16. Peluru dan Semangka
Pohon pisang dibelah paku
Mawar menguncup tanda cemburu
Terima kasih sudah baca ini buku
Walau kenyataannya tidak seru
Hai! Haiii!
Ehe- chapter baru. Dari judulnya seharusnya sudah ketebak.
Ada member baru di sini. Salah satu tokoh dari BBBG🗿
Kalian kenal dia siapa.
Kali ini mari fokus ke Trio Troublemaker lagi.
___________________________________
"Ampun..."
"Ampun ampun bagaimana ha?! Kalian mau saya protes ke presiden karena prank kalian keseribu kalinya?!" marah Bu Kikita pada kedua troublemaker yang tengah disetrap di depan kelas.
Ya, prank lagi.
Tiada sehari tanpa prank dari Trio Troublemaker.
Taufan dan Blaze saling melirik, menahan tawa dalam hati. Ekspresi guru ini memang sungguh lucu.
"Tapi bu, emang Ibu tau nomor whatsapp pak presiden?" balas Taufan tanpa takut sama sekali, siap membuat wajah yang polos.
Sahutan tersebut jelas memancing amarah Bu Kikita, dengan kekesalan yang berjibun sampai ke ubun-ubun ia kembali mengarahkan penggaris kayu pada mereka berdua.
"Kapanlah kapok kaliaannn-"
"Baa!" Blaze mengoper laba-laba kepada Bu Kikita.
"KYAAAAAAAAAAAA!!!!"
"BWAHAHAHAHAHA!!!"
"TAUFAN! BLAZE!!"
"WAAAAAAHAHAHAHA! LARI!!"
Seluruh penghuni 10 MIPA 2 menggeleng-geleng kepala, sebagian lagi sudah sedia mengeluarkan snack dari saku.
Numpung guru mereka sedang disibukkan dengan hal tidak penting, ada baiknya mereka mengambil sebagian waktu untuk makan sebelum bel berbunyi.
Lagipula wanita mana sih yang suka dengan si kecil imut tapi menyeramkan itu? 🕷 hanya dengan melihat makhluk tersebut mereka sudah menepi duluan.
Kalau ukurannya kecil tidak masalah, laba-laba yang dipegang duo troublemaker ini sebesar jempol.
Ajaibnya sang laba-laba besar ini merupakan ibu laba-laba kecil yang diseret Ice kemarin, entah dari mana mereka menemukannya.
"Hey, X^-2+3/9×5^4+193÷2+X×X^2 jawabannya berapa meter?"
"Sepertinya dirimu salah soal."
"Kapan pulang?"
Kringggg!!!
"YEEEEEEEYYYYY!!!"
"Kuy! Balik rumah!"
"Ehh! Tunggu troublemaker dulu!"
"Mereka kan bisa pulang sendiri."
"Lagipula aku yakin urusan mereka sama bu Kikita masih belum selesai," timpal Gopal sembari merangkul tas sekolahnya. Kelas mulai kosong.
"Tunggu bentar aja napa dah? Kasian teman seperjuanganmu itu tuh," ucap Ying melangkah keluar dari kelas bersama yang lain.
"WWOOOOOOOOOIIIIIIII!!!!!"
Kemudian terdengarlah suara membahana milik Adudu yang sedang berlari ke arah mereka.
Ada yang menanggapinya dengan menutup telinga, ada juga yang berdiam diri saja~
"Capek bang? Minum gih," suruh Yaya melihat Adudu yang bermandikan keringat.
"No! No! No! Kalian berlima! Ikut aku! Kepsek minta kita rapat! Now!" Adudu menekan kata terakhir sesudah menunjuk Halilintar, Gempa, Solar, Yaya dan Ying.
"Rapat? Emang rapat apa yang harus melibatkan murid juga?" Fang bertanya bila merasa keberatan, teman-temannya itu bukan calon guru.
Adudu menggedik bahu, melirik ke arah lain sembari menunjukkan ekspresi takut sekilas. Telat.
"Yuklah!"
Keempat rekan yang ditinggal pun ikut berjalan ke arah lain, berniat menunggu yang lainnya di pos satpam untuk pulang bersama.
Tiada yang berniat berbicara, hanya membiarkan angin dan suara ricuh berlalu di sana.
"Hey boy~ belum pulang?" Pak satpam membuka topik, sedikit mencondongkan badannya ke depan.
"Ngab... bwlm pam, ngongo nga ngalin nguang," jawab Gopal.
Thorn yang mendengar, terkikik. Mencuit-cuit pipi Gopal yang menggembung karena terisi makanan.
"Kata abang Gem kalau makan telan dulu baru ngomong."
Gopal mengiyakan saja. "Belum, Pak. Kami nunggu yang lain biar bisa pulang sama-sama," ucapnya.
Pak satpam terkekeh, mengambil setusuk bakso bakar milik Gopal lalu memakannya tanpa izin. Membuat sang pemilik menatap kesal si pelaku. Jajanan itu menggiurkan.
"Sedekah, Gopal... punyamu kan masih banyak."
"Jangan ambil!" Gopal menyembunyikan bungkus bakso bakar di balik bajunya saat menyadari ada dua sosok misterius yang berniat mencuri.
"Pelit!" Ketus Blaze sambil memuncungkan mulut.
"Bomat! Blep!" 😝
"Mana yang lain?"
"Rapat sama kepsek."
"Lagi?"
"Kerja kepsek itu ngapain sebenarnya? Bawa-bawa murid," celetuk Taufan. Ia rebah ke tanah untuk mengisi tenaga. Tak peduli bila seluruh pandangan fangirling mengarah pada mereka.
"Maklumkanlah nak, kepsek kalian udah kakek-kakek. Cepat lelah... barangkali mereka rapat bahas tentang olimpiade tahun lalu," tutur pak satpam sembari mengusir para fangirl dari lokasi.
Mereka meresahkan :v
Taufan segera mengambil posisi duduk. "Pasti disuruh ikut olimpiade lagi."
"Daripada disuruh ngebom sekolah, lebih mending mana?" Fang menanggap cuek, tangannya dilipat di depan dada.
"Ih! Pikiran teroris," -Thorn.
"Ntah Fang ini! Aneh-aneh aja pikirannya." Gopal menyenggol keras Fang yang bersandar pada dinding hingga rekannya kehilangan keseimbangan.
Bukk!!
"Ck, ngajak gelud bilang dong!" Fang mendengus kasar, membersihkan seragamnya yang kotor akibat jatuh ke linangan lumpur.
Ia mengerutuki kumpulan lumpur yang entah sejak kapan berada di sana, perasaan tadi malam tidak hujan. Genangan itu tepat berada di samping pos satpam pula.
"Tidak adakah yang mau menemani Thorn beli permen?" tanya Thorn pada keempat rekannya, mulutnya ingin mengunyah sesuatu.
Ice duluan merebahkan diri ke kursi di pos satpam. Semua pun tahu makhluk satu itu tidak berniat menemani adiknya.
Melihat respon diam mereka, Thorn seketika cemberut. Daripada menunggu balasan yang tak kunjung datang ada baiknya ia langsung menarik salah saru saudaranya.
"Thorrnn, jangan paksa akuuu!!"
"Thorn mau jajan, Abang."
"Ajak yang lain, Blaze misalnya."
"Enggak ah, Thorn yang beli jajan nanti malah abang Blaze yang makan."
"Ice aja kalau gitu."
"Thorn gak sanggup seret abang Ice ke warung." Taufan kekal menempel di posisinya. Ah, cara ini tidak berkesan.
"Hiks... hiks...."
"Eh?! Iya! Iya! Ayo beli!" Taufan meringis kecil, tetap menjaga agar air mata adiknya tidak tumpah walau ia tahu hal itu cuma sebuah cara pujukan.
Ntar digampar Gem, bahaya.
Thorn yang tadinya memasang muka sedih langsung ceria kembali. "Yey!"
"Aku ikut!" Blaze menawarkan diri.
"Lalu siapa yang nemenin Ice?" Alis Taufan dinaikkan.
"Fang dan Gopal."
"Ya sudah. Tapi jangan minta aku traktir jajan," ucap Taufan terang-terangan dengan nada malas. Uangnya dalam bahaya.
"Ditinggal kedua kalinya~ huhuhu..." Gopal berdrama, setusuk bakso sisa dilahapnya. Bungkusnya pula dibuang ke tempat sampah.
"Sebentar doang nak," respon pak satpam. Ia menyeruput kopinya yang sudah dingin lalu menghampiri seorang guru yang memanggilnya.
Ice membuka mata, maniknya mengarah pada sebuah kertas kecil yang tergeletak naas di lantai.
Sedari tadi ia penasaran dengan isi kertas itu, yang kalau dilihat sekilas hanya berisi tulisan dokter semata. Nyatanya benda itu menampung tinta yang membentuk titik dan garis, sandi morse.
__________________________
●➖ ●➖➖ ●➖ ●●● ●●
➖➖ ●➖● ➖●➖
___________________________
'Awasi mereka?' Batin Ice mengernyit.
>>>>>>>>>>>>>>>>>>>
"Udah? Itu aja kan?" Mereka bertiga berjalan keluar kedai setelah membeli beberapa butir permen dan bungkus chiki.
Tadinya Thorn meminta lebih, tetapi karena peringatan Taufan dan Blaze tentang insiden sakit giginya tempo hari, ia menurut saja.
"Gak cukup sih sebenarnya, Bang." Blaze terkekeh begitu dipandang malas oleh kakaknya.
"Kata Gempa jangan membazir, ayah belum kirim gaji bulan ini," sahut Taufan sembari mengunyah permen karet.
"Gaji? Memang kita udah kerja?" tanya Thorn polos.
"Bukannya lebih tepat kita panggil upah? Kita kadang jadi suruhan," timpal Blaze lagi.
"Yeuu, kita memang belum kerja. Tapi kita punya pekerjaan." Taufan memungut sebuah logo yang memiliki dua warna yang familiar. Logo dengan dua bentuk yang sama. Matahari membuat benda besi itu bersinar menyilaukan seperempat matanya.
"Pekerjaan? Pelajar maksudnya?"
"Bukan." Ia mengantongi benda asing tersebut secara bersembunyi.
"Jadi?"
"Kita kan murid."
"Ya, sama aja Baanggg Ufaann!!"
Taufan mengedarkan pandangan ke sekitar, otaknya berpikir tentang sesuatu. Namun ia harus mengakhiri topik pikiran rahasianya itu kala kedua adiknya memberitahu bahwa mereka melihat kelibat Frostfire memasuki lorong Gaib.
Lorong itu dinamakan Gaib karena selalu meninggalkan si pejalan kaki di depan lorong dengan luka-luka goresan, para korban yang pernah melewati tempat itu pun mendadak berlagat aneh.
Mereka tidak tahu apa yang terjadi saat telah memasuki lorong itu, polisi juga telah mengecek dan hasilnya tiada yang mencurigakan.
"Ikuti yuk!" ajak Blaze kepo mengejar langkah kawannya dengan cepat namun tanpa suara.
"Eh? Jangan! Ish!" Memberi larangan pun tak berlaku jika Blaze sudah memasuki mode kepo. Mereka masuk ke lorong tersebut.
Thorn memeluk salah satu saudaranya, ia tidak ingin ikut tetapi juga tidak ingin ditinggal.
"Abang yakin mau lewat sini? Nanti kita kenapa-napa gimana?"
"Enggak bakalan kok, pikir yang positif aja Thorn."
"Lagian kita kan bertiga."
"Abang lupa kita pernah diculik waktu itu, dan ini lorong yang sama dimana kita diculik," Thorn menggembungkan pipi. Untung saja mereka selamat, kalau tidak siapa yang akan menjadi adik terimut mereka?
"Kalo kita diculik lagi kita bakar lagi gedungnya," jawab Taufan santai.
Detik-detik keheningan dan ketegangan menemani mereka sewaktu melangkah semakin jauh ke dalam lorong.
Minimnya suara dan cahaya menjadikan lorong Gaib ini terasa suram dan sedikit mencekam, biasanya mereka hanya melewati tempat ini saat terlambat menuju sekolah. Lorong ini jalan pintasnya.
Dan akhirnya mereka sampai ke ujung lorong dengan selamat tanpa luka sama sekali.
"Thorn baru tahu ada sekolah di sini," tutur Thorn bila melihat sebuah bangunan luas bercat putih bernama 'SMA Bangsa Trisatya'.
Ia heran mengapa baru menyadari adanya keberadaan sekolah SMA Bangsa Trisatya, padahal mereka terbilang cukup sering melewati tempat ini.
"Mungkin gak kelihatan karena setiap pagi kita buru-buru lari ke sekolah," sahut Blaze yang ada benarnya.
Sebab terkejar waktu, mereka hanya fokus pada jalur lalu lintas yang dilalui juga tujuannya.
"Frostfire~"
Tiga kepala nonggol dari balik dinding, mata mereka bergerak kanan kiri mencari sosok bernama Frostfire.
Ternyata benar, Frostfire melewati lorong Gaib untuk mengunjungi sekolah asing ini.
Teman mereka itu bahkan terlihat sedang bercakap-cakap dengan salah satu siswa di sana, perbincangan mereka tampaknya sangat ringan.
Tiba-tiba lampu di sekitar wilayah tersebut berkelap-kelip, tak lama listrik padam. Penduduk sekitar langsung terheran-heran menyaksikan situasi langka tersebut.
"Waduh! mati listik, Pak. Kok bisa ya? Biasanya gak pernah mati."
"Iya tuh, Bu. Gak ada angin gak ada hujan langsung padam listiknya." Seorang bapak menyahut. Trio troublemaker hanya menyimak pembicaraan.
"Anehkah? Kalo mati lampu di komplek kita, ibu-ibu malah sibuk ngutuk PLN." Blaze menggaru kepala. Kedua saudaranya menggedik bahu sebagai respons.
Thorn kembali menoleh ke dalam sekolah, Frostfire sudah tidak ada di sana. Teman bicaranya yang memakai topi putih pun telah pergi. "Yah... Frostfirenya hilang."
"Lagian sih, kita gabut banget ngikutin dia dari belakang."
"Namanya kepo, Bang," celetuk Blaze tak terima bila dia disalahkan secara tidak langsung. Mereka berjalan kembali ke sekolah.
Sedang damainya makan angin di trotoar, muncul seorang bocah laki-laki berlari menabrak Blaze hingga menjatuhkan bungkusan plastik yang berisi cemilan siang mereka.
"Dek, kalo jalan hati-hati ya!"
"Nasib malang menimpa permen dan para chiki ini, laporan. Mereka terlempar dari ketinggian 50 cm," Blaze mengambil kembali para cemilan di luar trotoar sembari berceloteh.
Dor!!
TUKK!!
Satu suara tembakan mengisi keheningan, disaat yang sama datang sebuah semangka menghantam kepala Blaze dari arah belakang.
"ADAWW!!!!" Pekiknya keras seraya memeluk kepala, buah berwarna hijau belang tersebut memantul ke trotoar.
"Eh! Bang Blaze!"
"Blaze!!"
"Duh! Sakitkah? Woi! Jawab woi!" Mereka berdua ikut berjongkok melihat keadaan Blaze yang masih sibuk berguling-guling sakit.
"Ish! Bang Upan ini! Udah jelas Bang Blaze kesakitan sampai guling-guling gitu!" tegur Thorn.
Taufan terkekeh, menangkap kepala Blaze bermaksud menghentikan gerakannya.
"Hey, berhenti dulu. Ntar kepalanya makin sakit lho."
"Tapi kayaknya tadi ada suara tembakan deh, kalian dengar gak?" Taufan menoleh sana sini.
Thorn menabok bahu kakaknya. "Ish! Bang Upan ini, abang lebih pedulikan suara gak jelas dibanding Bang Blaze?"
"Ya enggak gitu, Thorn."
"Ah! Maaf ya! Sepertinya saya salah lempar."
Ketiganya menoleh, mendapati seorang remaja laki-laki seumurannya yang tersenyum canggung.
"Heh! Mau lempar jangan ke saya dong! Sakit tau! Emang gak ada bola di rumah?!" teriak Blaze sebal menyempatkan diri untuk melotot pada si pelaku.
Si pelaku bertopi biru ini menundukkan kepala setelah mengambil kembali semangka miliknya.
"Maaf, lain kali saya akan lebih berhati-hati..."
"Iya deh, jangan ulangi lagi. Ntar mangsamu selanjutnya orang lain pula," ucap Taufan yang kemudian ditatap garang oleh Blaze.
"Eh! Mana bisa dimaafin gitu aja Bang! Gelud dulu dong! Tanggung jawab atas kepalaku yang berdengung!"
"Untung gak pecah!" Lanjutnya lagi.
"Lalu Bang Blaze mau buat kepalanya sakit juga?" -Thorn.
"Iyalah!"
"Udah-udah! Daripada kau ngajak gelud sama orang, ada baiknya kita cepat pulang rumah kompres otakmu. Kalau perlu kita ke dokter." Taufan menarik kedua adiknya menjauhi Tempat Kejadian Perkara.
Si remaja bertopi biru ini menghela napas, menatap lama sebuah peluru yang menancap pada buah semangka.
"Hampir aja...."
Lain respon dari orang misterius yang mendengus gusar karena serangannya telah digagalkan, orang itu menghubungi bosnya.
"Laporan misi, gagal."
>>>>>>>>>>>>>>>>~
"Haaaaahhhhh...hah!" Salah seorang dari TNV menghela napas lega. Selega-leganya.
"Untung aja sempat dia!"
"Adek siapa dong?"
"Belagu."
"Lebih gercep adikmu daripada kau," cibir IL membuat salah satu member kelompok mereka cemberut.
"Tapi... aku berterima kasih sama dia. Kalau gak Blaze udah gak ada," ujar PR dengan penuh rasa lega yang tak terhingga.
"Lagian siapa yang tau ada anggota GOT di situ. Kalau ketemu kubunuh juga dia," celetuk SH.
"Saatnya rekrut member baru!" Seru OZ semangat.
AS menggeleng. "Jangan! Dia gak mau terlibat sama sekali dalam masalah kita."
"Sayang banget, padahal refleksnya bagus."
"Woi GR! Ngapain?" tanya ND pada kawannya yang sedang mengutak-atik laptop.
GR melirik, memutar laptop ke arah mereka semua agar bisa melihat apa yang sedang ia lakukan.
Dan ketujuh dari mereka seketika terkejut bila mengamati layar laptop yang menampilkan 15 rekaman ulang saat mereka mengunjungi semua tempat. Seluruh scene itu direkam kamera yang PR pasang secara diam-diam pada anggota juga keluarganya.
"Apa itu?! Kau merekam semua kegiatan kami?!" tanya mereka dengan suara lantang.
"Nop, ketua yang merencanakan ini." GR menyahut santai.
RY yang ingin protes langsung diam sambil mengumpat dalam hati. Ia tak bisa berkomentar jika yang merencanakan semua ini ialah PR karena semua keputusan berada pada ketuanya.
Ia takut diblacklist dari organisasi kecil ini.
"Tapi... kenapa?" tanya IL mewakili RY, AS, ND, TR dan OZ.
Ketua mereka melipat tangan, tatapannya berganti dingin.
"Agar kami tau bahwa kalian menjalankan misi dengan baik... lagipula, ada untungnya juga?" Si ketua mengambil laptop dari GR. Mengetik sejumlah angka yang menunjukkan tanggal hari ini.
'Untung untuk hal penting boleh lah... masalahnya privasiku gimanaaa?' Batin TR.
"Mengikut rekaman dari Taufan, dia sempat melihat logomu yang jatuh." Ketua melirik tajam pada RY.
"Aku bahkan tidak tau benda itu jatuh dari topiku." RY menjawab sembari ikut menyimak hasil rekaman.
"Aku terheran-heran mengapa mereka membuntuti Frostfire sampai sejauh itu." TR bergumam kecil namun masih bisa didengar yang lain.
"Apakah Taufan sudah curiga?" AS mengungkap inti dari percakapan trio troublemaker yang juga terekam.
"Mungkinkah ia sudah curiga semenjak mencuri topaz?" -OZ.
"Tapi setahuku dia orangnya agak bodoh," celetuk SH.
ND menggeleng sambil berdecak berkali kali. "Saudaramu loh itu."
"Ini nih! Orang yang hampir menembak Blaze tadi!" IL menuding laptop yang menampilkan rekaman dari kamera Thorn.
Ketua spontan menghentikan video tersebut, kini semua mengamati muka orang bermasker yang bersembunyi di mobil yang terparkir jauh.
"Mukanya familiar," -PR.
"Eh bentar." SH bangkit berdiri lantas mengecek data-data korban yang sudah mereka habisi sebelumnya.
Lalu selak halaman terhenti pada nama Ejojo, manik mata SH bergerak melirik kertas dan laptop itu bergantian.
"Ih! Sama!"
"Ejojo?! Dia kan udah mati!"
"Tapi mukanya nonggol di sini!"
"Kok bisa?!"
🗿
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro