PART 13 - Pernikahan Impian
"Oh, jadi iniii yang namanya suka disebut-sebut sama anak Mama."
Seumur hidupnya, Ines belum pernah segugup ini dihadapan orangtuanya. Bahkan ketika nilainya jelek pun Ines masih bisa percaya diri dengan dalih—namanya juga proses belajar—nah berbeda dengan hari ini dimana Ines seharusnya bertemu dengan ibunya Ghandi tetapi keadaan malah berbalik dan sekarang Ghandi lah yang bertemu dengan Ibunya. Hadeuh, semua ini gara-gara Ines terlalu lama mengikat tali sepatunya sehingga Ghandi yang menunggu di luar rumahnya tak sengaja berpapasan dengan Ibunya yang baru pulang berjalan-jalan pagi dengan ayahnya. Wah, tidak terduga sekali memang.
"Halo Tante," sapa Ghandi. Jujur, ia sendiri kebingungan dengan situasi tidak terduga ini. Masalahnya, Ghandi tidak mempersiapkan apapun hari ini. Ia datang dengan tangan kosong karena niatnya juga menjemput Ines saja.
Begini loh, skenario dalam kepalanya adalah, Ghandi menjemput Ines untuk bertemu dengan Ibunya, kemudian ia akan meminta Ines untuk mempertemukannya dengan orangtua Ines, nah... kenapa urutannya malah kacau begini?
"Maaf Om, Tante. Saya nggak bawa apa-apa, niatnya mau jemput Ines buat ketemu Ibu," ucapnya kikuk.
Mayang—ibunya Ines menatap Ghandi dengan matanya yang berbinar, "Mau dibawa ketemu Ibu? Wah, udah mantep ya sama Ines?"
Mendengar ucapan Ibunya, Ines mendekat dan berbisik, "Mama ih. Mantep apanya coba."
"Masuk dulu saja. Kita ngobrol di dalam," sambar Budi—ayah Ines.
O-ow. Apakah Ghandi akan dihadapkan pada pertanyaan-pertanyaan kritis dari ayahnya Ines untuk screening menjadi calon mantu? Sebentar. Apa yang dia pikirkan? Calon mantu?
Ghandiii. Benar-benar.
****
"Aduk yang bener," kata Ega begitu masuk ke dapur dan melihat Ines mengaduk minuman tak karuan karena tangannya sibuk mengaduk sementara matanya sibuk mengintip ke ruang tamu dimana Ghandi sedang berbincang-bincang dengan ayahnya.
"Aduh Kak. Mereka ngomongin apa ya?" tanyanya.
Ega mengedikkan bahu, "Ya pertanyaan default aja palingan juga Nes. Kamu kerja dimana, gaji berapa, dapet tunjangan apa aja, kalau lembur benefitnya apa, kalau dipecat pesangonnya berapa," jawabnya.
Ines melirik kakaknya dengan tajam, "Apaan. Emangnya Papa tuh aku, HRD. Kan bukan."
"Ya emang HRD kok Nes. Human Resource Daughter," kekehnya.
Sendok yang dipakai Ines untuk mengaduk minumannya melayang dan mendarat tepat di kening Ega hingga membuat pria itu berteriak, "Nggak usah mukul jugaaa!"
****
Budi yang mendengar teriakan anak laki-lakinya tertawa, "Akhir-akhir ini kakaknya sering banget ribut sama Ines," katanya.
Ghandi yang sempat teralihkan dengan suara itu kembali fokus pada Budi, "Saya juga begitu sih Om sama adik saya, terlebih waktu dia punya pacar. Rasanya takut aja kalau adek saya direbut," sahutnya.
Budi menunjuk foto yang berada di meja ruang tamu, foto ulangtahun Ines dengan kedua kakak laki-lakinya yang memeluknya dengan hangat, "Waktu Ines lahir, kedua kakaknya ini seneng banget. Karena mereka laki-laki, mereka jadi merasa punya tanggung jawab yang besar. Saya salut sekali, mereka selalu mendahulukan Ines dibanding diri mereka sendiri. Mereka juga mengusahakan banyak hal untuk Ines. Kalau kata Ghofar, dia akan memberikan semua yang terbaik dalam hidupnya buat Ines, bukan buat dirinya sendiri. Karena dia udah muak katanya ngurusin Ega, punya adek cowok tidak menyenangkan, hahahaha."
Ghandi ikut tertawa. Tapi hambar. Ya Tuhan.
"Nak Ghandi... punya adik berapa?"
"Satu Om, yang satu lagi Kakak. Dua-duanya perempuan."
"Kalau begitu nggak ada masalah ya, karena kamu mungkin sudah sebaik Ghofar dan Ega sama saudara-saudara kamu?"
Sekarang Ghandi tersenyum. Tapi getir. Ya ampun.
****
"Gagan, kamu ngomongin apa aja sama Papa aku?" tanya Ines saat mereka akhirnya bisa meloloskan diri dari dalam rumahnya.
Ghandi menatap Ines dan tersenyum, "Kalau penasaran kenapa tadi ninggalin aku sama Papa kamu?" tanyanya.
Ines mengerucutkan bibir, "Tadi kan Mama suruh bikin minuman, itu sengaja buat misahin aku sama kamu. Terus pas aku udah beres bikin minuman, Mama dateng dan bilang... biar Mama aja yang kasih minumannya, aku disuruh masuk aja ke ruangan kak Ega dan nggak boleh gangguin kamu sama Papa. Wah, sebel banget nggak tuh?"
"Sebel banget sih. Harusnya kamu keluar aja dan duduk di sebelah aku," ucapnya kecewa.
Ines mengerjapkan mata, "Eh. Papa ngomong macem-macem ya?"
Ghandi diam.
"Serius? Papa ngomong apa? Ya ampun. Jangan bilang kalau Papa suruh aku putus sama kamu? Ih nggak mau!"
Diamnya Ghandi terusik dengan ucapan Ines barusan. Pria itu menatap Ines dan tertawa, "Ya ampun Nes, gemesnya kamu kayak Gina ya, nggak ada abisnya."
Menatap Ghandi, Ines berteriak, "IH GAGAN! Kamu sengaja godain aku ya?!"
"Hahahaha, abis kamu lucu kalau panik."
"DIH! Lucu apaan!" rajuknya.
Ghandi tertawa lagi, "Coba diulang. Kalau disuruh putus, nggak mau? Kok nggak mau?"
Seketika wajah Ines memanas dan rona merah mulai muncul secara perlahan, "Ya nggak mau lah. Emang kamu mau putus sama aku?"
Ghandi mengangguk, "Mau Nes."
Deg!
Ines belum pernah merasa seterkejut ini. Seperti waktu tiba-tiba dihentikan dan dia tidak bisa menyadari apapun selain fokus dengan pertanyaan dalam kepalanya.
Melihat respon Ines yang langsung terdiam, Ghandi meraih wajah Ines, merangkumnya dengan tangannya dan mencuri kecupan di bibirnya. Gadis itu mengerjap sementara Ghandi tertawa dengan keras. Lebih keras dari yang sebelumnya.
"Ya Allah! Mau banget aku godain Ines seumur hidup," katanya.
Ines memicingkan matanya. Ia menatap Ghandi penuh perhitungan namun secara bersamaan ia juga meminta penjelasannya sehingga menurut Ghandi, ekspresinya itu adalah ekspresi paling menggemaskan dari semua ekspresi yang pernah Ines tunjukkan padanya.
"Ketemu Ibu aku dulu ya, baru aku jelasin," kata Ghandi. Ines memukul bahunya dengan keras, "Ghandiiiii. Aku marah loh!" katanya.
"Yah, nggak apa-apa marah. Biar bisa latihan ribut sama kamu. Simulasi gitu Nes, jadi aku bisa tahu cara seperti apa yang bisa aku lakukan supaya kita baikan."
Ines mencibir, "Tau ah."
"I Love you too," sahut Ghandi.
Ines menatapnya lagi dan mendesis, "Apaan sih."
"Ciee, salting," goda Ghandi.
"Siapa yang salting?!" kata Ines. Nada suaranya meninggi.
"Ya kamu lah, masa aku," ledek Ghandi.
Ines hamper berteriak kepadanya. Tapi terhentikan karena Ghandi malah mengacak-acak rambutnya dengan gemas.
Oh Tuhan. Jantungnya.
*****
"Wow. Ini Ines? Cantik sekaliii," puji seorang wanita paruh baya ketika Ines sampai di rumahnya. Wanita itu adalah Rita—Ibunya Ghandi—yang berarti calon mertua Ines.
Eh! Kok sudah anggap calon mertua sih? pacaran sama Ghandi juga kan baru beberapa bulan. Ya Tuhan. Ines! untung belum follow akun-akun MUA di Instagram.
"Halo Tante," sapa Ines. Ia tersenyum senang dan menyerahkan buket bunga yang dibawanya lalu berkata, "Kebetulan keluarga Ines punya toko bunga, Tante."
"Wow! Tante nggak pernah loh dikasih bunga kayak begini, apalagi sama Ghandi," katanya.
Ghandi mengerucutkan bibirnya, "Bunga bank kan lebih banyak Bu," sahutnya.
"Itu kan kalau tabungannya juga banyak," kilah Rita. Ia memilih untuk membiarkan anaknya dan kembali fokus pada Ines, menatapnya dan kemudian merangkulnya, "Masuk dulu aja yuk! Gagan, pagernya tutup dulu ya sayang," pinta Rita pada Ghandi yang mengabaikan pagar rumah mereka demi berdiri di samping Ines—sekadar memastikan ibunya bersikap baik pada Ines.
Ghandi menghela napas. Ia berlari menuju pagar, menutup pagar seraya melirik ke arah rumahnya sesekali, tetapi Ines dan Ibunya tak terlihat, mereka sudah masuk bersama. Aduh, jangan sampai Ibunya membuat Ines tidak nyaman.
****
"Tahu nggak sih Nak, Ghandi tuh sering banget nyeritain kamu," ucap Rita saat mereka berjalan ke ruang tamu.
"Agak ngeri sih tapi ngomonginnya," sambungnya lagi.
Ines menatap Rita dan bertanya, "Ngeri gimana Tante?"
Bergidik, Rita menatap Ines dan menjawab, "Apa ya, lebay banget deh. Kalau nggak salah dia bilang 'Ada yang manis tapi bukan gula, ada yang indah tapi bukan pemandangan.' Semacam itulah," katanya.
Seketika Ines tergelak, "Ih, Ghandi mah kebiasaan," katanya.
Rita mengangguk setuju, "Emang suka gitu sih Nak, ke Ibunya juga kalau ngomong suka bikin orang pengen getok kepalanya," sahutnya.
Ines mengangguk setuju. Ia kira, bertemu dengan orangtua pacar akan membuatnya merasa terintimidasi dan dibombardir oleh banyaknya pertanyaan yang bisa menyudutkannya, tapi ternyata tidak. Ibunya Ghandi justru sangat welcome dengan kehadirannya—satu hal lain dari Ghandi yang sangat ia sukai.
"Ines, karena Ghandi bilang mau bawa seseorang ke rumah, tante udah masakin makanan special buat kamu. Kita makan dulu aja yuk!" ajaknya lagi.
Ines tersenyum senang, sambutan dari Ibunya Ghandi sungguh luar biasa. Ia mengiyakan ajakan Rita dan mereka sibuk mempersiapkan makanan seraya menceritakan banyak hal. Ines bahkan jadi tahu kenakalan-kenakalan Ghandi selama masa sekolah dan banyak hal lain yang membuatnya terkejut, terharu, hingga tertawa.
****
"Pernikahan impian kamu kayak gimana Nes?"
Baru juga Ines masuk ke dalam mobil, Ghandi sudah menanyakan hal yang membuatnya mengerutkan kening.
"Aku nanya loh barusan," kata Ghandi.
Ines mengerjap. Sementara Gandhi malah tertawa, merasa lucu dengan ekspresi Ines.
"Hmm, gini loh Nes, ketika Ghadati belum menikah, dia selalu bilang sama aku kalau dia tuh pengen nikah di Lembang, konsepnya rustic wedding ala-ala, lalu dia pengen bajunya di desain sama si designer favoritnya, kemudian kalau udah nikah dia pengen punya rumah di tempat yang tinggi dimana tiap pagi airnya bakal dingin banget dan dia bakal ngomel-ngomel sama suaminya kalau water heater rusak kemudian mereka berdebat masalah itu seharian. Semacam itu," jelasnya.
Ines tertawa, "Bagian berdebat tentang water heater tuh cukup aneh ya Gan," katanya.
Gandhi mengedikkan bahu, "Tahu tuh, si Gadhati mah ada-ada aja."
"Terus kalau kakak kamu—Mamanya Gina, gimana?" tanya Ines.
Ghandi bergidik, "Dia mah ngeri banget. Dia tuh bilang sama aku katanya kalau cowok bener-bener mau nikahin dia, maka dia harus mau nerima syarat-syarat yang dia kasih."
"Contohnya?"
"Si cowok harus punya rumah dulu sebelum nikah, dan rumahnya minimal punya dua kamar, ada taman di belakang. Gaji cowoknya juga harus dua kali lipat dari gajinya dia. Sewaktu resepsi harus di hotel langganannya—karena dia punya diskon member di sana—katanya kalau nikah di sana dapet benefit gede banget, lalu dengan segala tektek bengek yang bikin ribet. Tapi luar biasanya, karena itu yang selalu dia doakan setiap hari, dia bener-bener dapetin semuanya. Untung aja nikahnya sama orang yang super kaya," dumel Ghandi.
Ines tertawa kecil, "Kamu kayak lagi ngehujat kakak sendiri Gan," sahutnya.
Ghandi terkekeh, "Ada unsur emosi ya dalam ucapan aku?" tanyanya. Yang dijawab oleh Ines dengan anggukan.
Keduanya diam, namun tiba-tiba saja Ines memicing, menatap Gandhi penuh selidik, "Kok kamu tiba-tiba bahas hal begini?" katanya.
Gandhi tersenyum manis, "Yah kamu sebenernya tinggal jawab aja sih," sahutnya.
"Tapi tiba-tiba banget."
"Yah, nggak tiba-tiba juga sih karena aku mikir kayaknya kita satu tujuan," jelas Ghandi. Ines menahan senyumnya. Ia menatap Ghandi lagi dan berkata, "Kamu..."
Ines sengaja menggantungkan ucapannya hanya untuk melihat ekspresi Ghandi yang sialnya tetap terlihat tenang. Padahal dada Ines hampir meledak gara-gara perasaan membuncah tak karuan beserta dugaan-dugaan dan beberapa skenario yang muncul di kepalanya. Ya ampun. Di saat begini, Ines harus menetralkan perasaannya dan ia tidak boleh terlalu percaya diri.
"Ekhem. Abis ini mau kemana Ghan?" tanya Ines—mengalihkan pembicaraan.
Ghandi menggeleng, "Jawab dulu pertanyaan aku, pernikahan impian kamu seperti apa?" desaknya lagi.
Baiklah! Kalau begini caranya, Ines akan menjawabnya.
"Seperti Mama sama Papa, bahagia sampe tua, bahkan anak-anaknya juga bahagia. Tahu nggak sih Ghan, kata orang jadilah orangtua yang bahagia maka anaknya juga akan bahagia karena mereka dibesarkan penuh cinta."
Ghandi mengangguk, "Setuju. Dan aku sanggup kok melakukan hal itu. Sekarang aja kita bahagia kan?"
Ekspresi Ines menjelaskan bahwa ia tengah menuntut penjelasan yang lebih lanjut lagi dari Ghandi. Tapi kekasihnya itu tidak menghiraukannya. Ghandi malah bertanya lagi, "Pernikahan yang bener-bener kamu impikan, pestanya, rumahnya, kehidupannya, kayak gimana?"
Memiringkan kepalanya, Ines berpikir sejenak. Senyuman di wajahnya muncul seiring dengan apa yang dipikirkannya.
"Dulu tuh aku suka seneng lihat orang nikah dan waah banget gitu pestanya. Kayak Tasya Farasya gitu Ghan kamu tahu nggak?"
Ghandi menggeleng.
"Yah pokoknya keren banget ala-ala princess. Tapi makin kesini aku makin berpikir bahwa nggak harus kayak begitu juga sih. I mean, pesta kecil namun penuh kehangatan kan lebih oke. Dimana aku bisa ngumpul sama semua keluarga dan temen-temen, kayaknya asik banget. Hmm, kalau soal rumah... tentu lebih enak kalau punya rumah dulu sebelum nikah, ambil cicilan gitu kan nggak masalah, asal nggak tinggal sama orangtua atau mertua, biar waktu bisa dihabiskan berdua aja mau lagi seneng atau lagi sedih. Semacam itu sih. Kalau kamu gimana?"
Ghandi menggenggam tangan Ines dengan hangat dan menjawab, "Kalau aku... Aku bakalan kabulin semua yang kamu impikan selama ini. Yang barusan kamu bilang."
Mata Ines mengerjap, "Ghan, kamu—"
"Aku lagi ngajak kamu diskusi kecil, supaya aku tahu maunya kamu kayak gimana dan supaya aku bisa tahu sesanggup apa aku untuk semuanya, tapi ternyata setelah tahu... aku merasa bahwa aku sanggup melakukannya. Lagipula itu bukan hal yang besar karena keinginan aku buat hidup sama kamu lebih besar," katanya.
"So?"
"Kamu mau nggak, percayain hidup kamu sama aku?"
"Yang berarti?" tanya Ines.
Ghandi tergelak. Sebenarnya ia gugup, bahkan malu, tapi Ghandi berusaha untuk menyembunyikannya.
"Yang berarti Ibu aku udah suka sama kamu dan restuin kamu."
"Untuk?" tanya Ines.
"Ya Allah, cewek memang seneng kejelasan ya, apa-apa harus dijelasin sedetail mungkin," keluh Ghandi.
Ines tertawa dengan keras. Ia sebenarnya sudah tahu kemana arah pembicaraan Ghandi, tapi Ines sengaja menggodanya dengan membuat Ghandi memperjelasnya.
"Jadi?" desak Ines untuk kesekian kalinya.
"Jadi, kamu mau nggak pernikahan impian kamu aku yang mewujudkannya?"
"Dengan cara?"
"ASTAGFIRULLAHALADZIM," geram Ghandi.
Ines tertawa lagi. Tuhkan Ghandi gemas juga kalau sedang kesal. Rasakan! Memangnya dia saja yang bisa membuat Ines kesal hanya untuk bersenang-senang? Ines juga bisa!
"Jawab dong, kok malah Istighfar," ledek Ines.
Sekarang Ghandi sudah bisa membaca situasinya. Ia menatap Ines penuh perhitungan dan menuduhnya, "Kamu sengaja kan?"
Mengangguk, Ines menjawabnya disertai tawa kecil, "Abis kamu lucu!"
"Ya Tuhan, dibilang lucu," keluh Ghandi.
Ines meletakkan tangannya di atas tangan Ghandi yang tengah menggenggamnya dan berkata, "Aku mau. Apapun rencana kamu, aku mau Ghandi. Aku bisa mempercayakan hidup aku sama kamu, dan soal kamu mau mewujudkan apa yang aku bilang tadi... makasih banget Gagan, aku seneng banget dengernya!"
Tersenyum, Ghandi mencuri ciuman di pipi Ines dan berkata, "Mulai ganti nama kontak nggak nih? Jadi calon istri?" goda Ghandi.
Ines tertawa geli. Ia memukul Ghandi dengan gemas kemudian mereka berdua saling meledek satu sama lain. Apalagi Ines yang terus menerus meledek Ghandi dan mengatakan bahwa lamaran Ghandi adalah lamaran paling aneh yang pernah ada. Ya Tuhan. Dasar Ghandi!
TBC
ASSALAMUALAIKUM WAROHMATULLAHI WABAROKATUH.
Usia cerita ini sudah satu tahun tapi masih gini gini aja, sama persis dengan aku yang hiatus lama tapi hidupnya juga masih gini-gini aja WKWKWKWKWK
Gak deng bohong. Hidup aku sebenernya mengalami banyak peningkatan. Kemarin aku super sibuk ders. Tau gak sih aku pulang kerja, kerja lagi. Libur kerja, kerja lagi. Hidup bener-bener dipake buat kerja, kerja, kerja, kerja, tipes aja WKWKWKWK
Untungnya badan sehat, mental aja yang kena. Stress soalnya wkwkwkwkwk
Sekarang mah aku sadar bahwa ya nggak usahlah melakukan hal diluar batas, toh sekarang kerja tambahan dapet uang 200rb eh buat hiburannya 500rb. YA NOMBOK WKWKWKWK
Btw aku bingung mau bilang apa karena udah lama banget juga gak nongol. Aku Cuma mau ucapkan terima kasih karena kalian masih setia menunggu cerita aku, masih ada orang yang selalu komen semangat tanpa ngejudge sama sekali. Bener-bener Cuma 'semangat ya kak, semoga cepet beres urusannya dan cepet bisa nulis lagi' ANGET BANGET KE HATI.
Oke segitu dulu dan ini menandakan kembalinya aku ke dunia orange yah.
Makasih semua.
AKU SAYANG KALIAN :*
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro