24. Mengungsi Yuk
🗿
.
.
.
Di hari yang sama~
"Apa benar cairan ini berbahaya?" tanya Ejojo pada anak buahnya. Di salah satu markas, semua anggota GOT semua berkumpul. Tidak termasuk Borara.
Ejojo mengambil erlenmeyer yang berisi cairan X itu tanpa sembarang pelindung tangan. Ia menelisik cairan X. Katanya, cairan ini berbahaya. Tetapi mengapa setelah mereka menyuntikkan cairan X ke salah satu mayat, tidak terjadi apa-apa?
"Menurut informasi yang kami dapatkan, cairan ini seharusnya sudah bergerak di dalam sel, Tuan. Mungkin sebentar lagi," jawab Sarah kalem.
Ejojo membuat muka tidak niat. Sungguh meragukan. Mereka mencuri cairan X ini dari rumah Boboiboys, mungkin tidak berbahaya lagi karena sudah diotak-atik bungsu Boboiboys.
Kalau tidak berbahaya, bagaimana caranya Ejojo mengguncang dunia? Akhirnya dia melontarkan perintah yang sudah Sarah prediksi.
"Suntikkan saja 3× lipat dari dosis tadi."
________________________________
One kill-
"Aduh, Nana... Nana... minggap dari timku!" Blaze mengomel mengisi keheningan di rumah. Sibuk memainkan game mobile di ponselnya itu. Tadi hampir mendapat kill kedua-
Lalu datanglah Solar dari lantai atas dengan muka kesalnya. Lengkap menghentak-hentakkan kaki. Bergetar lantai rumah dibuatnya.
"Hentak lagi kupotong itu kaki," ancam Gempa tenang. Masih rebahan.
"Kok serem, ya." Blaze merasa bulu kuduknya berdiri seketika. Melirik takut ke arah Gempa.
Tahulah mereka sering berbuat ulah. Harap saja Gempa tidak ada dendam pribadi atau ia akan benar-benar memotong kaki mereka. Taufan si tukang ngeles tidak ada di rumah, jadi situasi lebih berbahaya.
Saudara sendiri itu, heh!
Lain dengan Blaze, Solar malah tidak menganggap bahaya ancaman itu. Mukanya mengerut kesal, seperti baju yang ditumpuk di kamar.
"Kau kenapa, dah?" tanya Gempa bila merasa seseorang mendudukkan diri di sofa.
Solar melipat tangan. Mendengus duluan lalu menjawab, "Itu bang Hali, nyolong masuk ke labolatorium."
"Hah?!"
Baik Gempa maupun Blaze spontan menoleh kaget. "Hah?! Serius?!"
"Ngapain dia di sana?" Gempa menggaruk kepala. Selama 15 tahun mereka hidup, ini pertama kalinya Halilintar mengunjungi tempat satu itu.
Bukan tidak boleh, sih. Aneh saja, pikir saudara-saudaranya.
Solar menggedik bahu. Jelas ia tidak peduli. "Ntah, barangkali ketemu Martin," jawabnya asal.
"Jangan dulu, heh. Bang Hali belum ganti-in PS5-ku." Blaze mencampakkan ponselnya ke sembarang arah. Waktu itu Blaze begadang, biasalah main game.
Amato baru membelikannya PS5 versi terbaru. Maka itu, Blaze bersemangat memainkannya sampai Taufan dan Thorn yang mau pinjam saja tidak boleh. Akibatnya Blaze jadi lupa waktu. Alhasil PS5 itu rusak di hari pertama ia menggunakannya.
Ingat, keluarga Boboiboys terkadang tidak berpikir dua kali untuk berbuat sesuatu. Mau menghancurkan rumah? Silakan saja. Uang Amato berjibun di bank. Setengah uang itu disumbangkan ke yang lebih membutuhkan.
Tapi begitu anaknya minta seratus ribu langsung gak dikasih.
"Apa hanya bapakku yang berbeda?" tanya Boboiboys dalam hati mengsad.
"Cuma PS, Bang. Tinggal beli." Solar memutar bola matanya.
Blaze tampak terpancing emosi. "Hooo! Cuma, ya? Gimana kalau aku pecahin semua peralatan eksperimen kau, heh?"
Solar mendelik. "Ck."
Dor!
"ASTADRAGONALDOROIDTA-"
"ANJ-"
"Heh! Latahnya dijaga!"
Hening....
"Ketemu suara tembakan lagi," komen Blaze sambil menghampiri arah asal suara. Ia berniat mengintip ke luar jendela rumah.
"Lagi?" beo Gempa.
Blaze mengangguk. "Waktu dilempar semangka itu, nyusul satu suara tembakan. Semoga aja gak kena siapa-siapa." Gorden jendela dibukanya. Yang dilihatnya sekarang hanyalah halaman rumah yang sepi.
Dor!
Dor!
Dor!
Tiga tembakan kembali dilepaskan namun tiada korban berjatuhan. Blaze mengerutkan kening. Apa yang sebenarnya terjadi?
"Aneh banget. Ada suara tembakan tapi gak ada teriakan."
"Mungkin yang ditembak adalah peluru kosong." Solar melipat kaki layaknya boss, giliran dia menguasai sofa. Tangannya mulai menscroll beranda aplikasi.
Brak!
"I'm comeback, Guys!" Saudara mereka pulang menerjang pintu dengan riang. Tangan mereka bertenteng plastik asoy bertuliskan nama kafe Bujang.
"Punyaku mana?" Blaze duluan menyergah salah satu bungkusan berisi minuman itu. Ia tahu saudaranya tak akan membelikan minuman kesukaannya karena dia tidak punya minuman kesukaan. Maka dari itu Blaze hanya mencari menu yang lebih menarik perhatian.
"Kedainya gak buka, Bang." Ice menyerahkan kertas panjang yang berisikan pesanan Gempa tadi.
Gempa sekedar mengangguk. Tiada bahan, tidak ada makanan. Gempa tidak perlu masak. Menguntungkan.
Tak hanya empat bersaudara itu, Frostfire dan Fang turut mengunjungi rumah Boboiboys. Tanpa permisi langsung nyelonong masuk layaknya rumah sendiri. Salahkan tuan rumahnya yang berkata begitu.
"Lho, kok kalian di sini?"
"Gabut, Bro. Daripada rebahan mulu lebih baik kita ngopi bareng," jawab Frostfire sambil menyeruput minumannya.
"Hastag Frostfire udah tua," ucap Solar mengusik kawannya.
"Heh! Yang minum-"
Gggrrrr....
Mendengar suara erangan, semua mendiamkan diri. Seakan bertelepati, semua menoleh ke sekitar bermaksud mencari asal suara. Jangan-jangan ada harimau yang terlepas dari suakamargasatwa.
Namun yang ada di depan mata mereka justru bukan makhluk yang terbesit di pikiran. Seekor zombie meluru masuk. Makhluk itu mencium bau darah dan mendengar suara. Zombie hendak menerkam mereka.
Ice spontan mengambil vas bunga dan melemparkan benda itu tepat ke kepala zombie. Aksi heroik itu tak lepas dari yang namanya takut. Jantung Ice saja dag dig dug tak karuan.
"Apa apaan itu?!" Trio Troublemaker dan Frostfire memekik kaget. Ditenung mereka si mayat kurus pucat yang sudah terbaring itu.
Belum sempat bernapas lega, mereka kembali dihantui suara erangan. Pasti para zombie tertarik ke arah mereka karena mendengar suara.
Gggrrrr...
Grrr...
Dor!
Dor!
Dor!
Tiga buah peluru nyasar menghentikan pergerakan makhluk aneh tersebut. Seorang perempuan melompat turun dari balkon lantai dua kediaman Boboiboys. Yaitu rekan sekelas mereka, Tiah yang sedang memegang sniper.
"Sudah berkali-kali latihan pun masih nyasar pelurunya," celetuk Frostfire mengejek temannya.
"Nyasar satu doang," balas Tiah lalu mengarahkan dagunya ke pintu rumah. Menyiaratkan agar semua segera keluar dari sini. Boboiboys yang kebingungan ia datang dari mana pun dihiraukannya.
"Mana mungkin kami keluar waktu diserang zombie gini," tolak Gempa mentah-mentah.
"Justru kalau kita terus-terusan di sini, makin banyak zombie yang datang." Taufan menegur dengan logika sehatnya. Tumben otaknya dipake, eh-
"Kita ambil senjata dulu, ayo." Halilintar mengajak semua ke ruangan di samping dapur.
Begitu dibuka, semuanya dapat melihat kumpulan alat penyiksa kehidupan terpampang jelas di meja maupun dinding.
Seperti kata Halilintar, ruangan itu berisi senjata yang tidak main main damagenya. Amato sendiri yang menghadiahkan benda itu pada mereka.
Bapak berdikari memang pintar bersiap sedia.
"Wih! Banyak banget! Pinjam satulah," girang Frostfire seraya mengambil kapak kecil yang tergantung di sebelah pintu.
Mulai dari senjata api sampai ke senjata tajam, semua ada.
"Ngebom rumah bagus ni." Taufan melempar beberapa granat ke atas lalu menangkapnya kembali.
"Bom rumah tetangga aja."
"Ntar rumah kita juga kena imbas."
Solar mengambil dan memasukkan beberapa senjata tajam ke dalam tas yang sudah ia siapkan. Senjata, ponsel, masker, cairan X dan penawarnya juga sudah masuk. Tetapi mengapa ia masih merasa kurang?
Cukup lama ia berpikir, akhirnya Solar tahu apa yang belum ada di dalam tasnya. Tanpa basabasi ia menuju ke atas untuk mengambil benda tersebut.
"Berasa jadi aktor," tutur Taufan pada Thorn yang setia di sampingnya. Mereka berdua meninggalkan ruangan senjata, saudara mereka yang lain juga sedang memilah barang yang ingin mereka bawa. Sibuk.
Thorn sekedar mengangguk. "Tapi di film ini, sekali kena langsung mati." Sesekali Thorn menyeruput minuman yang terlantar di atas meja.
"Udah belum? Cepat, woy!" Mereka berdua terperanjat. Spontan menoleh ke asal suara orang teriak tadi. Duo sulung-bungsu sudah ada di sebelah mereka. Sejak kapan?
"Sabar, heh! Gak sabaran banget," sahut Blaze yang baru datang dari halaman belakang. Ia membawa tas miliknya dengan hati-hati. Keempat saudaranya mengernyit melihat itu.
"Gak usah heran, aku lagi bawa tupai hidup," ketus Blaze yang tiba-tiba peka akan ekspresi heran saudaranya.
"Matilah hewannya gak ada udara," heboh Thorn lolos.
"Udahkah? Ntar keburu dicegat zombie." Fang menghela napas lelah, bersandar di pintu depan rumah Boboiboys dengan Tiah di sampingnya yang sedang mengarahkan snipernya. Ada zombie yang sedang menuju kemari.
Tiah memfokuskan arah sasarannya lalu menekan pelatuk.
Ctik!
Ctik!
Jarinya berulang kali menekan pelatuk namun tak ada peluru yang keluar. Tiah jadi panik tak karuan. "Ya ampun ini sniper, sempat sempatnya habis peluru." Ia menggigit jari. Zombie itu semakin mendekat. Bagaimana ini?
Di sinilah Gempa datang sebagai penyelamat. Saudara ketiga itu melempar sepatu milik Solar yang bermerk Muscle Trainer yaitu sepatu yang beratnya mencapai 1.400 gram. Dan pasnya, sepatu itu mendapat tepat di leher sang zombie.
Zombie pun tewas dengan tidak elitnya.
"Bang Gem, ITU SEPATU MAHAL!" Solar meratapi sepatu koleksinya yang tinggal sebelah. Ia menangis bwang bombai. "HWUAAAA!"
"Tinggal beli lagi apa susahnya sih?" Ice dengan muka datarnya berujar tenang. Menggendong tas yang berisi bantal pausnya yang telah dilapis plastik.
"Ongkirnya mahal, Bang."
"Heh!"
"Udah-udah. Jangan drama! Yok gerak!"
"Yok!"
>>>>>>>>>>>>>>>>>>>
Fuuhh~
Angin berdesau kuat, menerbangkan helaian rambut mereka. Senjata yang mereka ambil tadi dipegang erat-erat. Tiah menelan ludahnya sendiri. Pemandangan yang tersaji di hadapan sangat tidak layak disebut sebagai jalanan yang aman. Darah berceceran dimana-mana, kendaraan terparkir berantakan. Rumah yang terbakar membuat asap mengepul mengaburkan penglihatan. Udara yang tercium bukan lagi udara yang sehat.
Jangan lupakan seekor zombie yang menjadi model gratisan di dalam mobil.
"Kita menuju kemana?" tanya Blaze mengusir keheningan sambil membacok zombie yang terperangkap di dalam mobil itu. Ia bergerak perlahan agar isi tasnya tidak terguncang.
"Sekolah," jawab Fang singkat.
Alis Taufan terangkat sebelah. "Kenapa ke sekolah? Bukannya kita seharusnya mencari bantuan?"
Gempa mengangguk setuju dengan perkataan abangnya. "Iya. Pasti masih ada yang selamat. Kita bisa membuat pusat perlindungan."
Frostfire menggoyangkan cup minumannya, mencari air yang bersembunyi di antara es. "Tidak akan ada. Kemungkinannya sangat kecil. Pikirkan dulu diri sendiri baru orang lain."
Gempa berdecak dalam hati. Ia menolak menerima kalimat terakhir Frostfire, rasanya egois. Daripada cari ribut, lebih baik Gempa mendiamkan diri.
"Sekolah memiliki banyak peralatan, Bang. Juga gerbang yang tak akan bisa ditembus makhluk itu. Ada UKS dan kejuta-" Ucapan Solar terhenti. Semua tahu penyebabnya apa. Seekor zombie berjalan lambat ke arah mereka.
Tiah mempersiapkan snipernya, namun Ice menghalangi. "Jangan. Suara tembakan bakal narik mereka ke sini."
Jauh dari kata menyerang, geng Boel DKK lebih memilih bersembunyi di balik truk yang terparkir di dekat mereka. Bukan apa, Halilintar menyuruh mereka menyimpan tenaga terlebih dahulu. Zombie ini solo, jadi tidak terlalu berbahaya.
Kita tidak akan tahu kapan situasi bisa menjadi seberbahaya bagai terperangkap bersama piranha lapar di sebuah tong.
Ah, Taufan penasaran zombie solo tadi sudah berjalan sampai mana. Jadi ia berinisiatif mengintip. Lupa berwaspada, kaki Taufan tak sengaja menendang kaleng.
Ting!
Semua membelalakkan mata. Kenapa bisa ada kaleng di situ sih? Mereka jadi ketahuan deh! Tampaknya keadaan memaksa mereka bertempur dengan mayat hidup ini.
Grrrr!!
Graaa!
Halilintar menatap tajam adik pertamanya, lantas memimpin perperangan singkat ini bersama Fang.
"Sorry," cicit Taufan memainkan jari telunjuknya.
"Berharap aja Bang Upan gak dibanting Bang Hali nanti," celetuk Blaze. Ia menepuk pelan bahu ketua Trio Troublemaker itu. Jujur, Blaze sama sekali tidak keberatan dengan ketidaksengajaan Taufan tadi. Ia bisa bermain dengan para zombie.
Biar Blaze tunjukkan hasil latihan bela dirinya selama ini!
Gempa yang menyadari tingkah Blaze sontak menegur. "Hei! Hei! Hei! Itu zombie! Bukan manusia. Sebelum kau pukul ntar udah digigit duluan."
"Gimana, dong? Aku gak tahan mau mukul, Bang." Blaze berhenti di tengah jalan. Bagaimanapun keselamatan nomor satu.
Fang menyodorkan sarung tangan dan empat kardus berbentuk persegi panjang yang sudah diselotip penuh. "Pakai."
Blaze menerima benda-benda tersebut dengan senang hati. Kardus itu ia pakai di kedua betis dan lengan. Anggap saja persiapan berperang.
Gempa mendelik. Bukannya melarang malah kasih bantuan. Fang hanya melirik sang kawan. "Gak lucu kalau dia mokad sia-sia."
.
.
.
.
.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro