Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

02-5: Audiya: Pilihan Akhir Akan Selalu Jatuh Pada Kata Bertahan

······✤······

Cerita dari Audiya Putri Pranita:

Pilihan Akhir Akan Selalu Jatuh Pada Kata Bertahan

······✤······

Rabu, 17 Januari 2018

Satu jam sebelum detik ini, Kak Wafda sempat menawarkan diri untuk mengantarku pulang. Aku menolaknya dan kuputuskan untuk datang ke indekos Gesha saja. Tangisku tak tertahan lagi. Ketika Gesha membukakan pintu kamarnya, aku langsung menangis tersedu-sedu. Dan responsnya tentu saja seperti yang sudah lazim dilakukan seorang sahabat. Ia memelukku dan membawaku masuk ke kamar kosnya.

Lantas kuceritakan dengan begitu rinci kejadiannya. Untuk kedua kalinya di tempat yang sama, aku mendengar Gesha bertanya kenapa aku masih bertahan dengan laki-laki seberengsek Kael.

"Sumpah, Di. Dia itu toxic. Lo mau sampai kapan kayak gini?" tanya Gesha sambil mengusap-usap bahuku. Aku tetap menangis tak keruan. Tidak tahu ada berapa kamar yang mendengar tangisku.

Aku pun menggeleng. "Nggak, Ge. Nggak apa-apa kok," jawabku lirih. "Kael pasti minta maaf. Kita pasti bakal baik-baik aja setelah ini. Gue nggak apa-apa, Ge."

Wajah Gesha langsung muram. Ia tampak ikut bersedih. "Di, tapi di luar sana banyak cowok yang jauh lebih baik daripada pacar lo. Yang nggak akan kasar, yang mikirin perasaan lo, yang nggak egois," katanya lagi.

Aku tetap menggeleng. Aku tidak setuju dengan hal tersebut. "Nggak bisa, Ge. Nggak akan ada cowok yang bisa nerima gue dalam keadaan begini," sangkalku. "Gue bukan cewek yang diidamkan orang-orang, Ge. Gue nggak sesuci yang terlihat di mata mereka."

"Maksud lo apa, Di?"

Audi yang tolol sedang membuka aibnya sendiri. Hanya sebaris kalimat itu yang sekarang terlintas di benakku. Aku berhenti menangis dalam hitungan detik. Gesha dan aku saling tatap. Aku tahu wajahku mungkin semakin sendu di mata Gesha. Air mataku menetes sekali lagi. Pikiranku kini membawaku kilas balik ke kejadian yang telah berlalu hampir dua tahun silam. Malam di mana aku menyerahkan diriku seutuhnya pada Kael.

Malam bodoh yang secara tidak langsung membuat seorang Audiya Putri Pranita jadi terkurung bersama Mikael Sabra Purnama dalam komitmen tak tertulis.

"Gue udah nggak virgin, Ge," akuku pada akhirnya. Nada bicaraku menurun ke titik terendah. Pengakuan ini belum pernah kukatakan pada siapapun. "Gue nggak bisa lepasin Kael gitu aja, Ge. Gue nggak mau lihat laki-laki lain selain Kael. Gue tau mereka bakalan jijik lihat keadaan gue yang kayak gini, Ge."

Hasil akhirnya, tepat seperti dugaanku. Gesha terdiam tanpa kata. Lebih tepatnya, dia pasti tidak tahu kata-kata apa yang pantas diutarakan padaku.

Jumat, 19 Januari 2018

Rabu lalu aku tidak punya pilihan apapun selain akhirnya mempertanyakan keberadaan Kak Wafda setelah aku menolak tawarannya. Aku berakhir pulang diantar olehnya tanpa sepengetahuan Kael. Entah ceramah apa yang akan Kael berikan setelah tahu nanti, aku tidak peduli. Pokoknya, dua hari lalu aku pulang dengan selamat.

Lagi pula, siang ini Kael mengirimkan pesan duluan setelah hampir dua hari kami saling diam. Benar apa yang kukatakan pada Gesha, kami akan baik-baik saja. Kael pasti meminta maaf, dan semuanya akan kembali seperti sedia kala.

Setelah berbalas pesan, Kael dan aku akhirnya sepakat untuk berjumpa dan menghabiskan sisa hari ini bersama.

Laki-laki itu menyambutku dengan sangat hangat ketika aku membuka pintu mobilnya. Senyumnya begitu lebar, begitu pula dengan tangannya yang membentang. Aku masuk ke mobilnya dan memberikan pelukan untuknya.

"I'm sorry, Babe," tuturnya lembut. Aku mengangguk sambil menghirup aroma tubuhnya yang selalu jadi favoritku sejak tiga tahun terakhir.

Meski Kael tidak melihat, aku tersenyum. Kuraih rambutnya dengan lima jariku, lalu meremasnya pelan. "Nggak apa-apa, Mikael. Everybody makes mistake," kataku. Detik selanjutnya, pelukan kami terlepas. Kami saling melempar senyum.

Kael begitu manis.

"Kamu belum makan, kan?" tanyanya. Aku menggeleng seraya menarik seatbelt menyilangkan tubuhku. Kael hanya mengangguk-angguk, kemudian mobilnya mulai melaju meninggalkan kawasan kampus.

Percakapan kami terputus. Perjalanan diisi dengan alunan lagu yang Kael setel. Sederet lagu-lagu Barat favoritnya dari Bruno Mars. Sesekali kami bernyanyi, sesekali kami diam.

Aku menghela napas. Ada sesuatu yang sangat ingin kutanyakan pada Kael.

Tapi pada akhirnya, aku selalu memutuskan untuk mengurungkan niat tersebut. Aku tidak memiliki keberanian yang cukup untuk membahas kembali perkara Kak Wafda. Di dalam benakku selalu tertanam pikiran: bagaimana jika Kael berpikir bahwa aku benar-benar berselingkuh dengan teman seangkatannya tersebut?

Akan tetapi Kael jauh lebih pintar. Bertahun-tahun kami menghabiskan waktu bersama. Aku yakin Kael sudah sangat menghafalku. Sudah kupastikan, sebab pada akhirnya, hari ini Kael-lah yang membuka topik.

"Apa yang kamu pikirin?"

Pertanyaan itu benar-benar menohok. Dan aku tahu peraturannya, yaitu aku tidak boleh dan tidak akan bisa berbohong pada Kael.

"Nggak apa-apa. Bukan sesuatu yang penting kok, By," kataku. Kael pun tidak merespons. Rasanya seperti kutukan. Aku sekarang jadi menyesal sudah bilang begitu. Bohong bukanlah jalan yang baik untuk menyelesaikan urusan dengan Kael.

Tapi hari ini Kael berbeda.

Ia seperti Kael yang baru kukenal tiga tahun lalu. Begitu manis, bengitu menenangkan. Petir mana yang telah menyadarkannya begini?

Selasa, 08 Januari 2019

Hari-hari terlewati dengan cepat. Aku semakin paham siklus hubungan ini. Ada sedikit hal yang berubah dari Kael beberapa bulan terakhir ini. Bertambah setahun usia hubungan kami, bertambah baik pula sikap Kael.

Kael jadi lebih dekat denganku sejak kejadian tahun lalu, ketika ia beradu mulut dengan Kak Wafda. Lambat laun aku akhirnya menyadari, Kael kehilangan banyak orang di dalam hidupnya. Teman-temannya tidak sedikit yang meninggalkannya karena kabar itu beredar dengan cepat.

Sisi positifnya, hal tersebut mempererat Kael dan aku. Namun sisi negatifnya, aku harus sangat menutup rapat daftar agendaku bersama sederet organisasi yang mulai kuikuti lagi. Kael sudah tidak pernah tahu lagi aku bergabung dengan organisasi mana saja di kampus. Aku selalu menyembunyikannya. Bahkan tanpa Kael tahu, aku kini memiliki dua ponsel dengan nomor berbeda.

Aku sadar betul ini tidak sehat, tapi aku sayang Kael. Aku mau melindunginya. Aku mau menjaga perasaannya. Aku mau mempertahankannya sampai aku sudah tidak sanggup lagi.

Akan tetapi, nilai-nilaiku tidak menampakkan peningkatan berarti. Dua semester berlalu, aku tetap belum pernah mendapatkan indeks prestasi yang melampaui, atau bahkan mendekati nilai Kael.

"IP ku hampir sempurna, By," ujar Kael di tengah kegiatan makan bakso kami di kantin. Aku hanya tersenyum menanggapinya. "Harusnya bisa sempurna, tuh, kalau absenku full semua."

Sekali lagi aku tersenyum. "Ya nggak apa-apa, kali. Nggak perlu jadi sempurna juga," kataku.

Laki-laki itu, sambil mengunyah bakso yang besar di dalam mulutnya, mengangguk. Ia kemudian menjawab, "Iya bener. IP kamu berapa, By?"

Aku mengedikkan bahu. "Dua koma tujuh empat," kataku singkat. Memang segitu jumlahnya. Kian ke sini kian menurun sedikiit demi sedikit. Semester lalu pun tidak tinggi. Hanya 2,78.

"Kenapa nggak pernah di atas tiga?" tanya Kael.

Sebenarnya aku yakin Kael murni bertanya. Tapi memang dasarnya saja pikiranku negatif, aku lantas mengasumsikan itu sebagai ejekan. Aku pun diam, memilih untuk tidak menjawab sebab kami sedang berada di tempat umum dengan orang yang sangat banyak. Tidak mungkin aku meributkan perkara indeks prestasi di kantin.

Dan aku berakhir terdiam seharian. Aku tidak tahu kapan siklus tolol ini berakhir. Bukan hubungannya, tapi hanya cara kerja hubungannya. Aku benar-benar mau hubungan yang sehat bersama Kael.

Jauh di dalam hati, aku selalu mengatakan pada diriku sendiri, bahwa kami pasti bisa melewati masa-masa sulit ini. Kami pasti akan saling mengerti satu sama lain seiring berjalannya waktu. Kael dan aku pasti akan terus bertahan dan mengalami perkembangan setiap harinya. Memang mungkin bukan hari ini. Tapi suatu saat nanti.

Suatu hari nanti, aku ingin sekali bisa berteriak pada dunia, bahwa aku bangga sekali karena sukses menyihir hubungan yang tidak sehat menjadi hubungan paling membuat iri seisi jagat raya. Aku menanamkan keyakinan seribu persen bahwa kami kelak sukses menyembuhkan hubungan ini seperti sedia kala.

Sampai kapanpun, mungkin pilihanku akantetap jatuh pada kata bertahan.

··✤··

······✤······

to be continued

······✤······

··✤··

··

·

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro