernapas. Gandhi merenggangkan pelukannya, ia menatap Ines kemudian tersenyum.
"Mmm... Kangen banget," katanya sekali lagi. Ia mengeratkan kembali pelukannya hingga membuat Ines berteriak, "Kamu bau tahu," katanya.
Gandhi masih memeluknya. Ia memejamkan mata untuk menikmati momen yang sejak semalam ia dambakan.
"Ya udah deh, boleh begini sampai lima menit lagi ya," putus Ines pada akhirnya. Gandhi mengangguk dan mencium kening Ines sementara Ines membalas pelukannya seraya mengusap-usap punggung Gandhi dengan sayang.
****
"Tiga hari lagi aku ke Gresik," kata Gandhi di tengah-tengah kegiatan makan mereka.
Ines mengerjap. Ia tak bisa menyembunyikan keterkejutannya atas ucapan Gandhi.
"Lagi? Kamu baru pulang loh Gan," sahut Ines.
"Yah, terus kenapa kalau baru pulang? Kalau ada kerjaan lagi ya harus berangkat lagi."
Ines meletakkan sendoknya, menghentikan dulu kegiatan makannya, "Emang nggak bisa istirahat dulu gitu Gan? Kamu nggak capek memangnya?"
"Ya, capek juga gimana Nes, namanya orang kerja," jawab Gandhi.
"Emangnya nggak ada orang lagi yang bisa? I mean, kamu baru pulang banget dan bahkan dua hari ini kamu juga masih kerja terus, masa istirahatnya tiga hari aja? Tiga hari kedepan juga kamu kerja kan pastinya?"
Gandhi menegak air minumnya. Ia menatap Ines dan tersenyum, "Aku kan udah bilang Nes, aku pengen banget nikahin kamu, jadi aku lagi berjuang buat hal itu. Kemarin aku mengajukan diri, karena denger-denger fee nya gede banget, bukannya jadi lumayan?" kekehnya.
Seharusnya mendengar ucapan Gandhi barusan membuat Ines tersipu atau malah bahagia luar biasa. Namun kebalikannya, Ines malah merasa bersalah pada Gandhi.
"Gan, kita santai aja. Nggak perlu terburu-buru," katanya.
"Maksudnya apa?" tanya Gandhi.
"Maksudnya yah, kamu nggak harus kerja sebegini kerasnya demi nikahin aku. Kita berdua bisa nabung bareng-bareng kok, pelan-pelan aja sampai kita berdua siap."
Ucapan Ines terdengar menenangkan namun perasaan Gandhi malah tidak nyaman mendengarnya. Ia menatap kekasihnya dengan berbeda hari ini, dengan kilatan yang ada di matanya, "Maksud kamu aku belum siap? Gitu?" tanyanya.
"Bukan, maksud aku kita—"
"Kalau ditanya siap atau enggak. Aku lebih siap dari siapapun Nes. Aku udah punya tabungan dan aku bisa nikahin kamu sekarang juga. Tapi bukan itu masalahnya, aku juga mikirin nanti kamu tinggal dimana dan segala macem, makanya aku kerja keras supaya aku bisa mewujudkan kehidupan yang nyaman buat kamu. Aku bahkan kerja keras sampe nggak tidur disaat kamu lagi happy happy sama keluarga kamu."
"Loh. Kok kamu jadi bawa-bawa keluarga aku sih? aku kan kemarin udah bilang kalau aku nggak sengaja kesana."
"Iya tapi nggak mungkiri kenyataan bahwa kamu lagi seneng-seneng disaat aku lagi stress sama masalah kerjaan. Padahal aku kerja juga buat hidup kita nantinya. Aku juga bela-belain nggak tidur, nggak pulang, bahkan ambil kerjaan sana-sini buat siapa, kan buat hidup kita juga."
"Ya terus aku harus gimana?!" tuntut Ines. Suaranya meninggi. Ia menatap Gandhi yang saat ini tengah mengepalkan tangannya, menahan emosi.
"Aku selalu ingetin kamu buat nggak kerja sebegitu kerasnya karena aku peduli sama kamu. Aku sayang sama kamu, aku nggak mau kamu terlalu capek. Tapi aku juga nggak bisa larang-larang kamu karena itu kerjaan kamu. Sama kayak aku yang punya kerjaan dan kamu nggak akan ngerti itu. jadi aku menempatkan diri aku sewajarnya aja Gan. Aku dukung dan support kamu sebisa aku juga."
"Support aku dengan cara senang-senang di atas pekerjaan aku gitu ya versi kamu tuh."
"Apa sih?! Kamu sadar nggak kalau obrolan kita ini bahaya banget?" kata Ines.
"Bahaya buat apa? Buat kamu? Takut kamu sadar kalau ternyata aku nggak sesuai sama ekspektasi kamu?!"
"Apa sih Gandhi! Kok kamu makin ngelantur gitu omongannya? Sekali lagi kita debat, aku yakin ini nggak akan bener. Serius. Kamu mau gini aja? Mau lanjut debat sampe kita saling menyalahkan satu sama lain?"
Mendengar ucapan Ines barusan, Gandhi tersadar. Pria itu menghela napas berat. Pekerjaannya yang terlalu banyak memang membuatnya capek secara fisik dan mental, belum lagi adik iparnya yang menyebalkan malah membuat semuanya menjadi runyam. Gandhi tertidur dalam keadaan itu dan ia belum pulih dari emosinya. Kebetulan saja Ines yang ada di sampingnya sehingga Ines malah jadi orang yang ia lampiaskan amarahnya.
Gandhi mengusap wajahnya dengan kasar. Ia bangkit dari kursi dan berkata, "Kamu pulang aja. Aku masih emosi dan capek. Takutnya kita malah berantem."
"Bukannya dari tadi kita memang berantem?" tanya Ines.
Gandhi tidak menjawab ucapan Ines. Pria itu malah beranjak untuk pergi ke kamarnya kemudian menutup pintu sementara Ines menatapnya tak menyangka.
*****
Gandhi sudah mencoba untuk menenangkan dirinya selama satu jam. Ia sudah mengambil wudhu, sholat, berdo'a, bahkan mengguyur kepalanya—untuk mendinginkannya namun perasaannya tak kunjung membaik. Mungkin rasa bersalahnya pada Ines adalah hal utama yang masih mengganggunya. Ines jelas tak punya salah apapun kepadanya, Gandhi lah yang sejak awal emosi dan sensitif. Ines bahkan bersedia datang ke rumahnya untuk menemaninya, tapi apa yang sudah Gandhi lakukan? Ia malah mengusirnya, bukannya mengantarnya pulang. Hadeuh.
Keluar dari kamarnya, Gandhi mendapati meja makan dan dapur sudah kembali ke tempat semula. Itu berarti Ines sudah membereskannya tadi. Pria itu berjalan menuju ruang tamu namun ia tertegun dengan apa yang dilihatnya. Ines sedang berada di sana, di depan TV seraya memakan cemilan yang disediakan ibunya di atas meja lalu mata mereka bertemu. Gandhi sudah siap kalau-kalau Ines melemparinya dengan cemilan itu, tetapi yang terjadi adalah... Ines tersenyum padanya dan bertanya, "Udah baikan belum?"
Mendengar pertanyaan Ines, hati Gandhi dipenuhi oleh rasa bersalah. Pria itu menghampirinya dengan cepat dan memeluknya dengan erat, "Maaf," katanya.
Ines mengusap lengannya. Gadis itu menyimpan toples cemilan di atas meja kemudian bergeser dan menghadap Gandhi, "Aku udah emosi banget tadi. Awalnya memang aku mau pulang, tapi aku takut kita nggak akan bisa bareng-bareng lagi. Gimana nih, udah bucin Gandhi banget," kata Ines.
Gandhi terharu dibuatnya. Untuk pertama kali dalam hidupnya, ia merasa ingin menangis saat ini juga. Pria itu memeluk Ines lagi. Ia membenamkan kepalanya di leher Ines dalam waktu yang lama.
"Aku terlalu sensitif," kata Gandhi.
Ines mengangguk, "Aku emosi juga sih Gan, jujur ucapan kamu nyakitin banget. Tapi ada banyak hal yang harus kita selesaikan di sini," katanya.
Mereka berdua duduk berhadapan dengan Ines yang memegang tangan Gandhi dan berkata, "Aku seneng banget karena tahu kamu sepeduli itu sama aku, aku bahkan hampir nangis waktu tahu perjuangan kamu sekeras itu buat nikahin aku. Makasih banget, kamu udah memikirkan aku sebegitunya. Tapi Gan, yang aku butuhin itu kamu," kata Ines.
"Aku juga nggak sabar kok buat nikah sama kamu, aku bahkan bersyukur banget karena Tuhan kasih kelancaran sama kita berdua, tapi aku nggak mau hanya karena kita udah nggak sabar, kita jadi kehilangan satu sama lain. Makanya aku bilang kita jangan terburu-buru. Kalaupun terburu-buru, aku nggak masalah walau kita cuman resmiin nikah di KUA aja dulu Gan, serius."
"Nes, kalau nikahin kamu dengan cara begitu doang, muka aku mau ditaro dimana?" tanya Gandhi.
Ines tersenyum, "Taro di pelukan aku aja gimana?"
"Nes. Please."
"Serius Gandhi. Yang bakalan nikah itu kita berdua, yang mana kesepakatan apapun juga harus mengutamakan keinginan kita. Kamu kan mau nikahin aku, bukan nikahin siapapun. Dan aku udah jawab, bahkan nikah di KUA aja aku mau, asalkan sama kamu. Kedepannya kita bener-bener bisa merintis semuanya sama-sama karena ini juga akan jadi kehidupan kita nantinya. Aku mau kamu tahu bahwa aku nggak ada masalah apapun terhadap kamu. Aku bener-bener nerima semuanya Gan."
"Tapi Nes. Kamu tahu nggak, aku tuh capek. Ipar-ipar aku setiap hari di grup keluarga selalu bahas 'Memangnya bang Gandhi bisa cepet nikah kalau kerja lembur bagai kuda. Memangnya dapet berapa?' lalu mereka bilang 'Memangnya Gandhi bisa punya waktu buat keluarga? Kerja aja bisa berbulan-bulan ke antah berantah'. Makanya aku harus buktiin semua itu sama mereka Nes."
Sekarang Ines tersenyum dalam diamnya, "Gan. Jangan sampai tujuan kita beda. Tujuan aku menikah untuk memenuhi impian aku, sementara tujuan kamu menikah untuk memenuhi ego kamu."
Gandhi mengusap wajahnya dengan kasar. Ia terdiam cukup lama sampai ia merasakan tubuhnya kembali hangat akibat pelukan Ines. Pria itu membalas pelukannya dan berkata, "Maafin aku," katanya.
TBC
Pengen marah marah yang meledak ledak kalau udah di umur segini lebih terbiasa marah diem dieman gitulah gatau atuh wkwkwkwk
Oke sampe sini aja.
Dah
AKU SAYANG KALIAN :*
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro