Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

02-3 | Audiya: Protektif Itu Bentuk Cinta yang Tulus

······✤······

Cerita dari Audiya Putri Pranita:

Protektif Itu Bentuk Cinta yang Tulus

······✤······

Jumat, 8 Desember 2017

Kabar baiknya, acara kami berjalan dengan lancar, hampir tidak memiliki masalah, dan ini adalah hari terakhir. Hari terakhir English Town, dan hari terakhir aku harus berdiri di panggung untuk membawakan acara. Dan satu kabar baik lainnya adalah, tugasku baru saja selesai setelah kubilang bahwa acara sudah resmi ditutup. Sekarang tersisa acara pesta musik. Kurang lebih satu jam lagi, bintang tamu akan menyudahi penampilannya di atas panggung, dan acara akan benar-benar usai.

Baru sekarang aku bisa menghela napas dengan begitu lega. Kuputuskan untuk turun ke belakang panggung, sejenak mengistirahatkan diri setelah lima hari berturut-turut berdiri di atas panggung mempertanggungjawabkan jalannya acara. Ada beberapa orang lainnya di belakang panggung selain aku. Mereka semua sedang bercakap-cakap kecil. Ada pula yang ikut bersenandung mengikuti nyanyian sang bintang tamu.

Aku lebih memilih untuk duduk dan meraih segelas air mineral serta beberapa makanan ringan yang ada.

"Di, bawa HP nggak?" tanya Kak Reni yang tiba menoleh ke arahku. "Tolong teleponin Jenna, dong. Suruh ke sini."

Segera aku merogoh saku celana jins yang kukenakan. Saku kanan, kiri, belakang, tidak ada. Berarti aku tidak memegang ponsel. Aku meninggalkannya di ruang English Club. "Nggak bawa, Kak. Di UKM," jawabku singkat.

Kak Reni hanya mengangguk-angguk paham. Gadis itu kemudian mencari target lain untuk dipinjami ponsel.

Satu setengah jam kemudian, pesta musik berakhir. Bintang tamu turun dari panggung, dan penonton pun satu per satu meninggalkan panggung. Acara usai. Beberapa panitia gegas merapikan beberapa barang yang sekiranya penting dan bisa diangkut dengan tangan. Kami semua gotong-royong membereskan dekorasi, lalu berbondong-bondong kembali ke basecamp untuk evaluasi acara.

Segalanya selesai pukul setengah sebelas malam. Tiap-tiap orang siap pulang, ada beberapa yang menginap karena sudah terlalu larut. Aku termasuk yang pulang, karena aku sudah menandai Kak Hans, seorang senior dari jurusan Sastra Jepang, untuk mengantarku sampai stasiun.

Namun, di tengah langkahku keluar dari basecamp, ponselku berdering. Nada dering khusus Kael. Aku pun meminta Kak Hans untuk sejenak berhenti melangkah, menungguku mengangkat telepon sejenak.

"Di mana?" tanyanya. Nada bicaranya begitu datar dan dingin.

"Masih di ka—"

"Bagus ya. Janjinya apa? Kamu ngebuang waktu aku banget. Tiga setengah jam aku nungguin kamu, tapi kamu nggak ada kabar," interupsi Kael. "Pulang sama siapa kamu jam segini?"

Lidahku sudah membeku rasanya. Aku tidak bisa mengatakan apapun. Tidak mungkin juga aku bilang pulang dengan Kak Hans. Bisa-bisa aku ditendang ke dalam neraka paling panas. "Sendiri," jawabku asal. Aku menatap Kak Hans yang masih berdiri di depanku. Laki-laki itu masih menantiku.

"Tunggu di sana, di depan UKM," titah Kael. Detik selanjutnya telepon kami terputus. Aku tidak diberikan kesempatan mengiakan, apalagi menolak. Sekarang hanya panik yang menyelimuti perasaanku.

"Kak Hans," panggilku. Kusadari suaraku sedikit bergetar. Aku masih membayangkan betapa ngerinya Kael. "Sori udah bikin nunggu. Kak Hans duluan aja. Gue dijemput."

Betapa aku beruntung Kak Hans tidak peka terhadap getaran di dalam suaraku. Laki-laki itu pun dengan mudahnya mengiakan meski sempat bertanya aku dijemput dengan siapa, dan apakah tidak apa-apa kalau aku ditinggal sendirian. Semuanya kujawab dengan berusaha tenang, dan akhirnya Kak Hans meninggalkanku di lobi gedung.

Setengah jam kemudian Kael datang bersama mobilnya. Aku lantas melangkah dengan cepat menuju jok penumpang di depan. Tidak bisa dipungkiri bahwa sekarang jantungku rasanya mau tanggal dari tempatnya ketika melihat Kael dengan wajah masamnya.

Laki-laki itu tidak bicara apa-apa. Ia lantas membawa mobilnya melaju menuju pintu keluar kampus. Kiranya dua kilometer setelah kami keluar dari kawasan kampus, baru Kael bicara, "Nggak penting ya hari ini?"

Aku menelan ludah. Kulirik jam digital di dalam mobil nyang juga memuat tanggal. Delapan Desember. Bagus sekali. Aku melupakan hari perayaan anniversary kami yang ketiga tahun. Tamatkan saja umurku sekarang, Tuhan.

Hasil dari merasa bersalah akan hal tersebut adalah aku memutuskan untuk diam dan menunduk. Aku tidak tahu harus menjawab apa, sebab apapun jawabanku, aku tahu Kael pasti marah. Satu-satunya yang bisa kukatakan ialah "Maaf, By. Bukannya nggak penting, tapi aku bener-bener hectic. Aku seharian nggak pegang HP. Kan aku MC, nggak kayak panitia lain yang bisa curi-curi main HP."

Kusadari suaraku benar-benar lirih. Aku sangat takut menatap Kael. Dan merasa jauh lebih takut ketika Kael menghentikan laju mobilnya di pinggir jalan. Benar-benar berhenti. "Alasannya nggak masuk akal," katanya. "Cuma karena acara lima hari kamu lupa sama orang yang udah nemenin kamu seribu hari?"

Merasa benar-benar tertindas, entah dari mana kemudian kekuatanku datang. Aku merasa sudah berani sekarang, dan keyakinanku sudah penuh. Aku membalas ucapan tersebut dengan nada begitu tinggi, "Kamu tuh yang nggak masuk akal! Tiga tahun kita pacaran, kamu nggak pernah ngasih aku kesempatan buat kenal sama dunia luar. Aku tuh pacar, atau budak kamu?!"

Pertengkaran kami pecah. Kael membalas dengan nada semakin tinggi, begitu pula dengan aku, sampai puncaknya, di tengah sumpah serapahku, tangan Kael yang akhirnya beraksi. Tangan yang sudah tidak mencengkeram setir itu menampar pipiku.

Seketika segala kata-kata yang telah kurangkai, segala keberanian yang kumiliki, surut dan hilang. Air mataku menetes, langsung deras. Dalam sisa umurku, mungkin aku tidak akan percaya lagi pada laki-laki manapun. Setelah nanti aku putus dengan Kael, aku sudah menduga dari sekarang aku akan berakhir jadi pasien di rumah sakit jiwa.

Kamis, 14 Desember 2017

Jumat lalu, aku menghabiskan sisa malam dengan menangis diam-diam di dalam kamar. Berhari-hari aku tidak merespons pesan dan tidak menjawab telepon Kael. Berhari-hari pula aku tidak menemukannya di area kampus. Hari ini adalah hari terakhir perbaikan nilai mata kuliah. Besok nilai semester ini akan dirilis.

Aku berpikir positif bahwa aku jarang melihat Kael karena ia tidak harus memperbaiki nilainya. Kael pintar, aku tahu itu. Pikiran positif lainnya adalah aku yakin Kael sedang memberiku waktu untuk memulihkan diri dan memaafkannya atas apa yang terjadi pekan lalu.

Setiap hari laki-laki itu masih mengucapkan selamat pagi dan selamat tidur meski aku tidak pernah membalasnya. Selalu meneleponku setiap pagi meski aku tidak pernah mengangkatnya. Kael tidak memarahiku sebab aku mengabaikan semua pesannya. Dia benar-benar baik. Kael sangat mengerti bahwa aku memang membutuhkan waktu.

Siang ini, aku tengah bersantai sambil menyantap lumpia basah di kamar kos Gesha. Sambil makan, kami bertukar cerita banyak. Dan satu-satunya hal yang menginterupsi cerita kami kemudian adalah telepon masuk di ponselku yang tengah dicas. Aku tahu itu Kael, dan kuputuskan untuk mengabaikannya.

Tak lama setelah aku mengabaikannya, dua pesan masuk. Aku sudah menduga itu pesan dari Kael. Aku lanjut mengabaikannya. Akan tetapi, rupa-rupanya hal itu membuat Gesha bertanya, "Kok lo diemin, Di? Siapa?"

"Pacar gue," jawabku acuh tak acuh. Aku melanjutkan kegiatan makan siangku. "Jadi, gimana tadi kelanjutannya?" tanyaku, guna mengalihkan pembicaraan perihal Kael.

"Serius lo punya pacar? Ih nggak cerita! Sejak kapan, Di? Kapan deketnya? Anak sekampus?" pertanyaan selanjutnya dari Gesha, bertubi-tubi dan super antusias. Selama ini aku memang tidak pernah menceritakan tentang Kael, dan hanya Gesha yang selalu bercerita kalau ia sedang dekat dengan seorang senior.

Aku mengangguk, lagi-lagi tidak acuh. "Udah lama. Pacar gue dari SMA, kok," jawabku.

"Kok lo nggak cerita?" Gesha mengulang pertanyaan. Sepenasaran itu dirinya kenapa aku tidak menceritakan tentang Kael kepadanya.

Dan tanpa bisa menolak, akhirnya kuceritakan kepada Gesha soal Kael. Segala detil tentang Kael. Termasuk tentang betapa toksiknya hubungan kami setahun terakhir ini. Sesuai dugaanku, Gesha sangat terkejut mendengarnya. Yah, tipikal orang normal.

Semua orang pasti terkejut ketika mendengar ceritaku. Semua orang menganggap Kael adalah laki-laki yang tidak pantas dipacari siapapun, termasuk denganku. Semua orang yang kuceritakan, berakhir menghujani Kael dengan caci-maki terpedas yang bisa mereka ciptakan. Tidak terkecuali Gesha. Semua orang yang kuceritakan juga, selalu menyempatkan diri untuk bertanya, "Kenapa nggak putus?"

Akan tetapi, aku sudah menyiapkan jawaban untuk pertanyaan itu. Ketika pertanyaan itu muncul, aku selalu menjawab semua orang dengan begitu yakin, "Semua orang punya kesalahan dan pantas buat dimaafin, kali. Kael juga lagi belajar. Semua orang akan jadi semakin baik seiring waktu berjalan. Lagi pula, posesif adalah bentuk dari rasa sayangnya dia ke gue. Terbukti kok dengan betapa protektifnya dia, gue jadi selalu merasa aman. Karena gue punya dia. Dia sayang sama gue. Buktinya dia nggak pernah ninggalin gue dalam keadaan apapun. Gue udah melewati keadaan apapun bareng dia. Di saat gue di atas, gue di bawah, di saat gue bahagia, di saat gue hancur. Dia nggak pernah ninggalin gue."

Lalu semua orang, tidak terkecuali Gesha, akan menganga tidak percaya atas apa yang kujadikan jawaban. Orang-orang ini kenapa, sih?

··✤··

······✤······

to be continued

······✤······

··✤··

··

·

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro