5. Drama Malam~
"Akh!!! Haraz?! Apa-apaan ini?!" teriak Faro lantang kepada teman sehidup sematinya. Matanya memandang tajam Haraz. Ia masih tidak dapat mencerna apa yang terjadi saat Haraz tiba-tiba meninjunya tanpa berkata.
Haraz berdecih. Berbicara pada seorang penipu itu sangat unfaedah.
"Akan ku akhiri ini dengan cepat, Faro."
Sang lawan bicara mengangkut alis. Tak lama raut wajahnya pucat bila melihat sebilah pisau diarahkan padanya.
"Tidak, Haraz! Aku kawan baikmu!" Faro memundurkan langkah, jarak pisau itu semakin dekat dengannya.
"Relakah kau membunuh kawan baikmu sendiri?"
Mendengar pertanyaan itu membuat Haraz terhenti. Faro tahu apa tujuan Haraz menyuruhnya untuk ke sini.
Ia bahkan belum mengungkapkannya.
Itu artinya Faro tahu apa yang selama ini Haraz sembunyikan, ternyata yang dibilang oleh dukun santuy itu benar.
"Reaksimu sangat palsu," ujar Haraz seraya memutar-mutar pisaunya.
"Kau pikir aku tidak tau huh?! Kau yang menghasut Gahar untuk membenciku disaat dulu kita bertiga masih dekat! Kau tau Gahar adalah orang yang mudah terpengaruh, hanya karena nilai kau rela berbuat begini pada kawan baikmu sendiri?"
Penjelasan yang keluar dari mulut Haraz membuat Faro membelalakkan mata. Ia benci mengingat kenangan lama itu.
Saat awal dimana mereka masih berbaik, dekat dan juga saling bercerita pengalaman masing masing. Saat mereka bertiga sama sama merupakan harta berharga sekolah, saat mereka bertuga masih bisa memaklumi sifat turunannya.
"Kau tidak mengerti Haraz, KAU TIDAK MENGERTI!! Nilai itu segalanya!!!" Napas Faro memburu.
Tidak, tidak. Ia tidak mau dibilang egois sendirian, orang yang berdiri tegak di hadapannya juga egois!
"Kau tahu?! Setiap hari aku didesak oleh mereka! Setiap saat mengingatkan ku untuk belajar! Aku muak karena aku selalu menjadi yang nomor 3!"
"Dan ya!! Akhirnya aku membuat keputusan ini! Menjauhkan kita bertiga! Menyenangkan bukan perbedaan antara kita yang dulu dengan yang sekarang? Bukankah dengan begitu kita akan tidak fokus pada ujian?! Ah, sepertinya aku salah... karena aku masih menjadi yang nomor 3."
"Mengancam, mencaciku, membedakan perlakuan dan juga perhatian!! Padahal aku anak sulung mereka!"
"Far-"
"Kau tidak tahu bagaimana rasanya karena kau diasuh oleh orang asing!!"
"Lalu bagaimana jika aku berkata aku telah membunuh orang tua kandungku sendiri?" Potong Haraz lagi, masalah mereka berdua itu sama.
Tiada yang berbeda, lalu mengapa harus melibatkan kata pengasingan?
Haraz memajukan diri bila Faro masih dalam posisi sebelumnya, membeku kaget mendengar pernyataan Haraz yang terbilang gila.
Actually, Haraz tidak peduli.
Padahal dari dulu Faro bisa mengungkapkan semua masalahnya pada ia dan juga Gahar, dengan begitu mereka akan saling memahami.
Hanya terbuka, itu susah?
Ya, Haraz juga merasa.
Mereka berdua egois, mengorbankan kepercayaan Gahar demi menjatuhkan satu sama lain.
Jujur, dalam hatinya selalu menyalahkan orang tua mereka. Selalu menuntut nilai juga potensi luar, hanya nilai oklah, mereka bisa menanggungnya karena sekolah memang merupakan tanggung jawab mereka.
Sedangkan ini? Sudah menuntut lebih, memberi perhatian saja tidak. Saat pulang setahun sekali yang mereka ucapkan hanyalah tentang nilai, tiada unsur khawatir pada anaknya.
Gahar juga, orang itu baik hati. Bahkan bisa lebih, Haraz yakin Gahar akan setuju untuk lari dari sekolah jika masalah mereka sudah memberat seperti ini.
Haraz yakin ia juga tidak akan menelursuri jalan sesat yang dilarang oleh semua agama kalau bukan karena kedua masalah membingungkan ini.
Faro melirik dingin ketika ujung benda tajam itu menyentuh pipinya. Untuk sekarang ia tidak tahu mana yang benar ataupun salah.
Biarkan saja hal itu, ia terlalu malas untuk menyesal, bangga ataupun bergerutu.
"Kalaupun dulu kau tidak menimbulkan ini, kurasa aku tak akan sanggup."
"Jadi? Kau ingin membunuhku juga?"
Haraz tak menjawab, pisaunya itu ia turunkan mengarah ke jantung Faro dan menikamnya berkali kali.
Faro menatap aneh mantan temannya itu, apa Haraz sedang bercanda? Pisau ditangan Haraz hanyalah sebuah objek yang terbuat dari plastik, bahkan termasuk pisau mainan.
Dagingnya tidak tertusuk sama sekali.
"Apa peranku untuk prank sudah tergantikan?" Faro mengambil alih pisau mainan itu. Ujungnya tajam tetapi tidak cukup kuat untuk menembus kulitnya.
Haraz tertawa lepas lalu menggeleng kepala. Wajah ceria dan seringaiannya terpapar jelas di sana.
"Mari mati bersama sama." Tangannya melepaskan sebuah objek berbentuk persegi ke lantai.
Faro mendengus, suara detakan objek bernama 'bom' itu sama sekali tidak membuatnya khawatir.
Ia malah menunjukkan senyum leganya sembari menjulurkan tangan kanan yang disambut Haraz sebagai salam perpisahan.
"Berjanjilah kau akan menemaniku di neraka nanti," canda Faro.
Haraz tersenyum sinis. "Jika kita berada di penjara yang sama di sana."
"Hey, Gahar... semoga kau suka hadiah terakhir kami."
BOOOOOOMMMMM!!
"Lapor Bryan, mereka berdua sudah tiada," ujar Gahar sembari melihat perkarangan sekolah yang hancur setengah itu bersama tubuh kedua kawannya sembari menunggu balasan snag lawan bicara.
"Baiklah, misi kita selesai."
"CU-"
"YEY!!! SELESAI!!!!"
Ketiga senior itu tersenyum bangga, bertos tangan ria. Misi mereka melatih drama para adik kelas hampir selesai.
Para adik kelas senangnya juga tidak kaleng-kaleng, mereka melempar sebagian dedaunan yang tadinya menjadi properti scene terakhir.
"HEAHEO~ WUWUUUUU~ LALALALALALA~"
"THORN!! HUJANIN MEREKA! HYIAAA!!"
"Siap melaksanakan abangku!"
"Hachu!!"
"Hey... udah tuh," tegur Ayuyu pada adik kelasnya.
"Kasian mereka pada bersin bersin semua," tunjuk Adudu pada Probe, Gopal, fang, ying dan Tiah.
Trio troublemaker terkikik, namun tetap menuruti teguran Adudu. Trio cool dan Gempa yang tadinya diserang rerumputan menghela napas lega, menepuk nepuk pakaian mereka guna menyingkirkan debu yang menempel.
Solar melipat tangan. "Enaklah kalian... apalah daya diriku yang jadi editornya."
"Nasiblah~"
"Tenang, Lar. Sebagai senior yang baik aku akan membantu," ucap Adudu sembari merangkul manusia berkacamata itu.
"Yaudah yuk! Makan!! Aku lapar~"
"Kuy!"
Geng Boboiboy's berjalan santai menuju suatu rumah makan yang letaknya sangat dekat, yaitu di samping kanan sekolah mereka.
Kebanyakan teman sekelas mereka yang lain tidak datang karena tak mendapat bagian scene terakhir drama mereka.
Tampaklah tulisan besar 'Rumah Makan Pak Sotoy' di sana.
Mereka mengambil dua meja terpisah, satu untuk Boboiboy bersaudara dan satunya lagi untuk kawan-kawan mereka.
"Bang! Pesen dong!"
Si pemilik rumah makan segera menghampiri para tamunya, ditangannya terdapat sebuah buku kecil juga pulpen.
"Pesen apa adik-adik?"
"Kalian mau pesen apa?" Gempa langsung bertanya cepat, takut mereka akan pulang telat.
"Aku nasgor!" -Taufan.
"Nasi padang!"
"Mie goreng!"
"Sate padang of course!"
"Nasi ayam!"
"Gausah nasi.. ayam aja bang," pesan Blaze membuat seluruh atensi berpindah padanya.
"Nanti gak kenyang, minta masak di rumah." Gempa mengacak pinggang.
Blaze yang bernotabe penggemar ayam menggeleng. "Gak kok bang Gem, tenang aja."
"Yang lain?"
"Martabak telur!"
"Mie rebus 2!"
"Sup wortel kek biasa, bang."
"Nasi kari!"
"Kami berlima mie goreng aja."
"Sip!"
Setelah kegiatan memesan sudah dilakukan, biasa di sinilah kegabutan terjadi saat menunggu pesanannya.
Gabut yang sangat simpel seperti mencuri beberapa tisu, melipat tisu, membasahi tisu, ataupun mengelap muka dengan tisu.
Gempa membuka tutup jarinya, menghitung pengeluarkan mereka. Nasi goreng, nasi padang, mie goreng, sate padang, nasi ayam, sepiring ayam goreng... satu lagi?
Mata Gempa menelisik seluruh saudaranya dan terhenti pada adik keduanya yang sedang tertidur pulas.
"Astaga, Ice. Bangun! Masih sempat-sempatnya tidur di rumah makan," omelnya.
Ice membuka mata, menggulirkan bola matanya dengan malas ke arah samping. Tempat kakaknya sedang mengomel.
"Hm...."
"Mau pesan apa? Tinggal kau yang belum pesan makanan."
"Terserah...."
"Gak ada makanan terserah, Ice."
"Haih... nasgor aja deh."
Gempa memutar bola mata. Saat dibawa keluar kedua saudaranya ini bukannya memesan makanan yang tidak dapat mereka makan di rumah.
"BANG! NASGOR SATU LAGI!!"
"OKEH! PAKE MIE APA NASI?"
Seluruh pergerakan pengunjung terhenti sejenak. Otak mereka loading pada kalimat aneh abang Sotoy.
Taufan memutar badan, dilihatnya abang Sotoy sedang sibuk menyiapkan makanan makanan itu sendirian.
"Nasgor ya pake nasi lah bang, kalo pake mie namanya mie goreng," sahutnya membuat sang penjual terkekeh kikuk.
"Lah? Nasgor toh, mas pikir mie sop."
'Maklumi aja~ dia memang udah berumur,' batin semua orang.
"Hoaaammmm...."
Gempa menatap bosan adiknya. Sepertinya Ice berniat tidur lagi dengan posisi kursinya yang terbalik. Si punggung kursi dijadikan guling dadakan, tempat sandaran depan Ice.
"Ice, benerin dulu posisi kursinya."
"Jangan kayak naik kuda lumping," timpal Blaze.
"Serahlah."
>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>
"Bunuh dia." Remaja itu sontak menggeleng kepala. Tidak, jangan lagi.
"Ayah! Dia temanku!" Kenapa dari sekian banyaknya manusia di bumi ayahnya malah memilih teman seperjuangannya?
"Memang kenapa? Dia melakukan kesalahan," ucap Ejojo tenang. Gadis itu hampir saja berhasil melarikan diri setelah melihat sejumlah kegiatan putranya.
Jangan sangka rumah sederhana mereka tidak memiliki kumpulan alat pengaman yang ketat.
"Tapi-"
"TEMBAK ATAU AYAH HABISI IBUMU??!!!"
Sang anak terdiam, perempuan di depannya menatap takut. Tangan yang dirantai membuatnya tidak bisa bergerak kemana-mana.
'Ayuyu, Ayuyu. Kau memang bodoh.'
Gadis itu menyempatkan diri untuk menyalahkan rasa penasarannya. Jika ia cuek saja pada lelaki itu mungkin ia masih bisa tertawa bersama teman-teman di sekolahnya.
Lagipula... dia tak akan mampu menghilangkan nyawa teman seperjuangannya, kan?
Dor! Dor!
Hening beberapa detik, Ejojo tersenyum puas. Dua peluru cukup untuk menembusi jantung milik penyusup itu.
Prok! Prok.. prok..
Si ayah bertepuk tangan akan keberhasilan tugas putranya.
"Bukankah lebih mudah seperti ini, anakku?" ujarnya sebelum melangkah keluar.
Remaja ini tak bergeming, dia, ayahnya, ibunya, sudah berubah. Rumah mereka yang dulunya masih memiliki kasih sayang sudah hilang, tidak bersisa-
-karena pekerjaan ayahnya itu.
"Aku tak akan menjadi budakmu lagi," gumamnya penuh penekanan, menatap penuh tekad seluruh penjara yang berisi korban pekerjaan ayahnya.
"Maaf Ayuyu."
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro