Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

1.2 - Andini

"Kenapa lagi sih nih cewek?" gumam Barra, memandangi isi chat dari Feby di layar ponselnya. Malas berpikir, dia memasukkan ponsel ke dalam tas lalu segera bangkit dari bangkunya.

Bel pulang sudah berbunyi beberapa saat lalu, sebagian temannya sudah menghilang dari posisi. Barra yang tadi khilaf mengkhayal, baru tersadar ketika mendengar keributan teman-temannya yang meninggalkan meja masing-masing.

"Si Feby kenapa tiba-tiba pengin pulang bareng gue?"

Andini berbicara kepada Barra yang melewati mejanya. Gadis itu segera bangkit dan mengiringi Barra menuju pintu kelas. Mata dan tangannya sedang fokus pada ponsel, hingga kalau tidak ada Barra yang menahan pundaknya, Andini sudah akan menabrak pintu kelas.

Barra tidak kaget dengan sikap cuek alias teledor Andini. Sudah biasa. "Lah, ini dia nge-chat gue, hari ini nggak nebeng, katanya."

"Kenapa?" tanya Andini. Fokusnya beralih pada cermin berukuran sedang yang tertempel di samping pintu kelas. Mulai sibuk merapikan helaian rambutnya sambil mengambil lip tint di dalam tas untuk dioleskan ke bibir.

"Nggak ngerti," sahut Barra, sebelum menggeleng melihat Andini yang sudah seperti mau pergi ke acara saja, padahal mau pulang ke rumah. "Lo urus, deh. Gue duluan," ujarnya, bersiap keluar dari pintu kelas. Baru sadar, ternyata hanya tersisa mereka berdua di kelas tersebut.

"Eits, enak aja!" cegah Andini, menarik seragam bagian belakang milik Barra, membuat cowok itu terpaksa menghentikan langkah. "Gue mau nge-date dulu, nggak langsung pulang. Nggak bakal bisa ngajak Feby."

Barra menggaruk belakang lehernya, mulai kesal tapi bingung. Dia malas repot. Feby yang tidak mau pulang dengannya, kenapa harus dia yang sibuk mengurusi alasannya. Tapi kalau Barra abai terhadap keselamatan Feby, dia juga yang akan kena semprot mamanya.

"Udah, lah. Samperin aja dulu tuh anak," gerutu Barra, malas berdebat dengan Andini. Tidak ingin mendengar sahutan lagi, Barra melangkah cepat meninggalkan gadis itu yang mengekorinya menuju kelas Feby.

"Andiiin!"

Barra yang duluan mendatangi dan siap bertanya, malah Andini yang lebih dulu disambut oleh Feby. Gadis itu bahkan melewatinya begitu saja tanpa menoleh. "Ck! Cewek-cewek nggak tahu diri," gumamnya, tapi tidak berani keras-keras.

"Apaan, sih?" Malas-malasan, Andini membiarkan Feby memeluknya seperti anak kecil.

"Gue mau nebeng Barra, tapi nggak dibolehin," adu Feby, terdengar sangat mengeluh.

Andini menaikkan alis, menatap Barra. Cowok itu mengangkat bahu tanda kalau dia juga tidak tahu-menahu maksud aduan Feby.

"Siapa yang nggak ngebolehin?" tanya Andini dengan sabar, melepas pelukan Feby.

"Kakaknya Rafka, tuh! Rese banget!"

Jawaban Feby membuat Andini dan Barra kembali bertatapan, lalu tidak lama keduanya terkekeh geli. "Berarti harus diturutin, kalo nggak mau celaka," ujar Andini, mulai iseng.

"Makanya!" seru Feby, semakin menunjukkan kekesalannya. "Kalau gue ngelawan, nanti makin dipepetin, terus dimacem-macemin. Makin serem aja tuh cowok!"

Barra tertawa, diikuti Andini yang juga tidak bisa menahan tawanya. Sahutan iseng Andini malah dianggap serius oleh Feby. Kalaupun larangan Reifan dilanggar, cowok itu mana mungkin akan menyakiti Feby. Secara Reifan sangat menyukai Feby. Paling yang kena sial nanti adalah Barra.

"Gue nggak bisa nganterin lo. Rian udah nungguin gue," kata Andini, selepas selesai dengan tawanya.

"Sekalian aja, deh. Lo bisa turunin gue depan kompleks. Gue bisa jalan sendiri ke rumah," tawar Feby, mengikuti Andini yang sudah berjalan meninggalkan area kelas.

"Nggak searah, Nyet. Udah, lo bareng Barra aja. Dia yang nanggung risikonya."

"Sialan lo, Din," gerutu Barra mendengar sahutan santai Andini. Dia mengekori kedua gadis tersebut.

"Atau lo pesen ojek online aja sekalian. Beres, kan," lanjut Andin sambil memeriksa ponsel yang memperlihatkan chat dari Rian.

"Oh, iya, ya! Kok gue tolol, sih!" Feby menepuk keningnya sendiri. Membuat Barra dan Andini menggeleng pasrah. Padahal sejak awal itulah solusi yang paling gampang. Tapi Feby malah sibuk meminta Andini mengantarnya.

Mereka sudah keluar dari lobi sekolah ketika Feby mengeluarkan ponsel untuk memesan ojek online.

"Udah, bareng gue aja." Barra merebut ponsel Feby dan berjalan lebih dulu menuju parkiran.

"Yah, Bar! Cari mati nih cowok! Sumpah ya, kakaknya Rafka serius banget ngelarangnya! Kalo kita ketahuan pulang bareng, entar beneran dimacem-macemin." Feby menyusul Barra yang cuek terus melangkah ke arah mobilnya terparkir.

Andini tersenyum geli melihat kedua temannya. Dia tetap berjalan santai menuju parkiran. Mobilnya terparkir berdekatan dengan Barra. Dari posisinya yang masih menuju mobil, dia bisa melihat beberapa orang berkumpul di dekat area mobilnya dan mobil Barra.

Barra tampak santai. Sedangkan Feby sudah berdiri di belakangnya sambil memegang lengan cowok itu, menatap takut-takut ke arah Reifan yang berdiri di depan keduanya.

Andini mendesah kasar. Malas sekali harus terlibat. Tapi kalau dia tidak ikut serta, Barra mungkin akan menjadi korban ketololan Reifan. Tentu saja Andini peduli kepada Barra dan Feby, teman-teman terbaiknya sejak masa SMP.

"Hai, Andini!" sapa seorang cowok berwajah manis yang bersandar di atas kap mobilnya. "Udah mau pulang sekolah, masih cantik aja."

"Makasih, Kak," sahut Andini, tersenyum tipis yang menunjukkan ketidaktertarikannya atas pujian tersebut. Dia fokus menatap Reifan yang tidak mengalihkan tatapan dari Feby.

"Gue mau jalan sama cowok gue, Kak. Udah ditungguin. Nggak bisa nganterin Feby," kata Andini kepada Reifan.

Reifan mengalihkan tatapannya dari Feby untuk memperhatikan Andini. Memindai dari atas ke bawah, menunjukkan rasa terganggunya atas kelancangan Andini berucap nonformal kepadanya.

Andini sudah beberapa kali bertemu Reifan ketika gadis itu hang out dengan Rafka dan yang lain. Dibanding Feby, Andini memang lebih luwes bergaul dengan anak laki-laki. Jadi sesungguhnya Andini dan Reifan sudah saling mengenal secara personal.

"Jam sekolah udah habis. Masa nggak boleh santai manggil lo-gue?" celetuk Andini, masih sangat tenang menghadapi Reifan yang sudah seperti satpam galak.

"Peraturan dari mana lo boleh ngomong begitu meski udah kelar sekolah?" Reifan menajamkan tatapannya kepada Andini. Tipikal gadis yang sulit dikontrol. Bukan favoritnya.

"Sori, Kak," sahut Andini, tersenyum meminta maaf. Namun, siapa pun yang melihat dan mendengar, pasti bisa mengenali kalau gadis itu hanya berucap sekadarnya.

Reifan berdecak, mengabaikan Andini untuk kembali fokus kepada Feby dan Barra.

Barra belum ikut bersuara. Meski tampak tenang, dia tetap waspada. Melihat gestur Reifan, dia bisa melihat kalau cowok itu sudah sangat ingin menonjoknya ketika Feby mulai bergelayut di tangannya.

"Lo pulang sama gue atau temen lo?" tawar Reifan kepada Feby, sambil menatap sebentar kepada Andini sebagai teman yang dimaksud.

"Gue nggak bisa, Kak. Sori, maksudnya, saya udah mau pergi ketemu pacar, nih. Jadi Feby sama yang lain aja, ya," ulang Andini, berharap Reifan mengerti.

"Kalo gitu, lo sama gue," ujar Reifan, memancing gelengan kuat di kepala Feby.

"Nggak mau, sama Barra aja," ucap Feby pelan, tapi tetap bisa didengar oleh Reifan.

Reifan membuang napas kesal. Kekesalan yang tertuju kepada Barra, tentu saja. Ditatapnya cowok itu seakan Barralah yang harus bertanggungjawab atas jawaban menyakitkan Feby barusan.

Barra ikut mendesah, tapi terlihat lelah. "Biar Feby sama gue aja, Bang. Rumah kami sebelahan. Sodaraan juga. Jadi irit, praktis, dan aman. Rumah Bang Reifan kan harus mutar arah," ujarnya, mengingatkan posisi rumah Reifan yang juga rumah Rafka. Barra sudah sering ke sana.

Andini mendengkus kesal. Barra diperbolehkan saja menggunakan panggilan lo-gue, padahal cowok itu berani menyentuh Feby. Diskriminasi gender. Andini bisa melihat kecenderungan tersebut dari diri Reifan. Tipikal dominan tak berotak. Bukan favorit Andini.

"Gue nggak ambil pusing harus mutar arah. Yang gue pusingin, kalo dia satu mobil sama lo dan pegang-pegangan begitu terus!" desis Reifan, mulai kehabisan sabar. Ingin sekali dia menarik Feby ke arahnya, tapi ditahannya karena tidak ingin membuat gadis itu semakin takut kepadanya.

Barra ingin tertawa, tapi ditahannya. Dia melepas pegangan Feby yang terasa semakin kuat. "Nggak pa-pa. Aman," ucapnya, sengaja agar Reifan semakin kesal akibat sikap sok lembutnya di depan Feby.

"Tadi Feby udah mau pesan ojol, tapi gue cegah. Siapa tahu entar ojolnya kesemsem sama Feby. Bahaya, kan. Mendingan dia bareng gue aja. Pasti aman sampai pintu rumah," lanjut Barra, memperjelas alasan kenapa Feby harus pulang bersamanya.

Perubahan wajah Reifan yang tampak membenarkan perkataan pancingan Barra, membuat Andini geleng-geleng kepala. Sudahlah, dia keburu waktu harus menyusul pacarnya. Para idiot ini pasti tidak akan menemukan solusi kalau dia tidak turun tangan.

"Udah, gini aja," ucap Andini, menengahi. "Feby nggak mau dianter Kak Reifan. Kakak nggak mau Feby berduaan sama Barra. Jadi mending sekalian aja kalian berdua yang anterin Feby, pakai mobil Barra. Baliknya, terserah Kakak deh, yang penting kan Feby sampai pintu rumah bareng Kakak. Bener, nggak?"

Barra menatap malas kepada Andini. Iseng nih cewek! gerutunya dalam hati. Sedangkan Feby sudah memelotot kesal kepada sahabat perempuannya itu.

"Boleh juga."

Tanggapan Reifan membuat semua orang menatapnya dengan berbagai ekspresi.

"Gue ikut mobil lo. Sekalian, pengin mampir ke rumah lo. Ada yang pengin gue omongin secara pribadi," lanjut Reifan, menyeringai kepada Barra. "Dewa yang bakal bawa mobil gue." Reifan memandang sekilas ke arah temannya yang sejak tadi bersandar di kap mobil Andini.

Barra mendesah. Terserahlah. Dia hanya ingin segera pulang ke rumah. Mandi, makan lagi, lalu tidur.

Andini yang puas karena sarannya diterima, segera berpamitan. Dia tersenyum manis kepada Feby yang masih menatap kesal kepadanya. Dia juga mengabaikan tatapan Dewa yang terus mengiringinya hingga memasuki mobil.

Andini tahu ketertarikan Dewa kepadanya, tapi malas meladeni. Meski dia juga masih remaja, tapi anak sekolahan bukan tipenya untuk dijadikan gebetan. Apalagi Dewa memiliki visual yang manis, meski cowok itu tetap terlihat macho dengan tubuh tinggi dan atletisnya. Namun, tetap saja tidak membuat Andini tertarik. Bocah, cibirnya dalam hati.

Andini pergi menemui pacarnya yang seorang mahasiswa. Reifan duduk di samping Barra di dalam mobil. Feby duduk dengan cemberut di belakang keduanya. Sedangkan Dewa, memperhatikan kepergian mobil Andini sampai menghilang di balik gerbang sekolah, sebelum membawa mobil Reifan mengiringi mobil Barra.

[21.07.2020]

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro