Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

PART 15 - Me After You

I was so happy after meeting you

 I was able to love you so much, Because you embraced and understood, My young and Immature mind Warmly. 

(Paul Kim – Me After You)

-

-

-

"Sayang, sini deh."

Gandhi menarik tangan Ines dan memintanya untuk mendekat, duduk bersamanya di atas kursi yang berada di kamarnya. Niat Ines masuk ke kamar Gandhi adalah untuk menyusul Gandhi yang mendadak lama sekali siap-siapnya sementara ia sendirian karena Ibu Gandhi baru saja pergi ke pengajian, tapi ternyata ketika disusul, Gandhi sudah siap, bukannya pergi, ia malah menahan Ines bersamanya. Pria itu terlihat antusias. Ia meraih laptopnya lalu membuka dan menyalakannya. Bahkan ketika menunggu laptopnya menyala pun Gandhi masih terlihat antusias sehingga membuat Ines kebingungan dibuatnya. Kira-kira Gandhi mau menunjukkan apa?

"Taraaa," soraknya seraya membuka sebuah file yang sekarang menunjukkan desain sebuah rumah.

Tunggu dulu.

Rumah?

"Ini rumah siapa?" kata Ines.

Gandhi mengalungkan tangannya di bahu Ines. Ia bahkan sempat mencuri ciuman di pipi kekasihnya, "Rumah kita dong," sahutnya.

"Kita? Aku sama kamu?" tanya Ines memastikan.

Gandhi mengangguk.

"Desain rumah kan susah ya Nes, ke arsitek lumayan juga, jadi dua minggu ini aku menjalani pembelajaran insentif, ceritanya biar bisa desain rumah. Memang nggak sebagus arsitek-arsitek lain sih, tapi boleh diadu lah, kata Andri segini udah oke. Menurut kamu gimana?"

"Gan..." Ines menatap layar laptop kemudian menatap Gandhi dengan haru. Ia nyaris tak bisa berkata-kata.

"Nih ya, aku pilih rumah kita hadap utara, jadi nanti di teras bakalan kesorot sama sinar matahari, pagi-pagi kan sehat Nes. Tapi supaya gak nyorot banget, aku buat kanopi juga, supaya cahayanya nggak ganggu. Terus buat tingginya, plafon aku bikin setinggi dua koma tujuh meter aja, karena kalau ruang sempit tapi plafonnya tinggi tuh nantinya jadi masalah sih, ini kata Andri. Penting soalnya, kalau bersihin debu lagit-lagit juga kan bakal susah Nes ketika plafonnya tinggi banget, belum lagi penempatan furnitur yang bakal mempengaruhi ruangan juga. Makanya setelah banyak baca dan cari tahu, aku buat yang sederhana aja. Cat nya udah jelas biru dong, sesuai yang kita mau. Buat desain nya gimana Nes? Kamu suka nggak?"

Suka atau tidak suka bukan masalah karena Ines sendiri menyukai apapun yang berasal dari Gandhi, apalagi buatan Gandhi. Ia benar-benar percaya bahwa ketika Gandhi mengerahkan usaha terbaiknya, maka ia bisa membuat semuanya mendekati sempurna. Tentu saja tidak sampai sempurna karena kesempurnaan milik Tuhan.

Gadis itu menatap Gandhi dengan matanya yang berkaca-kaca. Jika sebelumnya Gandhi terlihat menyebalkan, hari ini pria itu terlihat sangat hebat di mata Ines. Rasanya bahkan jauh lebih luar biasa dibandingkan ketika Gandhi melamarnya—masa bodoh dengan lamaran resmi karena Ines sudah menganggap Gandhi melamarnya dan tujuan mereka kedepannya sama.

"Kamu kok bisa kepikiran hal kayak begini sih Gan," katanya.

Gandhi terkekeh, ekspresi kebanggaan dapat terlihat dengan jelas dari wajahnya.

"Kan aku memang serius, takut aja kamu mikirnya aku main-main."

"Mana ada sih Gan, aku anggap kamu main-main. Bukannya dari awal juga aku anggap kamu serius ya?"

"Masa?" goda Gandhi.

Ines mencibir, "Air mata aku hampir jatoh. Naik lagi nih ke mata."

"Hahaha. Bisa-bisanya air mata naik lagi."

"Bisa kok, kamu tuh yang buat air mata aku naik lagi."

"Yah bagus dong Nes, kalau aku buat air mata kamu turun, bakalan sakit banget itu kayaknya, mendingan buat air mata kamu naik aja."

"Yeuuu, tadi kan turunnya terharu. Kamu emangnya nggak mau lihat aku terharu?" tanya Ines dengan tatapannya yang penuh selidik.

Gandhi memiringkan kepalanya untuk berpikir, "Boleh sih, asal nggak sampe bucin banget sama aku terus kamu jadinya nggak mau lepas dari aku," kekehnya.

Ines mencebikkan bibirnya, kesal dengan ucapan Gandhi.

"Jadi sayang, desain rumahnya gimana? Oke kan?"

Ditanya soal rumah lagi membuat Ines menghela napas. Ia menatap Gandhi dan kembali tersenyum cantik seperti biasa, "Oke banget. Aku suka Gandhiiiii."

"Aku juga suka Ines."

"Ya ampun!" Keluh Ines.


****


"Katanya kak Ghofar mau pulang Nes? Udah dua minggu kok nggak pulang-pulang. Hoax ya?"

Ayas mencoba menormalkan suaranya kalau-kalau terdengar sangat antusias atau penasaran dengan kabar kepulangan kakaknya Ines, tetapi mau seperti apapun juga sebenarnya tidak berpengaruh untuk Ines karena gadis itu sibuk bertukar pesan dengan kekasih pujaan hatinya padahal barusan mereka bertemu dan sekarang jatahnya Ayas yang bertemu dengan Ines, jadi kenapa bisa-bisanya gadis itu melupakan kehadiran dirinya didekatnya hanya karena ia bertukar pesan dengan kekasihnya lewat ponsel? Aduh, emosi sekali.

"Nes, balik sana. Ketemu Gandhi aja lagi," kata Ayas dengan kesal. Kali ini Ines mendengarnya. Ia menatap Ayas dan menyimpan ponselnya ke dalam tas.

"Hehe, maafin yah Yas. Barusan Gandhi pamitan, katanya dia mau kumpul keluarga. Gandhi tuh agak males kalau harus ketemu saudara iparnya, jadi barusan aku semangatin dia supaya dia semangat dan PD gitu loh," jelas Ines.

Ayas mendumel, tidak mau tahu juga sebenarnya.

"Gandhi tuh suka cerita, katanya kalau kumpul keluarga, dia merasa jadi yang gagal sendirian. Dia cowok di dalam keluarganya tapi pencapaiannya jauh banget sama kakak dan adeknya, yah meskipun sebenernya biasa aja sih, tapi bagian iparnya. Haduh Yas, aku lihat grup chat keluarga mereka aja ngeri. Iparnya bahas omset, omset, omset aja terus atau nggak bahas investasi yang lagi rame banget gitu sekarang sementara Gandhi palingan bahas kerjaan lapangannya dia. Padahal kata kak Ghofar, kerjaan lapangan kayak Gandhi tuh bisa lebih hebat dari yang punya usaha. Huh. Nggak tahu aja mereka sehebat apa pacar aku," ucap Ines. Ayas yang mendengarkannya sibuk menganggukkan kepala—sampai ketika ia mendengar nama Ghofar, gadis itu mulai bersemangat.

"Kok kak Ghofar tahu kerjaannya Gandhi sih?"

Ines terkekeh, "Yah soalnya pacarnya kerja jadi Project Manager di perusahaan begitu, jadi kurang lebih dia tahu."

Sekarang semangat Ayas turun lagi ketika ia mendengar kata pacar dari mulut Ines. Ya sudahlah Ayas. Sudah cukup. Orangnya pulang ke Bandung juga untuk apa kalau dia masih punya pacar?


****


Hari yang cukup melelahkan bagi Gandhi. Setelah pertemuannya dengan keluarga, Bosnya menelpon Gandhi dan memintanya untuk datang ke kantor di hari libur. Ck. Seharusnya Gandhi menolak, tapi sial sekali jiwa karyawan yang sudah melekat dalam dirinya. Ia malah dengan sukarela datang ke kantornya. Ya Tuhan. Semoga bulan ini bonus Gandhi banyak. 

Begitu sampai kantor, Gandhi dibuat kebingungan oleh Bosnya. Pria itu menggaruk kepalanya yang tak gatal. Ia menatap tiga buah proposal di hadapannya dengan risau. Bosnya meminta Gandhi dan beberapa tim untuk ikut serta dalam project  baru di kantornya, masalahnya posisi Gandhi dibutuhkan di dua project. Tetapi waktunya bersamaan sehingga Gandhi tidak bisa memilih ketiganya. Seharusnya sih ia memilih satu saja, tapi bosnya malah membuat pilihannya sulit.

"Kalau satu, kamu saya tempatin di Off shore. Waktunya empat puluh lima hari, posisinya kita butuh banget Gan, jadi fee nya pun lumayan oke. Sehari bisa sampe sejuta, sama uang makan tapi ya."

Sehari hampir satu juta berarti jika empat puluh lima hari, Gandhi bisa mengantongi uang sekitar empat puluh juta dan bukankah cukup menggiurkan untuk ia yang tengah menjalani proses 'berjuang' dalam menikahi kekasihnya?

"Kalau yang dua, kamu ke Aceh dulu satu bulan, abis itu sambung ke Muara Enim tiga minggu. Waktunya memang lebih lama, tapi buat fee nya saya kasih bonus deh Gan. Serius. Belum lagi nantinya kita dapet tambahan dari sertifikat kamu."

Ah, tambahan yang satu ini penting sekali untuk diperhitungkan. Semua tenaga ahli di Perusahaan selalu menjalani tes setiap tahun untuk mendapat sertifikasi dan hal baiknya adalah jika sertifikatnya dipakai dalam pekerjaan, karyawan mendapat fee sekitar 40% dari pemakaian sertifikat. Biasanya sih tergantung durasi pekerjaan.

"Gimana Gan?" tanya Bosnya sekali lagi.

Gandhi memiringkan kepalanya untuk berpikir, "Uangnya sih mending ya Bos, waktunya ini loh. Nggak ada yang seminggu Bos?"

Bosnya menggeleng, "Yang seminggu recehan Gan, males saya. Malah banyak biayanya nanti."

Oh Tuhan. Tapi hampir dua bulan berpisah dengan Ines itu hal yang luar biasa menyulitkan baginya. Yah, memang sih mereka masih bisa berkomunikasi, tapi kan...

Hadeuh, apa Gandhi nikahi saja Ines sekarang supaya bisa dia ajak kemanapun ia pergi?

Rupanya Gandhi sudah gila!

****


"Kak Egaa, cepet cari pacar dong. Supaya waktu aku nikah, kakak udah ada temennya," usul Ines tiba-tiba. Adiknya yang satu itu langsung masuk dan berbaring di ranjangnya kemudian melihat-lihat foto yang Ega ambil hari ini di kameranya.

"Dipikir cari pacar kayak cari gorengan?" desisnya.

"Berdo'a dong Kak. Kalau udah waktunya juga nanti pasti dikasih sama Allah."

"Kayak kamu, gitu?"

Ines mengangguk dan tersenyum dengan bangga.

"Sombong banget yang mau nikah. Nggak takut ngelangkahin dua kakak? Dua loh Nes, bukan satu," gerutu Ega.

Ines masih sibuk dengan kegiatannya melihat-lihat foto. Ia berpindah posisi, duduk kemudian menyimpan kameranya dan menatap Ega, "Aku juga kan nikah nggak besok kak. Ini masih pembicaraan aku sama Gandhi, memang nggak usah ada lamaran ala-ala gitu sih yang penting keluarga kita kumpul-kumpul aja, kita tentuin tanggal, udah deh. Kedepannya biar aku sama Gandhi yang urus."

"Gampang banget ya. Sederhana sekali pikiran adiknya kakak yang satu ini."

"Ih, kalau udah niat, dan memang udah jalannya pasti dimudahkan tahu Kak sama Allah. Lagian aku juga kan udah lama banget berdo'a, dan Voila! Pernikahan impian aku sekarang udah mulai bisa direncanakan!" kekeh Ines.

Ega berdecak. Ia menghampiri Ines dan duduk di hadapannya kemudian melihat-lihat sesuatu di ponselnya, "Nih ya Nes. Dengerin. Ada beberapa hal yang harus kamu perhatikan sebelum menikah, bahkan harus kamu bahas dulu sama pacar kamu itu," kata Ega.

"Apa tuh?" tanya Ines.

Ega berdehem. Ia seperti dosen yang siap memulai kegiatan belajar mengajar dengan mahasiswanya. Pria itu membaca sebuah utas dalam ponselnya pelan-pelan.

"Satu. Masalah keuangan. Siapa yang akan mengelola keuangan.."

"Berdua dong. Kata Gandhi sih sebaik-baik pengatur keuangan itu wanita, tapi akhir diskusi kita menyimpulkan kita kumpulin dulu, rinciin pengeluaran masing-masing lalu bersama, kemudian dapet deh hasilnya. Udah gitu aku juga nggak keberatan kok untuk ikut menyumbang kehidupan kita, maksudnya pake uang aku juga buat bersama. Kan kita hidup bersama."

WOW! Ega benar-benar tak menyangka! Ternyata Adiknya sudah selangkah di depan.

"Terus kamu tahu harta Gandhi apa aja? Hutangnya juga?"

Ines menggeleng, "Belom sampe situ sih, tapi kemarin kita sempet bahas kalau suatu saat kita harus obrolin ini, tapi Kak lagi pula aku sama Gandhi bukan tipe orang yang senang berhutang sih, kita sama-sama nggak punya CC," jelasnya.

Wow! Boleh juga calon adik iparnya yang satu itu.

"Ekhm. Lanjut dulu. Masih soal uang sih, buat rumah nanti kalian mau tinggal dimana? Gandhi punya jatah rumah nggak?"

Ines berpikir sejenak, "Rumah kita mutusin buat bangun sendiri sih Kak. Desainnya udah ada dong, Gagan yang bikin," kata Ines dengan bangga.

"Yah dibikinnya kan di atas tanah Nes. Tanahnya dimana???"

"Ya ampun Kak. Aturan mah pikirin dulu rencana pernikahannya kali," keluh Ines.

Ega menggeleng dengan kuat, "Ini dulu lah! Jawabannya aja hal yang harus didiskusikan dengan pasangan sebelum menikah. Bukan setelah menikah."

Mengerucutkan bibir, Ines mengalah dan akhirnya memutuskan untuk mendengarkan ucapan Ega lagi.

"Karir nih Nes. Penting banget. Udah nikah, kamu tetep mau kerja?"

Ines mengangguk dengan pasti, "Kata Gandhi aku boleh kerja selama apapun yang aku mau, toh dia juga masih akan bekerja di tempat yang sama, yang mana bakal banyak keluar kota atau bahkan ke luar negeri, maunya sih aku ikut, tapi percuma karena Gandhi kadang kerjaannya di hutan atau di laut, nggak mungkin bawa keluarga."

"And you're okay with that condition?" tanya Ega.

Ines mengangguk dengan pasti, "Kita udah banyak diskusi Kak dan aku juga udah bilang sama Gandhi selama kita sepakat, apapun bisa kita lalui, gitu loh."

Sepertinya Ega tidak perlu menjelaskan hal selanjutnya karena pada kenyataannya Ines sudah mendiskusikan banyak hal dengan Gandhi. Yah, manusia juga tidak akan seceroboh itu kan dalam memutuskan untuk menikah. Apa-apaan ini, seharusnya Ega mengkhawatirkan dirinya sendiri, bukan mengkhawatirkan Ines yang sebenarnya malah jauh lebih baik dari yang ia kira.

Ah. Baiklah, utas tentang pernikahan ini biar dia simpan saja untuknya di masa depan.


*****


Pagi ini Ines terbangun dengan wajahnya yang cemberut. Bagaimana tidak, ia ketiduran di kamar Ega karena terlalu banyak mengobrol dengan kakaknya sementara ponselnya ada di kamar dan ia tidak tahu kalau semalam Gandhi menghubunginya. Sebenarnya sih bukan hal besar, Gandhi juga tidak meributkannya, tapi kenyataan bahwa Gandhi memberitahukan Ines kalau dia harus pergi dalam waktu dua hari membuat Ines sedikit menyesal. Bukan apa-apa, tahu begitu mendingan semalam Ines mengobrol dengan Gandhi saja lewat telponnya.

O-ow, kalau Ega tahu isi pikiran Ines, kakaknya itu pasti marah besar.

"Udah dong Nes, senyum yuk!" bujuk Gandhi untuk kesekian kalinya.

Ines menghela napas. Ia menatap Gandhi kemudian menatap isi mobil Gandhi yang penuh dengan barang-barang Gandhi lalu menundukkan kepala, kembali sedih dengan kenyataan yang akan ia hadapi.

"Gini sih! Kamu tuh tiap hari anter jemput aku, weekend sama aku juga, giliran kamu mau pergi akunya jadi gini, nanti aku kehilangan banget pasti. Mana lamaa. Apa kata kamu tadi? Ke Aceh, terus ke Muara Enim? Gagan. Nggak kurang jauh? Katanya ditawarin ke offshore juga! kenapa pilihnya malah ke sana?!" protes Ines.

Hari ini pertama kalinya Gandhi melihat Ines kesal dalam level yang berbeda. Sekilas terlihat seperti Gina yang tengah mengamuk karena orangtuanya tak mengajaknya liburan tapi Ines ini dalam versi lebih mengagumkan. Ya ampun. Bisa-bisanya sedang dalam situasi begini Gandhi mengagumi kekasihnya.

"Aku kan kerja keras buat kita juga Nes, supaya bisa nikahin kamu cepet-cepet. Malah pengen aku nikahin hari ini juga kamu tuh, tapi gimana, nanti kamu digosipin hamil duluan, padahal kita ngapa-ngapain aja enggak," kekeh Gandhi.

Dalam situasi seperti ini sempat-sempatnya Gandhi bercanda Ya Tuhan! Namun yang lebih parah malah Ines. Sempat-sempatnya ia tertawa walaupun hanya sedikit. Ih! Bukan tubuhnya saja yang tak bisa dikontrol oleh dirinya, perasaannya juga sama.

"Nggak bisa jawab apa-apa," rajuk Ines.

Gandhi tertawa. Ia mengacak-acak rambut Ines, mengelusnya, merapikannya, merangkum wajahnya, kemudian menciumnya dengan gemas, tak berhenti hanya dengan satu kali kecupan. Gandhi benar-benar menghujani wajah Ines dengan kecupannya—saking gemasnya.

"Nanti muka aku bau iler kamu tahu!" ujar Ines begitu Gandhi menjauhkan wajahnya.

Pria itu tertawa, "Nggak usah cuci muka ya, biar inget aku selama hampir dua bulan."

"IH GANDHI JOROOOOK!" Teriak Ines.

Bukannya tertawa, Gandhi malah menatap Ines dalam-dalam kemudian tersenyum.

"Tahu nggak Nes..." ucapannya menggantung, membuat Ines menatapnya dan bertanya, "Apa?"

"Aku udah bilang belum kalau aku seneng banget bisa ketemu kamu. Kamu tuh bener-bener bisa nerima aku banget, dari aku yang serius sampe aku yang usil banget, kamu seneng juga kan ketemu aku Nes?"

Ines mengerucutkan bibirnya, "Apaan sih kenapa kayak ucapan perpisahan begini? Kamu kesana mau perang ya? Kayak pamitan mau mati," celetuk Ines.

Gandhi menjawil hidungnya dengan gemas, "Enak aja. Ngomongnya lancar bener kamu tuh. Enggak dong, aku ke sana mau kerja."

"Yah terus kenapa malah ngomong begitu?" Tuntut Ines. Gandhi mengedikkan bahunya, "Pengen aja, biar kamu tahu kalau aku seseneng itu ketemu sama kamu."

"DIH! Ada maunya ya kamu?" tanya Ines.

Gandhi menganggukkan kepalanya dengan gemas, "Peluk," jawabnya.

Ines tersenyum. Ia merentangkan pelukannya dan berkata, "Siniiii Gagan."

Detik itu juga Gandhi memeluk Ines dengan erat, menyerap kehangatan yang diberikan oleh Ines kepadanya.

Ah, mungkin inilah kenapa kita membutuhkan pelukan dalam setiap jengkal kehidupan. 


TBC 


AHAHAHAHAHAHAHA '

KALAU LAGI CEPET YA CEPET KALAU LAGI LAMA YA LAMA

Tapi aku ga menunda sih pas udah beres ya udahlah langsung aja silakan kalian baca! wkwkwk 

FYI nih buat sertifikat yang aku bahas, jadi kadang ada tenaga ahli yang sertifikatnya dipinjem buat project, itu bisa sampe puluhan juta, tergantung durasinya. 

Udah gitu memang kerjaan di off shore (ini yang diatas kapal gitu loh di laut2 atau lepas pantai) itu juga uangnya gede gais WKWKWKWKWK

tapi resikonya juga gede ya, ga ketemu keluarga berbulan bulan kan mayan juga. 

Buat judul kali ini aku pake lagu favorit aku... me After you 

NOREUL MANA~ NADO HAENGBOKHANI~

AYO DENGARKAN AYOOOOO~~~~ 

Dah ah aku belum pulang tahu, sengaja beresin ini dulu baru pulang WKWKWKWK

Aku teh ya kayaknya kena sindrom (?) biasa ngetik pake laptop sendiri tapi dia kan rusak ya, lalu aku lamaaaa banget ngetik pake laptop kantor, lancar banget. Tahun kemarin aku beli laptop baru, ITU LAPTOP MENJAMUR SEKALI JARANG DIPAKE YA ALLAH DIPAKE NONTON DRAMA DOANG. 

Anehnya dikit banget tulisan yang aku ketik di laptop itu. Oh Tuhan MENGAPA SEMUA INI TERJADI KEPADAKUUUU~ 

Oke sekian curhatnya.

Selamat menikmati. 

Dan

Sampai jumpa. 

AKU SAYANG KALIAAAAAAAN :*

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro