Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

1.3 - Barra

Barra sudah ingin kembali melajukan mobil, tapi karena spontan peka atas kondisi Reifan yang masih betah memperhatikan Feby, Barra terpaksa menunggu.

Ketika Feby sudah menghilang di balik pintu rumah, baru Barra menjalankan mobil menuju rumahnya yang berjarak dua rumah dari rumah Feby. "Jadi mampir, Bang?" tanyanya, sudah mulai memasuki halaman rumah.

"Nggak. Tiba-tiba ada urgent di rumah. Lo aja yang datengin gue entar malam," jawab Reifan, sibuk dengan ponselnya.

Yah, malah gue yang repot. Hanya dalam hati Barra mengeluh. "Penting banget yang mau diomongin?"

"Pentinglah!" ujar Reifan, menatap tajam kepada Barra di sampingnya. "Entar gue kabarin kumpul di mana. Awas kalo lo berani nggak datang," lanjutnya, langsung keluar mobil tanpa merasa perlu berpamitan.

Barra mendesah kasar. Memperhatikan kepergian Reifan dari spion atas. "Lama-lama gue sinting ngehadapin orang lagi jatuh cinta. Perasaan gue nggak gitu-gitu amat."

Beberapa detik setelah bergumam kalimat tersebut, Barra langsung terdiam. Tampak kaget dengan ucapannya sendiri. "Nggak, gue nggak," sanggahnya, menolak fakta tersebut. Perkara yang telah membuatnya sering mengkhayal beberapa waktu belakangan.

"Kenapa kamu geleng-geleng gitu? Sakit kepala?"

Pertanyaan mamanya yang sedang duduk di depan meja makan, menyadarkan Barra dari keasyikannya menyangkal diri.

"Eh, nggak, Ma," sahut Barra, langsung canggung seperti tertangkap basah melakukan sesuatu yang terlarang.

Seorang ibu yang mengenal seluk-beluk anaknya sendiri, tentu saja tidak percaya. Apalagi ABG seperti bungsunya itu. Sudah pasti sangat mencurigakan. Mama Barra menyipitkan mata. "Sekolah aman, kan?"

Barra mengernyit, heran dengan arah pembicaraan mamanya tapi tetap menjawab jujur. "Aman. Kok Mama gitu nanyanya?" balas Barra, tidak terima ketika sadar telah dicurigai.

"Nggak pa-pa," ujar mamanya, sudah tampak santai dan cuek. Gestur dan jawaban Barra barusan menunjukkan bahwa kondisi masih aman. Mungkin anak itu sedang pusing saja dengan tugas-tugas sekolahnya. "Buruan mandi, terus makan. Mama bikin sup daging kesukaan kamu," ujarnya, kembali melanjutkan menonton video memasak di youtube.

Mendengar sup daging, Barra langsung melupakan semua sanggahan hatinya. Bergerak cepat, dia segera menaiki tangga menuju kamarnya.

***

Barra menaikkan alisnya akibat heran. Personel lengkap. Semua teman dekat Reifan dan juga teman-temannya berkumpul di pojokan outdoor dari kafe yang dia datangi, basecamp yang sudah seperti tempat reguler untuk Reifan berkumpul dengan teman-temannya. Rafka bahkan tampak menyengir sangat menyebalkan sambil melambai kepadanya.

"Bentar," ucap Barra sambil kembali ke pintu yang menghubungkan bagian dalam dan luar kafe. Matanya mencari keberadaan pemilik kafe yang sudah akrab dengan mereka semua. Tampak pria berusia tiga puluhan tersebut juga sedang asyik berkumpul dengan kawan-kawannya di salah satu sudut kafe. Barra mendekatinya.

"Bang Alex," panggilnya, membuat para pria dewasa itu menatapnya. "Sori, tiba-tiba ganggu. Cuma mau nitip pesen. Gue kayaknya mau disidang. Entar kalo misal suara gue nggak muncul-muncul lagi, siap-siap panggil keamanan, ya,"

Beberapa teman Alex mengernyit heran, tapi Alex hanya mengacungkan salah satu jempol tangan dengan tampang santai. "Bilangin Reifan, kalo ada properti gue yang rusak, harus diganti dua kali lipat."

"Sip, aman!" sahut Barra, berpamitan dan kembali ke kafe bagian luar untuk mendatangi teman-temannya.

"Ngapain lo datengin Bang Alex?" selidik Reifan, sekilas menatap bagian dalam kafe yang hanya dibatasi kaca tembus pandang.

"Minta dia siapin keamanan, kali-kali aja entar lo khilaf newasin gue," ucap Barra sambil menendang kaki Rafka agar sedikit bergeser dan memberinya tempat duduk di salah satu sofa panjang di sana.

"Ck! Lo pikir gue mau ngapain lo?" seru Reifan, tidak mau mengakui niat hatinya yang terdalam.

Barra tidak menyahut. Dia mulai sibuk memakan kentang goreng di atas meja yang entah milik siapa. "Jadi? Gue mau diapain, pake ngumpul semua begini?" tanyanya langsung.

Reifan menegakkan posisi duduknya yang tadi masih bersandar di punggung sofa. "Langsung aja. Gue mau lo jauhin Feby. Nggak usah sok nganter-jemput dia lagi. Biar gue aja."

"Emang dia mau diantar-jemput lo?" tanya Barra, bertanya dengan nada yang terkesan mengejek, meski sebenarnya dia benar-benar sangat heran dan penasaran.

"Urusan gue. Lo nggak usah ikut pusing mikirnya dia mau atau enggak," jawab Reifan, menatap tajam Barra yang duduk pada posisi empat puluh lima derajat darinya.

Barra mengangguk sambil tersenyum paham. "Ya, udah. Gue sih nggak masalah. Cuma, yah, kan bokapnya baru ngasih izinkan ke gue doang buat dekat sama anaknya. Dirga sama Rafka yang dari lama dia kenal aja, nggak pernah dilirik, apalagi dikasih izin."

"Tul!" sahut Rafka, sibuk mengunyah kebab miliknya. Dia tampak tidak berpihak kepada siapa pun. Reifan kakaknya. Barra teman dekatnya. Keduanya penting. Biar mereka saja yang pusing. Dia hanya sebagai penggembira.

"Diem aja, lo," desis Reifan, masih kesal kepada adiknya yang sangat payah diamanahkan menjadi comblang untuknya dan Feby. Malah Feby jadi semakin akrab dengan Rafka, bukan dengan dirinya.

Rafka mengangkat bahu cuek, kembali melanjutkan makannya. Bersama Dirga, dia mulai sibuk membicarakan episode terbaru One Piece.

"Bang, gue sepupuan sama Feby. Ngapain lo khawatir, sih? Dia udah kayak adek gue sendiri. Kayak berasa incest aja kalo gue ada rasa sama dia," terang Barra dengan nada sabar, mencoba memahamkan Reifan.

"Entar lo cek sendiri sama ustad kompleks lo, kalau belum tahu. Sepupuan boleh nikah, Bro." Dirga yang tadi tampak tidak peduli tentang bahasan Reifan dan Barra, tiba-tiba berbicara sambil terus memperhatikan layar ponsel.

"Hah?! Serius, lo?!" Barra langsung kaget mendengar ilmu baru dari Dirga. Dia cenderung percaya, tentu saja. Dirga bukan Rafka yang pandai bersilat lidah. Temannya itu selalu berterus terang dan jujur, sesuai fakta.

"Kenapa lo jadi seneng?!" sergah Reifan, dapat melihat raut kaget tapi tercerahkan dari wajah Barra yang sedari tadi tampak santai. "Bener, kan?! Lo ada hati sama Feby. Pas tahu sepupuan boleh bareng, lo langsung seneng aja!"

"Kok gitu?! Enggak!" tolak Barra, jujur. "Sumpah, Bang. Feby beneran kayak adek sendiri buat gue. Dia juga gitu ke gue, nggak ada gelagat macam-macam."

"Bohong lo! Gue ada bukti dari sumber terpercaya," desis Reifan, gatal sekali ingin menarik kerah baju Barra, tapi ditahannya karena belum kuat alasan untuk melakukannya. Kalaupun dia harus membuat onar di kafe Alex, harus dengan basic yang benar-benar kuat. Karena kalau salah-salah, bisa dia yang kena hajar balik oleh sang pemilik kafe.

"Hah, apaan?!" Barra bingung. Bukti apa yang menunjukkan dia menyukai Feby seperti yang dimaksudkan Reifan.

Reifan tidak menjawab. Dia malah menatap Rafka dan Dirga yang tampak sudah kembali asyik berbincang. Reifan berdecak, dia melirik Dewa untuk mengambil alih.

Dewa yang sedari tadi asyik mengisap vape sambil mendengar pembicaraan tidak penting Reifan dan Barra, langsung mengambil satu kentang goreng di atas piring, lalu melemparnya ke arah Dirga yang langsung mendongak kesal sambil mencari pelakunya.

"Apaan?" tanyanya malas kepada Dewa, kakak sepupunya yang kadang luar biasa menyebalkan untuk dihadapi.

"Bukti si Barra suka Feby," sahut Dewa sambil kembali mengisap vape-nya.

"Hah, kapan gue ada ngomong begitu?" Dirga menatap heran.

Reifan, Dewa, dan dua temannya yang lain langsung menatap Rafka. Tak lama, Dirga paham dan ikut menatap Rafka dengan sorot malas bercampur kesal.

"Ngomong apa lo?" tuduh Dirga, mulai serius ikut perbincangan.

Rafka sadar situasi, tapi wajahnya seakan ikut bingung. "Lah, gue cuma bilang, kita kan pernah dengar Barra ngigau sambil nyebut-nyebut kata sepupu dan nggak boleh suka, atau apalah kemarin itu."

"Kapan gue bilang gitu?!" Barra berseru sambil tiba-tiba bangkit berdiri. Menatap penuh horor kepada Rafka.

"Kenapa lo jadi heboh banget, sih?" tanya Sultan, teman Reifan yang langsung curiga dengan respons berlebihan Barra.

"Eh, enggak." Barra langsung tersadar dan kembali duduk dengan canggung, mencoba mengendalikan diri.

Semua orang menatapnya dengan kening mengernyit heran. Reifan bahkan langsung bertambah kesal saat berpikir tebakannya tadi memang benar kalau Barra juga menyukai Feby.

"Lo jangan rese dong, Raf. Kapan gue ngigau begitu?" tuntut Barra, mengalihkan perhatian semua orang agar fokus ke Rafka si pembaca info sialan tersebut.

"Waktu kita nginap di rumahnya Dirga kapan hari itu, yang mabar MOBA sama Bang Dewa juga. Lo kan ngorok duluan tuh di ruang tamu. Eh, tiba-tiba ngigau nyebut-nyebut nggak boleh suka sama sepupu sendiri, gitu. Dirga saksinya, tuh. Dia juga denger," kilah Rafka, tidak mau disalahkan sendirian.

"Tapi gue nggak ember kayak lo." Dirga balas melempar Rafka dengan kentang yang tadi dilempar Dewa kepadanya.

"Lah, gue kan jujur. Ditanya Bang Rei tentang Barra sama Feby, ya gue ceritain aja apa yang gue tahu," ujar Rafka, semakin pandai berkilah.

"Emang gue ada bilang sukanya sama Feby?" tuntut Barra, memfokuskan rasa kesalnya kepada Rafka. "Orang ngigau malah lo percaya."

"Biasanya orang ngigau itu, malah ngomong yang sebenarnya," celetuk Argia, sosok yang terkenal paling normal di antara Reifan dan kawan-kawannya. "Kayak membayangkan lagi apa yang sudah kejadian waktu masih melek."

"Nah, itu! Bener, tuh!" ujar Reifan, semakin panas mendengar kesimpulan Argia. "Lagian kalo bukan Feby, emang siapa sepupu yang lo suka? Sedangkan kata Rafka, sepupu lo yang seumuran dan deket sama lo, cuma Feby."

"Ada sih adeknya si Feby. Masih bocah, tapinya. Nggak mungkin juga," celetuk Rafka, tiba-tiba teringat adik perempuan Feby yang terakhir kali ditemuinya masih berseragam putih-merah.

"Iya, nggak mungkin. Udah pasti Feby." Argia membenarkan analisis Rafka, tapi matanya tidak lepas memperhatikan raut wajah dan gestur Barra.

Sejauh Argia bisa mengenal cowok itu, Barra adalah sosok yang tenang dan lebih normal dibanding Rafka dan Dirga, seperti dia di antara teman-temannya. Namun kali ini, adik kelasnya itu tampak seperti shock sendiri atas segala bahasan yang dilontarkan kepadanya.

Padahal kalau memang tidak benar, harusnya santai saja seperti awal tadi dia menghadapi tuntutan Reifan. Namun, ketika topik igauan dan nama para sepupunya diangkat, Barra langsung tampak aneh dan mencurigakan.

"Jangan bilang kalo Naura orangnya?"

Pertanyaan Dirga yang tiba-tiba, membuat semua orang menatapnya heran. Hanya Rafka dan Barra yang mengenal siapa Naura, sedangkan yang lain tidak tahu-menahu.

"Siapa?" tanya Reifan langsung, penasaran dan sedikit senang ketika muncul nama lain selain Feby.

Argia menangkap kalau Dirga sepertinya sama sepertinya, mampu membaca keanehan Barra. Terutama bagian sepupu lain Barra selain Feby.

"Adeknya Feby, Naura," jawab Rafka, mulai menatap Barra dengan tatapan curiga.

"Kok Naura, sih? Apaan lo bawa-bawa dia?!" Barra memalingkan wajah dari para pendengar. Dia menatap sebentar kepada Dirga, lalu menyambar kaleng sofdrink di atas meja yang masih baru, entah milik siapa.

"Kok lo gugup? Gue kan cuma ngasal aja nanyanya," kilah Dirga tanpa ampun, tapi tetap tidak melepaskan matanya dari Barra yang tampak semakin aneh dengan kecanggungan dan wajah serba-salah, sangat bukan cowok itu.

"Nggak! Siapa yang gugup?! Rese lo semua," gumamnya, tidak mau menatap semua orang yang masih fokus kepadanya.

"Anjay! Pedofil incest! Sakit lo, Bro!" seru Rafka, menyuarakan kesimpulan yang bisa ditariknya setelah sekian waktu ikut memperhatikan gelagat Barra.

"Bangsat! Bilang apa lo tadi?!" Barra refleks berpaling ke arah Rafka di sampingnya untuk menarik keras kaos cowok itu dengan tatapan marah dan shock sendiri mendengar tuduhan tersebut.

"Woi! Woi! Santai!" Sultan yang duduk paling dekat dengan keduanya, lebih dulu bangkit berdiri untuk menarik Rafka dari jangkauan Barra.

Raifan tidak bersuara, tapi dia ikut bangkit untuk menahan Barra agar tetap di tempatnya. Situasi berubah. Mulut sialan adiknya membuat ego Barra terusik.

"Tenang. Kalo nggak bener, lo nggak perlu lepas kendali gini," tegur Reifan dengan suara tegasnya. Barra yang tadi sempat emosi, langsung segan mendengarnya. Di antara semua orang yang ada di sana, tetap Reifan sosok yang paling superior dan berbahaya. Ketenangan atau ketololan Reifan dalam bersikap, sama-sama bisa menjadi ancaman.

"Adek lo kelewatan!" ujar Barra, sudah tampak tenang dan menepis tangan Reifan, lalu kembali duduk dan menghindari tatapan semua orang.

Rafka yang juga kaget atas tindakan spontan Barra, butuh waktu untuk menyadari kesalahannya. "Sori, Bar. Gue nggak bermaksud ngatain lo. Refleks aja tadi," ucapnya, benar-benar merasa bersalah. "Khilaf gue. Maaf ya, Bro," ulangnya lagi, sepenuh hati.

Barra enggan menatap Rafka. "Lupain," gumamnya, lalu kembali meminum minuman kaleng yang tadi baru sedikit dia cicipi.

Sejenak, semua tampak menahan diri untuk bicara. Reifan tidak beralih dari sisi Barra, berjaga-jaga saja. Sedangkan Dirga, masih melanjutkan pengamatannya.

Dirga kenal Barra tidak sebentar. Sejak kelas tujuh SMP mereka sudah akrab. Rasa-rasanya jarang sekali cowok itu lepas kendali seperti tadi. Pastinya emosi yang ditunjukkannya adalah sesuatu yang sangat menyinggung, atau bahasa lain, sebuah kebenaran yang harusnya tidak boleh dibicarakan.

"Aman, boys?"

Suara bariton dari sosok dewasa yang berdiri di pintu penghubung kafe, membuat anak-anak itu menatap kepadanya. Tidak ada yang menyahut.

"Gue kira lo yang bakal kicep, Bar. Ternyata lo yang action duluan," sindir Alex, meski dengan nada santai. Pria sang pemilik kafe itu langsung memantau keributan kecil yang dibuat para bocah-bocah pelanggannya tersebut. Dari dalam kafe, dia sempat melihat aksi Barra. Hanya ingin memastikan agar semua tetap aman, dia terpaksa inspeksi langsung ke TKP.

"Becanda, doang, Bang. Biasa, Rafka rese ngatain temennya," sahut Reifan, mengambil alih.

Alex mengangguk-angguk santai, menatap ke seluruh anak remaja di sana, sebelum berhenti lama di Reifan. "Lo bosnya, kan. Lo yang harus tanggung jawab, kalo becandanya sampai bikin pelanggan gue keganggu."

"Siap, Bang," tegas Reifan, menatap balik Alex tanpa gentar. Alex tersenyum tipis, lalu berlalu meninggalkan mereka.

Tanpa sadar, mereka semua langsung membuang napas lega. Tak lama, mereka mulai terkekeh dan tertawa kecil menyadari ketegangan sekaligus sikap berlebihan mereka beberapa waktu lalu. Terutama Barra yang baru sadar sudah bersikap overreact kepada Rafka.

"Sori, Bro. Lo bangsat, sih. Untung nggak keburu gue tonjok muka lo," ucap Barra, sudah kembali tenang dan bersahabat.

"Ya, maaf, deh," sahut Rafka, masih terdengar merasa bersalah tapi juga sudah santai seperti biasanya. "Gue biasanya kan paling nggak ngerti ginian," ujarnya, memaksudkan masalah romansa. "Tapi gue langsung kepikiran begitu. Dirga juga pasti gitu juga mikirnya. Cuma gue apes aja keburu nyablak duluan."

Barra langsung menatap Dirga. Ingin tahu apakah perkataan Rafka benar. Yang ditatap tenang-tenang saja. Malah seperti sedang tersenyum mengejek.

"Kan tadi udah gue bilang, sepupu boleh jalan bareng. Bukan incest. Rafka aja tolol," ujar Dirga, langsung menjawab tatapan Barra.

"Ck! Apaan, sih?! Udah ah, males gue bahas ginian." Barra kembali berusaha berkilah. Dia beralih menatap Reifan. "Tenang aja, Bang, Gue nggak suka Feby. Lo nggak usah mikir macam-macam. Gue jagain dia sama kayak jagain adek sendiri. Aman, pasti."

"Iya, gue tahu," sahut Reifan, tampak menatap Barra dengan sorot yang berbeda dari sebelumnya.

Barra dan yang lain sempat heran. Reifan yang tadinya terlihat sangat menunggu momen untuk bisa menghantam Barra, sekarang malah tampak seperti menatap penuh simpati kepada cowok itu.

"Kenapa, Bang?" tanya Barra, mulai waswas. Reifan aneh. Mencurigakan.

"Kalo gue boleh tahu, adeknya Feby tadi umurnya berapa?" tanya Reifan, mengabaikan pertanyaan Barra.

"Ya elah, itu lagi! Please dong, Bang. Pura-pura nggak ngerti aja kenapa, sih?!" pinta Barra, menolak kembali membicarakan Naura.

"Kayaknya baru masuk SMP," ujar Dirga, mengulum senyum geli kepada Barra.

Rafka yang sebenarnya lebih mengenal Naura dibanding Dirga, sangat ingin bersuara, tapi ditahannya. Belajar dari pengalaman, kali ini dia memilih tutup mulut dulu sampai Barra sudah bisa diajak bercanda versi mulutnya.

Barra mengerang, kesal dan malu. Lebih kepada dirinya sendiri. Tidak dapat menyangkal lagi. Semua yang sedang dipikirkan teman-temannya adalah kebenaran. Naura orangnya. Sepupu yang baru saja berusia tiga belas tahun. Bahkan sepertinya bocah itu belum mendapatkan menstruasi pertamanya.

Hanya Dirga yang tertawa melihat kefrustrasian Barra. Rafka lebih memilih menyembunyikan tawa. Sedangkan teman-teman Reifan, memilih diam sambil membuang napas kasar dan geleng-geleng kepala. Dejavu. Mereka seperti melihat kejadian beberapa tahun lalu.

Sedangkan Reifan, cowok itu sekarang malah semakin menatap Barra dengan tatapan yang aneh. Ketika Barra tampak sibuk berusaha menyembunyikan dirinya dari dunia karena rahasia terbesarnya ketahuan, tiba-tiba Reifan malah menepuk bahunya dengan pelan namun terasa seperti dukungan.

"Nggak apa-apa, Bar. Nggak ada yang salah. Lo nggak perlu menyesali perasaan lo sendiri," ujarnya, tersenyum bijak kepada Barra.

"Hah, apa, Bang? Gimana nggak kepikiran? Tuh cewek masih bocah banget. Mens aja kayaknya belum, terus gue udah gila aja mikirin dia tiap waktu. Mana sepupu, lagi. Beneran jadi sinting jadinya! Sakit gue, dah!"

Dirga kembali tertawa mendengar keluhan Barra, diikuti yang lainnya. Bahkan ketika Reifan mengancam melalui tatapan, mereka tetap saja tidak bisa menahan rasa geli melihat kekacauan Barra.

"Tenang, lo nggak sinting, lo nggak sakit," ujar Reifan, mencoba menenangkan Barra. "Lo pasti bisa lewatinnya."

Barra heran dan merasa Reifan jauh lebih gila darinya saat ini. Bagaimana bisa cowok itu malah santai mendukungnya.

"Jangan heran, Bar. Dia sama kayak lo. Gue ralat, pernah kayak lo." Argia mencoba menjawab rasa heran Barra.

Sultan dan Dewa tertawa keras, membenarkan perkataan kalem Argia. "Si Feby juga masih bocah, waktu Reifan mulai mimpi basah tentang dia," ujar Dewa, tanpa peduli dengan tatapan jengkel Reifan ketika diungkit aib masa lalunya.

Barra sempat menatap Reifan dengan horor. "Bukannya baru aja ya lo naksirnya, Bang?" tanyanya dengan tidak percaya.

Reifan tersenyum kecut sambil mengangkat bahunya dengan cuek. Enggan menjawab.

"Action-nya aja baru sekarang. Nunggu Feby masuk SMA dulu, baru gila-gilaan," sahut Sultan, menyeringai penuh ejekan kepada Reifan.

Barra memejamkan mata sambil mendesah lelah, semakin frustrasi. Kenapa harus Reifan yang punya kasus sama sepertinya? Kacau.

[22.07.2020]

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro