20. Kantor Polisi
.
.
.
HAI HAI EVERRYYBOODDYYY!!!
Besok valentine, gak ada yang mau donasi coklat kah :)
Terakhir kali dikasih coklat dua tahun lalu 😂 itu pun untuk yang pertama kali~
Btw yang baca masih hidup, kan?
.
Hihihi, fanficnya makin lama makin bosen yak?
Tenang, gak sampai chapter 40 udah tamat kok🗿
Kayaknya sih.
So, scroll terus ke bawah~
Bacanya pelan-pelan...
Happy reading ma reds~>>
>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>
Brak!!
"WAAA- selow bang!"
"Kalian darimana?"
Pintu terbuka dengan cara didobrak. Halilintar mendengus, sepertinya ia lupa bahwa ia tidak tinggal sendiri. Seenaknya saja keluar tanpa izin. Tapikan ia sulung.
Gempa pula memandang kedua abangnya yang terdiam meminta penjelasan. Setelah ia terbangun karena suara pot pecah tadi, Gempa menemukan sunshine sudah dalam pot yang baru.
Heran? Of course.
Setahunya Thorn tidak pernah menyelinap diantara malam untuk mengganti pot bunga, walau bunga itu merupakan bunga kesukaannya.
"Dari Korea, Gem. Ketemu Eren," sahut Taufan ngawur.
"Kok gak ngajak?" Gempa berkacak pinggang.
"Kalian sih ngebo trus, susah banguninnya jadi kami langsung capcus ke Korea."
'Apalagi ini,' batin Halilintar yang nyimak percakapan kedua adiknya.
Tapi ia segera mengganti topik keberadaan Eren di Korea karena ada yang perlu ia chek.
"Gem, semua lengkap?"
"Lengkap? Apanya? Barang? Aman kok," sahut Gempa kurang mengerti. Beri pertanyaan kok gak jelas, pikirnya.
"Bukan. Kunyuk-kunyuk yang tinggal di rumah kita," ucap Taufan memperjelas maksud pertanyaan si sulung.
"Bang, rumah yang kita tinggali ini milik ayah bukan kita."
"Ya sama aja, kita kan anaknya."
"Ehem!"
"Lengkaplah bang, mana mungkin mereka keluar malam-malam. Kecuali kalian," ucap Gempa memberi jawaban yang dikehendaki. Tak lupa juga tetap berusaha mencari tahu mengapa kedua abangnya keluar malam.
"Masa?" Halilintar yang sememangnya orang yang tak mudah percaya melangkah kakinya menuju lantai atas, ingin mengecek sendiri apakah benar keempat adiknya berada di dalam kamar.
Bukan apa, ia tahu ada salah seorang adiknya yang bermain di belakang mereka.
Namun Gempa sontak mencegah abangnya. "Abang ini gak percaya banget, ntar mereka kebangun gimana?"
"Tidurin balik," jawab Halilintar acuh tetap menuju atas.
Yang pertama kamarnya Blaze, terdengar suara-suara yang sedikit teredam dengan bantal.
Cklek!
Ketiga kurcaci mengintip ke dalam kamar, menemukan dua lainnya tengah menatap laptop sembari memakan chiki.
Blaze dan Thorn spontan menoleh ke arah pintu kamar, mereka yang tadinya tiduran langsung mengganti posisi menjadi duduk. Keciduk bahwa mereka belum tidur.
"Hayoo tuh! Belum tidur, ngapain?" Taufan memasuki kawasan kamar yang agak berantakan itu.
"Nonton film horor, Bang Upan mau ikut?" Tawar Blaze. Tangannya membalikkan sisi laptop sehingga tampak kalau mereka sudah menyaksikan 50% filmnya.
"Iya bang, ikutlah... Thorn takut."
"Trus kalo takut kenapa nonton?"
"Hehehe... bang Blaze ngajak, Thorn juga gak bisa tidur. Jadinya nonton aja," sahut Thorn canggung.
Mereka melirik ngeri ke arah pintu, tatapan tajam Gempa sudah menunggu.
Glek!
"Besok telat tinggal," kata Halilintar datar sebelum beranjak menuju kamar Ice.
"Itu abangmu kenapa bang?" Tanya Blaze heran sembari menggaruk kepala. Sungguh aneh Halilintar membiarkan mereka tetap melanjutkan kegiatan yang bernama 'begadang' itu.
Biasanya jika Halilintar menemukan mereka bertiga (dengan Taufan) sedang menonton atau bermain game di tengah malam, sudah dipastikan gadget yang mereka mainkan sudah hilang dari peradaban.
Yang paling ringan sih retak doang.
Taufan menggedik bahu, menarik Gempa mengikuti sang sulung sebelum adiknya ini mengoceh panjang lebar.
"Yaudah sana lanjutin aja, aku mau main sepeda."
Makin heranlah kedua kunyuk yang berada di kamar Blaze.
"Memangnya ada orang yang main sepeda jam 2 pagi?" Tanya Blaze.
"Memangnya kita punya sepeda?" Tanya Thorn balik membuat Blaze mengatup mulut, benar juga.
_____________
Krieet!
Pintu berdecit. Kamar Ice gelap seperti biasa. Pertama kali yang mereka lihat adalah sebuah gundukan selimut yang diyakini sebagai Ice yang sedang bergelantungan di alam mimpi.
Seperti biasa, Ice memang sudah seharusnya tidur jika tidak ada lagi kegiatan yang harus dilakukan.
"Udah tidur tuh," bisik Gempa.
Halilintar menatap gundukan selimut itu tajam lalu menarik knop pintu.
Mereka berjalan ke kamar terakhir.
Cklek!
Pintu dibuka luas, memaparkan seluruh isinya. Kasur, lemari baju, 2 rak buku penuh, satu lemari kacamata berbagai merk, dan beberapa barang tidak penting lainnya. Walau gelap, mereka masih bisa melihat ketiadaan si bungsu. Kosong.
"Kemana dia?"
"Hanya satu tempat yang pastinya dikunjungi Solar."
Labolatorium.
__
"Terkunci."
"Pasti ada orangnya di dalam," ucap Taufan. Ia mengetuk pintu.
"Anak orang, adik ku sayang, bukaaaa!"
Klik!
Tak lama suara putaran kunci terdengar, wajah segar Solar nongol. "Hu?"
"Hayoo tuh, belum tidur. Ngapain?" Tanya Taufan part2.
"Eksperimen, Bang. Biasa~" jawab si bungsu.
"Lebih baik tidur," kata Gempa secara tak langsung memerintah.
Solar menggeleng kepala.
"Satu jam lagi bang."
"Udah pukul 2, lho, Solar."
"Biasa aku tidur pukul 4, Bang," sergah Solar santai melanjutkan eksperimennya.
"Perlu-" Gempa menghentikan ucapannya bila Halilintar mulai berjalan meninggalkan mereka bertiga. Ia mengeryit sejenak.
Pertama-tama Halilintar bertanya apakah semua saudaranya lengkap berada di rumah. Kemudian, mengecek satu persatu. Lalu sekarang manusia penakut balon itu terburu-buru mengambil kunci mobil.
Lain dengan saudaranya yang heran, Taufan malah berpikir Halilintar ingin melarikan diri dari rumah. "Eh? Bang Hali! Tunggu!" Ia mengejar sang sulung.
Solar mengambil kesempatan. Segera menutup pintu labolatorium dengan pelan lalu menguncinya kembali.
Gempa terdiam, mengacak pinggang. "Good! Aku ditinggal."
>>>>>>>>>>>>>>>>>>
Gempa membanting pintu mobil. Matanya melotot sembari memasang sitbelt. Mobil bergerak menjauhi halaman rumah.
"Lah? Kau ngapain?" Tanya Taufan.
"Ikut lah, Bang. Kemana sih malam-malam gini?"
"Ano- gimana jelasinnya, ya?" Taufan mengelus dagunya, bingung harus mulai menjelaskan dari mana.
Halilintar berdecak, menunjukkan keempat note yang ia ambil di gedung permata ruby. Daripada mereka terus ditanya Gempa layaknya sedang menagih hutang.
Mata Gempa seketika membelalak. Mengambil benda itu dari abangnya. "Abang nyuri? Di mana?"
"Punya TNV, kan?"
"Jangan-jangan..."
Taufan duluan menyergah sebelum Gempa menduga bahwa mereka salah satu dari TNV.
"Eh! Kami serempak bareng mereka tadi."
Gempa penasaran, mencondongkan sedikit badannya ke depan. "Kok bisa?"
Taufan menggedik bahu, pura-pura tidak tahu mengapa mereka bisa berada di sana. "Entah."
"Ya kali kebetulan, hoki banget." Gempa menyeletuk. Diperhatikannya kumpulan kertas berbeda warna tersebut.
"Hoki darimana? Siap-siap tinggalkan wasiat ada lah."
"Baguslah, aku sulung. Gak ada beban."
Cittt!!
Mobil berhenti mendadak. Halilintar dan Taufan menatap tajam sang adik yang paling waras.
Gempa menyengir. "Canda, Bang. Serius amat." Raut wajahnya kian berubah menjadi kecewa.
"Yah... jadi kalian beneran gak ke Korea?"
"Aduh, Gem. Ya enggaklah. Mana mungkin kami ke Korea dalam waktu 30 menit? Gak keburu jalan-jalan di sana." Taufan gemas menjitak Gempa.
"Ya manatau kalian beneran ketemu Eren. Sekalian minta tanda tangan Naruto."
Taufan meringis. Sejak kapan Eren dan Naruto berada dalam satu studio?
Sejak kapan pula Eren di Korea??
"Gem, jangan ikut gila." Halilintar memijit keningnya.
"Trus? Mau kemana?" Tanya Gempa lagi, mengulangi pertanyaan yang sama.
"Kantor polisi."
"Laporin kalo kalian ketemu TNV? Memangnya mereka bisa percaya?"
Taufan menjentik jari. "Itu alasan sampingan."
"Ada pula alasan sampingan, kek jadi istri sampingan aja." Gempa kembali berceletuk.
"Tapi aku merasa kedua kelompok ini berhubungan." Halilintar mengambil 3 buah permen mint dan memakannya.
"Dua kelompok?" Beo Gempa.
Si sulung mengangguk. "Kalau kalian perhatikan, ada kalanya permata yang dicuri itu tidak mempunyai note."
Taufan mengangguk setuju. "Seperti topaz yang waktu itu kuambil, anggotanya banyak banget. Padahal setahu kita kan TNV cuma punya sembilan member."
"TNV, The Ninth Viallin." Taufan terdiam sejenak lalu menutup mulutnya, keceplosan.
"Oh... nyuri?" Gempa menatap garang abangnya. Bisa-bisanya. Sudah diculik, mereka malah mencuri balik harta penting milik sang penculik.
Gempa heran apakah tindakan Taufan bermotif sengaja atau kesempatan.
Taufan menyengir, melirik sang sulung meminta pertolongan.
"Tapi itu tidak menutup kemungkinan bahwa TNV punya anak buah," kata Halilintar.
"Kalo gitu, kelompok yang satu lagi?" Gempa mulai mengerti sesuatu. Sepertinya kelompok yang menculik Trio troublemaker saat itu bukanlah TNV.
Bahkan mungkin saja kelompok itu bermusuhan dengan TNV.
"Mereka tidak memperkenalkan diri di depan publik seperti TNV. Tapi mereka menunjukkan wajah mereka secara terang-terangan."
"Lalu kenapa sepertinya kalian pengin banget membuka rahasia antara dua kelompok itu?"
Halilintar maupun Taufan menoleh ke belakang, menatap Gempa yang mulai serius menanggapi. Mereka melempar senyum miring.
"Apakah kau percaya kalo dua dari kita (Boboiboy Brothers) merupakan salah satu TNV?" Tepat saat mereka berucap, mobil memasuki kawasan kantor polisi.
Mereka bertiga segera turun dari mobil, memandang bangunan kantor polisi yang sepi tersebut.
"Satu lagi. Kenapa waktu kita datang, kantor polisinya selalu sepi?" Gempa menyadari hal ini. Kondisi sepi yang digambarkan bukan karena malam hari.
Tiada petugas lagi selain William dan Sarah di dalam ruangan khas mengintrogasi tersangka. Bangunan megah kantor polisi ini kosong melompong.
"Katakan, apa tugas kalian sebagai polisi?" Halilintar tanpa basa-basi menghampiri kedua polisi tersebut.
"Seperti yang kau tahu, anak muda," jawab william seraya menguap. Menutup buku berisi informasi kasus kemarin yang belum terpecahkan.
Sebenarnya bisa saja mereka mengerahkan seluruh polisi untuk menangkap GOT dan TNV sampai ke akar-akarnya, tapi William lebih memilih untuk berpikir mengapa bisa GOT tercipta.
Dari 20 tahun lalu Geng Of Threats itu selalu berupaya menyelundupkan sejumlah narkotika di seluruh asia. Bukan hanya itu, mereka juga sempat mencuri minyak bumi kota ini.
Setahu William, ketua GOT itu sangat kaya. Mengapa lagi mencuri semua itu demi uang?
"Tapi tindakan kalian tidak mencerminkan sikap polisi," sindir Halilintar lagi.
"Heh anak muda, kalo ingin mengangkat bendera perang perbacotan besok saja." William bergumam malas, menenggelamkan dagunya di antara lipatan tangan.
Gempa memperhatikan kelopak mata yang tertutup itu, William terlihat kurang sehat. Memiliki mata panda.
Kira-kira berapa hari William tidak tidur?
Berbeda dengan rekannya, Sarah menatap bosan ketiga remaja di hadapannya lalu membuka suara.
"Ada laporan?"
"Laporan? Gak ada, tapi ini ada." Taufan menaruh dua kertas kecil milik TNV di tengah meja.
William yang tadinya ingin terbang ke alam mimpi segera membuka kelopak mata. Badannya langsung tegak setelah menangkap objek tersebut lewat retina mata.
"TNV? Where?"
"In your head," ketus Halilintar.
"Kapan-kapan by one ya?" William menarik napas sabar, membolak-balikkan seluruh note itu.
"Hanya dengan kertas kami gak bisa melacak sesuatu," dengus Sarah.
"Ada apalagi di sana?"
"Kenapa tidak langsung mengecek saja?"
Mendengar pertanyaan Gempa, William sontak menunjuk sekitar.
"Kau lihat keadaan di sini anak muda? Mana mungkin kami meninggalkan gedung kantor polisi yang kosong seperti ini?"
"Salah satu saja susah," cibir Halilintar melipat tangan. Matanya melirik sana sini mencari sesuatu yang mungkin bermanfaat.
Dan ia menyipitkan mata bila melihat peta negara Indonesia yang beberapa bagiannya ditandai dengan jarum. Tertera nama TNV dan GOT di sana.
Alisnya terangkat, GOT. Itukah nama saingan adiknya?
Taufan menaruh jari di dagu, ia rasa pernah melihat sesuatu.
"Di gedung permata biasanya ada CCTV kan?"
"Ya, tapi biasanya CCTV di sana akan dihancurkan oleh mereka sebelum bertindak."
"Mengecek, kan gak salah," ujar Gempa.
William menguap sekali lagi, bangkit berdiri menuju ke ruang CCTV. Namun ia beralih menatap datar ketiga Boboiboys yang mengekorinya layaknya anak ayam.
"Kami kepo," ketus Gempa mengeluarkan aura tak bersahabat.
William menggidik. "Serah."
Kini mereka berada di ruangan CCTV. Keanehan lagi. Biasanya masyarakat tidak dibenarkan memasuki kawasan CCTV kepolisian.
Jari William menari di atas keyboard, mengetik sejumlah angka dan membuka CCTV yang berdekatan dengan gedung permata ruby.
"Itu!" Taufan spontan menunjuk salah satu rekaman yang berisi empat orang di sana. Ternyata kelakuan TNV tadi terekam kamera.
"Hehe." William menghela napas lega. Sarah hanya melirik ketiga manusia bertopi itu.
'Yes! Ketua pasti suka begitu dengar kabar ini.'
"Ya sudahlah, pulang kalian. Kami akan mengurusi ini," suruh William seenak badak tak lupa menghalau trio ori.
"Heh! Beritahu dulu! Kasus kami yang sebelumnya bagaimana?" Taufan memukul pelan meja kedua polisi tersebut.
Kasus teror kardus laptop kemarin saja belum kelar. Laporan pihak sekolah terkait puluhan bangkai tikus yang entah dikirim oleh siapa pun belum ada kabarnya.
Apakah kedua laporan itu diabaikan para polisi layaknya angin?
Sarah tersenyum sinis.
"Ada baiknya kalian tidak mengetahui perkembangan kedua kasus itu."
_____________________________
"Nyari mati?" Keempat anggota TNV yang bertugas mencuri permata ruby meneguk ludah.
Dari nada bicaranya sangat jelas bahwa ketua mereka marah.
"Kami punya alasan, ketua," ujar RY sebagai wakil.
"Alasan? Ingin cepat masuk penjara?" Sarkas PR seraya mendengus. Tetap meletakkan separuh atensinya kepada laptop yang bersandar di bantalnya.
Untung trio ori memakai topinya saat keluar rumah. Jadi PR dapat mengawasi seluruh pergerakan mereka. Dari situlah dia tahu bahwa GR, RY, AS dan IL sama sekali tidak berniat menghancurkan CCTV yang dapat menjadi bukti kuat.
AS menggeleng kepala walau tahu PR tak akan bisa melihatnya.
"Bukan, ketua. Memberi bantuan pada kedua polisi aneh itu bukan masalah besar. Mereka sudah tau."
"Lagipula, bermain dengan para elemental sepertinya akan menyenangkan."
.
.
.
.
Gimana respons mu tentang chapter ini?
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro