Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

1.5 - Dirga

Dirga terpaksa membuka kelopak mata ketika mendengar namanya dipanggil. Dia sedang berbaring di atas matras pasca berakhirnya sesi latihan karate. Keringat di tubuhnya sudah mulai mengering, tapi dia masih ingin mengistirahatkan diri sambil mencuri waktu tidur. Sayangnya, panggilan tadi berhasil mengusik keasyikannya dalam beristirahat.

"Apa?"

Suara datar dan terkesan dingin yang disuarakan Dirga membuat gadis yang berdiri di sampingnya mengerjap kaget. Gadis itu langsung menyadari penolakan Dirga atas kehadirannya saat ini.

"Em, Dirga, sorry, cuma mau tanya," ucap si gadis dengan nada takut bercampur malu-malu.

Dirga yang tidak mau bersusah payah bangkit dari posisi berbaring, menatap si gadis dengan tatapan sangat terganggu yang malah terlihat dingin di mata sang gadis. Gadis itu jadi semakin gugup untuk lanjut bicara.

"Apaan?" tanya Dirga lagi. Dia merasa kalau gadis itu telah membuang waktunya karena tidak langsung berbicara.

"Iya, ini...." Si gadis tampak saling meremas kedua susunan jemarinya. "Party ultahnya Bella entar malam, lo datang nggak, Dir?"

Kali ini Dirga mengernyit. "Urusannya sama lo apa kalau gue datang atau enggak?"

"Eh, enggak, sih," sahut si gadis, makin gugup dan gelagapan. "Gue nggak begitu kenal sama teman sekelas Bella, kecuali lo. Jadi kalau misal lo datang, gue mungkin mikir datang juga. Biar ada temannya di sana." Matanya menatap malu-malu sebentar ke arah mata Dirga yang masih saja berbaring di bawahnya.

Dirga memiringkan sedikit kepala, terus mengamati gadis yang dari tadi selalu menghindari tatapan matanya. "Emang kita teman?"

Sialan! Si gadis mengumpat dalam hati. Dirga memang paling bisa menjadi berengsek di hadapan para gadis. Untung saja dia mendatangi cowok itu sendirian, jadi paling tidak dia tidak akan menerima ejekan karena pertanyaan kejam dari Dirga barusan.

"Kita kan teman seklub," sanggah si gadis dengan suara semakin pelan. Kepalanya menunduk dan tampak mulai ingin menangis.

Sungguh sial nasib gadis tanpa dosa sepertinya karena harus kepincut Dirga yang super galak dan tidak peka. Namun, mau bagaimana lagi. Di matanya dan kebanyakan gadis naif lainnya, Dirga adalah sosok super good looking dengan segudang prestasi.

Gadis normal mana yang tidak akan kembali berpaling menatap Dirga saat pertama kali bertemu? Fisik dan visual Dirga adalah apa yang disebut para gadis sebagai boyfriend material. Apalagi kalau mengetahui bagaimana kerennya cowok itu saat menumbangkan semua lawannya di arena lomba ataupun latihan karate.

Si gadis yang satu klub karate dengan Dirga dan harus selalu bertemu dalam satu ruangan selama beberapa kali di setiap minggunya, sulit sekali untuk tidak terpesona dan mendambakan Dirga walau sekejam apa pun cowok itu bersikap kepada semua gadis di sekitarnya.

Dirga yang dari tadi memperhatikan wajah si gadis, tampak menyadari kalau sepertinya lagi-lagi sikap jujurnya diartikan sebagai kegalakan oleh para gadis. Padahal dia tidak merasa bersikap seperti itu. Namun, para gadis dan semua sikap drama mereka selalu menyulitkan dan menyalahkan Dirga.

Dirga yang kesal dengan situasi saat ini, mendengkus kasar sambil bangkit untuk berdiri dan berhadapan dengan si gadis.

"Iya, benar. Kita teman. Teman seklub doang, tapinya. Sorry, gue lupa," ujarnya asal, tidak ambil pusing dengan sahutannya sendiri. "Masalah acaranya si Bella, gue nggak ngurus. Jadi jangan berharap gue ada di sana. Lagian, kalau kita ketemu di sana, emang lo mau gabung sama gue dan teman-teman gue?"

Nada suara Dirga menyiratkan ragu dan sangsi. Baginya, tidak mungkin para gadis mau bergabung dengannya dan teman-temannya yang super absurd itu.

Tanpa menunggu respons si gadis, Dirga pergi melangkah menuju pintu keluar ruang latihan. Keberadaan Barra yang juga ingin keluar ruangan membuatnya langsung melupakan keberadaan si gadis yang entah bagaimana nasibnya pasca ditinggalkan olehnya begitu saja.

Barra yang sempat melihat Dirga diajak bicara seorang gadis, tersenyum tipis karena dapat menebak situasinya.

"Korban baru lagi? Mau nangis, tuh, kayaknya," ucap Barra, mengiringi langkah Dirga untuk menuju tempat berganti pakaian.

"Korban apaan?! Emang gue pelaku kriminal?!" Dirga menyahut dengan nada sewot. Tidak merasa salah.

"Memang. Kriminal yang suka bikin cewek patah hati sebelum berjuang."

"Asu! Mana ada gue begitu! Itu cewek-cewek aja yang nggak jelas, sok akrab suka ngajak ngomong padahal nggak kenal. Namanya aja gue nggak tau. Ngapain juga gue ladenin. "

Barra menggelengkan kepala, menatap miris kepada Dirga yang mendahuluinya memasuki ruang ganti. Kadang Barra meragukan apakah Dirga benar-benar sudah pernah mengalami mimpi basah atau tidak. Heran saja dia kenapa temannya itu sama sekali tidak pernah tertarik meladeni lawan jenis yang jelas-jelas menyukainya.

Barra tidak percaya kalau Dirga menyukai sesama jenis. Cowok itu normal. Terbukti saat mereka iseng nobar film haram dengan objek utama wanita tulen, Dirga adalah salah satu yang paling cepat bereaksi akibat tontotan tersebut.

Namun, yah, begitulah. Seperti ada yang salah pada diri Dirga hingga sama sekali tidak peduli dengan hal romansa yang ditawarkan banyak gadis kepadanya sejak dulu.

***

"Dir, entar malam temenin gue, ya."

Dirga yang sedang menyantap nasi goreng di salah satu meja kantin, menatap sekilas dengan sorot malas kepada Andini yang tiba-tiba duduk di depannya. Lebih tepatnya, gadis itu menggeser Rafka dengan ganasnya hingga cowok itu mengumpat jengkel karena terpaksa mengalah dan berpindah duduk.

"Males. Barra aja." Dirga kembali fokus pada nasi gorengnya.

"Karena Barra nggak bisa, makanya gue ngajak lo."

"Rafka nganggur," sahut Dirga lagi.

"Sinting kali kalo gue ngajakin anak mami. Mana ada yang percaya gue naksir cowok model begini." Andini melirik sekilas ke sampingnya, di mana Rafka baru saja tersedak dan memelotot kepadanya.

"Sialan banget mulut, nih, cewek!" umpat Rafka, tersinggung dengan ejekan Andini. Sayangnya, lagi-lagi dia harus menahan diri karena tahu bahwa tidak boleh main fisik dengan seorang gadis, seberengsek apa pun si cewek. Contohnya si Andini ini.

"Memangnya kenapa sama gue? Muka cakep mulus begini malah harusnya bisa lo banggain." Rafka masih menatap kesal kepada Andini.

"Karena muka lo terlalu mulus kayak pantat bayi, makanya gue ogah ngajak lo. Entar kalo gue balikin dengan muka lecet, nyokap lo ngamukin gue. Belum lagi mulut lo yang doyan nyerocos mulu. Pusing gue," sahut Andini dengan gaya bicara tenang dan anggun meski apa yang sedari tadi keluar dari mulutnya adalah racun untuk Rafka.

"Bener-bener, dah, nih, cewek! Heran gue kenapa lo gampang banget gonta-ganti cowok. Kemakan apa mereka sampai bisa naksir sama lo yang mulutnya begini?!" tanya Rafka, terlihat geram sekaligus takjub dengan ke-savage-an temannya sejak SMP tersebut.

"Karena mulutnya begini, makanya dia gonta-ganti mulu. Mana ada yang tahan sama dia." Barra yang baru datang dengan dua gelas jus buah naga, duduk anteng di samping Dirga.

Bukannya tersinggung, Andini malah tampak tidak ambil pusing dengan sindiran dari mantan teman-teman satu klub karatenya saat SMP. "Ada, kok, yang tahan lama bareng gue," ucapnya dengan senyum percaya diri sambil menerima sodoran gelas berisi jus buah naga dari Barra.

"Siapa?" tantang Rafka, yakin kalau Andini hanya membual.

"Lo, lo, dan lo," jawab Andini, menunjuk satu per satu ke arah ketiga cowok yang duduk di dekatnya.

Dirga, Barra, dan Rafka yang tersadar dengan keberadaan mereka yang selama ini memang berhasil betah berada di sekitar Andini, sempat tercengang dengan fakta tersebut. Sebelum akhirnya mendengkus dan memilih mengabaikan tawa kecil Andini yang sedang meledek mereka.

Karate adalah satu hal yang menyebabkan mereka semua bisa akrab hingga saat ini, minus Feby. Saat memasuki SMA, hanya Dirga dan Barra yang terus melanjutkan kegiatan klub karate yang mereka tekuni sejak SMP. Sedangkan Andini dan Rafka memilih berhenti karena merasa memiliki kegiatan lain yang jauh lebih menarik bagi mereka. Andini sibuk pacaran. Rafka sibuk mendalami ilmu pertemanan dengan para gadis yang mau mendekati dan didekati olehnya.

Andini adalah sedikit gadis yang mampu bertahan bergaul dengan Dirga. Dirga pun tidak merasa risi berteman dengan Andini. Mungkin karena gadis itu tidak pernah bersikap atau menatapnya seperti para gadis lain. Atau lebih tepatnya, Andini memang tidak pernah menganggap Dirga dan teman-temannya sebagai cowok yang patut diperhitungkan sebagai gebetan.

Bagi Andini, mereka hanya bocah-bocah yang menyenangkan untuk diajak berteman atau diperbudak. Sedangkan bagi Feby, yah, gadis itu terlalu polos untuk bisa mengagumi ketiga cowok itu selain sebagai teman bermain. Feby bahkan hampir tidak pernah mau bicara dengan Dirga saking takutnya kena imbas kegalakan cowok itu, kecuali dalam kondisi genting.

"Sekarang kenapa lagi?"

Barra bertanya kenapa Andini lagi-lagi meminta salah satu dari mereka untuk menemaninya memutuskan sang pacar.

"Dia ngajak ML, gue nggak mau," ujar Andini sambil meminum jus buah naga miliknya.

"Mau lo putusin karena dia maksa?" Barra mulai serius menanggapi problem percintaan Andini kali ini. Gadis itu kadang memang nekat memacari cowok yang bisa saja membahayakan dirinya. Sebagai teman baik, sering kali Barra dibuat khawatir karenanya.

"Awalnya enggak, dia janji mau ngerti. Tapi lama-kelamaan ngebujuk terus. Males banget gue sama yang horny-an begitu."

"Ya, lo-nya bego. Kebanyakan cowok umur segitu, ya, pasti mikirnya ke situ. Apalagi lo suka mancing-macing. Apaan, nih, rok dipendekin terus diketat-ketatin sampai susah jalan begitu? Baju juga dikecilin kek punya anak SD. Gimana cowok lo nggak horny kalau tiap hari disamperin pakai baju beginian? Belum lagi outfit lo pas jalan di luaran. Halah, kayak udah umur berapaan aja, padahal masih bocah."

Cerocosan Rafka membuat Andini melirik kesal ke arah Rafka. "Semua gebetan lo bahkan lebih parah dari gue dan lo suka mereka," balasnya.

"Karena gue cowok normal, makanya gue suka. Tapi record gue masih bersih dan suci. Cowok-cowok lo mah udah pasti pernah nyicip, makanya pengin terus, apalagi kalau dipancing-pancing."

"Udah, deh, kok jadi kemana-mana bahasannya?" tegas Barra, menengahi perdebatan Rafka dan Andini yang memang sering terjadi walau kenyataannya mereka adalah yang paling kompak kalau sedang hang out bersama.

"Gue entar malam ada acara keluarga, wajib ikut. Lo temanin Andin bentar, ya, Dir," pinta Barra kepada Dirga yang sedari tadi diam saja demi fokus menghabiskan nasi gorengnya.

"Ck! Kenapa nggak diputusin dengan cara normal aja, sih? Suka banget ngerepotin teman," gerutu Dirga, terang-terangan enggan membantu Andini.

"Kayak biasa, mana mau mereka gue putusin gitu aja," sahut Andini dengan senyum kecil di bibirnya, kembali memancing kejengkelan Rafka. "Lagian, gelagatnya si Rian nggak enak banget pas terakhir kali gue minta putus. Gue perlu bodyguard, dong."

"Lo lebih dari bisa ngebanting dia kalau lo mau," ujar Dirga, mengingatkan kemampuan Andini yang sangat ganas kalau sudah menunjukkan kemampuan bela dirinya.

"Males, ah. Cewek cantik nggak berantem. Gue baru nyalon, nih. Kuku juga baru dipasang. Lagian, apa gunanya lo latihan tiap minggu kalau nggak bisa buat bantu gue di saat begini?"

"Astagfirullah..."

Barra tertawa geli mendengar Rafka beristighfar akibat mendengar alasan Andini yang diucapkan gadis itu dengan segala sikap anggun dan raut tenangnya, sangat kontradiktif dengan kalimat jenis apa yang keluar dari mulut gadis itu.

"Oke, deh. Gue mau ke Feby dulu. Entar malam gue jemput, ya, Dir. Awas kalau lo kabur. Mbak Dara bakal gue titipan pesan buat jagain lo di rumah sampai gue datang."

"Rese lo, Din!" umpat Dirga, mulai jengkel. Gadis itu bahkan pergi begitu saja tanpa mau mendengar penolakan darinya.

"Masih lo pengin tanya kenapa gue malas banget berurusan sama cewek? Lihat tuh teman sekelas lo! Semua cewek sama! Bikin susah! Ngerepotin! Banyak maunya! Sok ngebos! Penjajah!” keluh Dirga panjang lebar, menyuarakan kekesalannya karena harus direpotkan Andini untuk kesekian kalinya.

Barra kembali tertawa. Ingin menyangkal apa yang dikeluhkan Dirga, tapi tahu hal tersebut hanya akan membuat temannya semakin kesal. "Ya, udah. Lo tolak aja. Kalau berani, tapinya," lanjut Barra dengan nada mengejek di ujung kalimatnya.

"Bangke, lo! Nggak dengar tadi dia nyebut kakak gue?! Terancam nggak aman hidup gue kalau sampai tuh medusa ngamuk gegara anak buahnya nggak diturutin apa maunya."

Kali ini tidak hanya Barra yang tertawa. Rafka yang langsung teringat dengan para wanita di keluarga Dirga, malah terbahak karena telanjur membayangkan sengeri apa keseharian Dirga karena harus hidup di tengah para wanita luar biasa yang agak berbeda dari para wanita kebanyakan.

"Gara-gara lo, nih, Raf, iseng banget ngajakain Andini ke rumah gue. Penyesalan terbesar gue adalah pernah ngenalin tuh cewek ke kakak-kakak gue. Bencana banget!" Dirga lanjut menenggak habis es teh miliknya, berusaha meredam kekesalan.

"Sorry, Bro," sahut Rafka tanpa benar-benar merasa bersalah.

"Sialan lo berdua!" gumam Dirga, bangkit berdiri meninggalkan kedua temannya yang terus menertawakan dirinya.

***

"Kok bisa, sih, lo pacaran sama banci begitu?"

Dirga bersandar nyaman di sandaran kursi penumpang sembari mengurut pelan punggung jemarinya yang tadi digunakan untuk menghantam wajah dan perut mantan pacar Andini.

Andini tertawa kecil. "Don't judge by the cover."

Dirga mendengkus, mengejek. "Persis lo banget, tuh. Sampul nggak sesuai sama dalamnya."

"Sialan, lo!" desis Andini. Sebelah tangannya yang tadi memegang setir mobil, memukul keras lengan Dirga hingga cowok itu refleks mengaduh.

Saat Andini menyampaikan keinginannya untuk benar-benar mengakhiri hubungan, Rian yang terlihat memiliki pembawaan dewasa dan tenang malah tiba-tiba bersikap kasar, lalu berusaha memaksa menyentuh Andini, bahkan menyeret gadis itu untuk diajak memasuki mobil.

Dirga yang tadinya hanya menunggu di dalam mobil Andini dan mengamati dari jauh, terpaksa turun tangan karena melihat Andini yang tampak benar-benar enggan bertindak dengan berlagak sok lemah. Playing victim. Benar-benar gadis manipulatif.

"Punya fetish apa, sih, lo jadi doyan sama cowok yang lebih tua? Nggak masalah kalau dapatnya yang beneran serius, tapi ini buntutnya ketemu yang nggak beres mulu."

"Bukan fetish. Malas gue ngejelasinnya, lo nggak bakal ngerti juga," sahut Andini sambil fokus menyetir.

Dirga juga tidak ambil pusing. Dia tidak lagi bertanya. Dia memilih meminum air mineral botolan sambil mulai asyik membaca isi grup kelas di mana Rafka sedang berbalas pantun menggelikan bersama beberapa teman sekelas yang satu frekeunsi dengan cowok itu.

"Gia? Anna atau Gianna? Siapa, sih, nama calon tunangan lo? Agak lupa gue kemarin pas Mbak Dara cerita."

Spontan. Dirga yang sedang minum, langsung tersedak dan menyemburkan air di mulutnya bahkan ketika Andini belum selesai bertanya.

"Ih, jorok, Dirga! Kotor dashboard gue. Bersihin!" Andini mendelik kesal melihat Dirga yang masih terbatuk akibat tersedak.

"Tanya apa lo tadi? Sialan lo, Din! Jangan sebut-sebut nama tuh cewek!" sergah Dirga, tampak sangat gusar sekaligus ngeri.

Andini tertawa kecil, kalem. Meski begitu, mata gadis itu mengerling jail dan licik. "Kenapa, sih? Emang benar, kan? Katanya, lo udah punya calon tunangan. Wah, Dirga, gue berasa lagi baca novel zaman kapan gitu, kalau ada yang dijodoh-jodohin begini."

"Diam nggak, lo?!" desis Dirga. Sial! Dia benar-benar jengkel sekarang.

Andini kembali tertawa pelan. Dia mengangkat sebelah tangan, tanda akan menuruti permintaan Dirga untuk diam.

"Itu hoax, ya. Nggak bener! Awas lo kalau cerita ini ke anak-anak. Nggak bakal gue mau kenal lo lagi kalau mereka sampai tahu, apalagi si Rafka," ancam Dirga, menatap galak ke arah Andini.

Andini berlagak mengunci mulutnya meski sambil menahan tawa. Sama sekali tidak takut dengan ancaman Dirga.

"Ngapain kakak gue cerita beginian ke lo, sih? Yang adiknya itu gue atau lo? Dasar pengkhianat!" omel Dirga sembari membersihkan dashboard mobil Andini yang terkena air dari mulutnya menggunakan tisu.

Andini masih menutup mulutnya. Dirga banyak membantunya malam ini. Dia akan berhenti sejenak membuat cowok itu semakin kesal. Kejailannya bisa dilanjutkan lain kali.

[05.11.2021]

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro