1.1 - Feby
"Raf, tolongin gue dong!"
Feby merengek di samping Rafka, teman sekelasnya. Cowok itu sedang duduk di bangkunya sambil asyik bermain game di ponsel. Beberapa cowok teman sekelas Feby yang duduk di sekitar Rafka juga tengah asyik sendiri, tidak peduli dengan rengekan gadis itu.
"Apaan sih, By?" tanya Rafka, malas-malasan. Bahkan matanya tidak teralih dari layar ponsel.
"Itu kakak lo makin serem aja, sih. Dia nungguin di depan kelas gitu, mau ngapain, coba?!"
"Ya, kan mau PDKT sama lo." Masih sekenanya, Rafka bergumam sambil terus bermain game.
"Gue nggak mau! Kakak lo nyeremin banget, sumpah! Gue nggak suka sama dia!" tolak Feby, makin gelisah ketika mendengar suara kakak Rafka yang sepertinya sedang berbincang di dekat pintu kelas.
Selama di kantin, Feby berusaha santai ketika kakak Rafka terus menatapnya meski tidak mendekat. Sudah biasa. Sejak beberapa waktu belakangan, cowok kelas 12 itu tidak berusaha menutupi gelagatnya yang suka memperhatikan Feby.
Namun, kegelisahan Feby muncul ketika dia keluar dari toilet selepas dari kantin, lalu menemukan cowok itu berdiri di depan toilet, menunggunya. Tidak tersenyum ramah layaknya cowok yang sedang melakukan pendekatan, tapi hanya menatap tenang yang malah terlihat menakutkan bagi Feby.
Apalagi cowok itu terus mengiringi langkah Feby hingga ke kelas. Bahkan tetap berada di luar kelas meski Feby sudah memasuki kelas tanpa mau menoleh kepadanya.
"Apaan sih lo, By?! Balikin hape gue!" seru Rafka ketika ponsel di tangannya tiba-tiba diambil Feby. Dia bangkit berdiri untuk memelototi gadis itu yang kini beralih ke barisan meja bagian belakang, mendekati Dirga yang asyik menonton anime di ponselnya.
Feby yang kesal karena tidak begitu direspons Rafka, nekat merebut ponsel cowok itu agar mendapat perhatian. Dia sengaja mendatangi Dirga.
Dirga tidak akan membantunya mengusir kakak Rafka, tapi cowok itu benci keributan. Jadi mungkin Dirga akan lebih memilih membuat Rafka membantu Feby, agar keduanya berhenti mengganggunya.
"Ck! Ngapain sih lo berdua?!" desis Dirga, meski tidak menatap kedua temannya. Sedangkan beberapa teman lain langsung ikut menoleh. Dirga yang kesal bisa sangat menyeramkan tapi juga menghibur untuk ditonton.
Feby tidak begitu berani dengan Dirga, tapi tetap nekat mendempeti cowok itu. Dia bahkan nekat menaiki dan melangkahi kursi Dirga agar bisa duduk di samping cowok itu-bangku milik teman semeja Dirga yang masih bersantai di meja lain. Sekarang Feby terkurung di antara Dirga dan dinding kelas. Tempat menyeramkan, tapi rasanya paling aman untuk saat ini.
"Nih cewek rese banget!" adu Rafka kepada Dirga, berusaha mengabaikan lirikan tajam Dirga yang kini menyorot kepadanya. "Sini balikin hape gue, By!" sergahnya lagi, memilih jalur konfrontasi dengan Feby.
Dirga beralih menatap Feby yang mendempeti dinding. "Lo ngapain di sini, sih?!" tanyanya, antara heran dan kesal.
Feby hanya menggeleng pelan, ketakutan sendiri melihat tatapan tajam Dirga. Tidak heran banyak gadis menyerah mendekati Dirga. Cowok itu galak. Untung saja Feby tidak pernah tertarik dengan cowok satu ini.
Feby berdiri cepat dan semakin mendempetkan tubuhnya ke dinding kelas ketika mendapati Rafka berusaha menjangkau ponsel di tangan Feby.
"Suruh kakak lo pergi dulu, baru gue balikin hape lo!" pinta Febby, menolak permintaan Rafka. Keduanya terlibat aksi saling rebut seperti bocah SD.
Dirga yang berada di antara keduanya langsung murka karena didempet-dempet, juga karena harus semakin lama berjeda dari tontonannya. Padahal sisa waktu istirahat tinggal hitungan menit.
"Berisik ya lo berdua! Minggir, nggak?!" bentak Dirga. Sangat keras, hingga membuat teman-teman sekelas sempat menahan napas akibat kaget. Rafka dan Feby bahkan langsung membeku dalam posisi yang masih saling rebut.
Perlahan, Rafka bergerak mundur. Dia berusaha menjaga jarak meski langsung bersiap untuk kembali adu mulut dengan Feby.
"Lo juga!" Dirga menatap galak kepada Feby-sang sumber masalah. "Pergi dari meja gue! Ngapain lo ngumpet di sini?!"
"Tolongin gue dong, Dir-"
"Nggak ada urusan! Sana, usir sendiri orangnya!" Dirga paham pertolongan apa yang diminta Feby. Namun, dia tidak peduli.
"Lo ngapain bentak-bentak cewek gue?!"
Sekejap, suasana yang sempat hening akibat bentakan Dirga, semakin seperti kuburan di malam hari ketika terdengar teguran bernada dingin dari seorang cowok yang sedang berjalan mendekat ke arah meja Dirga.
Dengan berlagak polos, Rafka berjalan menjauhi posisi Dirga dan Feby. Memutar ke arah meja barisan belakang, menghindari posisi cowok yang baru datang tersebut.
Dirga mendesah panjang. Mencoba mengendalikan emosinya yang kadang berlebihan kalau keasyikannya diganggu. "Sori, Bang. Ribut nih dua orang, ganggu gue banget," lapornya kepada Reifan, cowok yang tadi bertanya kepadanya.
"Terus lo harus gitu, bentak-bentak dia?" Reifan yang sudah berdiri di samping meja Dirga, melirik sekilas kepada Feby yang tampak seperti mengkerut di dinding, tidak berani menatapnya.
"Khilaf, Bang. Sori," sahut Dirga, tampak sudah santai. Dia tidak takut dengan Reifan, tapi segan. Reifan bukan hanya sekadar kakak kelas biasa untuknya.
Dirga menyingkir dari kursinya, secara langsung mempersilakan Reifan menjemput Feby untuk disingkirkan dari wilayahnya.
Reifan yang jauh lebih superior dibanding siapa pun yang berada di dalam kelas tersebut, menatap Dirga selama beberapa saat sebelum menoleh sepenuhnya kepada Feby.
"Ngapain duduk di sini? Balik ke meja lo sendiri," ujar Reifan, tidak bersuara lembut, tapi masih bisa terdengar nada heran.
"Hape gue, Bang," celetuk Rafka. Dia duduk di bangku barisan terdepan, menghindari posisi Reifan, tapi masih tidak menyerah berjuang demi kembalinya ponsel kesayangan.
Reifan yang tadinya sudah berwajah santai, kembali menajamkan mata untuk menatap adik kandungnya. "Udah berapa kali gue bilang, jangan berani panggil dia By, By, By segala! Lo pikir dia baby lo?!"
Rafka yang tadinya merasa sedikit aman, langsung mendengkus. Kena juga dia! Rupanya sang kakak mendengar panggilan kecilnya kepada Feby. "Khilaf, Bang," sahut Rafka, menyontek alasan Dirga.
Reifan berdecak kesal. Rafka memang nomor satu dalam urusan membuatnya jengkel. Mengabaikan adiknya, Reifan kembali fokus kepada Feby yang kini semakin menunduk.
Reifan membuang napas kasar. Feby yang sedang ketakutan, membuat Reifan dilema. Menggemaskan, tapi juga menyebalkan. Kenapa harus begitu takut berdekatan dengannya? Memangnya Reifan ingin memakannya? Tentu saja iya, tapi sudah pasti tidak sekarang. Nanti. Reifan masih bisa bersabar.
"Sini hapenya," pinta Reifan. Bersuara tenang saja, tapi sepertinya berefek besar untuk Feby yang langsung melepaskan ponsel Rafka dari tangannya.
"Ayo, balik ke meja lo sendiri," ajak Reifan lagi, mendekati Feby untuk memegangi lengan mungil gadis itu.
Feby menegang mendapat sentuhan Reifan, tapi tidak ada tenaga untuk menepis. Dia langsung merasa seperti robot ketika cowok itu berusaha menariknya untuk bangkit. Tidak kasar, tapi tetap terasa mengerikan untuk dirasakan oleh si polos Feby.
Reifan meletakkan ponsel Rafka di meja adiknya, sambil berjalan menuntun Feby menuju salah satu meja barisan depan di mana meja gadis itu berada.
"Meja sama bangku lo di sini. Jangan lagi ngumpet di meja cowok-cowok di belakang sana. Bahaya. Tadi aja dibentak Dirga, kan," ujar Reifan, setelah mendudukkan Feby di bangkunya sendiri.
Feby tidak menyahut. Tidak berani juga mendongak untuk menatap Reifan yang masih tidak ada manis-manisnya saat berbicara, meski maksud perkataannya adalah untuk mengingatkan keselamatan Feby.
Reifan tidak ambil pusing dengan respons diam Feby. Tidak juga peduli dengan bisik-bisik para gadis di kelas itu yang sekarang sudah menjadi penonton reguler. Dia mulai sibuk memuaskan matanya untuk terus memperhatikan Feby. Hari ini Feby terlihat semakin manis dengan sebuah jepit rambut berwarna putih yang menahan helaian rambutnya.
"Woi, udah bel!"
Teguran cowok lain di pintu, mengusik keasyikan Reifan yang sedari tadi masih setia berdiri di samping Feby duduk.
Reifan mendesah kasar. Kesal karena waktunya sudah habis. Dia bahkan tidak mendengar bel masuk berbunyi, akibat terlalu menikmati waktunya memandangi Feby.
"Jangan deket-deket sama Dirga. Jangan pulang sama Barra."
Ucapan Reifan membuat Feby meremas roknya dengan kesal. Dia masih tidak mau menatap cowok itu.
"Mana suaranya, Feby?" tanya Reifan pelan tapi menuntut. Dia sengaja menundukkan wajah. Mendekatkan bibirnya ke arah telinga Feby.
"Hm?" desaknya, semakin membuat Feby menggigit bibir. Gadis itu mengangguk kecil dengan gerak kaku, tampak berusaha melawan dengan menolak bersuara.
"Bro, gue tinggal, ya!" Cowok yang tadi memperingatkan Reifan, berlalu lebih dulu ketika mendapati beberapa guru mulai berjalan menuju kelas masing-masing.
Reifan mengabaikan temannya. Dia tersenyum tipis melihat anggukan Feby. Meski tidak mendengar suara gadis itu, tapi dia cukup puas melihat permintaannya direspons.
Tanpa kata lagi, Reifan berlalu dengan langkah santai. Dia mengangguk santun dan menyapa sopan ketika berpapasan dengan seorang guru wanita yang sepertinya akan memasuki kelas Feby.
Sedangkan Feby, masih duduk dengan posisi tegang di bangkunya. Bahkan tampak pucat dan dikira sedang sakit oleh guru yang baru saja memasuki kelas dan melihat gelagat aneh dari sang murid.
[19.07.2020]
Remaja zaman sekarang, baca karya Esti Kinasih gak, sih.
Semoga mereka tahu, kalau beliau adalah salah satu pelopor penulis teenlit di Indonesia yang menginspirasi banyak penulis setelahnya.
Jadi jangan kebalik, ya. Dikira karya beliau yang miripin punya orang. Padahal amatiran kek saya yang sangat terinspirasi semua karya beliau.
Kangen Davi.
Kangen Rei, Bima, Rangga.
Kangen Reinald.
Kangen Ari, Ridho, Oji.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro